When He Ask, "Where is Papa?"

Aku mengangkat kedua kaki melangkah dengan gontai. Rasanya kedua tungkaiku lemah tak bertenaga. Sepertinya, tulang belulang di kedua kakinya meloloskan diri dari balutan serabut otot yang mengikatnya. Aku berhenti sejenak di depan pagar rumah. Sejenak mendengarkan pekik riang di dalam sana. Menyerap setiap suara menjadi sumber tenaga cadangan.

Sekilas aku melihat bayangan bocah kecil di jendela yang berlari tak tentu arah sambil membawa pesawat mainan. Suara 'ngeeeng... ngeeengg' mengiringi petualangan bocah itu, kutebak saat ini dia sedang menjadi seorang pilot kapal luar angkasa. Menjelajahi galaksi dan bertemu dengan banyak alien menjadi karakter kesukaannya saat ini.

Setelah dirasa cukup 'mengisi energi', aku menuntun motor matik masuk ke halaman rumah. Sengaja, agar bocah ceria di dalam sana tidak mendengarku pulang. Dia akan berteriak histeris ketika aku datang mengejutkannya. Kubuka pintu perlahan, mengintip suasana rumah yang ehmm ... sungguh tidak bisa dibilang rapi.

Ah, abaikan tentang kondisi rumah yang mirip kapal pecah dengan mainan yang berhamburan di setiap sudutnya. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu, meskipun larut malam nanti aki harus bekerja ekstra demi merapikan kekacauan itu.

"Assalamualaikum!" sapaku pelan. Dan reaksi bocah itu persis seperti dugaanku.

Dia menoleh secepat kilat seraya berteriak, "Bunda pulaaang!" Dia berlari menyongsong kedatanganku dengan mata berbinar.

"Wa'alaikumsalam, Bunda!" jawabnya membalas salamku tadi. Dengan gerakan asal, dia mencium tanganku dan buru-buru memeluk pinggangku.

Saat yang paling membahagiakan bagiku. Ketika ada seseorang yang menyambut kedatanganku dengan suka cita. Memelukku dengan kerinduan yang seakan sudah bertahun lamanya tidak bertemu. Dia, lelakiku. Lelaki yang harus kubimbing agar kelak bisa menarikku ke surga bersamanya.

Aku berjongkok untuk membalas pelukannya. Tak bosan rasanya untuk menciumi pipi tembamnya. Aroma tubuhnya begitu aku sukai, wangi minyak telon yang khas dan bercampur dengan keringat. Sangat khas anak kecil.

"Rama udah makan?" tanyaku.

Rama menggelengkan kepala sambil mengeratkan pelukannya di leherku. Membenamkan wajahnya di antara jilbab maroon yang kukenakan.

"Udah ibu tawarin dari tadi nggak mau, Neng. Pengin sama bunda katanya." Seorang ibu paruh baya muncul dari arah dapur. Ujung jilbabnya basah, mungkin beliau habis mencuci piring dan cipratan airnya mengenai jilbab yang dikenakannya.

Beliau adalah Bu Juriah, wanita yang membantuku menjaga Rama saat aku bekerja. Bu Juriah seorang wanita yang baik. Dia tak segan menolongku saat aku butuh bantuan. Di saat orang lain mencemooh, Bu Juriah datang dengan tangan terbuka untuk menguatkanku.

Hmhm, menjadi seorang janda memang tidak mudah. Apalagi, sejak pertama kali pindah ke lingkungan perumahan ini, aku membawa Rama yang masih bayi. Sendirian tanpa suami. Gosip pun datang silih berganti. Banyak yang menuduhku wanita simpanan dan Rama adalah anak hasil hubungan gelap.

Gosip semakin gencar ketika Bara sering datang ke rumah. Bahkan, ada pula yang terang-terangan menyindir statusku yang tidak jelas. Katanya, "Mbak, itu yang sering datang ke sini, bapaknya anak itu, ya?"

Ada lagi yang berbisik-bisik mengatakan, "Janda gatel, tiap hari didatengin cowok."

