17. Kepada Telaga
Happy reading ❤️
***
Kenanga:
Kenapa Mas Dipta mau diskonnya dikirim ke rekening Jalinan Kasih?
Dipta (Pelanggan WFT):
Saya mau beramal, Mbak.
Baiklah, Kenanga sadar di sini ia kelihatan sangat bodoh. Tentu saja ia paham maksud Dipta. Akan tetapi, jarinyalah yang tanpa permisi mengetik pesan itu. Sungguh, pelanggannya yang satu ini rumit dan berbeda dibanding pelanggan lainnya. Selain itu, kenapa juga dirinya harus merasa kesal dengan pilihan laki-laki itu yang tidak mengambil jatah diskon bunga? Lantas kenapa juga semangat di hari Sabtu tiba-tiba meluntur?
Kenanga:
Kemarin kita sudah sepakat kalau diskonnya gak bisa dialihkan
Baiklah, ini terdengar sangat memaksa. Anehnya bukan pemenang doorprize yang bersemangat meributkan hadiah, melainkan si penyelenggaranya. Kenanga menutup wajah dengan bantal usai mengirim pesan tersebut. Benar-benar memalukan.
Dipta (Pelanggan WFT):
Mbak Kenanga bilang dialihkan ke orang lain, bukan dialihkan untuk beramal.
Kenanga:
Oke, Mas Dipta benar. Kalau gitu kirim nomor rekening Mas aja. Soalnya itu hadiah doorprize Mas Dipta, meski gak seberapa. Kalau mau disumbangkan berarti lewat Mas Dipta langsung aja, bukan atas nama saya atau When The Flowers Talk. Saya bisa mengadakan kegiatan itu sendiri.
Akhirnya Kenanga menyerah dan menghentikan segala kebodohan ini. Jangan sampai Dipta berpikir yang tidak-tidak. Biar saja urusan mereka sampai di sini. Untuk kali pertama setelah sekian abad berlalu, Bunga Kenanga Cokroatmojo baru lagi bisa merasakan kesalnya menunggu balasan pesan seorang laki-laki. Namun, lucunya laki-laki itu hanyalah sebatas pelanggan. Jadi, kenapa pula ia harus menunggu?
Dipta yang membutuhkannya, bukan sebaliknya. Ya, itu baru benar.
Tak ingin terus-menerus menunggu, Kenanga beranjak menuju lemari. Sejak kembali ke Indonesia ia menempati sebuah apartemen yang tidak jauh dari Atmojo Group. Ia hanya pulang sesekali ke rumah untuk melepas rindu pada apa saja yang terlewat, termasuk kenangan bersama Mama. Sabtu ini Kenanga absen menjaga When The Flowers Talk. Bukan, tentu bukan karena ia sadar Dipta tidak akan berkunjung.
Baru memandangi jajaran baju di lemari selama lima detik, ponselnya yang tergeletak di kasur berdering. Kenanga segera melompat ke kasur dan menemukan nama Dio tertera di layar. Baiklah, ternyata cuma telepon sang kakak sepupu. Apa, sih, yang ia harapkan? Ternyata kepalanya memang butuh sedikit benturan.
"Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif," sapa Kenanga.
"Tolong bikin RAB relokasi makam di Solo," ucap Dio tanpa sama sekali basa-basi.
Kenanga menyipitkan mata. "Bisa nggak, sih, hari libur nggak ngomongin kerjaan??"
"Relokasi makam keluarga itu di luar kerjaan, Ke. Ini permintaan Pak Herdian."
"Ya, tapi bikin rencana anggaran, kan, kerjaan banget, Mas!"
"Ditunggu sore ini."
Astaga, Dio sama sekali tidak memahami keluhannya sejak tadi.
"Nggak, nggak, nggak." Kenanga menggeleng-geleng. "Aku mau istirahat, mau ngurusin florist, mau jenguk Mas Rendra. Bye maksimal!"
Kenanga menekan gemas layar ponsel. Rasanya sangat puas bisa mematikan panggilan dari wakil ketua Atmojo Group. Karena di hari kerja ia tak berani melakukan ini pada Dio. Biarpun Atmojo Group menjalani bisnis hitam di atas putih. Ia tak suka melihat nilai rapor pegawainya jelek.
***
Kenanga berjalan tanpa henti saat orang-orang di sekitar koridor seakan-akan meledeknya macam anak kecil. Ini bukan kali pertama. Ia sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini. Hanya perlu menatap lurus ke depan dan sampai tujuan. Goodie bag yang ia tenteng berisi berbagai macam makanan dan buah, bahkan cokelat panas.
