15. Kepada Masa
Kenanga tertegun di depan pintu apartemen nomor 1406. Berbagai macam pertimbangan berseliweran di kepala. Ia harus siap bilamana Caca tak ingin melihat wajahnya. Ia pun harus siap bilamana diusir secara terang-terangan karena secara sadar dan tidak tahu diri, berani menemui mantan kekasih terindah sepanjang masanya Dio. Kenanga tadi melihat mobil sang kakak sepupu terparkir dengan apik. Ya, laki-laki itu mungkin sudah tiba berjam-jam yang lalu dan entah sedang apa sekarang. Sepanjang sejarah, ini adalah kali pertama Dio mangkir dari kursi kepemimpinan tanpa alasan.
Kenanga menunduk sejenak, menyayangkan perpaduan blazer modis dengan sandal Swallow yang agak jomplang. Ya, mau bagaimana lagi? Tidak ada waktu untuk sekadar memilih sepatu baru di sebuah outlet. Ia berdecak frustrasi sembari berkacak pinggang, menatap langit-langit koridor.
"Biarin deh, gue udah terlanjur bela-belain ke sini ditemenin sandal jepit doang! Fighting Kenanga! Fighting!"
Dua kali menekan bel dan pintu terbuka. Sang kakak sepupu yang notabene wakil ketua Atmojo Group paling horor. Pimpinan yang membawa kemasyhuran bagi Klan Cokroatmojo lewat inovasi, program kerja serta manajemennya. Kini tampil mengenakan apron bergambar Doraemon. Astaga, ada apa dengan dunia? Kenanga bahkan tak sanggup menganga lebar-lebar.
"Ma-mas?"
"Kamu ngapain ke sini?" bisik Dio yang menoleh ke belakang sebentar, lalu memelotot padanya.
Kenanga masih di ambang ketidakpercayaan akan fakta yang terpampang dan akhirnya berubah gagap.
"Aku ...."
"Ada siapa, Kak? Kok nggak diajak masuk?"
Suara lembut nan manis itu menginterupsi mereka berdua. Jantungnya sekarang berdegup kencang, tetapi bukan dalam artian romantis. Ia antara siap dan tidak siap bertemu Caca.
"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya Caca yang berdiri di samping Dio.
Gadis itu tersenyum pada Kenanga. Dia juga mengenakan apron yang sama, tetapi beda warna. Sang kakak sepupu merangkul bahu gadis itu.
"Nggak ada yang perlu dibantu, Ca. Kamu istirahat, ya? Aku antar ke kamar," tukas Dio yang berusaha mengajak gadis itu meninggalkan Kenanga.
"Kak ... masa tamunya ditinggal?" Caca menahan dirinya, hingga mereka berdiri berhadapan. "Dia sekretaris kamu, kan? Berarti udah saatnya kamu kembali ke kantor," ujar gadis itu seraya melepas apron yang Dio kenakan.
Dio menggeleng, lalu menyentuh pipi gadis itu. Mengusapnya lembut, selembut tatapannya pada gadis itu. "Aku cuti tiga hari, tadi aku udah bilang."
Baiklah, lewat interaksi mereka saja Kenanga langsung ingin mengacak-acak pasir. Seluruh karyawan Atmojo Group mungkin bisa mati berdiri hanya karena melihat Dio bisa berkata dan bersikap semanis itu. Terlepas dari semua itu, Kenanga pun menyayangkan. Bagaimana bisa perbuatan gila Rendra berakhir memisahkan dua orang ini?
"Kak Caca, aku ... Bunga Kenanga Cokroatmojo. Adik sepupu Mas Dio," tutur Kenanga setelah mengumpulkan nyalinya yang sempat tercecer.
Dua sejoli itu berbalik menatapnya dengan pandangan yang berbeda 180 derajat. Caca tersenyum lembut menghampirinya, sedangkan tatapan Dio bak laser yang siap melubangi kepalanya.
