9. Bulan Madu?
Gresik - Surabaya hanya memakan waktu perjalanan kurang dari satu jam. Aku tersenyum saat mobil Mas Hasyim memasuki area parkir Tunjungan Plaza Surabaya. Pusat perbelanjaan favoritku sejak masih kecil dulu.
Mas Hasyim membukakan pintu untukku dan membantuku turun dari mobil. Berlebihan menurutku, karena perutku belum sebesar itu untuk perlu dibantu hanya untuk sekedar turun dari kendaraan.
Satu hal yang kurasa berbeda sejak empat bulanan masa pernikahanku. Mas Hasyim, saat ini, tak pernah sedikitpun melepas genggam tangannya padaku. Selama kami berjalan mengitari pusat perbelanjaan ini, jemarinya mengait erat bersama jemariku layaknya terkunci mati. Bahkan saat kami memasuki Matahari untuk membeli beberapa pakaian hamil, ia tak melepas kaitan jemari itu.
"Mas aku mau coba di fitting room," pintaku memohon padanya agar genggaman kami terlepas.
"Tidak usah! Dicoba dirumah saja. Kalau tidak pas, besok ditukar atau kita beli lagi."
"Mubazir!"
Ia tak menjawab. Seperti biasa, hanya tatapan dingin mengintimidasi yang ia berikan padaku. Seakan tatapan itu memberiku peringatan untuk menuruti saja setiap perintahnya.
Untungnya hari ini pusat perbelanjaan tidak terlalu ramai. Dua SPG membantuku mengukur tanpa harus memasuki ruang coba. Mas Hasyim bahkan tak segan menyentuh pakaian dalam wanita yang akan ia beli untukku.
"Yang ini bagus," ucapnya seraya menyodorkanku satu set bra dan celana dalam.
Wajahku memerah. Jujur baru kali ini aku dihadapkan pada situasi yang ... well, tolonglah, aku tidak pernah membahas hal-hal seperti itu apalagi dengan pria.
"Kenapa diam? Apa kamu mau memakainya jika aku minta?" ia menatapku penuh tanya dan ibu jarinya perlahan mengusap pipiku yang merona.
Kudengar bisik-bisik dia SPG yang menemani kami berbelanja. Mereka tampak membicarakanku dengan Mas Hasyim. Aku malu! Aku gadis dua puluh tiga tahun berjalan bersama pria tua dan kami disini! Berdiri di depan ratusan pasang pakaian dalam wanita. Memalukan.
"Apa aku bisa menolak!? Semua harus sesuai permintaan Mas, kan?" Aku membentaknya lirih mengalihkan risih yang kurasakan.
Mas Hasyim tersenyum segaris dan sepintas namun aku sempat menangkap rona bahagia yang berusaha ia sembunyikan dariku.
"Apa ini bisa dipakai wanita hamil?" Mas Hasyim bertanya pada SPG dan dua karyawati itu mengangguk bersamaan.
"Buat apa itu Mas!?" sontak aku berteriak saat kusadari Mas hasyim mengambil pakaian tidur berbahan tipis dan transparan.
Ia menatapku seraya menyodorkan beberapa pilihannya pada SPG. "Kamu selalu memakai daster saat tidur. Aku rasa, tidak ada salahnya mencoba hal yang baru."
Aku menghela nafas seraya menggeleng perlahan. "Tapi itu tak membuatku jatuh cinta padamu, Mas. Kamu justru terkesan egois dimataku. Bagaimana jika aku justru tidak nyaman menggunakan benda-benda itu!?"
Tubuhnya menegang seketika. Tampaknya ia sadar bahwa apa yang ia lakukan salah. Memutuskan suatu hal tanpa meminta pendapatku dulu.
"Aku tetap akan membelinya dan kamu harus mau memakai jika aku meminta, Hasna." Ia berjalan meninggalkanku dan menuju kasir untuk membayar entah berapa jumlah pakaian dalam yang ia beli barusan. Yang jelas, banyak!
