Prolog

Josh

Aku selalu bisa menemukan Fleur.

Tidak peduli kami sedang berjauhan di tengah-tengah keramaian. Tidak peduli kami sudah tidak bertemu sepuluh tahun. Tidak peduli tadinya kukira dia ada di Surabaya.

Padahal tidak ada yang istimewa dalam diri Fleur. Oh jelas, dia cantik, dan cantiknya melebihi rata-rata. Rambutnya hitam dan panjang terurai, dengan kulit putih dan halus, mata lebar penuh selidik, dan bibir yang sering berhias senyum bernada sinis namun seksi. Selera pakaian Fleur juga sangat bagus. Dia tidak pernah mengenakan pakaian yang heboh-heboh amat, tapi semuanya berkesan classy sekaligus seksi (ah ya, aku tahu aku sudah mengucapkan dua kata seksi untuk menggambarkan Fleur, tapi itulah kata yang paling tepat untuknya—seksi). Seperti hari ini, dia mengenakan kemeja putih yang kancingnya terbuka sampai di depan dada, memamerkan kulit dada yang putih dan kamisol berenda hitam di baliknya. Berani taruhan, bukan cuma aku pria yang melirik-lirik daerah berenda itu (kupergoki beberapa cowok malah memelototi dengan terang-terangan, dasar bajingan!). Mana wanita itu sedang duduk sendirian lagi, merenungi cangkir kopinya dengan jari menjepit rokok. Jelas-jelas semuanya meneriakkan: single banget.

Tapi betapa cantik dan seksinya Fleur, sudah banyak wanita seperti itu dalam hidupku. Aku tidak menyangkal, aku memang rada womanizer. Yah, apa yang kalian harapkan dari manajer IT dari perusahaan nasional terkemuka yang sudah punya segalanya kecuali istri? Kasihan kan gaji besar yang kudapatkan kalau dibiarkan menganggur. Mendingan kugunakan untuk mentraktir wanita-wanita cantik dan kesepian yang sepertinya begitu banyak di Jakarta. Mana tampangku lumayan lagi—ralat, bukan cuma lumayan, tapi ganteng dan charming (sori, aku tahu ini kedengaran narsis, tapi tidak sama sekali kok. Aku hanya menyatakan kebenaran semata). Bukan salahku kalau mereka jatuh cinta padaku dan mengiraku ingin menikahi mereka. Amit-amit. Buatku, kata istri itu pasti ada dalam KBBI di bagian penjelasan kata sipir penjara.

Tolong jangan hakimi aku. Dari pengalaman sendiri, aku tahu jatuh cinta tidak seindah bualan film atau novel romantis. Menyakitkan, saat kita memberikan seluruh hati kita dan dipatahkan tanpa belas kasihan. Tapi aku tidak akan mengambil kesimpulan dari pengalamanku seorang diri. Kan bisa saja aku memang sial. Masalahnya, aku juga sudah melihat terlalu banyak pernikahan yang berlangsung amat sangat tak bahagia. Dari sekian banyak temanku yang sudah menikah (yang sudah teramat sangat banyak berhubung usiaku sudah lebih dari tiga puluh lima tahun), kurasa hanya ada tiga atau empat yang benar-benar bahagia. Sisanya berpura-pura bahagia, sedang bahagia karena selingkuh, jadi workaholik atau alkoholik, atau sedang konseling dengan psikiater setelah percobaan bunuh diri beberapa kali.

Yah, lupakan dulu ocehanku tentang pendirianku soal istri dan pernikahan. Intinya, aku tidak pernah habis mengerti kenapa aku tidak pernah bisa melupakan Fleur. Apa karena dia pacar serius pertamaku? Atau karena dia wanita yang merenggut keperjakaanku? Ataukah karena dia satu-satunya wanita yang pernah membuatku menangis saat putus? Ah, sial. Belum apa-apa aku sudah menceritakan terlalu banyak. Kata Jay, teman dekatku, kadang aku memang TMI—Too Much Information—atau istilah lokalnya, ember banget. Tapi apalah gunanya teman dekat kalau bukan untuk diajak ngobrol sampai berbusa-busa? Bukan salahku kan kalau banyak informasi tak pantas yang kubeberkan saat pembicaraan lagi hot-hot-nya?

Sekarang pun, tanpa bisa menahan diri lagi, aku menerobos kerumunan, lalu duduk di depan Fleur. Sesaat kukira dia akan mencolokkan rokoknya ke mukaku, namun saat melihat siapa pria ganteng yang menyodorkan diri ini, dia terperangah.

"Josh?"

Ah, suaranya terdengar agak bergetar. Sepertinya dia masih cinta padaku juga. Aku berdeham. "Halo, Fleur."

Selama beberapa detik yang terasa sangat lama, Fleur hanya memandangiku saja. Namun aku bukan pemula dalam permainan pelotot-pelototan ini. Aku balas memandanginya, dengan sebelah tangan menopang daguku, sementara sebelah alisku terangkat dan bibirku menyeringai lebar. "Lo masih sama cantiknya seperti sepuluh tahun lalu."

"Dan lo masih sama gombalnya."

"Apa boleh buat, itu salah satu daya tarik gue kan."

"Sekaligus hal yang bikin lo nggak bisa dipercaya sama sekali."

Wanita ini benar-benar menarik. Pandai bersilat lidah, tapi dengan cara sedemikian rupa sehingga aku tak merasa tersinggung karenanya. Senyum miring yang sinis namun seksi, dengan mata berkedip sesekali, membuatku sadar betapa lentik bulu matanya, dan suara yang agak serak-serak basah. Semua pria pasti senang diajak berdebat dengan wanita yang begitu cerdas sekaligus menggoda.