"Oh, adik sepupunya? Berarti kalian satu kantor? Maaf banget ... aku sendiri nggak bermaksud ganggu aktivitas Kak Dio." Gadis itu tersenyum serbasalah.
"Nggak apa-apa, Kak. Mas Dio memang butuh jenis-jenis kejutan dari Kakak karena dia udah karatan ngurusin perusahaan keluarga kami. Sebenarnya, Mas Dio bebas mengatur jam kerjanya, dia aja yang nggak mau memakai hak istimewa itu. Manajemen perusahaan kami pun terstruktur dengan baik dan nggak perlu lagi dikontrol secara langsung setiap hari sejak masa kepemimpinan Mas Dio,' jelas Kenanga. "Kenanga justru senang Mas Dio ada di sini sekarang. Dia nggak pernah menikmati hidup seperti yang orang-orang pikir selama ini, Kak."
"Kamu nggak perlu menjelaskan detail," sahut Dio. "Caca butuh istirahat. Dia baru pulang dari rumah sakit tiga hari lalu. Sebaiknya kamu pulang sekarang."
Dapat Kenanga rasakan jika gadis yang berdiri di sampingnya ini tengah mencetuskan pertanyaan besar. Bagaimana tidak? Dio mengusirnya secara terang-terangan.
"Kenapa, Mas? Kenanga cuma mau ngasih tahu kalau Mas Dio selama ini nggak baik-baik aja." Kenanga enggan beralih biarpun Dio menatapnya tajam. "Dan Kak Caca harus tahu ... kalau Mas Dio nggak seimbang tanpa—"
"Berhenti, Kenanga," potong Dio. "Hubungan kami bukan urusan kamu."
"Bener banget, tapi hari ini aku cuma mau ngobrol sama Kak Caca bukan Mas Dio," balasnya tak kalah ketus.
Caca mengusap lengan Kenanga sebelum menghampiri Dio. Gadis itu merapikan dasinya dan ekspresi laki-laki itu pun melunak seketika.
"Jangan ketus, dia cuma mau ngobrol," kata Caca. "Nggak apa-apa, kan?"
"Masalahnya dia maksa di waktu yang nggak tepat, Ca ...." Dio menggenggam satu tangan Caca yang masih memegang dasinya. Laki-laki itu mengecup jemari gadis itu. "Aku nggak mau kamu jadi sakit karena kemunculan dia hari ini."
"Aku sehat, kok." Caca merapikan kerah kemeja Dio, kemudian mengusap bahunya. "Kamu aja yang terlalu khawatir."
Baiklah, Kenanga sekarang percaya sepenuhnya. Gadis bernama lengkap Oxafia Djenara Nindyar itu merupakan satu-satunya yang dapat mengubah Dio menjadi lebih manusiawi.
"Kita ke ruang tamu, yuk, Kenanga," ajak Caca. "Aku tadi iseng bikin cookies, Kak Dio bantu ngerecokin." Gadis itu tertawa kecil sembari mengulurkan tangan pada Kenanga.
***
Dio:
Jangan cari masalah.
Kenanga:
Aku nyarinya Kak Caca, Mas. Bukan masalah.
Dio:
Apa yang kamu lakukan hari ini gak akan mengubah apa pun.
Kenanga:
Seenggaknya aku mencoba.
Keduanya memasukkan ponsel ke saku masing-masing ketika si empunya rumah datang membawa tiga gelas jus. Mengingat Caca yang baru keluar dari rumah sakit, Kenanga langsung beranjak mengambil alih nampan. Ia meletakkan gelas jus tersebut di meja, lalu menduduki sofa tunggal.
"Kak Caca," panggil Kenanga dan gadis itu beralih dari Dio. "Aku ...." Kenanga tak ingin lagi membuang waktu. Sebelum semuanya semakin terlambat, sebelum dunia menggelap. Ia berlutut di samping kaki gadis itu dengan kepala tertunduk. "Kak ... maafin Kenanga dan segala penyesalan ini mungkin nggak akan mengembalikan segalanya. Bagi Kak Caca mungkin apa yang Kenanga lakukan hari ini terasa percuma. Kita semua tahu waktu nggak akan pernah kembali."
