10. Kepada Malam

Laki-laki berkemeja putih non-formal itu bernama Cakrawala. Hati dan pikirannya benar-benar seluas hamparan langit. Sementara gadis bergaun biru muda itu terlahir dengan nama Bunga Kenanga. Dia berdarah biru dan memang benar didaulat sebagai bunga kesayangan keluarga keraton Cokroatmojo--setelah terjun ke dalam lautan darah Atmojo Group. Tadinya mereka hidup berdampingan sebagai langit yang menaungi, serta bunga yang menghiasi bumi. Akan tetapi, hal berharga yang sama-sama mereka jaga ternyata retak, hancur binasa. 

Keheningan dan malam boleh jadi saling menyapa, mulut mereka justru saling terkunci. Dulu hubungan mereka bak samudra tak bertepi, tetapi kemudian kelelahan mengarungi satu sama lain. Hampir seluruh jalanan ibu kota pernah mereka jelajahi, termasuk jalan ini. Namun, sayangnya tak bisa dijadikan dongeng pengantar tidur. Sebab Cakra dan Kenanga tidak memiliki lembaran akhir yang bahagia. Mereka justru berakhir tanpa saling mengakhiri. 

"Berhenti di sini," pinta Kenanga.

"Ini tengah jalan, rumah kamu masih jauh."

"Berhenti di sini."

Cakra menghela napas. "Kenanga--"

"Berhenti di sini kubilang!"

Pandangan mereka terpaut dan Kenanga benci situasi ini. Detik demi detik, tak ada sepatah kata lagi yang terlontar. Cakra memutus kontak lebih dulu. Bukan, bukan karena ia tak ingin memandang mata Kenanga yang berkaca-kaca. Akan tetapi, jalanan di depan sana juga butuh perhatian. Pada akhirnya mobil Cakra menepi dengan cara paling mengerikan disertai rem mendadak. Laki-laki itu menyandarkan kepala, menatap kosong langit-langit mobil.

"Buka pintunya," pinta Kenanga.

Cakra beralih pada gadis yang menatap kosong jalanan di depan mereka. Kotak tisu yang sempat ia tawarkan tak terjamah sama sekali. "Masalahnya kamu menghilang, solusinya kita harus bicara."

"Tolong buka pintunya," kata gadis itu, sekali lagi tanpa sudi menatap Cakra.

"Enggak."

Kenanga melempar ponsel ke tas, lalu menyandarkan kepala. Penolakan Cakra dan Dio yang sulit dihubungi membuatnya mengembuskan napas frustrasi. Ia menutup wajah dengan kedua tangan.

"Kamu mau menjelaskan masalah yang udah berkarat bertahun-tahun?" Kenanga kini memberanikan diri berpaling dari jalanan. "Buat apa, Cakra? Kamu pikir aku akan berubah pikiran?" 

"Kamu bisa ya menganggap apa yang kemarin kita punya bukan apa-apa."

"Kamu sendiri apa Cakra???" 

Sekarang Kenanga tersiksa dengan suaranya sendiri. Ia kembali menatap jalanan.

"Pernah enggak kamu kasih aku kesempatan?" tanya Cakra.

Kenanga lagi-lagi membisu. Ia menggigit bibir kuat-kuat, matanya terpejam. Kenanga tidak pernah mengenal apa itu kesempatan kedua, tidak sama sekali.

"Kamu memutuskan segalanya secara sepihak. Padahal hubungan itu kita berdua yang menjalani. Pernah enggak aku bilang putus?"

"Buka pintunya, Cakra."

Alih-alih mengabulkan permintaan Kenanga, ia memilih menyandarkan kepala, memandangi lampu jalanan. "Jawab Kenanga," pintanya lirih.

"Buka pintunya, Cakra, please ...."