Atau, "fuuihh ... kepala aja dijilbabin, kelakuan kayak nggak tahu adab."

Tahu rasanya seperti apa?

Ratusan, bahkan ribuan peluru panas seakan berlomba menembus tubuhku. Menghujam tajam hingga mengoyak raga. Tepat saat aku memilih pergi, Bu Juriah datang mengulurkan tangan padaku. Bu Juriah seperti malaikat pengganti untukku. Dia yang mendampingiku dan menguatkan kaki ini agar selalu selalu tegak lurus melangkah ke depan.

"Rama mau apa?" tanyaku pada Rama yang semakin mengeratkan pelukannya.

Tidak biasanya. Ada apa ini?

"Rama makan dulu, ya," ujarku lagi padanya. Kepalanya menggeleng, terasa di pundakku.

"Kenapa?" Lagi-lagi Rama hanya menggeleng sambil memelukku.

Aku menatap Bu Juriah yang berdiri tak jauh dari kami. Bu Juriah juga menggeleng, tak paham dengan sikap Rama yang tiba-tiba merajuk tak jelas begini.

"Makan dulu, yuk. Bunda lapeer!" ucapku dengan nada memelas dibuat-buat.

Rama melepaskan pelukannya dan berjalan ke arah dapur. Tetap dengan sikap diamnya. Padahal beberapa menit yang lalu, pekikan riangnya masih menggema, lalu kenapa tiba-tiba sikapnya berubah begini?

"Mainannya biar nanti aku beresin, Bu. Kita makan dulu aja, yuk!" ajakku pada Bu Juriah yang berjongkok memunguti mainan Rama.

"Ibu udah makan tadi, nggak apa biar ibu beresin ini. Neng pasti capek pulang kerja." Bu Juriah selalu saja begitu.

Tubuhku memang lelah, jadi untuk kali ini kubiarkan saja Bu Juriah dengan keinginannya. Aku beranjak ke dapur, membuka kulkas dan mengeluarkan ayam ungkeb bumbu kuning yang kubuat tadi pagi. Rama duduk di kursi makan, kepalanya dia taruh di atas meja dengan wajah cemberut.

Hei, hei, ada apa gerangan? Apa yang membuatnya sampai menekuk wajah begitu?

Selesai menggoreng ayam, kusajikan untuk Rama. Bu Juriah sudah pulang, lepas menyelesaikan pekerjaannya beliau pamit. Dan, tinggalah kami berdua. Waktu berdua seperti yang selalu kunanti.

Mataku tak lepas memperhatikan Rama. Bocah itu melahap makannya dengan enggan. Membuka mulut seadanya dengan kepala tertunduk. Sesekali matanya melirik ke arahku, memandang ragu. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

"Rama kenapa, sih? Kok dari tadi bunda perhatiin cemberut terus. Marah sama bunda?" tanyaku saat mengantar Rama tidur.

Rama menggeleng sambil menarik selimutnya. Tatapan matanya seakan ingin mengutarakan sesuatu, tapi ragu untuk menyampaikannya padaku. Kuelus keningnya dengan lembut, memposisikan diri setengah berbaring di sampingnya.

Kutanya sekali lagi, "Rama kenapa? Cerita dong sama bunda," ujarku lembut.

"Nggh ... Bunda, boleh Rama minta sesuatu?"

"Iya, Rama mau apa?"

Rama mendekat, menyembunyikan wajahnya di dadaku. Takut kalau aku akan marah pada permintaannya. Dengan suara yang tidak jelas dia berkata, "Rama pengen sakit."

"Loh, kok pengen sakit?" Aku menjauhkan bahu Rama, agar bisa melihat wajahnya.

Rama mendongak, "biar bisa ketemu papa."

Aku menahan napas mendengar permintaannya. Dadaku mendadak penuh dengan hujaman panah tak kasat mata. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu?

Entah kenapa Rama selalu menyebut sosok ayahnya dengan papa. Mungkin mengikuti teman-temannya yang mayoritas memanggil ayah mereka dengan papa. Entahlah.