Langit biru dikelilingi kumpulan awan mampu membuat perasaannya jauh lebih baik.
Ritme langkah Kenanga semakin ringan ketika tiba di ujung koridor. Rumput hijau terhampar indah. Kemudian ada banyak kursi panjang bercat putih di bawah pepohonan rindang. Pemandangan tersebut mengurangi kesuraman tempat ini. Kenapa ia menyebutnya suram? Penghuni tempat ini merupakan orang-orang yang hilang akal. Menyadari hal tersebut, gadis itu tak bisa tak merasakan sesuatu telah merobek bagian hatinya.
Kenanga tersenyum lebar setelah menemukan seorang laki-laki duduk di sebuah bangku panjang. Laki-laki itu tengah memandangi miniatur pesawat di pangkuan. Akan tetapi, Kenanga tahu pandangan itu kosong. Ia berjalan sedikit terburu-buru karena tak sabar menghampiri Rendra. Ia meletakkan goodie bag sebelum duduk dan Rendra belum juga menyadari kehadirannya.
"Morning, Mas Rendra ...."
Kenanga mengusap lembut kepala sang kakak. Keperihan tiada tara mulai merambati hatinya. Bila saja waktu bisa kembali, mungkin ia akan menghalangi hal-hal yang mengakibatkan keluarganya hancur. Perlahan Rendra menoleh dan Kenanga sangat berharap laki-laki itu mengenalnya. Hampir satu menit terlewat, sang kakak tak mengucapkan sepatah kata pun. Narendra Harsa Cokroatmojo tak juga mengenalinya sama sekali.
"Aku bawa makanan kesukaan Mas Rendra. Hari ini aku mampir ke rumah cuma buat ambil makanan favorit Mas, padahal macetnya setengah mati, lo," oceh Kenanga sembari mengeluarkan kotak makan berwarna pink hasil karya pelayan di rumah.
Rendra masih setia bungkam menatap langit biru. Efek obat yang terlalu keras memang membuatnya jauh lebih tenang, tetapi tak juga memberi secercah harapan. Sang kakak biasa duduk di sini tiap jadwal kunjungannya. Perawat akan mengawasinya di pinggir taman. Kenanga membuka kotak makan berisi puding cokelat. Ia memotongnya dengan sendok dan mengarahkannya pada Rendra.
"Dulu, tuh, kita sering rebutan puding, Mas ingat nggak? Mas selalu beralasan cewek, tuh, nggak boleh kebanyakan makan cokelat nanti gendut."
Kenanga melebarkan senyum, tetapi yang diajak mengobrol masih bergeming. Karena itu, ia menempelkan sendok ke bibir Rendra, barulah laki-laki itu membuka mulutnya. Sesendok, dua sendok, sampai habis. Ia bersyukur hari ini tidak terjadi hal-hal anarki ketika berada di dekat kakaknya. Sempat beberapa kali ia terkena pukulan Rendra saat menjenguk. Biar begitu, ia tak akan pernah berhenti mengunjungi sang kakak.
Bisa melihat sang kakak makan dengan baik saja sudah cukup bagi Kenanga. Sejak masuk RSJ, Rendra menjadi lebih kurus, lebih pucat. Kalau dulu sering mengeluhkan sang kakak yang hobi meledek, tetapi sekarang ia sangat merindukan Rendra seutuhnya.
Alih-alih membuka kotak makan kedua, dirinya terpaku memandangi laki-laki itu. Perlahan air matanya lolos setetes demi setetes.
"Ayo, kita main, Mas! Ngapain, sih, belajar terus?" Kenanga yang masih menduduki kelas 2 SD berteriak di depan kamar Rendra.
"Main sendiri aja. Mas harus kayak Dio supaya Mama senang," sahut Rendra tanpa berbalik sama sekali.
Kala itu Kenanga hanya memandangi punggung sang kakak cukup lama.
"Kenapa harus kayak Mas Dio, sih? Kenanga sayangnya Mas Rendra, bukan Mas Dio!" jeritnya.
"Tapi Mama sukanya Dio, bukan Mas ...," jawab Rendra lirih.
Kenanga masih mendengarnya dengan jelas, tetapi tidak begitu mengerti maksud Rendra. Sekarang, ia baru paham. Ambisi adalah hal mengerikan. Tujuan hidup dan ambisi itu berbeda jauh. Ambisi layaknya api yang membakar sampai habis tak bersisa, sedangkan tujuan hidup adalah kompas supaya tidak kehilangan arah. Di sisi lain, ia sadar mungkin ini hukuman bagi Rendra. Namun, jauh di sudut hati, gadis itu berharap kakaknya bisa kembali seperti sediakala.