Di atas segala keegoisan, kata please milik Kenanga masih saja bagaikan sebuah mantra. Tidak sampai setengah detik Cakra membuka kunci, gadis itu pergi meninggalkan pita di kursi penumpang. Ia pun keluar mobil secepat mungkin, lantas bernapas lega karena melihat Kenanga memunggunginya, tengah menelpon seseorang.

"Halo, Ko." Kenanga menyebutkan jalan di mana mereka menepi. "Enggak usah banyak tanya!"

"Kenanga, aku bukan orang jahat yang harus kamu hindari. Aku cuma mau bicara," kata Cakra tepat setelah Kenanga memasukkan ponsel ke tas.

Gadis itu tak bersuara dan masih membelakanginya. Namun, Cakra bisa memastikan kalau Kenanga masih mendengarkan meski setengah hati. Angin malam berembus kasar, sedangkan langit tampak mendung. Cakra ingin memberikan jaket di mobil, tetapi ia takut Kenanga pergi.

"Tiga tahun lalu, aku enggak tahu kenapa seat penerbangan ke London bisa penuh di semua maskapai. Tapi bulan depannya aku benar-benar datang, kamu pasti tahu."

Kenanga ingat hari di mana Cakra berdiri di depan gedung apartemen lamanya, tengah mengutak-atik ponsel. Tangannya gemetaran, kemudian sesekali laki-laki itu batuk-batuk. Saat itu salju pertama turun. Sementara ia hanya memperhatikan dari kejauhan di dalam sebuah mobil. Bagaimana ia bisa setega itu?Karena Cakra lebih dulu melakukannya. Namun, seperti air terjun yang deras. Kini air matanya lolos, bahkan sebelum sempat terbendung.

"Aku dapat SP dari kejari Semarang karena melewati batas cuti. Kamu tahu hidup aku enggak mudah, Kenanga. Aku punya ibu, Dila, Dea. Harapan dan masa depan mereka ada di pundakku, tapi saat itu aku benar-benar menyingkirkan mereka." Cakra menarik napas. "Karena kamu juga berharga."

Terserah Kenanga akan menganggap pengakuan terakhirnya sebagai bualan atau apapun. Cakra hanya ingin mengutarakan hal yang belum sempat ia utarakan tiga tahun lalu. Cakra tak akan memaksa, gadis itu mendengarnya saja sudah cukup.

Kenanga berbalik, tidak peduli jika Cakra menganggap dirinya sangat menyedihkan. "Berarti keputusan aku benar 'kan? Kita kembali ke titik awal. Kamu dengan hidup kamu, aku dengan hidupku."

"Aku beneran kayak sampah di mata kamu ya?" tanya Cakra tanpa ekspresi.

"Bukannya kamu yang bikin segalanya jadi kayak sampah?" Kenanga mengeratkan pegangannya pada tas tangan.

Cakra menunggu apalagi yang hendak gadis itu katakan. Karena ia akan menjelaskan semuanya secara detail. Namun, atas nama waktu yang bergulir, tidak ada yang menjawab tanya mereka berdua. Entah kenapa trotoar sepi ini seakan memahami kalau mereka memang harus bicara.

Baru saja Cakra maju selangkah mendekati gadis itu. Sebuah mobil menepi secara tidak manusiawi. Hitungan satu detik, kedua pintu bagian depan dibanting secara bersamaan. Dua laki-laki berkemeja hitam polos berdiri di sisi kiri dan kanan Kenanga, memandangnya penuh tanda tanya.

"Kenanga," panggil Cakra karena gadis itu langsung berbalik meninggalkannya.

"Udah, Bro, jangan dipaksa," kata laki-laki yang menghalangi Cakra. Sementara laki-laki yang berkacamata membukakan pintu untuk Kenanga. "Kalau lo paksa, adik gue makin tersiksa. Paham?"

"Kenanga cuma punya satu Kakak, namanya Rendra. Gue kenal."

"Ya udah, kenalin gue Juniko." Laki-laki itu menahan sebelah bahu Cakra sambil berdecak. "Udah enggak usah dikejar lagi, percuma. Ini bukan film India."

