16. Kepada Riak
Cakra berhasil mencapai pintu sebelum gadis penjaga florist membalik papan bertuliskan open menjadi closed. Ia sengaja datang susah payah di hari kerja demi menghindari Kenanga. Supaya urusan perkara doorprize ini pun cepat selesai. Sepertinya ia punya firasat kurang baik jika terus-menerus membuat karakter Dipta seolah-olah nyata.
"Maaf, Mas, tokonya udah mau tutup," kata gadis ber-name tag Susi.
Cakra menulis secepat kilat, lalu menunjukkannya pada Susi.
Mbak, maaf saya mau tiga buket mawar merah, putih, pink. Isinya lima belas tangkai per buket.
Susi mengernyit memandanginya dan catatan secara bergantian.
Saya tunawicara, tulis Cakra lagi.
"Oh ...." Susi melirik jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 21.00. Kemudian kembali menatapnya. "Kalau diambil besok pagi gimana, Mas?"
Besok adalah hari Sabtu. Hari di mana Kenanga yang akan menjaga meja kasir. Cakra menggeleng, lalu menulis lagi.
Ibu saya malam ini ulang tahun. Saya minta tolong, Mbak ... saya mau kasih kejutan. Saya bersedia bayar jasa Mbak di luar harga bunga.
Ketika Susi sedang menimbang-nimbang, Cakra menyodorkan lagi catatan kecilnya.
Saya Dipta salah satu pemenang doorprize.
"Oh! Ini Mas Dipta? Ya, ya, ya, emang Mas doang, nih, yang belum ngambil hadiahnya." Susi memelesat ke arah meja kasir, mengambil ponselnya. "Mas yang minta diskon bunga aja, ya?"
Cakra mengangguk.
"Boleh tunjukkan bukti chat Mbak Kenanga?"
Cakra segera merogoh saku jaket, mengambil ponsel yang dihibahkan kantor. Tentu ia tidak sebodoh itu juga menulis nomor ponselnya yang tak pernah berganti sejak berkuliah di Depok. Awalnya pun ia tak pernah berpikir akan memenangkan doorprize When The Flowers Talk. Hari itu ia hanya berniat menghargai upaya Kenanga menaikkan branding florist-nya.
"Oke, ditunggu dulu, ya, Mas," kata Susi setelah melihat layar ponsel Cakra.
Susi sibuk mengambil tangkai-tangkai mawar pesanannya. Ia lantas berjalan menuju pojok baca yang pernah Kenanga tunjukkan. Ia menduduki sofa yang tersedia. Malam ini Cakra mampir ke sana bersama dua temannya. Demi meminimalisir kejadian-kejadian tak terduga yang dapat terjadi, ia meminta Jefri dan Dion menunggu di mobil saja. Mereka bertiga merencanakan pertemuan untuk membahas perkembangan Jason Sirait serta kasus yang ditangani Dion. Kebetulan saja mereka ada waktu luang dan lama tak jumpa.
Sejak menginjakkan kaki di Pulau Jawa, Jefri Al Gibran dan Akhfa Dion Gymnastiar merupakan kawan baiknya. Mereka akrab sejak masa ospek. Selain itu, Cakra ikut menanam saham di sekolah swasta sekelas Al Azhar yang didirikan Danu Gymnastiar.
Cakra mengambil sebuah buku dari rak, berjudul 1000 Hari John F. Kennedy oleh P. Swantoro. Buku ini merupakan buku kesayangannya yang Kenanga bawa pulang di suatu sore dan tak pernah dikembalikan.
Cakra adalah penggemar berat buku yang membahas teori-teori konspirasi kematian John F. Kennedy dan Abraham Lincoln. Lain lagi dengan Kenanga yang menyukai buku-buku biografi Lady Diana beserta konspirasi kematiannya. Oleh karenanya, mereka bisa satu frekuensi bila membicarakan hal-hal sejenis itu. Mungkin bagi orang-orang mereka berdua terlihat aneh, tetapi siapa peduli?
"Mas, kenapa nggak ambil tiket perjalanan ke Gunung Bromo aja?" tanya Susi begitu Cakra kembali ke meja kasir.
Cakra menggeleng, lantas menyodorkan catatan kecilnya.
Alergi dingin, Mbak.
"Oh ...." Susi mengangguk sambil tetap mengerjakan buket bunga. "Kalau Mas atau temannya butuh jasa dekor bunga, bisa hubungi kami. Mbak Kenanga itu royal banget orangnya Mas. Kayak doorprize ini aja, sebenarnya apa yang dia dapat nggak sebanding. Cuma karena didikan ayahnya yang pebisnis bikin dia jadi kayak gini. Kata Mbak Kenanga, kalau mau bisnis itu totalitas, harus berani rugi karena di situ tantangannya. Saya, mah, nggak ngerti analisis sewot apa sewat gitu, ya, yang suka Mbak Kenanga omongin. Jadi saya iya iya aja."
