2. Kepada Angan

"Laporan keuangan macam apa coba ini? Gila, sih, defisit parah begini." Kenanga mendekatkan wajahnya ke MacBook, lalu bersandar pada kursi. "Pantesan Mas Dio nggak mau bantuin. Ini Om Hermawan kerjanya ngapain, sih? Masa Atmojo Konstruksi sampai hancur begitu."

Kenanga mengembuskan napas keras seraya mendongak, menatap langit-langit ruangan. Ia menggoyangkan kursi ke kanan dan kiri. "Kalau udah begini, nih, gue yang pusing mau gaji karyawan pakai apa? Beras sekarung dan ucapan terima kasih? Yang bener aja, Ndro!" Ia mendorong kursi ke belakang, lantas berdiri.

Data absensi semua cabang pasti akan masuk ke e-mail payroll dalam hitungan tujuh hari. Kenanga belum bisa menandatangani pengajuan anggaran gaji karyawan karena keuangan Atmojo Konstruksi Sulawesi yang morat-marit. Sudah pasti cabang lain dan pusat harus memberi subsidi anggaran untuk gaji karyawan Atmojo Konstruksi. Gadis itu beranjak mendekati kaca besar dalam ruangannya. Selama menduduki kursi manajer keuangan pusat, berbagai persoalan telah ia lewati. Hanya saja perusahaan yang dipegang Om Hermawan ini paling parah.

Pemandangan jalanan macet masih lebih baik dibandingkan tampilan layar MacBook. Kenanga mengambil ponsel di kantong blazer. Masih ada When The Flowers Talk yang harus diurus segera. Ruko sudah siap diisi perabotan, tinggal mencari pegawai, promosi, dan pemasok bunga. Selama kuliah di London, ia pernah mengisi kekosongan waktu dengan bekerja paruh waktu di sebuah toko bunga dan magang di sebuah perusahaan. Oleh karena itu, ia punya sedikit tabungan untuk mewujudkan toko bunga impian tanpa suntikan dana Atmojo Group.

Terserah orang mau berkata apa, prinsip Kenanga adalah menjadi bos di toko sendiri. Karena jabatan setinggi apa pun di Atmojo Group, ia tetaplah pegawai. Ketika hendak menghubungi salah satu pemasok bunga yang akan ia tawarkan MoU, suara interkom membuatnya segera menghampiri meja.

"Dengan Kenanga, ada yang bisa dibantu?"

"Mbak, diminta ke ruangan Bapak sekarang," kata Dinda di seberang sana.

"Oke."

Dinda merupakan sekretaris warisan Om Herdian yang kini menjadi sekretaris Dio. Umurnya terpaut tiga tahun di atas Kenanga. Baru saja membuka pintu, Vina muncul bersama muka lesu dan tatanan cepol rambut yang berantakan.

"Mbak, ACC dulu, dong, permohonan divisi marketing," pinta Vina.

Kenanga menunjuk mejanya. "Taruh aja di sana. Saya mau ketemu Pak Dio."

Vina berdecak pasrah. "Mbak, tapi besok udah beres, kan?"

"Taruh aja dulu di sana, ya, Cantik," ucap Kenanga dengan nada lembut, tetapi penuh penekanan.

"Oke, deh."

Mungkin hampir seratus persen karyawan perusahaan setuju, kalau manajer keuangan adalah manusia paling rumit dan pelit. Kenanga terbiasa dimusuhi manajer divisi lain karena perkara menggelontorkan dana, apalagi divisi marketing. Mau bagaimana lagi? Meski perusahaan ini punya nenek moyangnya, dirinya juga pegawai yang harus berhati-hati mengelola dana perusahaan. Ia tidak akan membubuhkan sembarang tanda tangan, namanya bisa dijual di mana saja.

"Gimana laporan Atmojo Konstruksi?" tanya Dio yang berdiri menghadap kaca besar dengan sebelah tangan masuk ke saku celana.

Alih-alih langsung menjawab, Kenanga menduduki sofa tanpa izin dan mencomot cookies cokelat di piring.

"Gini, ya, Mas. Saran terbaikku sih mending Mas tendang Om Hermawan. Cari orang lain yang lebih becus. Masa defisit sampai separah itu? Angkanya gila banget, belum lagi utang di mana-mana! Mau nggak mau kita harus nombok buat gaji karyawan cabang sana."

Dio melonggarkan dasi, lalu duduk di sebelahnya. Kentara sekali kalau beban hidup sang kakak sepupu seberat itu. "Om Hermawan ngajuin kerja sama dengan Prana Corporation. Menurut kamu gimana? Niko, sih, setuju dibanding langsung nendang Om Hermawan. Dia nggak ada tanggung jawabnya kalau begitu."

Kenanga mengangkat kedua tangan. "Bentar, Niko, nih, setujunya karena apa dulu? Jangan-jangan karena masih naksir Anyelir setengah mati lagi."

Jujur, lidah Kenanga agak kesulitan menyebut nama salah satu adik sepupu mereka—yang kemungkinan berada di barisan paling depan ketika Tuhan membagikan postur model serta paras bidadari. Perang dingin antara dirinya dan Anyelir tiga tahun lalu, belum juga mencair sampai hari ini. Dulu, saat Om Hermawan berhasil menikahi ibu Anyelir, mereka akrab bahkan sering hang out bersama. Gadis bernama lengkap Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo merupakan wujud adik kecil yang pernah diimpikannya. Ia malah kesulitan akrab dengan sepupu gadis yang sama-sama klan murni.