Lewat secercah keberanian, Kenanga menyentuh tangan Rendra. Tidak ada penolakan atau tindak kekerasan selama kurang lebih 15 menit. Kemudian ia menghapus jarak di antara mereka. Ia menyandarkan kepala di bahu Rendra.
"Aku capek ... tapi dunia kayaknya belum mau berhenti, ya, Mas?"
Belum ada lima detik, ia kesulitan bernapas karena Rendra mencekiknya. Mereka bertatapan dan Kenanga sangat takut. Kakaknya itu mengulas senyum mengerikan dengan mata terbuka lebar. Ia berusaha keras melepaskan diri, tetapi tak kuasa. Walaupun sangat kurus, nyatanya laki-laki itu bisa melemparnya hingga tersungkur di antara rerumputan.
"Lo harus mati, bitch! Lo harus mati!" seru Rendra yang sekarang diamankan lima orang laki-laki berseragam putih. Ia meronta-ronta minta dilepaskan. "Dasar jalang sialan! Lo bikin nyokap gue mati!"
Kenanga tak pernah tahu cacian yang selalu kakaknya lontarkan sebenarnya untuk siapa? Ia menemani Mama selama di rumah sakit, sampai beliau mengembuskan napas terakhir. Sebelumnya pun mereka berdua tidak pernah berseteru. Dua orang perawat perempuan menarik Kenanga untuk berdiri. Namun, cacian Rendra seakan-akan melumpuhkan seluruh saraf tubuhnya. Kepergian laki-laki itu seolah-olah merampas seluruh kekuatannya hanya untuk sekadar berdiri.
***
Dipta (Pelanggan WFT):
Saya ke florist aja, Mbak, besok malam. Maaf merepotkan.
Pesan itu masuk kemarin malam. Sekarang waktu menunjukkan pukul 20.40. Ia sendiri tak percaya jikalau bersedia menunggu Dipta selama itu. Apa pentingnya kehadiran laki-laki itu? Kenanga memukul-mukul kening dengan pulpen. Daripada tenggelam ke dalam ketidakjelasan sebuah harapan yang sebenarnya tidak perlu repot-repot diharapkan, ia beranjak memindahkan beberapa bunga di lantai yang berfungsi sebagai penghias, selain dijajakan.
Begitu memindahkan wadah bunga terakhir ke belakang rak berwarna biru. Denting lonceng yang terpasang di pintu terdengar. Kenanga buru-buru menghampiri pelanggan terakhirnya sebelum florist tutup. Seseorang yang berdiri kaku di depan pintu mengangkat sebelah tangan.
"Selamat datang di When The Flowers Talk," sapa Kenanga. "Cari bunga apa, Mas?"
Laki-laki itu memakai topi hampir menutupi mata. Sekarang tangannya bergerak di udara, membentuk huruf demi huruf dengan jari.
"Mas Dipta?" tebak Kenanga, sebab ia tidak mengerti bahasa isyarat.
Laki-laki itu mengangguk sambil mengacungkan ibu jari. Konyol sekali, padahal pada hari Jumat kemarin ia kesal setengah mati dengan laki-laki itu. Namun, malam ini bibirnya justru bisa mengulas senyum tanpa beban.
"Mas Dipta, mau bunga apa?" tanya Kenanga.
Mau Bunga Kenanga Cokroatmojo satu. Bisa? batin Cakra.
Butuh berbagai pertimbangan hanya untuk berdiri di depan Kenanga seperti sekarang. Ya, walau harus menjadi orang lain. Cakra bisa saja membuat kartu identitas palsu atau semacamnya. Akan tetapi, semua itu terlalu berisiko. Satu-satunya risiko paling terkecil adalah hadir sebagai Dipta, tunawicara yang selalu memakai hoodie hitam, topi yang hampir menutup mata, dan masker. Ia menggores catatan kecil, lantas menyodorkannya pada Kenanga.
Mau tebus hadiah doorprize, Mbak. Bunga apa aja yang harganya sesuai.
"Oke, berarti aku yang pilih, ya?" tanya Kenanga. Laki-laki itu mengangguk. Kenanga beranjak meninggalkan meja kasir tercintanya sambil berkata, "Tunggu sebentar, ya ...."
Namun, baru tiga langkah haknya mendadak patah. Jikalau Dipta tidak sigap meraih tangannya mungkin ia sudah terjerembap. Kenanga dapat melihat sedikit saja mata laki-laki itu dengan jelas. Saat itu juga ia merasa jantungnya berhenti berdetak untuk alasan yang sulit dijabarkan. Lengannya dilapisi kardigan sepenuhnya, tetapi sentuhan dan mata laki-laki itu seolah-olah membawanya ke suatu tempat yang tidak asing.
