"Ah, lo nangis karena bibir yang sakit, kan? Bukan yang lain? Ya, ya, ya, bibir sama muka gue sakit banget."
Gerutuan tersebut menghentikan kegiatannya membaca Wattpad. Ini merupakan salah satu kebiasaan jelek yang terkadang Kenanga banggakan. Di mana ia akan duduk di toilet sambil membaca artikel atau apa pun padahal urusan perutnya sudah selesai. Ia mengernyit karena begitu mengenal pemilik suara tersebut. Usai memasukkan ponsel ke saku blazer, Kenanga menguak pintu kamar kecil untuk memastikan hal tersebut. Ia akhirnya tertegun dan saling berpandangan lewat cermin dengan gadis itu.
"Mbak ...," panggil gadis itu.
Kenanga tak menggubris panggilan tersebut dan buru-buru keluar area toilet perempuan. Ia langsung bersembunyi di salah satu tiang yang menghiasi koridor kantor begitu Anyelir berusaha mengejar. Gadis setengah Amerika Latin itu memutar kepala, memperhatikan koridor yang hampir kosong karena lantai ini sangat privasi. Hanya pihak manajemen yang menghuni lantai ini, termasuk wakil ketua Atmojo Group.
Ngapain dia ke kantor ini? Kenanga bertanya dalam diam.
Gadis itu merupakan salah satu klan campuran yang pernah dianggapnya sebagai adik kandung. Istilah musuh sedekat urat nadi yang keluarga besarnya anut ternyata benar-benar ada. Ya, Ni Kadek Anyelir Cokroatmojo adalah wujud nyata dari ungkapan tersebut baginya.
Ia tahu, laki-laki mana pun pasti bersedia bertekuk lutut bila bertemu adik sepupunya itu. Selain punya paras serta postur tubuh yang mendukung, Anyelir memiliki semacam aura pemikat di sorot matanya. Hal itulah yang membuat netizen media sosial kaum old money menyebutnya sebagai bunga beracun peliharaan Cokroatmojo. Kenanga tak pernah merasa iri akan semua itu. Hanya saja ia sulit menerima kalau Cakrawala Pradipta ternyata bagian dari jajaran pemuja sang adik sepupu.
Kenanga pernah mengenalkan mereka berdua sewaktu gadis itu menginap di rumahnya. Saat itu ia hanya berpikir Anyelir adalah bagian keluarga juga seperti Mama dan Mas Rendra. Ia pun tak pernah berpikir kalau Cakra bisa memiliki hubungan spesial dengan gadis itu. Setelah mereka bersusah payah membangun rasa percaya dan rasa lainnya.
Kenanga tak membenci sang adik sepupu sepenuhnya. Hanya saja mengingat bagaimana Cakra bisa menatap gadis itu penuh kasih seakan-akan membubuhkan garam pada luka yang belum kering.
Ya, Kenanga terluka karena Cakra adalah tempatnya pulang di tengah kemelut masalah. Dirinya tahu laki-laki di dunia ini bukan Cakrawala Pradipta seseorang. Akan tetapi, ia sangat sadar bahwa Cakrawala Pradipta adalah senja yang selalu ia nanti, malam yang menemani, dan pagi yang ingin ia temui. Mengapa demikian? Entahlah, hatinya yang bicara, bukan logika.
Kenanga melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan. Sudah hampir jam makan siang.
"Din, sampaikan ke Bapak saya mau izin pulang cepat. Tadi saya telepon handphone-nya nggak aktif," ucapnya begitu panggilan tersambung.
"Duh, tadi, tuh, Bapak buru-buru pergi," sahut Dinda yang suaranya tampak frustrasi. "Saya nggak tahu pastinya Bapak ke mana. Hari ini yang nemuin perwakilan Prana Corporation aja Pak Niko."
"Kok tumben kamu nggak tahu Bapak ke mana—"
"Jadi gini, Mbak. Ini memang salah saya banget. Tadi saya ngasih titipan tetangga apartemen saya yang ngakunya teman lama Bapak dan kayaknya sih benar—"
"Mas Dio nyamperin tetangga apartemen kamu? Memang dia ngasih titipan apa?" tanya Kenanga tak sabaran. Detik ini Kenanga hanya berpikir kalau Dio punya musuh-musuh yang amat mengerikan macam di novel-novel bergenre harlequin dan romance action.
"Iya, Caca, tuh, nitip—"
"Wait, Caca?" Kenanga menganga seketika. "Oxafia Djenara Nindyar, bukan??"
"Mbak Kenanga kenal?"
"Share loc apartemen kamu sekarang!"
