20. Kepada Sebuah Tanya

Kenanga menikmati hening yang hadir di tengah-tengah mereka. Mobil melaju dalam kecepatan normal. Ia pun sangat menikmati perjalanan meski tahu tidak ada malam yang abadi. Obrolan didominasi olehnya dan ketenangan tetap milik Dipta. Tak mengapa, dirinya nyaman begini. Ia menjulurkan tangan, menekan tombol radio. Sebuah lagu lawas menggema.

Tiba-tiba kebimbangan mengajaknya pergi. Kenanga mengulang cuplikan kejadian terakhir di florist. Ia mengingat tangan itu. Hatinya masih menjerit jikalau itu tangan Cakra, tetapi fakta membuktikan laki-laki yang menemaninya malam ini adalah Dipta. Lagi pula untuk apa ia mempermasalahkan kekeliruan tak berarti? Kalau memang laki-laki ini mirip mantan kekasihnya, lantas kenapa? Mereka tetaplah dua orang yang berbeda. Ia tidak berhak mengubah siapa pun dengan alasan apa pun.

Sebuah lambaian tangan menyeret Kenanga ke dunia nyata. Ia mendapati seraut wajah yang menatapnya penuh tanda tanya. Laki-laki itu mengarahkan dagu ke depan. Patung rajawali berukuran semeter kebanggaan Klan Cokroatmojo terpampang jelas. Dipta keluar lebih dulu, membukakan pintu untuknya.

"Makasih banget udah nganterin pulang," ucap Kenanga begitu mereka berhadapan di depan mobil. "Mas Dipta mau mampir?"

Dipta mengulas senyum lantas menggeleng. Meski tak mengatakan apa pun, Kenanga tahu laki-laki itu tengah memandangi sekeliling tanpa gerakan mencolok.

"Ini rumah papaku, Mas. Aku sendiri cuma punya toko bunga dan masih jadi kacung corporate," jelasnya sebelum Dipta berpikir yang tidak-tidak.

Laki-laki itu mengeluarkan ponsel, mengetikkan sesuatu. Kemudian menunjukkan layarnya pada Kenanga.

Saya antar sampai depan pintu, ya?

Kenanga mengangguk. "Yuk!"

Gerakan Kenanga terhenti karena laki-laki itu kembali memutari mobil, membuka kursi penumpang. Tak lama Dipta muncul di hadapannya lagi dengan posisi satu tangan tersembunyi di balik punggung. Gadis itu memiringkan kepala.

"Jangan bilang Mas mau ngasih bunga ke penjual bunga. Kayaknya itu bakal lucu banget."

Kenanga tertawa kecil hingga matanya membentuk bulan sabit. Laki-laki itu mengangguk sekali dan menyerahkan buket bunga yang tadi Kenanga rangkai. Biarpun tahu bentuk, rupa, serta jumlahnya, ia tetap berterima kasih dan merasakan hangat yang menjalar ke pipi. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut sebahunya.

Buat kamu dari mas-mas random :D

Begitulah yang tertulis di layar ponsel Dipta.

"Makasih, ya, mas-mas random ...."

Ini mulai terasa gila, tetapi Kenanga enggan mengelak. Ada apa dengan dunia? Malam ini ia merasa lucu karena begitu mudah mengurai tawa di depan laki-laki asing. Dipta, pelanggan toko bunganya. Ia menoleh sebentar, memandang Mbok Asih dan Pak Kirno yang berdiri di depan pintu utama. Begitu kembali pada Dipta, laki-laki itu menunjukkan layar ponselnya.

Kenanga, saya pulang, ya?

"Mau pulang naik apa? Aku temenin nunggunya."

Nggak usah langsung masuk aja. Makasih udah ngajak makan :D

Ujung-ujungnya Kenanga hanya memandangi punggung Dipta yang semakin mengecil. Laki-laki itu dikawal empat bodyguard rumahnya menuju gerbang yang berjarak sekian belas meter dari sini. Tatkala menjatuhkan tatapan pada buket bunga, ia menemukan secarik kertas lusuh di antara tangkai-tangkai mawar itu.

Sore ini dia hadir mengenakan kaus biru
Katanya, aku suka hari Rabu
Kutanya, ada apa dengan Rabu
Dia jawab, ada aku dan kamu
Kadang dia memang begitu, lucu dan rancu
Kutatap matanya, lantas terpaku
Ke mana perginya kalimatku?

"Puisinya manis-manis lucu gitu," ujar Kenanga seusai membaca. "Boleh juga, nih, kalau buka jasa tulis secuil puisi buat yang mau kirim bunga. Gue ajuin MoU deh nanti ke Mas Dipta."

Dipta sudah benar-benar hilang dari pandangan. Empat bodyguard yang mengawal pun telah kembali ke tempat semula. Kenanga menghirup oksigen sebanyak mungkin. Sepertinya malam ini ia bisa tertidur lelap. Sekali lagi pandangannya jatuh pada buket bunga, lantas sesuatu yang aneh menghantam tiba-tiba.

"Tunggu ... dia tahu alamat rumah gue dari mana?" Alis Kenanga menukik tajam. "Perasaan, gue belum cerita tentang rumah! Gue, kan, niatnya mau pulang ke apartemen bukan ke rumah!"

Kenanga terkesiap, lantas mengambil ponsel di saku jins. Jantungnya berdegup kencang seakan-akan meronta-ronta lepas dari raga.

Mas, tahu rumahku dari mana? Aku gak merasa ngasih tahu. Kamu siapa?

Tidak sampai tiga detik pesan balasan masuk.

Dipta (Pelanggan WFT):
Kamu yang cerita di mobil, masa gak ingat? Saya bukan cenayang yang bisa tahu rumah kamu tanpa dikasih tahu :D

Kenanga terpaku oleh balasan tersebut dan membacanya berulang kali. Kemudian ia berdecak, menempelkan ponsel ke dahi.

"Kayaknya gue mulai pikun." Kenanga menggeleng-geleng pelan. "Bayang-bayang RAB yang diminta Mas Dio, nih, pasti sebabnya!"

Kecurigaan serta kegamangan yang sempat meluap rontok sekonyong-konyong dalam benak gadis itu. Kenanga tak lagi memercayai analisis dan jeritan hati kecilnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top