16.Sindiran Pedas

Pagi itu siswa SMA Harapan Bangsa mengikuti upacara bendera setiap hari senin. Saat ini yang menjadi pembina upacara adalah Bapak Rafles, Kepala Sekolah SMA Harapan Bangsa. Hal yang paling menakutkan di sekolah ini selain di hukum adalah jika upacara Pak Rafles sebagai pembina upacara. Selain pidatonya sangat lama, pidatonya juga selalu menyindir oknum siswa yang melakukan kesalahan secara diam-diam. Satu lagi, jika bapak ini sudah berpidato para siswi juga mengeluh karena make-up mereka luntur, skincare mereka tidak berefek dan takut wajahnya hitam karena sengatan sinar matahari.

"Psst... Pop kok Bapak ini sih yang jadi pembina upacara? Bukannya hari ini seharusnya Bu Winda?" bisik Maya ke telinga Poppy.

"Nggak tahu nih, Si Bapak. Emang kecanduan pidato. Nyerobot-nyerobot giliran guru lain aja."

"Kalau bentaran sih gak apa-apa, ini kadang-kadang pidato sampai 2 jam," protes Maya.

"Lo bawa tissu May?" tanya Poppy.

"Enggak, ketinggalan di kelas," jawab Maya.

"Ckk...mampus nih kita, muka kita terpanggang nih! Belom make-up luntur," gerutu Poppy.

"Selamat pagi anak-anak!" sapa Pak Rafles.

"PAAAAGIIII PAKKKKK" jawab seluruh siswa serempak.

"Assalamualaikum," sambung Pak Rafles.

"WAALAIKUMSALAM....."

"Baiklah, pidato hari ini kita akan membahas tentang tingkah laku negatif remaja. Ananda semuanya, remaja ini sedang dalam fase yang sangat kritis dan mudah terpengaruh dunia luar. Nah kalian tau tingkah laku itu seperti apa? Bla..... bla.... bla...."

"Mampus gue jangan-jangan Bapak ini tau apa yang gue lakuin malam minggu kemaren?" gumam Java.

"Lalu... selain narkoba apa lagi tingkah laku negatif remaja lainnya adalah bla....bla...bla..." Pak Rafles masih berceloteh.

Sementara Java, masih dengan perasaan cemas tak menentu. Ia cemas jika Pak Rafles mengetahui tingkah bar-barnya dan menghukumnya. Memang susah ternyata kalau punya predikat sebagai siswa teladan tapi berbuat onar di luaran sana, apa lagi membuat onarnya di Bar. Bukan tempat sembarangan.

"Anarkis! Satu lagi adalah anarkis!" tiba-tiba Pak Rafles menyebut kata anarkis yang sensitif di telinga Java.

Perlahan keringat Java menetes di pelipisnya, tangannya juga tiba-tiba dingin. Ia seolah mendapatkan serangan demam mendadak. Suhu tubuhnya panas dingin mendadak.

"Apa lagi kalau tingkah anarkisnya terjadi di tempat keramaian, misalnya di tempat wisata, di pasar, mall dan di CLUB MALAM," pak Rafles berkata dan menguatkan intonasinya ketika menyebut club malam.

Java menelan salivanya, lagi-lagi ia merasa seperti sedang disindir.

"Bapak tegaskan, kalian ini adalah pelajar. Kita tidak cocok masuk ke club malam atau bar itu. Banyak pengaruh negatifnya," Pak Rafles menyambung kembali pidatonya.

"Astaga, apa gue lagi disindir ya? Pedes amat sindirannya. Kayak cabe rawit dikunyah," gumam Java.

"Nahhh.... apa lagi kalau ke club malamnya buat keributan!" Pak Rafles masih berpidato dengan santai seolah beliau berada di TKP.

Perut Java mendadak mual, rasanya ingin pingsan saat itu juga. Ia berusaha menguatkan dirinya, jangan sampai pingsan di lapangan, malu.

"Belum lagi, berantem pula di club malam, itu namanya remaja bar-bar pembuat onar," sambung pak Rafles dengan logat Medan.

"Lalu, meninju sekuriti dan mengacak-acak club malam, tak benar itu. Bukan begitu Angkasa!" tiba-tiba Pak Rafles menyebut nama oknum biang keributan.

"Siap Iya Pak," jawab Angkasa yang berdiri di tengah lapangan kerena bertugas menjadi pemimpin upacara.

"Waduh.... si bro kena sindir, jangan-jangan bentar lagi giliran gue. Malu... malu...." batin Java.

Jantung Java berdetak makin kencang, keringat dingin semakin banyak bercucuran.

"Nah, ada juga yang parah sekali kelakuannya. Dia meninju sekuriti sampai pingsan. Tak punya rasa kasihan kepada orang lain. Itu benar-benar bar-bar itu, tak boleh ya.. ini contoh saja ini, benar kan Javana?" tiba-tiba Pak Rafles menyebut namanya dan mengarahkan pandangan kearah barisan kelas X C kelasnya Java.

"Hah!!!!" Java terkejut.

"Ti....ti..dak Pak," jawab Java glagapan.

"Apanya yang tidak Javana?" sambung Pak Rafles.

Nafas Java terengah-engah seperti selesai berlari. Ia tak melanjutkan kata-kata Pak Rafles. Ia lebih fokus untuk tetap berdiri dan jangan sampai pingsan di barisan sambil menerima kemungkinan terburuk.

Dua jam kemudian akhirnya pidato selesai dibacakan. Para siswa membubarkan diri dan kembali ke kelas masing-masing. Java masih merasa cemas dan takut kalau dirinya akan di panggil kepala sekolah gara-gara insiden malam-minggu. Ia pun melangkah perlahan kembali kekelas. Ia berharap tidak ada pemanggilan atau penskoran dan berharap tidak adak ada yang mengetahui rahasianya.

