23. Kepada Sebuah Pesan

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Sapardi Djoko Damono - 1989
.

Kenanga tahu laki-laki itu pasti tak akan bisa menjawab. Sebab tujuan dari pertanyaan tadi adalah garis finish cerita mereka. Ia mundur selangkah tanpa melepaskan tautan pandangan mereka.

Mereka berdua lahir dengan didikan yang jauh berbeda dan perbedaan keyakinan adalah jurang pemisah terbesar. Bunga Kenanga tumbuh bersama nyanyian rohani, malam kudus, sekolah Minggu, dan hari Natal. Sementara Cakrawala lahir membawa tiga perkara yang tertulis di lauhulmahfuz dan tumbuh bersama lima rukun Islam.

Mereka berdua bukan pengendali hati. Berdasarkan logika darah muda yang berlandaskan ingin mencoba ini-itu, mereka bukanlah sebuah kesalahan besar.

Bukan salah Kenanga jikalau melepas Cakra adalah salah satu hal berat. Ia pernah bahagia hanya karena laki-laki itu menggenggamnya erat tiap melintasi zebra crossing, trotoar, atau jembatan halte busway.

Bukan salah Cakra juga jikalau logikanya kendur hanya karena melihat Kenanga lagi setelah tiga tahun lamanya. Gadis itu pernah memberikan banyak hal yang tak bisa diberikan jajaran pengagumnya di kampus atau tempat kerja. Dia pernah menemaninya pada masa-masa tersulit penuh sepak terjang.

"Nggak perlu dijawab, Kak. Anggap aja aku nggak pernah bertanya," ucap Kenanga sebelum berbalik, lanjut melangkah bersama perasaan yang berkecamuk.

"Kamu sendiri gimana? Sanggup nggak meninggalkan segalanya?"

Lagi-lagi suara laki-laki itu menghentikan langkahnya.

"Kak Cakra nggak seberharga itu buatku. Maaf."

Ah, ya, Cakra lupa kalau dirinya memang sebatas sampah di mata Kenanga. Ada yang lebih gila dibanding menjual berkas-berkas perkara, ia beranjak cepat meraih tangan gadis itu sebelum kerumunan bodyguard menutup jalannya. Gadis itu tersentak, sedangkan empat bodyguard langsung menahan kedua lengannya kuat-kuat.

"Aku nggak pernah mengkhianati kamu," ucap Cakra yang menoleh garang ke arah bodyguard di sisi kanan dan kirinya. Ia berusaha menyentak cengkeraman empat pria itu. "Nanti waktu yang akan membuktikan."

"Lepasin Kak Cakra," pinta Kenanga kepada empat laki-laki itu, lalu menatap sang mantan kekasih. "Berhenti, Kak. Tolong berhenti sampai di sini."

"Aku mau menyelesaikannya secara baik-baik."

"Sekarang kita sudah menyelesaikannya secara baik-baik."

Hening yang terasa asing lagi-lagi menyiksa mereka di tempat. Sorot mata laki-laki itu seakan-akan mengoyak sesuatu yang Kenanga tutupi rapat-rapat. Hanya tiga detik, karena Cakra lebih dulu beralih menatap lantai, lalu ia mengikuti.

"Kasih aku izin pegang tangan kamu untuk yang terakhir," pinta laki-laki itu seraya mengulurkan tangan, raut wajahnya datar. "Setelah ini, aku nggak akan pernah menemui kamu lagi."

Permintaan itu terdengar tanpa paksaan sama sekali. Kenanga menarik napas, kemudian menatap telapak tangan yang jauh lebih besar dibanding miliknya. Bersama mata terpejam, ia menyambut uluran Cakrawala Pradipta. Seketika hangat menjalar hingga ke rongga dada, tetapi bersamaan dengan sesak tak terelakkan. Gadis itu tak sanggup menampiknya. Ia terus mengatur napas supaya bulir di sudut mata tak mengkhianati.

"Aku antar kamu sampai mobil," ucap Cakra lirih.

***

"Apa ada masalah sama nilai Kenanga, Bu?" tanya Cakra saat Dian Cokroatmojo memintanya bicara empat mata.

Wanita itu menggeleng. "Nggak ada masalah apa-apa, Mas Cakra. Gimana kabar ibu dan adik-adikmu di Padang?"