Kenanga tidak berpikir dua kali saat berlari menyusui tangga darurat menuju parkiran. Tentu kantor pusat Atmojo Group tercinta ini punya lift canggih, tetapi akan ada kemungkinan ia bertemu Anyelir lagi jika menggunakan fasilitas tersebut. Gadis itu bersumpah serapah saat hak sepatunya patah di tengah jalan. Lagi-lagi ia tidak berpikir dua kali untuk tetap berlari tanpa alas kaki.
Oxafia Djenara Nindyar adalah orang pertama yang sangat ingin ia temui sebelum mati. Mantan kekasih terindah Dio itu adalah kunci penebusan dosa. Barangkali setelah bertemu Caca, hidup Kenanga bisa jauh lebih baik.
Tentu mereka bisa mencari Oxafia Djenara Nindyar kapan saja, tetapi momen yang tepat tidak pernah datang dua kali. Ketika sang kakak telah bernyali mengejar gadis itu lagi, maka Kenanga telah bersumpah akan mendorongnya dari belakang sampai titik darah penghabisan.
***
Cakra menatap lurus ke depan. Jubah jaksa yang hanya dipakai saat sidang sudah ia kenakan. Hari ini merupakan sidang terakhir Melati Puspasari. Korban terakhir pembunuh berantai bernama Jason Sirait. Melati pertama kali ditemukan gantung diri di kebun terpencil di daerah Leuwiliang, Bogor, Jawa Barat. Jason membuat korban seolah-olah terindikasi mati bunuh diri. Padahal sebelumnya laki-laki itu lebih dulu mencekik korban dengan tali sepatu, tetapi lehernya dilapisi busa tebal terlebih dulu.
Bagi Cakra, serapi apa pun psikopat membunuh korbannya, tetap terbongkar juga. Karena sesungguhnya Tuhan tak pernah tidur. Ia menganalisis serta mencari bukti lain selain dari kepolisian selama sebulan ini. Dibantu Pak Adam dan tim penyidik kejaksaan. Saat menginterogasi Jason di ruang kedap suara, laki-laki itu mengaku telah membunuh sekitar 20 perempuan berusia 19 sampai 30 tahun dengan alasan ingin memuaskan fantasinya.
Ya, berbagai macam alasan gila sudah Cakra dengar selama bergabung di kejaksaan. Apalagi jika pembunuh tersebut adalah psikopat, banyak alasan tidak masuk akal yang terlontar. Berdasarkan hasil interogasi, bagi mereka perkara membunuh orang itu ibarat tidak sengaja menginjak semut.
Menegakkan keadilan, apalagi untuk para korban yang notabene masyarakat menengah ke bawah sama halnya dengan berperang sampai mati bagi Cakra. Ia tidak pandang bulu, berapa pun digit uang yang mampir di mejanya. Sang jaksa akan tetap membeberkan fakta yang ada di depan hakim dan mengembalikan uang tersebut pada sang pemilik. Kalau terdakwa pantas dijatuhi hukuman mati, maka ia pun akan berusaha mati-matian mematahkan dalih pengacara hingga hakim mengetuk palu.
"Jaksa Cakra ...."
Seorang wanita paruh baya memegangi lengan Cakra kuat-kuat. Wanita tersebut adalah ibu dari Melati Puspasari. Wajahnya berlinang air mata dan ia paham. Melati Puspasari merupakan anak tunggal sekaligus tulang punggung keluarga yang mati mengenaskan setelah hilang selama seminggu.
"Tolong ... tolong tegakkan keadilan untuk putri saya."
Melati Puspasari dan wanita tersebut benar-benar mengingatkan Cakra pada ibu serta adik kembarnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jikalau keluarganya yang ada di posisi berat seperti ini.
"Bu, hakim yang sesungguhnya adalah pemilik semesta." Cakra memegang balik lengan wanita itu dengan lembut. "Saya hanya menjalankan tugas dan berusaha sebaik mungkin."
Cakra berkata seperti itu karena ia pun sadar batas daya upayanya sebagai manusia. Ruang sidang bagi orang awam mungkin hanya terlihat sebatas ruangan. Akan tetapi, bagi orang-orang sepertinya dan wanita ini, ruang sidang di pengadilan merupakan tempat pertaruhan paling mengerikan.
"Jaksa Cakra, saya tahu Anda adalah orang baik. Karena itu saya mohon ... saya mohon."
Cakra hendak mengatakan hal yang dapat menenangkan wanita itu, tetapi Pak Adam dan Rudy menahannya. Sejak tadi mereka memang ada di belakangnya.
"Maaf, Ibu ... Jaksa Cakra harus segera memasuki ruang sidang. Saya harap Ibu mengerti," ucap Rudy yang melepaskan tangan wanita itu dari lengan Cakra.