"Tadi, di sekolah Raisa cerita. Katanya, waktu kemarin dia sakit papanya datang bawa boneka beruang. Bonekanya gedeee banget, Bunda!" lanjutnya dengan antusias. Merentangkan kedua tangan membentuk lingkaran besar untuk menyepertikan sebesar apa boneka yang miliki Raisa.

"Rama mau boneka beruang?"

Rama menggeleng keras, "Rama pengen ketemu papa." ulangnya lagi. Kali ini dia mendekapku, tatapan matanya membuatku tak bisa berkata.

Saat-saat seperti selalu membuatku harus tahan untuk tidak menitikkan air mata. Aku tahu, betapa inginnya Rama memiliki seorang ayah seperti teman seusianya. Aku juga tahu, kesedihan seperti apa yang dia rasakan ketika melihat teman-teman memiliki orangtua lengkap. Ada ayah ada bunda.

"Kapan papa datang, Bunda?" tanyanya.

Aku hanya bisa tersenyum sambil mengusap keningnya. Sungguh, perih rasanya hati ini menahan sakit. Penuh sesak dengan rasa bersalah yang mendesak rongga dada.

"Di mana papa? Kok nggak datang-datang nemuin Rama?" tanyanya lagi yang tak kunjung kujawab.

Mau kujawab apa?

Bahkan, aku pun tidak tahu keberadaan ayahnya sekarang. Tepatnya, tidak mau tahu. Terlalu banyak luka yang membekas di sekujur tubuhku. Terlalu banyak kesakitan yang lelaki itu torehkan. Aku tak akan sanggup untuk bertemu lagi dengannya. Tidak. Lukaku terlalu dalam untuk bisa melepaskan diri dari belenggunya.

"Soon, jika suatu saat kita berjodoh dengan papa, pasti kita akan bertemu dengan papa," jawabku sambil berdoa dalam hati agar kami tidak akan pernah dipertemukan kembali dengan lelaki itu. Jangan pernah.

"Makanya, Rama pengen sakit. Biar papa datang nengokin Rama. Kayak papanya Raisa."

Ya Allah, aku tak kuasa lagi menahan air mataku yang menggenang di ujung mata.

Tahukah kau, Nak? Permintaanmu terlalu berat untuk bunda turuti. Permintaanmu tak akan pernah menjadi nyata. Tidak, Nak. Tidak. Bunda tidak mau kau kecewa jika bertemu dengannya. Bunda tidak mau kau menderita jika tahu seperti apa dia. Lelaki yang ingin kaulihat itu tidak sepantasnya kau kenal.

Tidak, Nak. Tidak. Bunda tidak akan membiarkanmu terluka.

"Udah malem, Rama bobo, ya." Kukecup keningnya. Membetulkan selimutnya kemudian kuusap punggungnya. Menemaninya terlelap hingga di ujung mimpi indah.

Menatapnya yang terlelap dengan tenang membuatku tak bisa lagi menahan gejolak hati. Air mataku jatuh, menetes tanpa halangan. Berderai mengurai sesak, berharap bisa sedikit membuka ruang dalam dada.

***

Bagai doa yang terkabul.

Beberapa hari kemudian, aku dikejutkan dengan suhu tubuh Rama yang meningkat tajam. 39.7 derajat celsius. Tak kuhiraukan lelah tubuhku sepulang kerja. Kubawa dia ke klinik terdekat dengan kondisi masih mengenakan pakaian kantor.

"Bunda, pusing," keluhnya lemah.

Tentu saja. Kepalanya pasti berdenyut hebat saat ini. Belum lagi suhu yang tinggi tapi tubuhnya malah menggigil kedinginan.

Doa macam apa yang kau panjatkan, Nak? Lihatlah dirimu sekarang, lemah tak berdaya. Terbaring berbuntal selimut tebal.

Ya Tuhan. Bolehkah aku mengeluh kali ini?

Sejenak aku bersimpuh dengan berbalut kain serba putih. Di atas sajadah hijau tua ini, kuteteskan air mata hingga membuatnya lembab karena tetesannya.

