18. Kepada Loker Harapan

"Tunggu, tunggu ... mal itu lumayan jauh dari sini dan Mas Dipta nggak mungkin beli flat shoes buat dipakai sendiri." Mata Kenanga menyipit. "Ini pasti kado yang batal dikasih ke cewek, ya?"

Cakra mengacungkan ibu jari.

"Kenapa gitu?" tanya Kenanga lagi.

Cakra menulis lagi dan menyerahkannya pada gadis itu.

Sewaktu datang ke rumahnya, cowok lain bawanya Pajero, saya cuma bawa sepatu. Jadi dibawa pulang lagi aja, barangkali ada yang lebih membutuhkan :D

Kenanga mengangguk-angguk usai membacanya. Gadis itu memandangnya dengan sorot mata mengiba. "Yah ... kalah sebelum berperang, dong. Terus nggak mau nemuin cewek itu lagi?"

Nggak, dia, kan, udah punya jagoan Pajero tadi. Saya, sih, langsung sadar diri pas ngaca di spion Pajeronya, Mbak.

Gadis itu tertawa sambil menggeleng. "Sadar diri gimana, sih?"

Sadar diri, jangankan ngajakin naik Pajero. Ngajakin dia ngobrol aja saya nggak bisa.

Gadis itu membisu cukup lama menatap tulisannya, sampai akhirnya ia menulis lagi.

Jangan kasihan sama saya, Mbak, kasihan sama sepatunya aja, nih. Dibeli cuma buat dibiarin berdebu.

Kenanga tersenyum lebar begitu mendongak. "Berarti ikhlas, ya, kalau sepatunya aku pakai?"

Cakra mengangguk sebagai jawaban.

"Makasih, Mas Dipta!"

Usai menyelesaikan pesanan sejumlah mawar dan baby's breath yang dijadikan satu buket, gadis itu sibuk membuka kotak sepatu dengan riang. Bunga Kenanga Cokroatmojo mungkin telah memiliki segalanya. Namun, bagi Cakra, gadis itu sama seperti gadis pada umumnya. Suka kejutan, hadiah, dan traktiran. Ya, Bunga Kenanga Cokroatmojo yang notabene salah satu anak konglomerat paling kontroversial itu suka traktiran.

"Kak, jajanin aku siomai, dong, laper," pinta Kenanga di suatu sore.

"Kenanga, uang jajan kamu sebulan aja udah kayak uang semesteran aku," canda Cakra.

"Justru itu, Kak ... uang jajan aja aku nunggu dikasih Papa karena aku masih anak sekolah. Kalau Kakak, kan, udah punya penghasilan sendiri, makanya Kakak wajib traktir aku tiap gajian," jawab Kenanga sambil tertawa.

"Pantesan kamu hafal tanggal gajian aku, ya."

"Iya, dong!" Kenanga menutup separuh wajahnya dengan buku, lalu tertawa.

Bisa dikatakan toleransi mereka mungkin melebihi luasnya semesta ini. Dulu ketika Cakra demam dan di kos sendirian, gadis itu pasti menelepon hanya untuk menyanyikan "First Love" Nikka Costa sampai ia tertidur.

Ketika hari raya Idulfitri pun sang kekasih pernah muncul di depan pintu kosnya selepas azan Subuh. Bayangkan, selepas azan Subuh. Gadis itu membawakan sepanci lontong sayur khas Padang, rendang, dan berstoples-stoples nastar. Bukan hanya untuknya, tetapi untuk kawan satu area kosnya yang juga mahasiswa perantauan.

"Selamat lebaran, Kak Cakra!" seru Kenanga yang pagi itu mengenakan tunik dan selendang putih. "By the way, sebenarnya aku nggak tahu banyak, ya, makanan apa aja yang ada di hari spesial ini. Jadi, aku bawa ini doang." Dia mengangkat goodie bag di tangan, lalu menunjuk ke arah belakang. Di mana ada dua bodyguard yang membawa wadah-wadah makanan berukuran besar serta goodie bag.

Ya, itu merupakan kejutan paling gila sekaligus paling berkesan dari seorang gadis bernama Bunga Kenanga Cokroatmojo. Jikalau kata orang cinta pertama sulit dilupakan, mungkin itu benar adanya. Cakra tidak akan repot-repot berdalih. Mungkin juga gadis itu adalah orang yang paling mengertinya selain sang ibu.

"Bisa pas gini, ya, ukurannya. Ckckck, kebetulan yang sangat indah di kaki."

Ucapan Kenanga membuat kereta pikiran Cakra berhenti melaju. Sekarang gadis itu tengah memotret kakinya dengan kamera ponsel. Ini adalah sesuatu yang terkadang tidak ia mengerti dari perempuan.

"Aku jarang banget dapat hadiah dari orang lain semenjak mamaku meninggal, kakakku sakit, dan orang itu pergi. Kalaupun dapat hadiah paling cuma bonus lembur dari kantor," tutur Kenanga sambil tersenyum lebar menatap layar ponsel. "Tapi yang aku kangenin bukan isi hadiahnya, sih, tapi kepedulian mereka. Kayaknya cewek itu bakalan nyesel, deh, soalnya selera Mas Dipta bagus. Aku suka sepatunya, meskipun sebenarnya ini bukan buat aku."

Cakra memalingkan wajah sambil menarik napas. Ia tidak tahu bagaimana lagi menanggapi celotehan gadis itu. Kenanga bahkan mengganti namanya dengan sebutan orang itu. Entah sejak kapan gerimis mulai membasahi ibu kota, padahal ia tidak butuh hujan dramatis sebagai pelengkap derita.

"Oh, iya, aku ada servis spesial buat pelanggan spesial, nih." Tiba-tiba gadis itu sudah berdiri di sampingnya, menarik sebelah lengannya. "Yuk, ikut!"