"Pak, saya ingin bicara sebentar lagi dengan Jaksa Cakra. Saya mohon ...," katanya sambil menangis.
Langkah Cakra terhenti karena wanita itu memanggil-manggil namanya. Namun, Pak Adam menepuk sebelah bahunya supaya mereka tetap melanjutkan perjalanan ke ruang sidang. Ya, inilah profesi Cakra sebagai jaksa penuntut umum. Ia tidak berpihak kepada siapa pun, ia hanya berpihak pada hukum dan pemilik semesta.
***
"Kamu habis nangis?"
Cakra baru saja kembali ke ruangan karena jam istirahat berakhir. Video call Dea siang ini cukup mengejutkan. Adiknya yang satu itu jarang melakukan video call dibanding Dila. Benar saja, gadis yang tengah memakai headset itu sedang berada di kelas kosong dan matanya sembap.
"Judul Dea ditolak lagi, Bang ...," keluh Dea. Gadis itu menempelkan dagu di meja. Wajahnya memenuhi layar ponsel Cakra.
"Dea sabar ... semua, kan, butuh proses. Ayo semangat!" seru Cakra sembari mengepalkan tangan.
"Temen-temen udah sempro, Dea masih aja ngurusin judul .... Dea nggak bisa kayak Abang sama Kak Dila yang cuma tiga setengah tahun."
"Nggak ada yang minta kamu harus kayak Abang atau Kak Dila."
Cakra sebenarnya ingin memeluk Dea detik ini, karena mungkin ini adalah titik terendah sang adik. Tentunya kepergian ayah mereka pun pernah menjadi titik paling berat.
"Semua orang punya waktunya masing-masing, Dea jangan takut," kata Cakra lagi.
"Tapi Dea ngerepotin Abang terus ...."
Sehabis itu tangis adiknya benar-benar pecah. Cakra tahu, Dea menyinggung biaya pendidikannya secara tidak langsung. Gadis itu pasti mengkhawatirkan betapa beratnya beban sang abang di tanah perantauan, padahal ia sendiri tak pernah menganggap itu sebagai sebuah beban hidup. Waktu pun membuktikan kalau ia berhasil melalui semuanya dengan baik.
"Dea Yerika, dengerin Abang. Dea nggak pernah ngerepotin Abang. Dea nggak perlu mikirin hal-hal lain, cukup fokus aja sama apa yang Dea jalani. Jangan takut jadi orang yang paling tertinggal selama kamu berusaha. Tugas Abang cuma menuntun Dea sampai bisa berjalan sendiri, tanpa perlu lagi Abang pegangin. Abang pasti bahagia selama Dea bahagia."
Bukannya berhenti menangis, gadis itu malah semakin sesenggukan. "Dea kangen Abang ... kangen disuapin Abang kalau sakit."
"Abang juga kangen Dea." Cakra tersenyum lebar. "Kangen jewer kupingnya kalau malas salat Subuh."
Tawa mereka saling bersambut. Adik kembarnya kehilangan figur seorang ayah di usia yang masih dini. Itu sebabnya Cakra selalu berusaha keras mengisi kekosongan ruang yang Ayah tinggalkan. Entah dari sisi tiang perekonomian keluarga, maupun kasih sayang terhadap adik-adiknya. Sekalipun, sekali lagi, sosok seorang ayah memang tak akan terganti.
"Udah terobati belum kangennya?" tanya Cakra. Gadis itu mengangguk. Bibirnya melengkungkan senyum manis. "Abang kerja lagi, ya?"
"Iya, love you more, Abang," kata Dea yang memamerkan tanda hati dengan jari.
"Love you more too."
Baru mau mulai membaca berkas perkara, ponselnya yang lain bergetar. Cakra menarik laci meja kerja. Ponsel tersebut merupakan inventaris kantor yang dihibahkan kepada beberapa pegawai teladan. Isi kontaknya pun sebatas orang-orang kantor dan tim kepolisian.
0812xxxxxxxx:
Halo, Mas Dipta. Saya Bunga Kenanga dari When The Flowers Talk. Selamat! Mas Dipta memenangkan undian tiket perjalanan ke Gunung Bromo :)
Mohon kirimkan foto KTP-nya karena kami akan mengurus tiket keretanya.
Mungkin otak Cakra tiba-tiba bebal, karena ia harus membaca pesan itu sebanyak dua kali.
Maaf ya baru update. Soalnya real life lumayan padet. Udah gitu on going dua judul sekaligus tuh rada lama ganti bajunya dari Anggara ke Cakra hehe. See you in the next chap ❤️
Dea Yerika (Dea)
Joya Ardila (Dila)
Mantannya Kenanga. Mahasiswa UI semester 4.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top