14.Lempar Gelas dan Piring
Ayah masuk rumah dengan wajah plongak-plongok tanpa dosa. Padahal di mata Bunda, Ayah sudah berbuat dosa yang sangat besar, hingga susah diampuni. Belum lagi sebelumnya Ayah sudah rugi belasan juta karena hancurnya Anker Bar. Ayah benar-benar berada dalam masalah, selain kerugian material, Ayah sebentar lagi juga akan menerima amukan dari Bunda.
"Sampeyan dari mana Mas? Ternyata masih ingat sama rumah," Bunda bersedekap tatapan mata bunda tajam dan penuh amarah.
"Dinda, aku...aku..."
"Gak usah pake Dinda-dindaan segala biasanya manggil Purnama kok. SAMPEYAN DARI MANA?" nada pertanyaan Bunda terdengar keras.
"Ini tadi Mas Cuma ngorol sama Rika, dia investor baru," Ayah memberikan penjelasan sambil tergagap-gagap.
"Bagoss Mas, kenapa ngomongin bisnis gak sekalian di Hotel, biar gak ada yang lihat,
biar gak ada yang ganggu, biar lebih seru!"
"Dinda, dengar dulu nggak terjadi apa-apa kok sayang," Ayah memberikan penjelasan.
"BERHENTI MEMANGGILKU DINDA, PERGI SANA KERUMAHNYA DINDA. DI SINI GAK ADA YANG NAMANYA DINDA," protes Bunda dengan suara menggelegar.
"Ayolah Sayang, jangan marah-marah gitu," Ayah mencoba merayu Bunda.
"Tega sampeyan Mas, sampeyan tega menghianati cinta Suci kita," Bunda mulai pura-pura menangis.
"Ayo lah yang...."
"Yang, yang, yayang pale lo peyang," geram Bunda.
"Hayoh, Ayah tanggung jawab," Java mengompori.
"Java kamu cerita apa sama bunda, sampai bunda marah begini."
Java mengangkat bahu.
"Java, pasti kamu yang nambah-nambahin ya? Yang ngompor-ngomporin Bunda."
"Enggak Yah, itu salahnya Ayah. Ayah kenapa tua-tua masih juga Clubing."
"Ayah enggak clubbing tadi Cuma duduk-duduk aja ya sambil joget-joget dikit,"
"Sama aja," tambah Bunda.
"Bunda, jangan nangis dong. Ini ada gelas bun ada piring, bisa di lempar loh Bun," tawar Java.
"Enggak bisa, piring sama gelas bunda harganya mahal. Bunda nggak mau lempar gelas sama lempar piring kayak dalam pikiranmu," jawab Bunda.
"Yah, nggak seru dong Bun."
"Bodo amat, Bunda mau menghukum Ayah!"
"Wah jangan dong Yang!" tolak Ayah.
"Mulai sekarang Ayah tidur di ruang tamu atau di kamar tamu. Gak boleh masuk kamar," kata Bunda sambil berlalu masuk kamar.
"Wah, jangan lah Dinda, di luar dingin siapa yang nyelimutin Mas?"
"Bodo amat!! Pokoknya mulai besok Bunda akan ngikutin ke manapun Ayah pergi! Bunda akan jadi bayang-bayang Ayah. Awas macem-macem!!!"
BRRRAAAKKKKK
Bunyi dentuman pintu yang di banting Bunda. Ayah dan Java saling memandang. Java hanya mengangkat bahunya.
"Ayah tidur di kamarmu ya Java?"
"Enggak Yah, maaf Ayah tidur aja di kamar Bi sumi," kata Java.
"Ngawur kamu!!!" kata Ayah sambil menjitak kepala Java.
Tiba-tiba pintu kamar bunda di buka.
Kreeeeekkkkk.....
Bunda keluar kamar sambil melemparkan selimut tebal kepada Ayah. Dan masuk kamar lagi sambil membanting pintu kamar. GUBBRRRRAAAKKK!!! Cekrek!! Pintu kamar dikunci Bunda dari dalam. Walau Bunda kesal sepertinya Bunda masih memikirkan suaminya, buktinya bunda melempari suaminya dengan selimut, tidak jadi melempari suaminya dengan piring atau gelas.
Ayah dan Java kaget seketika, mereka berdua saling berpandangan. Wajah bunda sangat ganas jika marah. Beruntung hari ini bunda tidak melakukan tindakan anarkis seperti melempar gelas dan piring atau vas bunga. Bunda sepertinya hari ini lebih sabar, ia hanya mengunci diri di dalam kamar atau lebih tepatnya mengunci Ayah di luar kamar.
Ayah sudah paham tingkah laku Bunda, jika Bunda cemburu memang terkadang melampaui batas. Dulu barang-barang rumah tangga yang menjadi korban Bunda. Setelah barang-barang itu hancur menyedihkan Bunda justru menangis menyesal. Ayah menatapi pintu kamar yang masih belum di buka Bunda. Setelah itu Ayah menatap putranya yang mematung di depan pintu kamar Bunda.
"Java, sini nak?" Ayah memanggil Java.
Java pun melangkah medekati Ayah yang sedang duduk di ruang keluarga dan Java duduk di sebelah Ayah.
"Java, kamu kenapa ada di Bar tadi? Bagaimana kamu bisa masuk?"
Java diam bergeming.