Cakra mengernyit.

Servis apaan lagi? Kalimatnya ambigu banget.

Mereka melewati rak-rak penuh berbagai macam bunga. Kenanga tampak sangat gembira, sedangkan Cakra tengah berpikir keras. Ia penasaran servis pelanggan macam apa yang gadis itu berikan.

Ya ampun, gue jadi mikir yang nggak-nggak.

Tak lama mereka sampai di depan sebuah pintu cokelat. Lipatan di dahi Cakra semakin dalam ketika Kenanga tiba-tiba berdiri di hadapannya, membelakangi pintu. Kedua tangannya pun tersembunyi di balik punggung.

"Aku cuma ngajak beberapa pelanggan spesial doang ke sini," ucap Kenanga sambil tersenyum. "Spesial bukan dalam artian mereka beli banyak bunga setiap hari. Tapi kata spesial yang aku maksud lebih dari itu."

Firasat gue tiba-tiba nggak enak dengar kata spesial, batin Cakra.

Kemudian pintu tersebut terbuka dan Cakra bernapas lega. Ruangan itu menampilkan sebuah jendela besar dan jajaran loker yang terbuat dari kayu jati. Loker-loker tersebut menempel di setiap dinding. Kemudian terdapat sofa beludru dan meja di tengah ruangan.

"Selamat datang di Loker Harapan!" seru Kenanga seraya merentangkan tangan. "Jadi fungsi ruangan privasi ini memang menyimpan berderet-deret loker, Mas. Nah, loker yang ada di sini bukan sembarang loker. Kita bikin time capsule yang nggak butuh dikubur. Mas bisa simpan barang-barang berharga sama mantan, gebetan, atau sahabat di sini."

Cakra mengangguk-angguk, lantas menatap sekeliling.

"Sebenarnya, sih, ada beberapa pelanggan juga yang nulis semacam surat gitu terus cuma disimpan di sini. Intinya, sih, Mas bisa menggunakan loker ini sebagai time capsule tadi. Mas Dipta pilih aja mau nomor yang mana, nanti aku kasih kuncinya."

Sekadar untuk menghargai Kenanga, ia memilih sebuah loker paling pojok dan terletak di bawah, yakni nomor 13. Gadis itu mengangguk lantas mengambil sebuah kunci dari brankas yang terletak di dalam sebuah loker juga. Mungkin itu loker harapan milik Kenanga.

"Nah, ini dia kuncinya," kata Kenanga sembari menggoyang-goyangkan sebuah kunci.

Laki-laki itu berjalan pelan ke arahnya, lalu menadahkan tangan. Seharusnya Kenanga tinggal menyelipkan kunci tadi di tangan laki-laki itu. Namun, ia justru terpaku menatap telapak tangan Dipta. Ada tahi lalat di tengah-tengahnya dan seharusnya itu bukan masalah besar. Tanpa sadar, ia meraba telapak tangan laki-laki itu. Napasnya terasa tercekat seketika.

"Kak, telapak Kakak ada tahi lalatnya, loh ... kata eyangku itu ciri-ciri calon orang tajir," ucap Kenanga di suatu pagi. Ketika meletakkan tangan Cakra di pangkuannya untuk mengganti perban. Laki-laki itu habis mengalami kecelakaan kecil.

"Itu cuma mitos." Cakra hendak menarik tangannya, tetapi ditahan Kenanga. "Tolong ganti perbannya aja jangan dielus-elus gitu, Kenanga."

Kenanga terkesiap. "Aku nggak sengaja, Kak."

"Udah sini aku ganti sendiri."

"Nggak! Aku aja yang ganti, Kakak pasti nggak rapi gantiinnya." Kenanga membuka gulungan perban. "Baru juga dielus tangannya udah takut. Aku punya pacar unik banget. Nggak mau dielus, nggak mau dipeluk. Jadi curiga, nih, aku."

"Curiga mulu kamu," keluh Cakra. "Aku pergi ke WC aja dicurigain."

Kenanga mencebikkan bibir. "Aku nggak gitu, ya, Kak."

"Hal kayak gitu sebenarnya candu, Kenanga." Cakra berdeham sejenak. "Misal hari ini aku berani cium kening kamu. Besoknya pasti aku cium bibir kamu. Besoknya lagi bisa aja aku ciumin leher kamu. Bisa aja terus di situ, bisa juga lebih parah. Sama kayak misalnya hari ini aku minta kamu peluk di motor. Besoknya lagi aku minta dipeluk kosan. Bisa jadi besoknya lagi aku maksa minta dipeluk di atas kasur," jelas laki-laki itu secara blak-blakan. "Mau kamu?"

Kenanga memegangi kedua pipinya tanpa berani menoleh. Masalahnya apa yang diucapkan laki-laki itu langsung terbayang begitu saja. "Oke, aku ngerti. Tolong bahas yang lain aja."

Tawa kecil Cakra terdengar renyah. Laki-laki itu menunjuk telapak tangannya. "Ya udah. Jangan lupa, cuma Cakra yang punya tanda begini."

Kenangan itu lenyap bersamaan dengan air mata yang mengalir bahkan sebelum sempat terbendung. Kenanga baru menyadari terlalu banyak kebetulan tidak wajar di sini. Cuma Cakra yang tahu ukuran sepatunya, cuma laki-laki itu yang tahu warna favoritnya, cuma dia yang akan meminta maaf saat berlebihan menyentuhnya padahal tidak sengaja, dan cuma mantan kekasihnya itulah yang punya tanda semacam ini di tangan. Sekarang jantungnya berdegup menyakitkan. Ia nekad berjinjit melepas masker yang laki-laki itu kenakan.

"Maaf ...."

***

Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan ❤️

Makasih udah mampir 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top