Begitulah perempuan. Tidak hanya tangan yang bekerja, mulutnya pun ikut bekerja. Cakra tetap menyimak baik-baik celotehan Susi. Sesekali ia mengangguk-angguk untuk sekadar menghargai.
"Kalau saya jadi Mbak Kenanga, mungkin selesai sekolah minta dicariin jodoh aja. Soalnya cita-cita saya cuma pengin jadi istri solehah. Ngurus suami ganteng sama anak-anak yang lucu gitu." Susi menyelipkan tawa setelahnya. "Cuma, gitu, ya, Mas ... namanya juga kehidupan. Nggak seindah mimpi dan harapan. Lulus sekolah saya, mah, harus bantu bayar utang orang tua. Karena males di sawah, akhirnya saya ikut kerja di rumah Pak Haris."
Mbak asal mana?
Cakra menunjukkan goresannya lagi. Iseng bertanya saja supaya obrolan tak berkesan satu arah.
"Indramayu, Mas." Susi menarik pita merah muda dari laci, kemudian melanjutkan, "Kadang saya suka iri sama hidupnya Mbak Kenanga. Kalau dilihat sekilas hidup Mbak Kenanga sempurna karena dia kaya raya. Cuma kalau inget rumahnya yang isi pelayan doang, terus inget Mas Rendra, apalagi Pak Haris. Saya jadi sedih, kasihan Mbak Kenanga."
Sebenarnya Susi tidak perlu menjelaskan background majikannya secara detail. Karena Cakra mengenal Kenanga lebih dari itu. Ia bahkan hadir sebelum pegawai di hadapannya ini hadir dalam lingkup keluarga Haris Cokroatmojo yang penuh kontravensi.
Saat buket mawar pesanannya selesai, celotehan Susi pun selesai. Gadis itu sekarang mulai memasukkan transaksi ke tablet.
"Mas, berdasarkan kebijakan Mbak Kenanga. Diskon malam ini lima puluh persen. Masih tersisa satu kali lagi pembelian dengan total transaksi tujuh ratus lima puluh ribu. Bagaimana?"
Diskon malam ini aja udah cukup, Mbak. Tolong sampaikan ke Mbak Kenanga, sisa diskon saya ditransfer ke rekening Jalinan Kasih kalau bisa.
"Nanti saya bilang ke Mbak Kenanga dulu, ya."
Makasih, Mbak. Semoga Mbak cepet ketemu jodoh.
***
"Gimana? Misi berhasil?" tanya Dion.
"Lumayan," jawab Cakra yang kini menempati kursi kemudi.
Mobil ini diparkir lumayan jauh dari florist Kenanga. Meskipun angin malam menerpa, dahi Cakra tetap berkeringat. Ia berpikir sesaat sampai akhirnya menyerahkan semua mawar itu pada Dion yang berada di sampingnya.
"Yon, bagi dua sama Jefri. Tolong bujuk cewek mana aja yang kalian kasih bunga ini supaya bikin ulasan di IG tentang florist Kenanga."
Mungkin inilah salah satu manfaat memiliki teman yang tampangnya menjanjikan. Cakra hanya ingin membantu gadis itu lewat pergerakan yang tidak kentara, kalau bisa. Omong-omong, Kenanga memang mengenal Jefri dan Dion. Akan tetapi, gadis itu tidak mengenal gandengan baru Jefri. Sementara Dion, ia yakin seratus persen, laki-laki itu tak akan menyerahkan bunga tersebut pada sang kekasih. Ada cerita unik di balik alasannya bisa seyakin itu.
Jefri menerima buket mawar pink, lalu mengusap hidungnya yang tak gatal. "Cak, lo tinggal jujur aja masih sayang sama Kenanga. Apa susahnya, sih?"
"Ya, memang gue masih sayang Kenanga, Jef," tutur Cakra. Pernyataan itu fakta. Tidak ada yang dikurangi atau dilebih-lebihkan. Murni bak mata air yang belum terjamah.
"Jujurnya di depan Kenanga, Cak," sahut Jefri.
"Masalahnya, Kenanga nggak bisa lihat muka gue. Dia pasti nangis. Gue nggak pernah tahu salah gue di mana, dia yang tiba-tiba hilang dan begitu kita ketemu lagi dia nggak mau ngomongin sumber masalahnya. Dia itu rumit dan suka menyimpan masalah sendiri," jelas Cakra sebelum kedua temannya salah paham. "Gue udah coba, Jef. Gue udah coba ngajakin dia ngomong baik-baik, tapi hasilnya nggak bagus. Sekarang gue cuma minta kalian buat bikin ulasan lewat tangan ketiga. Seenggaknya, meskipun nggak terlalu berarti. Itu mungkin bisa naikin branding florist Kenanga."
"Makanya cerita. Lo aja ngumpetin penjelasan ini bertahun-tahun, Cak. Perempuan kalau udah susah ditemuin, udah pasti susah diajak meluruskan masalah." Dion menempelkan siku ke jendela mobil, memijat-mijat pelipisnya. "Dan laki-laki itu tempatnya kesalahan."
