24. Kepada Jejak-jejak Rindu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
Memungut detik demi detik, merangkainya
seperti bunga sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa
"Tapi,
Yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.
Sapardi Djoko Damono - Yang Fana Adalah Waktu (1978)
.
"Mas ...." Kenanga menahan lengan laki-laki itu sebelum pintu taksi terbuka.
Dua alis Dipta terangkat. Walau ragu Kenanga tetap bertanya, "Bisa ... temenin aku di kursi belakang?"
Tersisa suara kendaraan lewat. Padahal gerimis masih menjatuhi kepala, tetapi mereka masih bergeming dalam hening. Anggukan Dipta adalah hal sederhana yang ia tunggu detik ini, maka ketika mendapatkannya Kenanga memelesat masuk. Duduk manis bersama senyum tipis.
"Makasih," ucap Kenanga sembari cengar-cengir, menunggu laki-laki itu masuk.
Dipta tersenyum kecil usai duduk di sampingnya. Kemudian taksi yang mereka tumpangi menembus kemacetan ibu kota Jakarta. Sayang sekali, laki-laki itu malah tak membawa mobil, padahal Kenanga sengaja tak membawa mobil supaya bisa diantar pulang. Dirinya pun sudah menjelaskan tak mengapa jika ia diantar pulang naik motor, tetapi Dipta menolak. Jadilah mereka menyetop taksi.
"Mas Dipta."
Panggilan gadis itu memaksa Cakra menoleh. Tisu halus mendarat di keningnya, kemudian turun ke rahang. Bola mata jernih Kenanga begitu dekat. Hingga ia memilih menahan napas supaya tak terlalu banyak menghirup aroma lilac milik Kenanga. Ia lantas menahan tangan gadis itu, menurunkannya pelan-pelan ke pangkuan.
"Maaf ... refleks," kata gadis itu lagi.
Cakra mengangguk sekali, lalu mengambil alih si tisu. Ia berpaling memandangi trotoar, barulah menyeka wajah hati-hati. Seharusnya adegan semacam tadi tidak ada, kalau saja ia tak muncul. Akan tetapi, Kenanga lebih penting dibanding egonya sendiri. Gadis itu bisa jatuh sakit, mengingat jatah libur yang dipakai untuk mengurus florist ditambah kolaborasi gerimis di malam hari.
Saat tak sengaja melirik, ia mendapati gadis itu tengah terpaku pada foto keluarga di layar ponsel.
Terdapat seorang gadis kecil tersenyum lebar, rambutnya dikucir dua. Kemudian ada anak laki-laki berkemeja kotak biru tanpa ekspresi. Mereka berdua sama-sama berdiri diapit pasangan suami istri yang terlihat bahagia. Ia langsung teringat pada Narendra Harsa Cokroatmojo. Kabar terakhir yang ia ketahui, kakak laki-laki Kenanga kuliah di luar kota. Ia mengetik di catatan ponsel, lalu menyentuh punggung tangan gadis itu.
Kenanga, kamu pernah bilang kakak kamu sakit. Kalau saya boleh tahu, dia sakit apa memangnya?
Begitulah sederet tanya yang terpampang di layar ponsel laki-laki itu. Kenanga memasukkan ponselnya ke tas, lantas menatap Dipta lekat-lekat.
"Sebelumnya aku nggak pernah cerita soal ini ke siapa-siapa, tapi aku bakal cerita sama Mas sekarang."
Dulu, Kenanga pernah membayangkan bahagianya mengenakan gaun paling indah di hari pernikahan Rendra. Akan tetapi, hal sesederhana itu ternyata hanyalah sebatas angan. Terasa jauh, terlalu berlebihan untuk diharapkan.
"Beberapa bulan setelah Mama meninggal, Mas Rendra pamit ke Semeru. Itu hal paling aneh menurutku, karena Mas Rendra nggak pernah sama sekali naik gunung seumur hidup." Pandangan Kenanga jatuh pada jemarinya sendiri yang berada dalam pangkuan. "Mas Rendra berangkat sama empat temannya. Tiga hari kemudian kami dapat kabar Mas Rendra hilang di gunung. Tim SAR mencari Mas Rendra selama seminggu dan ketemu. Tapi ...."
Kali ini gadis itu menghela napas seraya mendongak. "Tapi Mas Rendra berubah total jadi seseorang yang nggak kami kenal. Dia lupa segalanya ... orang-orang bilang jiwanya sudah hilang dan yang pulang itu bukan Mas Rendra. Tim medis bilang Mas Rendra trauma berat karena dampak tersesat di gunung selama seminggu. Aku nggak tahu harus percaya opsi pertama atau nggak, karena yang ada di hadapanku itu wujud fisiknya benar Mas Rendra."
