13. Kepada Bunga
Sabtu pagi, bahkan terlalu pagi untuk menunggu florist Kenanga beroperasi. Terserah jika dunia mau mengecapnya sebagai pengagum rahasia paling gila atau penguntit mengerikan. Cakra tak akan repot-repot mengelak. Jauh di sudut hatinya yang hanya butiran debu karena tergilas bulldozer. Ia masih menyayangi Kenanga.
Apa yang pernah mereka lewati bukan sebatas lelucon, meskipun segala kerumitan berhasil mencekik dan pada akhirnya berhasil membunuh kata 'kita' di antara mereka berdua.
Cakra mengenakan masker serta topi hitam sampai menutupi mata. Ia pun mengantongi catatan kecil dan pulpen. Menemui Kenanga sebagai Cakrawala Pradipta kemungkinan akan berakhir sama seperti malam itu. Ia sama sekali tidak ingin menjadi alasan gadis itu menangis berulang kali.
"Selamat datang di When The Flowers Talk," sapa Kenanga begitu ia membuka pintu.
Detik pertama, Cakra membalas senyum gadis itu di balik masker. Detik kedua, ia bersyukur Kenanga benar-benar tak mengenalinya sama sekali. Ia menghampiri meja kasir, tempat di mana si pemilik toko masih menyunggingkan senyum. Kemudian ia mengeluarkan catatan kecil dari saku celana.
Maaf, Mbak. Saya tunawicara :D
Cakra menyodorkan catatan itu pada Kenanga.
"Oh ...." Raut wajah Kenanga berubah sendu dan entah kenapa malah terlihat merasa bersalah. "Ma-maaf, ya, Mas ... saya minta maaf ...."
Nggak apa-apa, Mbak. Santai :D
Saya mau beli seikat sunflower, ada?
Cakra menunduk dalam-dalam ketika Kenanga seperti berusaha melihat matanya.
"Ada, kok. Mau buket atau diikat pita aja?" tanya Kenanga dengan suara yang begitu riang. Entah sudah berapa lama Cakra tidak mendengarnya.
Mau sebelas tangkai, diikat aja pakai pita merah bisa, Mbak?
"Bisa, bisa." Kenanga tersenyum padanya lagi. "Tunggu sebentar, ya? Duduk aja di sini atau mau sambil baca buku? Bisa di sana." Gadis itu menunjuk pojok baca di ujung sana yang tersedia sofa berukuran sedang serta dua rak buku. "Eh, tapi nggak lama juga, kok. Tunggu sebentar, ya!"
Cakra mengangguk kemudian menduduki kursi tinggi di depan meja kasir. Percayalah, sebelum menggunakan ide konyol ini, ia mati-matian mengubah gaya tulisannya setara cakar ayam. Karena kalau tidak, kemungkinan Kenanga masih mengenali tulisannya. Gadis itu menghilang di antara rak-rak berisi berbagai macam bunga. Kini hanya terdengar suaranya yang mendendangkan "Payphone" milik Maroon 5. Cakra tahu tanpa perlu mendengar sebelah earphone gadis itu. Mereka sering menyanyikan lagu tersebut ketika naik motor berdua.
Sudah hampir 20 menit Kenanga belum juga kembali. Cakra berani menebak kalau gadis itu lupa meletakkan si bunga di sebelah mana. Salah satu kebiasaan jelek Kenanga. Ia akhirnya berjalan mencari gadis itu di antara rak-rak penuh bunga.
"Halo, Mbak Susi. Sunflower ditaro di mana, ya? Kenanga lupa banget, nih, ada yang mau beli huhuhu."
Cakra tersenyum kecil saat menemukan gadis itu berdiri di hadapan berbagai macam mawar. Sayangnya Kenanga yang hari ini mengenakan kemeja merah marun dan jins jauh lebih cantik dibanding bunga-bunga di sini.
"Ya, kalau Mbak Susi lupa, terus Kenanga tanya siapa?"
Masih dengan senyum kecil di balik masker hitam, Cakra mengedarkan pandangan. Hanya butuh semenit baginya untuk menemukan puluhan tangkai matahari di samping wadah berisi bunga lili. Tepat di bagian rak berwarna kuning paling atas. Florist Kenanga penuh dengan berbagai macam rak berwarna yang ditata untuk menyimpan bunga. Mungkin kalau semua bunga diletakkan di lantai, bagian jalan akan terlalu sempit. Ia lantas menghampiri Kenanga yang membelakanginya, menepuk pelan bahu gadis itu.