"Java, sekali lagi Ayah Tanya, mengapa kamu bisa ada di dalam Bar? Sedangkan masuk Bar harus pakai KTP? Ayah tahu kamu belum punya KTP."
"Mengapa Ayah ada di dalam Bar? Sedangkan Ayah mengaku kepada Bunda ayah Da urusan bisnis?"
"Java, kamu tidak mengerti urusan orang dewasa, Ayah tidak pernah membohongi kalian, Ayah memang ingin berbisnis dengan Rika, dia itu kan pemain drama kisah nyata, fansnya banyak. Ayah ingin mendirikan bisnis waralaba, sementara dia investor sekaligus brand Ambasador."
"Maaf Yah, Java nggak ngerti bisnis, Java hanya mencari Ayah dan mengingatkan kalau Ayah punya Anak dan Istri."
"Java, apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu bayangkan, ini semua kesalahpahaman."
"Ayah, Java mohon maaf. Tapi Java bukan anak kecil, Java merasa risih melihat Ayah berdansa dengan Rika, Java harap Ayah tidak mengulanginya lagi, demi keluarga kita."
"Iya, Oke," jawab Ayah sambil memanggut-manggut.
Java menatap Ayah sejenak dan menaikkan bahunya.
"Sekarang Ayah bertanya, bagaimana kamu bisa masuk ke dalam Bar itu? Setahu Ayah Bar itu dijaga ketat."
"Sekarang apa saja bisa terjadi, jika ada ini," jawab Java sambil menunjukkan finger heart kepada Ayah.
"Cinta?" Tanya Ayah.
"Bukan, uang maksut Java."
Ayah menepuk keningnya perlahan.
"Java kalau uang, memang lambangnya seperti itu juga, tapi digerakkan sedikit, jangan disamakan dong antara cinta dan uang, karena keduanya jelas lah berbeda."
"Ya Java kan nggak tau Yah," kilah Java.
"Ya sudah lah, kamu boleh tidur. Ayah mau tidur di sofa saja, Ayah harus terima hukuman dari Bundamu," Ayah berkata dengan nada pasrah.
"Oh ya Ayah, Ayah belom jelaskan pertanyaan Java di Bar tadi?"
"Pertanyaan apa?"
"Masa Ayah lupa?"
"Apa sih?" kata Ayah sambil menggaruk kepalanya.
"Mengapa Angkasa memanggil Ayah dengan sebutan Papa?"
Dhuarrr..... seketika jantung Ayah bagai mendapat serangan. Ayah baru ingat kalau tadi percakapan antara Ayah dan Angkasa terdengar oleh Java. Termasuk amukan Angkasa yang diduga Ayah juga di ketahui Java, karena memang keduanya berada di tempat yang sama yaitu Anker Bar.
Ayah menghembuskan nafas, lalu Ayah mencoba menjelaskan semuanya.
"Kamu mendengar semuanya Java?"
"Iya yah."
"Kalau dia memanggil Ayah dengan sebutan Papa berarti memang dia anak Ayah," Ayah memberikan pernyataan.
"Anak Ayah? We are brother?" selidik Java.
"Yes, Absolutelly," jawab Ayah.
"Brother? Kakak adik? Dia kakak Java?" Tanya Java kembali.
"Iya, benar." Jawab Ayah.
"Tapi bagaimana bisa? Apa yang sudah kalian lakukan terhadap Angkasa?"
"Ayah berutang penjelasan kepadamu, tapi Ayah belum bisa menjelaskan sekarang,"
"Mengapa Ayah? Mengapa tak Ayah jelaskan semua?"
"Ayah bisa menjelaskan, kalau Bunda sudah baikan dengan Ayah," jawab Ayah
"Dan Angkasa tau kalau kami memang kakak adik?"
Ayah menggeleng.
"Ayah juga belum sempat menjelaskan, mungkin kamu tahu kalau dia sedikit temperamental. Semua perlu waktu," jelas Ayah.
Java terdiam, ia tak menyangka sama sekali jika dirinya memang memiliki saudara. Ia tak menyangka sama sekali jika dia memiliki kakak yang tampan, pemberani dan pendiam seperti Angkasa. Ketua OSIS itu ternyata memang benar kakaknya. Mata cewek yang tergila-gila kepadanya yaitu Maya, memang tidak salah. Bahkan berkat kata-kata Maya terungkap kalau kemiripan mereka berdua bukan sekedar mirip tapi memang bersaudara.
Java berpikir, bersaudaranya dari mana? Mengapa kemarin Bunda tidak menjelaskan. Mengapa selama ini tidak ada penjelasan dari Ayah atau Bunda. Mengapa oraang tuanya tega memberikan Angkasa kepada keluarga kaya? Mengingat Angkasa adalah calon pewaris tunggal, Angkasa Raya Group, perusahaan developer terbesar di Indonesia.
Hai... gaes... akhirnya part 14 muncul juga... walau lama menunggu... meski Ayah berantem dengan Bunda mudah-mudahan lucunya masih dapet. Oh ya... mohon maaf kalau banyak typo bertebaran dan kalimat-kalimat gaje. Mak bakalan ulang baca dan edit kembali.
Makasih buat yg cuma scrol-scrol aja, makasih buat yang baca sambil komen, dan makasih buat yang vote. Oke langsung aja aku bakalan feedback di ceritamu.
See you next part....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top