Belum lama Kenanga merasakan bunga-bunga tak kasatmata beterbangan di sekitarnya. Laki-laki itu langsung melepaskannya dan memalingkan wajah, bahkan mengusap hidung yang tertutup masker. Hanya sedetik, ia seakan-akan mengenal gestur semacam itu. Namun, pada detik berikutnya, gadis itu berjongkok melepas si heels sialan. Entah kenapa belakangan ini heels Kenanga sering patah di momen-momen yang sangat tidak pas.
Maaf, ya, Mbak
Kenanga membaca tulisan itu setelah kembali berdiri. Ia menggeleng sambil meringis, "Nggak perlu minta maaf. Aku yang makasih karena kalau nggak ditolong pasti udah bonyok di lantai hehehe ...."
Bawa sepatu ganti?
"Bawa, sih, di mobil, cuma nanti aja. Aku mau ngerasain seberapa dinginnya lantai ini. Lebih dingin dari si dia nggak hahaha." Kenanga sontak menutup mulut karena merasa sudah mengatakan hal bodoh.
Lelucon sejenis ini, sebenarnya yang terkadang Cakra rindukan dari Kenanga. Ia menurut saja ketika gadis itu menunjuk kursi depan kasir. Kali ini ia langsung memutar kursi hanya untuk melihat punggung rapuh Kenanga. Ya, mau bagaimana lagi, mungkin pemandangan semacam ini hanya bisa Cakra nikmati sekarang. Tidak tahu esok akan bagaimana. Ketika melihat kaki telanjang gadis itu, ia teringat sesuatu.
Cakra berjalan cepat keluar florist, menuju mobilnya yang terparkir lumayan jauh. Trotoar penuh orang lalu-lalang. Bisa dibilang Jakarta adalah Las Vegas-nya Indonesia. Kota yang tak pernah tidur. Karena tukang nasi goreng yang baru buka pukul 23.00 pun dagangannya tetap akan habis sebelum pagi tiba. Begitu sampai di mobil, ia membuka bagasi, menyingkirkan beberapa tumpukan berkas usang. Ya, ini salah satu kebiasaan jeleknya, menyimpan berkas-berkas yang salah di bagasi mobil. Ia menarik senyum tipis setelah menemukan kotak berisi sepasang flat shoes.
Baiklah, jangan dulu menuduhnya melenceng dari jalur hanya karena sepasang flat shoes. Barang tersebut memang sengaja ia beli entah berapa abad yang lalu sebagai hadiah ulang tahun yang tak akan pernah terkirim.
Nah, ini merupakan salah satu kegilaan Cakra selain mendengarkan rekaman ulang suara Kenanga di tengah malam. Ia punya satu kebiasaan yang sulit dihapus, yakni membeli barang-barang kesukaan Kenanga di menjelang hari ulang tahun gadis itu. Walaupun mereka sudah berakhir tanpa saling mengakhiri. Hadiah-hadiah itu hanya disimpannya tanpa pernah dikirim atau diberikan secara langsung.
"Mas Dipta habis dari mana?" tanya Kenanga begitu Cakra membuka pintu florist. "Tahu, nggak? Aku hampir mikir kena prank di minggu malam. Soalnya bunganya udah diambilin, tapi orangnya ngilang. Wusss ...." Tangan gadis itu bergerak seolah-olah memberi contoh kendaraan yang memelesat cepat. "Nggak ninggalin jejak sama sekali!"
Sekali lagi, untungnya Cakra sudah khatam menahan tawa. Ia meletakkan kotak sepatu—yang bungkus kadonya sudah dibuang di tengah jalan—tepat di atas meja kasir. Gadis itu seketika mengernyit dan menghentikan kegiatannya.
"Sepatu?" tanya Kenanga setelah membaca merek pada kotaknya. "Ini bunga mau dibarter pakai sepatu gitu?"
Cakra menggeleng, kemudian menulis secepat kilat di catatan kecilnya.
Buat Mbak Kenanga dari mas-mas random. Gratis.
Kenanga tertawa kecil melihat tulisannya. Sehabis itu, mata mereka langsung bertemu pandang di satu titik yang sama. Kalau boleh berharap, Cakra ingin melihat mata itu sebelum terlelap dan saat terbangun. Kalau bisa. Sebab mata itu bagaikan telaga di tengah Gurun Sahara yang kering kerontang baginya. Sangat menyejukkan meski hanya dipandang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top