Cakra pernah dengar kejadian semacam ini berseliweran di antara teman-teman mapala. Gunung merupakan salah satu bagian semesta yang dapat menunjukkan hati seseorang. Semua pendaki yang bertujuan baik ketika mendaki, pasti sampai tujuan dan pulang dengan selamat. Sementara orang-orang dengan niat buruk dan hati kotor akan mengalami kejadian-kejadian paling tak masuk akal saat mendaki.
Entah apa yang dilakukan Rendra ketika mendaki Semeru. Ia berharap opsi kedua bisa menemukan titik terang meski nol koma nol satu persen.
"Akhir bulan nanti, aku berencana memindahkan Mas Rendra ke Singapura."
Semoga kakak kamu lekas pulih.
"Makasih, ya, Mas. Kadang kalau aku berkaca lewat latar belakang keluargaku, aku sering berpikir, ada nggak, ya, someone special yang bisa menerimaku dan semua itu?" Kenanga tertawa kecil, tetapi sudut matanya basah. "Habis keluargaku berantakannya ngalahin kapal pecah, sih."
Sentuhan di punggung tangan, mau tidak mau membuat Kenanga harus mengangkat kepala. Satu hal yang ia dapati adalah kelegaan, sebab tak menemukan sedikit pun tatapan penuh cemoohan atau mengiba.
Keluarga tetap keluarga bagaimanapun keadaannya. Semangat :)
"Sekali lagi makasih, ya, Mas."
Udah habis, belum?
Dua alis Kenanga terangkat. "Apanya?"
Stok makasih kamu buat saya. Kayaknya saya udah kekenyangan :D
Kenanga tertawa kecil. Kalau bukan Dipta, mungkin ia tak akan seringan ini menceritakan tentang Rendra. Kalau bukan dia, mungkin air matanya sudah deras memalukan.
"Mas ...." Mungkin ini sangat memalukan dan Kenanga tidak peduli lagi. Ia memandang lurus sejenak pada jalanan di depan mereka. "Kamu ... punya ... istri, tunangan, atau pacar, nggak?"
Kenanga mendapati laki-laki itu menggeleng usai beralih dari jalanan. Seketika hatinya jadi lapang. Ia menunggu laki-laki itu berkutat pada layar ponsel. Matanya dipenuhi segala macam binar harapan.
Tapi saya masih nunggu seseorang.
Mata Kenanga berkedip dua kali. Ia ingin tetap tersenyum lebar. Namun, segumpal kekecewaan harus ditelannya bulat-bulat. Secepat angin berembus melalui celah jendela. Secepat itu pula harapannya hilang tersapu kenyataan.
"Oh ...," gumam Kenanga.
***
Gadis berambut sebahu yang mengenakan crop tee hitam itu mendongak, kepalanya tertoleh ke kanan dan kiri. Senyumnya merekah karena berbagai bunga segar yang terpasang dari satu sudut dinding ke sudut lainnya. Tempat di mana tunangan Beno menjadi pusat perhatian nantinya lebih membuatnya takjub. Dinding itu penuh dengan hydrangea biru dan sweet pea putih. Di tengah jajaran meja bulat dihiasi mawar putih.
Kenanga tak tahu persis bagaimana rencana Beno untuk seorang perempuan spesial bernama Sasha. Ia diminta mendekorasi ruangan vila yang terletak di Cisarua saja. Pekerjaannya selesai tepat pukul 17.00 WIB. Kini ia berdiri di beranda vila memandangi kendaraan hilir mudik. Sesekali ia mengusap-usap kedua bahu. Kota Hujan yang diguyur hujan bukanlah kolaborasi mengasyikkan.
"Mbak," panggil Ani. Salah seorang pelayan rumah.
Mulai sekarang Kenanga membiasakan semua pelayan rumah mengubah panggilan Non menjadi Mbak. Ia belum bisa memprediksikan kapan lagi akan membutuhkan bantuan mereka demi menaikkan branding When The Flowers Talk.
"Iya?" sahut Kenanga. Ani mengangsurkan sebuah jaket cokelat. Jika dilihat ukurannya, sudah pasti bukan punya Kenanga. "Punya siapa?" tanyanya lagi.
"Tadi ada laki-laki yang titip ini ke Ani, katanya buat Mbak. Dia nggak ngomong apa-apa cuma ngasih lihat layar HP aja, isinya, 'saya titip jaket buat Mbak Kenanga'. Gitu," jelas Ani.