Berikan yang terbaik untuk Rama. Apa pun itu asalkan Rama bisa kembali sehat. Aku benar-benar tak kuasa melihat tubuh mungilnya terbaring lemah. Andai sakit itu bisa kuambil alih. Biar aku saja yang merasakan sakitnya, jangan Rama. Jangan anakku.

Alunan nada Lucky milik Jason Mraz terdengar. Kuraih ponsel di nakas dan membaca ID Caller di layarnya. Aku mendesah melihat nama yang tercantum di sana.

"I think i'm falling for you."

Tiba-tiba kalimat itu terngiang kembali. Berulang kali berputar di kepalaku bagai kaset rusak yang tak berhenti. Kupejamkan mata sesaat, berpikir antara menerima telepon darinya atau mengabaikannya. Aku memilih mengabaikannya untuk saat ini.

Otakku sudah terlalu penuh memikirkan kesehatan Rama yang kunjung membaik. Suhu tubuhnya naik turun. Kadang berkeringat, tapi mengeluh kedinginan. Seperti saat ini, suhunya masih di angka 38.5.

"Nggghh, bunda!" Aku segera bangkit mendengar rengekannya.

"Iya, Sayang. Mau apa?" tanyaku sambil mengusap keningnya yang basah. Sekali lagi aku mendesah melihat kondisnya. Hari ini Rama muntah hebat, tidak mau makan karena mual. Akibatnya, dia semakin lemah karena makanan yang masuk kembali terbuang.

"Pusing bundaa," rengeknya sambil berkaca-kaca menahan denyutan di kepala.

Kuraih tubuhnya, menggendong tubuh lemahnya agar dia sedikit tenang. Terbukti, beberapa kali Rama bisa terlelap di pangkuanku. Berbeda jika hanya dibaringkan di ranjang, tak sampai sepuluh menit pun, dia akan kembali terbangun dengan keluhan pusing atau muntah.

"Bunda, kenapa papa nggak datang-datang? Rama kan udah sakit."

Ya Allah.

Hatiku berteriak getir. Ucapannya bagai petir yang menyambar di ubun-ubun. Kuhirup napas dalam-dalam seraya memejamkan mata. Menahan lelehan cairan panas agar tak terjun bebas di pipiku.

"Soon, Sayang."

"Kapan Bunda?"

Bersamaan dengan itu, ponselku kembali berdering. Sebuah nama yang sama kembali tercantum di layar ponsel. Entah sudah berapa kali dia menelepon dan kuabaikan.

Ya, aku memang pengecut yang tak berani menghadapi takdir. Aku terlalu takut dengan pernyataannya tempo hari. Aku, takut ... takut kembali terluka. Luka lamaku saja masih belum sembuh, aku tidak mau menambahnya lagi hingga akhirnya kembali berdarah.

Dengan gemas aku meraih ponsel dan mematikannya. Aku tak mau terganggu saat ini. Fokusku saat ini hanya untuk Rama. Untuk kesembuhannya.

***

Aku berlari menyusuri halaman sebuah rumah sakit dengan Rama berada dalam gendonganku. Suhu tubuhnya tidak turun-turun sejak tiga hari yang lalu, apalagi ditambah muntah-muntah dan tidak ada makanan yang masuk sedikitpun.

Seorang perawat menyambutku dengan sangat tidak ramah. Matanya menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki sambil mencebik. Astaga, kalau saja bukan anakku yang sakit, sudah kudamprat habis-habisan perawat itu.

Ya, penampilanku memang biasa saja. Malah bisa dibilang acak-acakan. Kaus lengan panjang yang dipadu celana training dan jilbab seadannya. Aku terlalu buru-buru tadi, hingga tak sempat memperhatikan penampilanku sendiri. Mana bisa aku berdandan di saat Rama terus saja menempel seperti magnet.

Namun, tak bisakah aku yang berpenampilan sederhana ini mendapat pelayanan dari rumah sakit ini? Aku tahu, rumah sakit ini bukan rumah sakit sembarangan. Aku tahu, sebesar apa biaya yang akan kukeluarkan jika berobat di tempat ini. Bukankah kesehatan pasien menjadi prioritas utama sebuah rumah sakit?