Aku menghentikan langkahku di depan kounter penjual kosmetik. Sudah lama aku ingin memiliki satu set lengkap kosmetik ternama. Aku pernah melihat Medina, istri Hasbi diawal ia memasuki pondok pesantren. Wajahnya cantik dan polesan make upnya sempurna. Aku juga ingin terlihat menarik seperti dia.
Mas Hasyim menoleh saat aku menarik tangannya yang terkait denganku. "Ada apa?" tanyanya dan ia menoleh pada objek yang sama dengan yang tengah kupandang.
"Apa aku boleh membeli ini?" Mataku memancarkan permohonan kepadanya.
"Untuk apa?"
"Aku ingin cantik seperti Medina."
"Tidak. Aku tidak mengijinkan."
Emosiku merangkak naik hingga ubun-ubun. Aku melepas paksa genggam tangannya dan membeliak penuh amarah. "Apa yang salah dengan mengeluarkan sedikit dari kekayaanmu untukku, Mas? Bukankah kamu berjanji menjadikanku prioritas!?" aku merajuk keras.
"Tapi ini tidak termasuk dalam pemahamanku atas perjanjian kita. Lagi pula buat apa alat-alat itu?"
"Tentu agar aku cantik seperti Medina!" nada bicaraku naik beberapa desibel.
"Tidak, Hasna. Alasanmu menginginkan benda itu bukan demi aku dan aku punya hak mutlak untuk menolak permintaanmu."
"Apa salahnya jika aku cantik seperti Medina? Jika aku ...," satu pikiran melintas di kepalaku, "Owh..., mas takut aku cantik dan mungkin saja pria lain tertarik padaku?" tanyaku curiga.
Ia bergeming dengan mata yang tetap menatapku tajam.
"Apa kita harus membuat kesepakatan hanya untuk membeli perlengkapan dandan?" Aku bersedekap tangan di depan dada dan memberi gestur menantang.
"Belilah. Ambil apapun yang kamu mau. Tapi dengan satu syarat, pakai itu hanya saat berdua denganku."
Aku tersenyum penuh kemenangan. Baiklah, karena ia mengalah dan sudah membuatku terlanjur malu di pusat perbelanjaan ini sejak tadi, aku melangkah perlahan mendekatinya. Satu kecupan ku daratkan dipipinya dan sontak tubuh pria itu terperanjat menerima kejutan dariku.
"Terimakasih, suamiku." Aku meninggalkannya dengan senyum penuh kemenangan.
*************
"Mas, aku mau pangsit ayam dan daging sapi." Aku menyodorkan mangkuk dan Mas Hasyim dengan telaten menuangkan apa yang kupinta dari panci rebusan sukiyaki yang tengah kami nikmati. "Aku tidak mau sayur, Mas! Dirumah aku sudah seperti kambing yang memakan daun setiap waktu!" keluhku saat kudapati mangkukku berisi lebih banyak sayur dan jamur daripada permintaanku tadi.
"Itu bagus untuk kesehantan kandunganmu, Hasna. Makanlah!"
Dengan berat hati aku mengunyah dan menelah apa yang suamiku berikan dalam mangkukku. Untungnya asam pedas kuah tomyam yang menjadi pilihanku mampu membuat moodku beranjak normal.
hari ini Mas Hasyim benar-benar memanjakanku dengan belanja dan makan apapun yang kuminta. Dia bahkan tak menyanggah apapun camilan atau makanan yang ingin kubungkus. Mumpung di Surabaya, aku akan membeli banyak makanan yang tidak ada di sekitar rumahku.
"Aku lelah,"
Mas Hasyim menoleh padaku dan mengangguk memahami keluhanku. Ia memutar langkah menuju parkiran dan aku paham, kami akan meninggalkan pusat perbelanjaan ini.
Aku menyernyit kala Mas Hasyim justru kini masuk dan parkir di basement sebuah gedung tak jauh dari Tunjungan Plaza.
"Mau apa kita kesini, Mas?"
"Istirahat." Ia membawa barang belanjaan kami dan turun dari mobil.
Aku mengikuti langkahnya menuju lobby dan aku hanya bisa menahan keterkejuatanku saat menyadari bahwa maksud Mas Hasyim dengan istirahat adalah tidur di hotel.