Tiba-tiba speker sekolahan bersuara.

"DIPANGGIL ANANDA YANG BERNAMA JAVANICO KELAS X C, HARAP DATANG MENEMUI BAPAK KEPALA SEKOLAH, DI RUANGAN KEPALA SEKOLAH!! TERIMA KASIH"

"Hah... Mampus gueee," kata Java.

"Ngapain lo di panggil? Lo buat kesalahan apa?" tanya Idet.

"Gak tau nih, Det temenin gue dong!" Ajaek Java.

"Enggak ah nggak brani gue, kemaren gue ketangkep basah ngerokok di mini market," kilah Idet.

"Tio, temenin gue!" kata Java.

"Enggak takut gue, kemaren gue ketangkep basah main HP di kelas," kilah Tio.

"Yah... gue gak brani sendirian nih," kata Java.

"Sorry Jav, gue bantu lo dengan do'a aja," kata Idet.

Java menatap Tio setelahnya.

"Wah Jav, lo minta temenin sama Maya aja gih! Gue yakin 1000 persen dia mau nemenin lo keruangan Pak Raflas," saran Tio.

"Bang Sat kalian," geram Java sambil berlalu.

*****

"Bapak memanggil saya Pak?" kata Java setela sampai di ruangan kepala sekolah.

"Iya, ayok duduk dulu," sambut Pak Rafles.

"Mampus, kelakuan gue ketahuan!" batin Java.

Java pun duduk di sofa ruangan kepala sekolah dengan jantung berdebar-debar.

"Ada apa bapak memanggil saya," tanya Java.

"Menurut kamu kenapa?" pak Rafles bertanya santai.

"Maaf pak, saya tiii dak tahu pak!" jawab Java.

"Oke begini, ada hal penting yang mau Bapak bicarakan dan ini menyangkut dirimu Javana, selain kamu pintar pelajaran matematika Bapak yakin kamu juga pintar fisika, benar begitu kan Javana?" tanya pak Rafles.

"Bukan Pak!" jawab Java.

"Apanya yang bukan?"

"Nama saya bukan Javana pak, Javana itu merek minuman Pak," ralat Java.

"Lalu kalau bukan Javana, nama kamu siapa?"

"Javanico Pak, panggilannya Java."

"Unik juga nama kamu ya,"

"Iya Pak," jawab Java masih dengan wajah tertunduk.

"Oke lah, saya to the poit saja," kata Pak Rafles.

"Pak maaf memotong, Angkasa tidak dipanggil juga Pak?" tanya Java takut-takut.

"Angkasa ketua OSIS maksut kamu kan?"

"Iya pak."

"Sejak kapan siswa IPS ikut lomba fisika?" jawab Pak Rafles santai.

"Loh, memangnya saya dipanggil karena apa Pak?" Java justru kembali bertanya.

"Kamu dipanggil ya untuk ikut lomba fisika bersama Aisyah dan si Bejo itu."

Hah.... Java menghembuskan napasnya pertanda lega. Teryata Pak Rafles memanggilnya bukan karena kejadian malam minggu kemarin.

"Ohh saya kira kenapa tadi pak," sambung Java dengan perasaan lega.

"Ohh... ya kamu terpilih untuk mengikuti lomba fisika."

"Ohh iya Pak. Terima kasih Pak," Jawab Java.

"OH ya Java, mulai besok kamu harus ikut bimbingan belajar ya menjelang Hari H lomba fisika,"

"Siap Pak, oh ya Pak. Benar saya dan Angkasa tidak dipanggil?"

"Untuk apa Angkasa di panggil? Memangnya bisa siswa IPS menjawab soal-soal fisika?" Pak Rafles kembali bertanya.

"Siapa tahu Pak, Memangnya malam minggu Bapak ke mana Pak?" tanya Java ragu-ragu.

"Di rumah, memangnya kenapa?," jawab Pak Rafles.

Loh... sindiran pedas di lapangan tadi apaan ya? Bathin Java.

"Enggak apa-apa sih Pak, tapi benar saya dan Angkasa tidak dipanggil Pak?" tanya Java memastikan.

"Kamu kan sudah di panggil, kalau Angkasa tidak di panggil," terang Pak Rafles.

"Cuma ini saja Pak? Saya tidak di panggil lagi untuk hal lain gitu? Bersama Angkasa?" tanya Java.

"Tidak, kamu boleh kembali ke kelas," jawab Pak Rafles.

"Yakin Pak?"

"Yakin!!!"

"Oh iya Pak, kalau begitu" jawab Java.

Java pun berpamitan untuk kembali ke kelasnya. Namun pikiran parnonya masih berputar-putar di kepalanya bahkan saat ia sedang berjalan ke kelasnya.

"Kenapa bapak Rafles nyindir-nyindir ketika upacara bendera?" Kata Java dalam hati.

"Bapak Rafles juga seolah tahu kronologis kejadian di TKP. Atau jangan-jangan Bapak itu memang ada di sana?" Java berpikiran negativ.

"Kalau memang di sana? Berarti Bapak Rafles oknum tua-tua clu... Ah, jangan lah. Nggak boleh berprasangka negatif," gumam Java.

Hello gaeesss.... ketemu lagi sama Java... jadi part ini gimana ya? apa masih lucu? Kalau kurang lucu komentari ya... biar aq revisi hehee...

Oke sekian dulu untuk part 16. Terima kasih buat sahabat2 yang membaca dan memberikan feedback, makasih buat silent rider yang beneran membaca, makasih buat yang cuma scrol2 aja langsung ngasih vote. Semuanya akan di syukuri. Silahkan feedback nanti aku akan feedback part trakhirmu secara auto.

Terimakasih semuanya see you next.... bye...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top