Mata Kenanga berkedip beberapa kali saat menatap si jaket.
Mas Dipta? Seketika batinnya mencetuskan nama laki-laki itu.
Perlahan Kenanga meraih jaket tersebut, lantas mendekapnya tanpa sadar. Hampir seminggu. Mereka tak bertukar kabar selama itu. Ia belum bernyali menghubungi Dipta setelah gerimis di Taman Suropati. Laki-laki itu pun tak menghubunginya sama sekali. Selang beberapa detik, Ani meninggalkannya bersama sebongkah kegamangan. Ia membenamkan wajahnya pada jaket dalam dekapan.
Dipta hanyalah laki-laki asing yang mengisi hari-harinya sesaat. Lantas kenapa ia harus merasakan kehilangan hebat detik ini? Aroma si jaket sekarang membawa jejak-jejak rindu yang seharusnya tak pernah ada.
"Kok gue kayak gini, sih ...," ucap Kenanga di antara aroma jaket yang menyeruak. "Tunggu ... tapi dia tahu dari mana gue di sini?"
Tak jauh di pinggir jalan, Cakra meremas setir mobil. Ia tak ingin Kenanga sakit. Gadis itu selalu lupa membawa payung dan jaket di musim hujan. Ah, tetapi kenapa juga dirinya harus datang kemari dan melihat gadis itu lagi? Ia sudah berpesan kepada Beno untuk menjaga identitasnya. Seharusnya tidak ada yang perlu diragukan atau dikhawatirkan. Rekan kerja Dion di Kejaksaan Agung tersebut paham ke mana arah 'skenario dekorasi bunga' berakhir.
"Jaksa Cakra, sebelumya saya ingin berterima kasih atas tawaran Anda sebagai sponsor dekorasi," ucap Beno sewaktu mereka bertemu di kantin Kejaksaan Agung, demi sebuah kesepakatan. "Saya tidak ingin tahu alasan Anda bersembunyi, tapi katakan saja apa yang bisa saya bantu. Jaksa Dion memberi tahu saya sedikit tentang Anda. Sekarang saya hanya ingin memastikan kesimpulan saya sendiri."
"Begini, Jaksa Beno, saya memang punya masa lalu dengan si pemilik florist."
Cakra memanfaatkan jeda untuk mengamati raut wajah Beno. Bagaimanapun, Bunga Kenanga Cokroatmojo adalah rahasia terbesarnya di tiga tingkatan kejaksaan dan ia harus berhati-hati. Ada Jefri, Dion, dan terakhir Beno yang memegang kartu asnya.
"Saya hanya ingin Anda tetap menyembunyikan identitas saya sebagai orang yang merekomendasi jasa dekorasinya."
Beno mengangguk sekali. "Saya mengerti, Jaksa Cakra."
"Terima kasih, Jaksa Beno. Oh, ya, nama lengkap saya Cakrawala Pra ... dipta. Jika Kenanga tetap mendesak, Anda pasti mudah menjawabnya."
Cakra masih memandangi gadis yang mendekap jaket di teras sana tatkala lamunannya perlahan pudar. Angin membelai lembut rambut panjang gelombang Kenanga. Pegangannya pun ikut mengerat di setiap detik yang bergulir. Kenapa juga ia harus memberikan jaket itu? Kenapa pula titik akhir mereka serumit ini?
Ke, kamu bakal buang Dipta sama seperti kamu buang aku kemarin, kan?
Bunga Kenanga tidak sadar, bahwa dia jatuh cinta kepada laki-laki yang sama di dua waktu berbeda. Sementara Cakrawala sangat sadar, bahwa dia memang hanya ingin membuat satu perempuan jatuh cinta berkali-kali, di sepanjang waktu.
Getaran ponsel di saku mengalihkan perhatian Cakra. Nama Rudy tertera pada layar dan firasatnya tiba-tiba memburuk tanpa alasan.
"Pak, Jason Sirait kabur dari Nusakambangan. Tiga sipir penjara tewas," jelas Rudy di seberang sana tanpa sapaan sama sekali.
***
*Mapala: Mahasiswa pecinta alam
*Tingkatan Kejaksaan
-Kejaksaan Negeri
-Kejaksaan Tinggi
-Kejaksaan Agung
Mohon maaf lahir dan batin ya, teman-teman. Tanpa kalian, Pariskha Aradi cuman butiran jasjus yang kena air lgsg ambyar :)
Seperti biasa, segala hal yang belum jelas di sini akan dijelaskan di bab depan ya.
Yang mau nemenin Cakra nunggu sunset di Parangtritis, silakan komen di sini 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top