Caca memegangi kedua bahunya.
"Kamu ngomongin apa? Jangan kayak gini. Ayo, duduk lagi!"
"Please, Kak Caca cukup dengerin aku aja," kata Kenanga. "Narendra Harsa Cokroatmojo itu kakakku, sekarang dia mendekam di rumah sakit jiwa. Papa yang bawa Mas Rendra ke sana karena merasa malu. Setelah meninggalnya Mama, Mas sering berhalusinasi tentang Kak Fella dan Mbak Ditha. Keluarga kami berantakan, sekarang Papa nggak pernah pulang ke rumah. Papa lebih pilih pulang ke rumah wanita-wanita kesepian yang Kenanga nggak tahu."
Kenanga menarik napas panjang, mengepalkan tangan kuat-kuat di atas paha. Kemudian bibirnya melontarkan, "Atas nama Mas Rendra, atas nama Mbak Ditha, atas nama keluarga, Kenanga minta maaf yang sebesar-besarnya. Mungkin kalau Kenanga tahu, Kenanga bakal cegah Mas Rendra untuk menjebak Kak Fella dan Mbak Ditha. Supaya masa depan Kak Fella nggak direnggut paksa, supaya Kak Fella nggak memilih gantung diri. Supaya Kak Ditha pun nggak depresi dan overdosis. Kenanga mohon ... jangan salahkan Mas Dio. Kenanga mohon ... tolong terima Mas Dio kembali. Karena Kenanga tahu, Mas Dio punya rasa yang sebesar itu buat Kakak."
"Kenanga ...," panggil Caca. Suaranya terdengar serak. "Seperti yang kamu bilang di awal. Apa yang kamu lakukan nggak akan mengubah apa pun. Waktu nggak akan pernah kembali. Kami sekeluarga sudah lama mengikhlaskan kepergian Kak Fella."
"Kalau perlu ... Kenanga siap mengangkat kasus rudapaksa Kak Fella ke meja hijau."
"Jangan gila kamu!" sentak Dio. "Ini bukan menyangkut keluarga kita semata!"
Kenanga mengangkat kepala dan menemukan tatapan menyalang dari Dio. Ruang tamu apartemen 1406 seketika diselimuti sendu bercampur bara api tak kasatmata. Caca mengusap-usap bahu Dio, mengarahkan wajah laki-laki itu agar menatapnya saja. Kasus rudapaksa Felisha Djenara Nindyar ditutupi dan diselesaikan Herdian Cokroatmojo. Reputasi Klan Cokroatmojo bisa tercoreng kalau dibiarkan maju ke meja hijau.
Namun, sekarang Kenanga hanya mengingat apa yang pernah Cakra sampaikan. Keadilan harus ditegakkan bagaimanapun caranya dan ia yakin yang Felisha Djenara Nindyar butuhkan adalah sebuah keadilan. Kasus tersebut pun belum bisa digolongkan sebagai kasus kedaluwarsa.
"Kak, sabar ... kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku ngerti kenapa Kenanga bisa begini," tutur Caca yang masih mengusap-usap lengan Dio.
Kenanga kembali menunduk. "Mas, keluarga kita memang—"
Caca segera memotong kalimat Kenanga. "Kita sateduh bersama, ya?"
Tanpa menunggu persetujuan dua pihak lainnya. Gadis itu menarik Kenanga untuk beranjak.
"Tapi, Kak Caca—"
"Hubunganku sama masmu udah lama membaik, Kenanga. Tapi untuk ke depannya biar waktu aja yang menjawab. Sekarang aku rasa kita bertiga butuh sateduh," pungkas Caca.