Kenanga meringis. "Maaf, saya kelamaan, ya, Mas? Ini ... saya tuh—"
Cakra menarik Kenanga menuju rak yang tadi ia lihat. Setelah sampai ia menunjuk ke arah atas.
"Ya ampun, ternyata di situ!" Kenanga menoleh padanya sambil meringis. "Hehehe ... saya ambil kursi dulu, ya?"
Sekali lagi, Cakra memberanikan diri menahan Kenanga. Gadis itu terpaku sejenak memperhatikan tangannya dalam genggaman Cakra. Kemudian mereka berpandangan sesaat, sebab ia harus segera beralih. Ia lantas menunjuk dirinya dan rak secara bergantian.
"Hehehe ... nggak apa-apa kok saya ambil kursi aja."
Kenanga buru-buru menuju meja kasir. Sementara Cakra dengan mudah meraih wadah berisi puluhan tangkai bunga matahari.
"Astaga, bisa-bisanya gue nggak becus jadi pedagang," ucap Kenanga lirih, tetapi masih dapat Cakra dengar. Ia meletakkan kursi dengan lunglai, lalu mendekatinya yang berjongkok mengambil tangkai bunga matahari. Gadis itu menyentuh sebelah bahunya.
"Mas," panggil Kenanga. "Duduk lagi aja, ya? Saya nggak enak kalau gini, nanti saya kasih diskon." Kenanga tersenyum serbasalah dan menurut Cakra itu lucu.
Karena tak ingin membuat Kenanga semakin menderita dengan rasa bersalah, Cakra mengangguk, lantas berjalan menuju meja kasir. Sembari menunggu, ia memperhatikan detail meja kasir Kenanga. Ada sebuah papan bertuliskan, kalau ulang tahun di tanggal 22 April boleh bawa seikat mawar gratis! Ia langsung berbalik dan menemukan gadis yang tersenyum lebar memandangi seikat bunga matahari. Tanggal itu merupakan hari ulang tahun mendiang Ibu Dian Cokroatmojo.
Dalam kebisuan palsu, ia bersyukur bisa melihat gadis itu lagi. Tentunya dengan kondisi tanpa perseteruan seperti malam itu. Kenanga sibuk merangkai buket begitu tiba di meja kasir. Cakra mengernyit karena hal itu. Ia buru-buru menulis dan menyodorkannya, karena sesungguhnya ia tak ingin membuat gadis itu repot.
Mbak, pakai pita aja.
Kenanga mendongak. "Nggak apa-apa, ini bonus buat Mas. Soalnya Mas pelanggan pertama pagi ini dan direpotin sama saya. Nggak apa-apa, kan? Pacarnya pasti suka kalau pakai buket gini. Soalnya cantik, lihat, deh." Gadis itu menunjukkan hasil rangkaiannya.
Cakra mengulas senyum kecil, kemudian menuliskan, Saya nggak punya pacar, Mbak :D
"Oh." Kenanga membuang muka sambil terpejam. Begitu mereka saling menatap lagi, gadis itu berkata, "Intinya ini bonus dari saya."
Makasih, ya, Mbak :D
"Sama-sama." Usai tersenyum lebar, gadis itu sibuk memasukkan transaksi lewat tablet. "Totalnya empat ratus empat puluh empat ribu. Saya diskon jadi tiga ratus ribu, ya, Mas."
Cakra menyodorkan catatannya lagi.
Diskonnya terlalu banyak. Mbak nggak rugi?
"Saya nggak kenal kata rugi, Mas," ucap Kenanga riang seraya menyerahkan sebuket bunga matahari padanya. "Soalnya florist ini baru beroperasi, jadi saya mau punya banyak pelanggan dulu. Oh, ya, kalau misalkan Mas punya kenalan yang lagi cari dekor bunga untuk pesta. Kami bisa banget bantu." Gadis itu menyodorkan kartu nama.
Bunga Kenanga
0812xxxxxxxx
[email protected]
When The Flowers Talk Jl. Sudirman No. 8
Tanpa butuh berpikir, Cakra mengantongi kartu nama berwarna biru muda itu. Ia menyerahkan lembaran uang pada Kenanga. Sejujurnya dirinya tak ingin memikirkan ini, tetapi tangan gadis itu masih selembut saat terakhir kali ia genggam.
Kalau nanti ada teman yang butuh jasa dekor. Saya hubungi, ya.
Gadis itu mengangguk penuh antusias. Dengan terpaksa, Cakra mengantongi lagi catatan kecil dan pulpennya. Mungkin ia akan berkunjung kemari sekitar dua atau tiga bulan lagi. Begitu berbalik seraya membawa sebuket bunga matahari yang entah akan ia berikan pada siapa, Kenanga memanggilnya.