"Ah Fleur, jangan bilang lo dulu nggak pernah cinta sama gue," kataku, kali ini menopang daguku dengan kedua tangan seraya memasang tampang lebih serius. "Gimana kabar lo sekarang? Udah punya pacar, tunangan, atau barangkali suami yang sedang mengambil ancang-ancang buat menendang gue dari kursi ini?"

"Jangan sok nanya, Josh. Lo tau gue masih single," Fleur tertawa kecil seraya mengangkat jari manisnya yang polos. "Kalo gue udah tunangan atau married, mana mungkin lo berani menampakkan muka lo di depan gue?"

Yah, sejujurnya, aku memang sudah sempat mengerling ke jari manisnya itu, dan lega banget karena belum ada cincin yang terpasang di situ. "Ah, tapi itu kan sesuatu yang sulit dipercaya, Fleur. Lo cantik, seksi, cerdas, dan menantang. Belum lagi lo juga paling jago nyari jodoh yang cocok, sampe-sampe akhirnya lo sempet diklaim sebagai mak comblang tingkat dewa? Soalnya, pasangan yang lo jodohin selalu awet pula! Inget nggak sama si Budi dan Sanny? Juga Ronal dan Pipit?"

"Tentu gue inget semua orang yang jadian berkat gue," sahut Fleur. "Tapi pinter ngejodohin nggak berarti gue jago nyari jodoh buat diri gue juga. Semuanya kan kembali pada nasib masing-masing. Kebetulan, gue memang perantara yang bagus."

"Memang bakat jadi biro jodoh," tawaku. "Eh, ngomong-ngomong, sekarang lo kerja apa? Kok bisa tiba-tiba di Jakarta? Gue kira lo masih di Surabaya."

"Nggak lah." Senyum Fleur terlihat agak aneh. Sepertinya rada sedih. "Gue udah lama pergi dari Surabaya kok. Setelah melanglang buana ke sana kemari, sekarang gue bergabung dengan jutaan pengangguran di Jakarta deh."

"Cewek dengan penampilan dan kemampuan kayak elo, pasti banyak yang mau deh."

"Memang sih, cuma gue yang nggak mau." Kini giliran Fleur yang tertawa dengan suara seraknya yang khas. "Gue udah capek kerja kantoran, Josh. Gue males diperintah-perintah bos yang belum tentu lebih jago dari gue, gue sebel dengan gaji yang nggak seberapa, gue eneg harus bersaing dengan rekan-rekan dalam hal menjilat atasan. Sekarang gue lagi mikir kepingin buka usaha sendiri aja. Cuma belum tau nih, usaha apa yang cocok sama gue dan tabungan gue yang miris."

"Yang pasti biro jodoh," ucapku sambil tertawa. "Pasti laris manis, Fleur..."

Mendadak aku serasa mendapat pencerahan. Langit seolah-olah terbuka, melimpahiku dengan sinar keemasan dan memberiku penglihatan yang begitu jernih... Oke, aku memang lebay, tapi aku tidak berbohong. Aku benar-benar merasa mendapat pencerahan mengenai sesuatu yang sebenarnya sudah jelas tapi sebelumnya tak terlihat olehku. Hidupku yang begitu monoton dan membosankan, segala sesuatu begitu mudah dan membosankan, wanita-wanita yang silih berganti dan membosankan... Ya, aku bosan banget dengan hidupku! Aku ingin tantangan!

Dan membuka usaha sendiri—atau lebih tepat lagi, bersama Fleur—pasti akan sangat menantang.

"Fleur, kita usaha bareng aja!" cetusku. "Kita buka biro jodoh yuk!"

Fleur menatapku dengan penuh antisipasi. "Bukan usaha escort kan?"

"Amit-amit, masa ganteng-ganteng gini jadi germo?" tukasku mangkel, sementara Fleur tampak berusaha sekuat tenaga menahan senyum. "Nggak, kita bener-bener buka biro jodoh—atau kerennya, dating agency. Lo tau kan, sekarang ada beberapa website online dating lagi ngetren di dunia maya. Basi! Kita bikin yang lebih personal. Setiap klien harus ketemu sama kita, fotonya kita yang ambil, data-datanya seakurat mungkin. Pokoknya, nggak akan ada yang dibohongi deh. Ini berarti, ruang lingkup kita hanya bisa sekitar Jabodetabek. Tapi untuk permulaan, pastinya udah lumayan banget. Nanti-nanti baru kita perluas ke kota-kota besar lain."

Lagi-lagi Fleur hanya menatapku. "Lo kok semangat banget sih? Ini bukan usaha untuk pedekate sama gue lagi kan?"

"Yah, kerja sama cewek cantik dan seksi kayak elo sih bonus gede buat gue, Fleur." Oke, gombal mode on lagi. "Tapi gue memang serius. Gue udah lihat, banyak cewek dan cowok kesepian di Jakarta. Mereka butuh bantuan untuk dapetin jodoh mereka. Dan elo jago bener dalam hal itu, Fleur. Sementara gue bisa ngurus masalah teknis. Promosi, website, dan lainnya."

"Pasti butuh biaya gede, Josh."

"Gue punya tabungan yang lumayan," ucapku penuh tekad. "Gue yakin kita pasti bisa. Pertanyaannya, lo mau nggak?"

Dan seperti itulah, semuanya bermula.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top