"Hancur udah perusahaan ini." Kenanga bersandar pada sofa sambil menutup wajah. "Isinya cuma orang-orang yang mentingin kantong dan nafsu sendiri!"

Keluhan sang adik malah membuat Dio tertawa lepas. "Kalau perusahaan ini hancur. Ya, kita ngurus perusahaan lainlah, Ke."

Kenanga menjentikkan jari. "Nah, itu dia! Gimana kalau Mas nanam saham di florist aku aja?"

Laki-laki itu berpikir sesaat, kemudian tersenyum kecil. "Boleh aja, tapi kamu nambah masa pengabdian, ya?"

Mendengar tawaran itu, Kenanga melengos sambil menggigit biskuit. "Males."

***

Alis Cakra bertaut ketika memperhatikan mayat hasil mutilasi yang telah disatukan oleh tim forensik. Otaknya langsung menyusun skenario pembunuhan keji.

Setelah mengonsumsi narkoba, gadis itu dipukuli oleh benda tumpul berkali-kali. Terlihat beberapa lebam mengerikan di sekitar bahu dan kepala. Setelah hal itu barulah pelaku melakukan mutilasi. Kemudian, ia beralih memperhatikan wajah dan tangan secara bergantian. Baik sidik jari maupun wajah sengaja dihancurkan. Kesimpulan yang pertama kali muncul adalah pembunuhan tersebut dilakukan seorang psikopat. Jejak yang ditinggalkan sangat tipis dan korban bukanlah tipikal orang-orang yang akan mati di tangan pembunuh bayaran. Ya, tetapi itu kesimpulan pertama, masih ada banyak kesimpulan lainnya.

"Bagaimana, Pak?" tanya Rudy.

"Kita ke TKP besok," jawab Cakra.

"Baik, Pak."

Menengok mayat malam-malam begini sudah jadi makanan sehari-hari, bahkan rasa takut mereka telah digadai ke bank konvensional demi pinjaman dengan plafon tinggi—oke, abaikan igauan ini. Sepanjang koridor menuju parkiran hanya ada suara sepatu yang saling bersahutan. Kemudian Cakra terpikirkan sesuatu yang kemarin sempat membuat Rudy hilang fokus.

"Kabar orang tua kamu gimana?"

Cakra membuka obrolan demi mengenyahkan hening. Ia selalu ingin menjalin hubungan baik dengan kawan satu tim.

"Bapak saya sudah baikan, Pak." Senyum Rudy mengembang sempurna. "Terima kasih sudah memberi dispensasi sebelumnya."

"Jangan sungkan kalau butuh bantuan."

"Siap, Pak. Terima kasih banyak."

Cakra mengangguk. Ia tahu bagaimana posisi Rudy sebagai tulang punggung keluarga. Tak jauh berbeda dengannya yang yatim sejak SMP. Ada banyak tanggung jawab berat di luar sumpah jabatan. Menghidupi sang ibu serta membiayai pendidikan adik-adik. Masa depan keluarga ada di pundaknya. Ayah Cakra merupakan seorang polisi yang tertembak mati ketika meringkus teroris. Ia masih duduk di kelas satu SMP saat itu, perjuangan panjangnya pun dimulai dari sana.

Cakra mendongak, malam ini langit tak berbintang. Untungnya hujan tidak turun hingga ia duduk di balik kursi kemudi. "Rud, saya duluan."

"Silakan, Pak."

Usai membunyikan klakson sekali, Cakra meninggalkan Rudy yang baru mau memakai helm. Ia memasang earphone begitu mobilnya bergabung dengan jalanan sepi.

"Halo, Sayang."

"Halo juga," sahut Cakra.

Satu sudut bibirnya terangkat. Suara gadis itu tak pernah membuatnya jenuh. Justru suara itu mampu melepaskan kerumitan yang mencengkeram otak.

"Kamu udah makan?"

"Belum. Nggak ada yang masakin."

"Mulai, deh. Kode terus! Warung di jalan banyak padahal."

Cakra tertawa perih. "Percuma, ya? Yang dikasih kode jauh."

"Jangan ngambek dong, Cakra sayang ...."

Kadang-kadang rengekan gadis itu kerap Cakra rindukan. "Nama saya Cakrawala, bukan Cakra sayang, Mbak."

"Whatever Cakra sayang. Aku kangen banget! Emang kamu nggak?"

Seperti biasa, rekaman Skype terakhirnya dengan Kenanga berhenti di sana. Cakra selalu mengulang-ulang rekaman itu, bahkan ia hafal di luar kepala isi percakapan mereka. Kegilaan semacam ini hanya akan ia lakukan ketika pulang larut malam sendirian. Ya, suara gadis itu bagai morfin yang tak mungkin ia beli meski butuh.

"Kangen. Sekarang kamu di mana, Ke?" tanya Cakra kepada angan.

Ya, angan. Kadang Cakra berangan-angan, seandainya waktu itu ia tetap memaksakan diri mengejar Kenanga. Apa jalan cerita mereka berubah? Nyatanya dirinya tak ingin mencari jawaban atas pertanyaan itu. Kemudian "Kaulah Ahlinya Bagiku" menemaninya sepanjang jalan kenanga. Ya, semua jalan yang ia lewati di pukul 11.20 bernama Kenanga. Dulu, ketika mereka menjalani long distance relationship, pukul 11.20 adalah waktu di mana mereka bertukar sapa dan kabar via Skype.

Dan rindu, engkaulah ahlinya bagiku

Dan rindu, sunyilah akhirnya wakilmu ....

Okelah, good night and have a nice dream ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top