"Maaf, boleh tahu namanya? Karena Mas belanja dengan total di atas dua ratus ribu. Sekalian sama nomor telepon." Kenanga menunjuk wadah kaca berisi beberapa kertas. "Saya mau masukkin nama Mas di sini. Doorprize kecil-kecilan, sih."
Laki-laki itu mengangguk, lalu meraih kertas kecil yang Kenanga sodorkan. Ia berpikir secepat mungkin dan sayangnya tak ada ide bagus. Kalau setelah ini kebohongannya terbongkar, maka tak mengapa. Cakra senang bisa melihat senyum gadis itu lagi. Ia menyerahkan kertas tersebut tanpa secuil keraguan.
Kenanga membaca sebentar, lantas menggulungnya. "Oke, makasih, ya, Mas Dipta."
Karena sudah lelah mengangguk, Cakra mengacungkan ibu jarinya sambil mengembuskan napas lega.
"Oh, ya, maaf sebelumnya ...." Kenanga melirik ke kanan dan kiri, sedangkan ia menunggu kelanjutannya. "Itu ... mata Mas Dipta nggak sakit hampir ketutup topi?"
Kali ini Cakra menggeleng. Ia kembali mengeluarkan catatan kecil dan pulpen.
Mata saya nggak sesempurna kebanyakan orang, Mbak. Banyak yang langsung berpaling kalau ngelihat saya :D
Gadis itu mengangguk-angguk, lantas mendongak. Mereka bertatapan sebentar, karena Cakra lagi-lagi harus berpaling.
"Nggak ada yang sempurna di dunia ini, kok, termasuk saya," kata Kenanga. "Mas Dipta pakai kacamata aja, nggak usah mikirin pendapat orang. Dahulukan kenyamanan kita, bukan apa yang mau orang lihat dari kita."
Mereka terdiam cukup lama sampai Kenanga menepuk jidatnya.
"Maaf, kalau saya terkesan ikut campur atau menggurui." Kenanga menyatukan kedua tangan di dahi sambil terpejam. "Saya cuma mau ngasih pandangan aja."
Untung saja Cakra bisa menahan tawa. Harusnya di sini ia yang merasa paling berdosa karena melakukan banyak kebohongan demi menyembunyikan identitas. Setelah mengenyahkan sejenak rasa berdosa yang akhirnya muncul juga, ia menyodorkan lagi catatan kecilnya.
Nggak apa-apa, Mbak. Tadinya saya mau pakai kacamata hitam, tapi takut dikira tukang pijat. Makanya saya begini, Mbak pasti nyangka saya cowok keren :D
Kenanga tertawa kecil usai membacanya. "Keren, kok, keren. Beneran." Kemudian gadis itu mengangkat kepala, menatapnya penuh kelembutan.
Hal itu langsung membuat Cakra bertanya-tanya. Apa gadis ini selalu bersikap seperti ini pada semua pelanggannya tanpa pengecualian? Ia langsung melirik keseluruhan jemari Kenanga dan bernapas lega karena masih kosong. Ah, tetapi kenapa juga ia jadi bernapas lega karena tidak menemukan cincin?
Sadar, sadar. Lo cuma kenangan yang nggak layak dikenang, Cakra.
Cakra tiba-tiba mengingat laki-laki berkacamata yang pernah menyapanya di Indomaret dan mengaku sebagai sopir Kenanga. Laki-laki itu juga yang membukakan pintu mobil untuk gadis itu sewaktu mereka berdua berseteru. Mungkin saja, ya, ada banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Mereka hanyalah kisah lawas tiga tahun lalu. Setelah mengubur keinginan mendengar suara gadis itu lebih lama, ia menyerahkan catatan kecilnya lagi.
Saya pulang, ya, Mbak. Makasih atas diskonnya. Semoga pelanggan Mbak semakin banyak :D
"Makasih juga udah mampir ke sini dan nemenin Kenanga ngobrol." Cakra memberi anggukan dan melangkah menjauh. "Hati-hati di jalan, ya, Mas Dipta!"
Atas nama kebodohan terparah, pada akhirnya Kenanga justru menerima kehadirannya sebagai orang lain. Ia masih mendengar seruan terakhir gadis itu, tetapi ia memilih tidak berbalik dan benar-benar meninggalkan When The Flowers Talk.
Mungkin ini adalah kali pertama dan terakhir.
Komen NEXT di sini, barang kali ada yang mau absen 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top