Sesudah lolos seleksi guru privat, ia memang melalui tahap wawancara dengan Dian Cokroatmojo secara langsung, maka tak heran wanita itu mengetahui latar belakang keluarganya. Ia pun memperoleh transferan gaji secara langsung dari beliau. Oleh karena itu, jika ada masalah apa pun, ia hanya akan berurusan dengan Ibu Dian. Lain lagi dengan Haris Cokroatmojo, pria baya itu jarang sekali ada di rumah. Mereka pernah bertemu sebanyak tiga kali saja.

"Ibu dan adik-adik saya sehat, Bu." Cakra memperhatikan baik-baik wanita itu. Wajahnya tampak sangat lelah. "Bu Dian ... sehat, kan?"

Ibu Dian tersenyum simpul.

"Ibu sehat, Nak." Kemudian ia memandang ke arah jendela besar bertirai mewah. "Saya selalu khawatir dengan Kenanga. Saya menamainya Bunga Kenanga, karena kenanga adalah bunga kesayangan keluarga keraton, dia istimewa. Tapi saya melupakan fakta kalau kenanga juga bunga yang menghiasi pemakaman. Saya nggak ingin hidupnya menderita karena adat kental keluarga dan emosi labil papanya."

Cakra masih terdiam ketika Ibu Dian menatapnya sendu. Ia tak begitu mengerti ke mana arah pembicaraan ini.

"Mas Cakra, saya bukanlah ibu yang baik, saya melukai Rendra begitu dalam. Tolong jaga Kenanga untuk saya, karena saya yakin Rendra dan papanya nggak bisa memenuhi itu. Keluarga besar kami punya banyak masalah, tapi saya berharap suatu hari nanti Kenanga bisa punya kehidupan damai meski saya atau papanya nggak ada di sisinya."

Saat hendak buka mulut, Ibu Dian berkata lagi, "Saya tahu Mas Cakra keberatan, tapi saya yakin Mas Cakra akan melakukan itu."

"Sebelumnya saya mau jujur tentang sesuatu, Bu." Cakra menarik napas. Jantungnya meronta-ronta ingin terlepas dari raga. Setelah mengutarakan ini, entah ia masih punya kesempatan mengajar atau dihajar sampai mati. Ia sudah tidak bisa lagi mengkhianati kebaikan Ibu Dian. "Saya ... saya dan Kenanga ...."

"Saya tahu, Mas Cakra," sela Ibu Dian yang tersenyum. "Karena itulah saya yakin Mas Cakra bisa memenuhi permohonan saya."

"Bu, tapi saya—"

"Mas Cakra, maaf, saya harus pergi ke bandara."

Ingatan tersebut lenyap, bersamaan dengan Cakra yang mulai mendoakan mendiang Ibu Dian Cokroatmojo. Hari itu merupakan pertemuan sekaligus pembicaraan terakhir keduanya. Sepulang menemui Kenanga, ia sulit sekali terpejam. Padahal malam ini harusnya janji yang tak pernah ia janjikan itu pun luntur. Cakra duduk sejenak di tepi tempat tidur, kemudian pergi berwudu.

"Bu Dian, maafkan saya," rapal Cakra berulang kali.

***

Kenanga membagikan tiramisu kepada orang-orang yang ditemuinya di taman. Sengaja dibungkus kotak plastik supaya tidak terlihat begitu aneh. Ya, ia takut dianggap aneh karena membagikan tiramisu olahan Atmojo Queendom Kafe secara cuma-cuma. Kadang begitulah kehidupan nyata, tidak semua orang melihat sebuah kebaikan sebagai sebuah kebaikan juga. Sering kali justru sebaliknya.

Ketika paper bag besar tersisa empat kotak, gadis itu mendudukkan diri di sebuah kursi panjang yang kosong. Ia merogoh tas selempang, mencari ponsel.

To: Mas-Mas Random
Mas, suka tiramisu, nggak?

Sudah hampir dua hari pesan itu hanya terbaca. Tak ada balasan sama sekali. Kenanga mencoba memikirkan segala kemungkinan positif. Ia melirik arloji di pergelangan tangan. Waktu menunjukkan pukul 20.19. Kemarin ia sudah memberi tahu Dipta akan datang ke sini pukul 19.00. Demi mengenyahkan kekecewaan yang mulai terbit, gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Banyak yang berkunjung kemari, entah dengan keluarga kecil atau pasangan. Ia mengambil salah satu kotak dan membukanya. Aroma kopi seketika menyeruak indera penciumannya.