***
Kenanga menatap layar ponselnya bersama secuil rasa kesal. Sesudah menunaikan niat baik menemui Caca demi menumpahkan segala rasa bersalah yang terpendam, mereka sepakat menganggap masalah tersebut selesai secara kekeluargaan. Semoga pertemuan baik mereka terus berlanjut. Semoga gadis itu merasa baik-baik saja tiap melihatnya sebagai adik dari Narendra Harsa Cokroatmojo—penyebab hancurnya semesta Caca dan Dio.
"Mas Dipta, kok, nggak bales-bales pesan gue, ya? Padahal udah dua hari dibaca." Kenanga mengernyit kemudian memanyunkan bibir. "Aneh, di mana-mana orang, tuh, kalau menang doorprize langsung gercep. Apa karena hadiahnya kalengan banget, ya? Ah, tapi semua pemenang langsung gercep kecuali dia doang, kok."
Kenanga mengecek lagi kertas yang pernah Dipta tulis. Ia mengecek nomor yang tertera pada kertas itu.
Maaf, ini nomornya Mas Dipta bukan, ya?
Lima belas menit kemudian, ia melihat nomor itu aktif di aplikasi perpesanan. Keterangan di sana pun Dipta sedang mengetik sesuatu. Namun, sekian menit menunggu tidak ada pesan yang masuk. Daripada kekesalannya membuncah, Kenanga memilih mengabaikan, setidaknya ia sudah mencoba menghubungi dan memastikan.
Dipta (Pelanggan WFT):
Iya, betul. Ini nomor Mbak Kenanga yang punya florist di Sudirman?
Kenanga:
Iya, boleh video call kalau belum percaya
Sejujurnya Kenanga mengetik balasan itu secara asal tanpa memikirkan tanggapan Dipta.
Dipta (Pelanggan WFT):
Saya percaya. Maaf baru balas. Kira-kira hadiahnya bisa diberikan ke teman atau keluarga lain, gak?
Kenanga:
Gak. Pilihannya Cuma ambil atau hangus.
Dipta (Pelanggan WFT):
Ya udah, dibiarkan hangus aja gak apa-apa, Mbak. Terima kasih sebelumnya.
Dahi Kenanga langsung berkerut dalam. Entah kenapa, bukan jawaban sejenis itu yang ia harapkan dari Dipta. Ia memutar, otak lantas membalas seperti ini.
Kenanga:
Kalau Mas Dipta sengaja membiarkan itu hangus, berarti Mas Dipta gak menghargai orang lain.
Setelah pesan itu terkirim dan langsung terbaca, Kenanga mengetuk-ngetuk ponselnya ke dahi. "Balasan nggak profesional macam apa coba tadi? Bodoh banget, sih, bodoh banget huhuhu ...."
Dipta (Pelanggan WFT):
Maaf, Mbak. Saya bukannya gak menghargai Mbak Kenanga. Tapi saya benar-benar gak bisa naik gunung karena alergi udara dingin, makanya mau saya kasih ke tetangga saya.
Kenanga:
:( Kenanga yang mau minta maaf karena gak profesional. Mas Dipta boleh tukar doorprize-nya, tapi gak boleh dialihkan ke orang lain.
Dipta (Pelanggan WFT):
Doorprize-nya ditukar makan siang sama Mbak Kenanga bisa, gak?
Kenanga berdeham, lantas mengipasi wajahnya dengan tangan. Ayolah, kenapa ia mendadak sekonyol ini? Ia bukan jajaran gadis yang haus perhatian laki-laki atau semacamnya. Akan tetapi, kalau boleh jujur, laki-laki bernama Dipta yang notabene pelanggan baru ini cukup menarik perhatiannya. Entah dalam artian apa, ia belum menemukan jawaban itu.
Dipta (Pelanggan WFT):
Maaf, Mbak. Maksud saya bisa ditukar diskon bunga aja, gak?
Usai membaca pesanitu Kenanga langsung meletakkan kasar ponselnya ke meja. Ia bersandar padakursi kerjanya, mengembuskan napas berat.
Darararari ~~
WTF balik lagi beibeh 😂
Have a nice dream ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top