***

"Mas, ke gereja sebentar ya?" pinta Kenanga pada Dio yang mengendalikan kemudi.

"Iya."

Kenanga sedikit bersyukur karena Juniko tidak sebusuk yang selama ini terlihat. Laki-laki itu masih mau mengangkat telepon, menjemputnya. Tidak tahu lagi bagaimana jadinya kalau ia menghabiskan waktu lebih lama di hadapan Cakra. Kenanga punya beberapa teman SMA. Namun, ia lebih percaya pada Juniko dibanding orang lain yang katanya mengaku sebagai teman. Ya, mau bagaimana lagi? Orang-orang seperti mereka memang sulit memercayai seorang teman.

"Omong-omong, tadi mantan lo yang selama ini dirahasiakan ya, Ke?"

Padahal Kenanga baru saja sedikit memuji laki-laki itu. Ia memilih menutup mulut rapat-rapat.

"Ah, diamnya cewek berarti sangat iya."

"Jangan diganggu, Ko. Biar itu jadi urusan Kenanga selama mantannya masih mengejar di tahap aman," sahut Dio.

Juniko tertawa tanpa merasa berdosa. Kenanga rasanya ingin menampar laki-laki itu dengan heels.

"Bener juga sih, Mas. Kita sebagai laki-laki sangat paham ya bagaimana jungkir baliknya mengejar perempuan. Kadang-kadang malah suka dapat zonk, karena ternyata perempuan ada yang lebih berengsek dari laki-laki."

"Enggak usah curhat. Enggak usah sok menderita, Niko. Gue kesel denger suara lo," balas Kenanga.

"Eh, ada Kenanga. Abang pikir Eneng masih mode getar." Juniko memainkan alis ketika Kenanga memberikan tatapan sengit. "Udah sih, Ke. Enggak usah sok bikin takut. Pipi gendut lo tuh enggak bisa menutupi."

"Mas, jangan lupa siapin tali tambang," ujar Kenanga pada Dio. "Aku yakin Niko belum buka sosmed anak-anak old money. Anye 'kan mau tunangan tuh sama anak Prana Corporation."

"Masa? Gue pikir kerja sama antar perusahaan doang." Juniko segera mengutak-atik ponsel, lantas memegangi sebelah dada. Ia meringis sambil berkata, "Aduh, ginjal gue sakit banget nih."

"Mudah-mudahan besok mati ya, Ko. Gue pesenin peti emas khusus buat lo."

Kini giliran Kenanga yang memainkan alis usai menengok kursi penumpang. Setidaknya dengan menimpali Juniko ia bisa menutup sedikit keretakan yang tak kasat mata. Kenanga pun gadis biasa. Kalau ia bisa tertawa seharian, maka menangis semalaman pun bisa.

"Magadir banget, Kenanga. Udah ditolong juga. Tahu gitu gue pura-pura enggak tahu lo nelepon!"

Mobil yang mereka tumpangi memasuki pelataran sebuah gereja. Kenanga selalu melarikan diri ke sini tiap dilanda kekacauan. Begitu menginjakkan kaki di atas con block, angin menerpa hingga rambut menutupi sebagian wajahnya. Kenanga terpaku sesaat memandangi Masjid di seberang sana. Mungkin ia dan Cakra seperti dua tempat ibadah yang berseberangan ini. Bertemu di sebuah persimpangan, dapat berdampingan, tapi bukan berarti satu.

"Pernah ada yang bilang, this pain will never ends."

Suara Dio membuatnya beralih. Laki-laki itu mendorong kacamata yang bertengger di hidung, kemudian menyelipkan rosario di tangannya. "But life must go on."

"Pasti Kak Caca nih yang bilang."

Laki-laki itu hanya tersenyum tipis sebelum meninggalkannya bersama embusan angin.

***

*Magadir: manusia enggak tahu diri
*Rosario

Have a great day ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top