To: Mas-Mas Random
Mas, aku udah sampai. Kabarin aja kalau nggak bisa atau bisa datang. Jangan nyesel, looo, kalau nggak kebagian tiramisu 😁

Di antara kerumunan pedagang dan pasangan yang hilir mudik, Cakra mengecek ponsel hibah kantor. Lewat notification bar, pesan itu mudah terbaca. Ia mengangkat kepala lagi, memperhatikan gadis yang duduk sendiri di sana. Kenanga sedang memakan sekotak tiramisu sambil beberapa kali melirik layar ponsel. Sebenarnya ia sendiri tiba di taman pukul 19.00, mengubah penampilan, dan mengenakan topeng Dipta. Namun, ia enggan menemui gadis itu sekarang. Kedatangannya sekadar untuk memastikan Kenanga baik-baik saja.

Langit yang agak muram sejak sore kini mulai menghadirkan gerimis tipis. Cakra berdecak samar lantas melirik arloji di pergelangan tangan. Sudah pukul 20.50. Ia menatap jengkel pada gadis yang masih saja melahap isi kotak tiramisu kedua tanpa peduli kondisi. Mau sampai kapan gadis itu menunggu? Berselang tiga detik, gerimis menjadi lebih deras. Kini gadis itu berdiri, tetapi sayangnya bukan untuk bergegas pergi.

From: Bunga Kenanga
Mas, di sini hujan, kalau jadi datang keluar mobilnya pakai payung. Aku di belakang air mancur.

Cakra menghela napas panjang usai membaca pesan yang itu lewat notification bar. Apa, sih, yang Kenanga pikirkan? Orang-orang berlari mencari tempat berteduh, tetapi gadis itu masih saja tengok kanan kiri.

Pulang, Kenanga ... pulang. Ngapain kamu di sana? Dia nggak akan pernah datang, dia nggak benar-benar ada.

Namun, usai mencetuskan kalimat itu, Cakra bergegas melepas jaket sambil berjalan terburu-buru. Ia bahkan sempat tak sengaja menyenggol bahu beberapa orang. Gadis itu tengah berjinjit membelakanginya, sebelah tangannya menenteng paper bag besar. Tanpa permisi, ia menyampirkan jaket di bahu Kenanga. Gadis itu terkesiap lantas berbalik.

"Mas Dipta?"

Kenanga pikir laki-laki itu tak akan datang. Ia baru saja merasa begitu kecewa. Namun, sekarang, setelah melihat raut wajah serius yang tengah mengetik cepat itu. Kedua sudut bibirnya mengembang sempurna.

"Aku pikir Mas nggak jadi datang," ujarnya riang.

Maaf, baru datang, hari ini agak sibuk. Saya antar kamu pulang sekarang, ya.

Begitulah yang tertera di layar ponsel laki-laki.

"Nggak apa-apa, kok. Aku nggak buru-buru."

Laki-laki itu mengetik lagi, lantas menunjukkan sebuah kalimat singkat.

Gerimis, Ke.

Tanpa punya kesempatan membantah, Dipta membenahi jaket yang tadinya tersampir di bahunya menjadi benar-benar melekat di tubuh. Kemudian laki-laki itu menariknya menembus gerimis bersama tautan jemari yang begitu erat. Langit boleh saja murung, tetapi tidak dengan raut wajah Kenanga.

***

Jadi emang gitu ya gengs, kalau dibilang sayang, Cakra emang segitu sayangnya sama si Kenanga. Mau udah dianggap sampah juga, wayahna kitu nya 😁

Ada nggak Thor cowok macam begitu di dunia nyata? Ada, cuma kamu belum nemu aja. Kalau nanti ketemu jangan disia-siain ya :)

Nah karakter Cakra ditemukan saat dengar lagu ini. Kalau dengarnya Delight mungkin yang lahir bukan Cakra sih 🤣

Sekali lagi aku nggak bosan-bosan mau bilang makasih buat kamu yang masih menemani saya, Kenanga, dan Cakra sampai di bab ini 😊

With love,
Pariskha Aradi ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top