"Buat apa kita kesini. Pulang kerumah tidak sampai datu jam!" Aku menegurnya kala kami hanya berdua di lift menuju lantai kamar yang ia sewa.
"Aku rasa tidak salah menggunakan sedikit dari kekayaanku untuk memanjakan istriku. Karena ia memintaku untuk menjadikannya prioritas."
Aku mencebik mendengar sindirannya.
Kami berjalan beriringan menuju pintu yang tertera nomor kamar sesuai pesanan Mas Hasyim. Mataku melebar penuh kagus saat memindai ruangan besar yang ia sewa untukku.
"Ini pasti mahal, Mas. Ummah dan Abah pasti marah jika mereka tau aku menghabiskan uangmu hanya untuk ini."
"Kalau begitu tak usah beritahu siapapun tentang apapun yang terjadi pada pernikahan kita."
Kulihat ia meletakkan belanjaan kami dan melangkah menuju kamar mandi.
Aku menutup mulut dan menjerit tertahan saat menyadari bahwa kamar mandinya ...
"Mas bagaimana aku bisa mandi jika dindingnya saja dari kaca!"
Ia tak menjawab protesku dan dengan tenang ia menanggalkan pakaiannya lalu masuk ke bilik shower yang terdapat didalamnya.
Aku menaiki ranjang besar yang empuk itu dan seketika mataku terasa berat. Aku menyalakan televisi dan berusaha agar tetap terjaga. Tak lama, Mas Hasyim keluar hanya dengan lilitan handuk dipinggangnya.
Ia menghampiriku dan aku berdebar karena takut ia akan menerkamku tiba-tiba seperti kebiasaaanya.
"Mau apa!" aku menyentaknya.
"Mandi!" Ia mengulurkan tangan padaku dan aku bingung apa maksudnya. "Aku sudah mengisi air hangat dalam bak rendam untukmu."
Aku membalas ulurannya dan menuruti kala ia menarikku masuk kedalam kamar mandi berdinding kaca.
"Mas ..., aku malu membuka baju dan mandi di depanmu."
Tangan suamiku sangat cekatan jika berurusan dengan menanggalkan pakaian, "Tidak ada yang perlu ditutupi dan tidak perlu ada malu. Kita suami istri, Hasna."
"Baiklah, tapi biarkan aku berendam dengan pakaian dalam."
Dengan hati-hati aku memasuki bak rendam yang tampak mewah itu. Kehangatan air yang merendamku, secara magis mampu mengusir rasa lelah pasca berjalan memutari pusat perbelanjaan tadi.
Tubuhku bahkan terasa semakin rileks saat tangan Mas Hasyim bergerak didalam air memijat betisku pelan.
"Mas ...," Aku memejamkan mata merasakan kenikmatan mewah yang baru kali ini aku rasa, "Apa ini salah satu cara membuatku jatuh cinta padamu?"
Tak ada jawaban. Mas Hasyim tetap memijatku dan perlahan membuka semua pakaian dalamku. Dengan lembut ia memandikan dan melemaskan tubuhku yang terasa lelah.
Usai berendam dan merasa bersih, aku turun dari bak rendam itu dan menerima handuk dari suamiku. Yakin tubuhku sudah kering, ia memberiku jubah handuk untuk kukenakan. Namun saat aku akan mengikat talinya, ia menahan tanganku.
Mas Hasyim berlutut memandangi perut buncitku dan mendaratkan kecupan panjang disana. Aku terpejam dan menggigit bibir bawahku saat merasakan desiran hangat yang tiba-tiba datang memenuhi lubuk hati. Refleks, aku mendaratkan jemariku dirambutnya dan meremas pelan.
"Apapun yang kulakukan, adalah bentuk cintaku padamu. Aku berharap, kamu dapat membalas rasa itu."
Dan jantungku seketika berdegup kencang, tapi ini bukan karena lelah, apalagi bertengkar.
************
Sok dilanjut Hasnanyaaaaa...
Mumpung ide lagi ngalir luaaaanncaaarrrr dan deras hahahaha..
Jangan lupa vote dan komentnya yaaaa!
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top