Seorang pria tiba-tiba datang dari arah belakang dan mengambil alih Rama dari gendonganku. Dia berjalan cepat sambil sebelah tangannya menelepon seseorang. Tak ada waktu bagiku untuk berpikir, kuikuti langkah kakinya yang entah akan menuju ke mana.

Dia diam, begitupun aku. Pikiranku kalut dengan kondisi Rama dinyatakan positif demam berdarah. Ingin kuteriak, kenapa? Kenapa harus Rama? Kenapa harus dia merasakan sakit? Kenapa tidak aku saja? Tapi, tak bisa. Ingin menagis pun rasanya sulit.

Atau mungkin segan. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapannya. Ya, dia ... lelaki itu yang kini duduk bersedekap di kursi panjang tempat ruang rawat inap Rama. Aku ikut duduk di sampingnya, agak jauh memang.

"Jadi, kau wanita bersuami?" tanyanya dingin. Aku sudah terbiasa dengan nada suaranya yang mengintimidasi, tapi rasanya cukup sulit untuk mengendalikan detak jantungku yang bergerak liar.

"Aku memang bukan gadis lajang, tapi aku juga bukan wanita bersuami. Tepatnya, pernah bersuami."

Entah ada kekuatan dari mana hingga aku bisa menjawab seperti itu, tapi sebuah suara di sudut kepalaku mengatakan kalau aku harus menjelaskan padanya. Meskipun aku sendiri tak tahu maksudnya apa.

***

Malam semakin larut, tapi mataku sepertinya masih enggan untuk terpejam. Kuraih ponsel membuka aplikasi games online, berharap otakku bisa sedikit teralihkan. Nyatanya tidak. Pikiranku terus melayang entah ke mana. Terbang tak tentu arah hingga tak kusadari ada seseorang yang duduk di sampingku.

Kutolehkan kepala demi melihat siapa gerangan dan aku terkejut mendapati dia menatapku dengan tersenyum. Alisku berkerut menatapnya. Apa ini mimpi? Apa aku tertidur tanpa sadar dan bermimpi tentangnya? Sepertinya bukan. Otakku masih bekerja saat ini, ponsel di tanganku juga masih mengeluarkan suara theme song games dengan volume kecil.

Aku yakin ini bukan mimpi. Apa yang membuatnya datang larut malam begini? Setelah dua hari kemarin dia tidak muncul. Tepatnya saat dia mengetahui statusku. Aku kira dia sudah muak melihatku karena membohonginya.

Erangan Rama membuyarkanku dari pikiran sesak tentangnya. Dia terbangun karena tiba-tiba perutnya mual dan muntah. Masih saja Rama harus menderita karena sakit di perutnya. Memuntahkan isi perut membuat perutnya terasa kram.

Kugendong dia, setelah menggantikan pakaian yang basah. Menimangnya agar Rama kecilku bisa kembali terlelap. Kuelus punggungnya, berusaha mengurangi sakit di tubuhnya. Doa tak henti kupanjatkan untuk kesembuhannya. Berharap setiap detiknya, rasa sakitnya akan berkurang.

Tiba-tiba--lagi--lelaki itu meraih Rama dari gendonganku. Mengambil alih tubuh lemah Rama untuk dia dekap. Mengelus punggung Rama sama seperti aku mengelus bocah itu tadi.

"Istirahatlah, aku tahu kau lelah," ucapnya menatapku yang bingung dengan sikapnya.

Aku mundur, duduk di tepi ranjang sambil memperhatikannya menimang Rama. Bergoyang ke kiri dan ke kanan sambil gak hentinya mengelus punggung Rama.

Rama mendongak, memaksakan diri untuk menatap lelaki asing yang menimangnya. Lama mereka saling tatap, hingga binar di mata Rama muncul. Dengan senyum yang terukir di bibirnya, Rama berkata, "papa!"

Oh, my

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top