Cakra berdecak, pernyataan Dion sama sekali tak memberikannya titik cerah. Belakangan ini pun kebimbangan kerap menyambangi ketenangannya. Ia jadi ingin menurunkan sohibnya ini di tengah jalan saja, karena hanya memperkeruh pikiran.
"Gue rasa masalah kalian itu karena kalian berdua berprinsip sama kata 'ya udahlah'," sahut Jefri. "Jangan ngamuk dulu, Cak. Ini cuma pendapat gue."
Ya, Jefri pun sama saja. Mereka berdua selama ini mencurigainya yang lebih dulu menduakan Kenanga. Mereka pasti lupa jikalau Cakra anti membuat anak gadis orang menangis.
"Sewaktu gue ke London, dia juga nggak ada di mana-mana, Yon. Gue nggak mungkin terus-terusan nyari dia sampai dipecat. Selain butuh Kenanga, gue juga butuh duit buat adik gue sekolah di Padang. Lo tahu sendiri keluarganya Kenanga itu berbeda. Kalau dia nggak mau ketemu orang, dia bisa nutup akses dari mana aja."
Tiba-tiba senyap menyelinap di antara mereka bertiga. Jefri dan Dion tampak tengah mencerna penjelasannya.
"Tapi lo nggak bisa terus-menerus bohongin Kenanga, Cak. Gue nggak mau ikut campur sama masalah percintaan teman. Gue sekadar mengingatkan aja." Dion memperhatikan sejenak buket mawar merah di tangan. Tanpa sadar senyum tipisnya terulas. "Nanti bunganya gue kasih Barbie."
Jefri tiba-tiba berdecak. "Lo juga harus buka mata, Yon. Lo sayang sama Barbie melebihi seharusnya!"
"Gue memang sayang sama Barbie karena dia adik Cessa. Apa yang harus dipermasalahkan?" sanggah Dion. "Dia juga model sejuta followers. Strategi marketing gue pasti bisa membantu mantannya si Uda!"
Jefri mengangguk dua kali, lantas menepuk sebelah bahu Cakra. "Ya udah. Lo aja yang ngasih langsung ke Barbie, Cak. Siapa tahu jodoh."
"Ngapain? Ada gue, Cakra tinggal tunggu hasil aja," kata Dion.
Jefri langsung menyeringai ke arah Cakra. "Teman lo, tuh, tersesat."
Cakra menggeleng-geleng pelan. "Biarin aja, selama dia masih menikmati kesesatannya di jalur aman."
"Siapa yang tersesat?" tanya Dion. Matanya terarah pada tukang sate padang pinggir jalan. "Masa depan gue terarah. Lo berdua yang lebai."
"Hati lo yang tersesat, Jono! Cessa udah nggak ada di sana masih aja ditampik. Capek gue kalau ngomong sama Mamas Dion," keluh Jefri.
Cessa merupakan kekasih Dion sejak mereka masih berstatus mahasiswa baru. Awal ceritanya cukup lucu menurut Cakra, karena yang niat sahabatnya dekati itu sebenarnya teman Cessa. Sayang sekali, nasib buruk berbicara lain. Sahabat karibnya itu sebentar lagi akan menjadikan si serigala berbulu domba sebagai tunangan. Kabar mengerikan tersebut sampai ke telinganya dua minggu lalu. Entah kenapa sejak dulu ia tak begitu menyukai perangai Ayudia Princessa Soedarsono. Perempuan itu seakan-akan pandai memanfaatkan empati sahabat karibnya.
"Cak, gue mau bantah teori lo sama Kenanga tentang kematian John F. Kennedy, nih. Dulu gue belum sempat," kata Dion.
Cakra paham, Dion sedang dalam kebimbangan dan mencoba menyetir topik pembicaraan.
"Silakan," jawabnya.
"Tolonglah ... kalian udah ngomongin itu dari zaman kita mahasiswa kere, miskin parah." Jefri mulai uring-uringan di kursi penumpang. Dia berdecak sambil membuka tutup air mineral. "Bahas yang lain!"
"Yon, lo jadi tunangan sama Cessa?" tanya Cakra tiba-tiba.
"Jadilah. Kenapa?"
"Gue mau sponsor dekornya."
Seketika Dion menoleh sambil menyeringai. "Pertama, Cak. Rahasia lo sebagai Dipta si bisu pasti terungkap. Kedua, camer gue supergercep. Semua dia yang urus, gue tinggal bawa diri. Sorry, Man ...."
Detik itu pun Cakra membenarkan semua ucapan Dion. Kenapa dirinya mendadak jadi bebal?
"Kalau mau, tawarin temen gue aja, nih, si Beno. Dia orangnya romantis amis-amis, kemarin dia cerita mau ngasih kejutan spesial buat tunangannya," lanjut Dion.
"Kirim ke gue nomornya," sahut Cakra tanpa berpikir.
*Cerita Dion-Barbie-Cessa ada di tikungan Kadar Formalin
See ya in the next chap ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top