8. Negosiasi

Sepanjang perjalanan pulang, aku kerap melirik Mas Hasyim. Hatiku bertanya, apa yang membuat Aisyah menyukai pria ini? Tubuhnya ..., baiklah. Ia tinggi dan tegap. Kulitnya sawo matang mencerminkan pria yang kerap menghabiskan waktunya di bawah terik matahari. Wajahnya yang khas keturunan jawa, terlihat tegas dan berkharisma. Setiap orang yang bertemu dengannya, aku yakin mampu membaca sifatnya yang dingin dan pekerja keras. Biarpun usianya mendekati empat puluh, tubuhnya tidak seperti pria-pria tua berperut buncit. Mungkin karena ia sering berjalan keliling tambaknya yang puluhan hektar itu? Entahlah.

Namun satu pertanyaanku, Aisyah berkata Istrinya yang pergi meninggalkan Mas Hasyim? Mengapa?

Satu seringai maklum tercetak diwajahku. Baiklah, Shafira ... Shafira itu kutebak tak tahan hidup dengan Mas Hasyim karena sifatnya yang aneh itu. Jarang tersenyum, kaku, otoriter, sedikit bicara. Siapa yang bisa betah lama-lama dengan dia?

Bolehkah suatu hari aku juga mengikuti jejak Shafira itu?

Baru saja aku masuk kedalam kamar dan Mas Hasyim kembali menarikku untuk duduk diatas ranjang. Dengan kesal, aku memaki pria itu seraya melepaskan cekalan tangannya.

"Apa Aisyah mengatakan sesuatu tentang masa laluku?" ia bertanya langsung pada topik.

Aku menaikkan satu alis seraya bersedekap dada. "Ya, tentang seorang Shafira yang pergi meninggalkan Mas tujuh tahun lalu dan aku iri padanya."

"Apa lagi?" tanyanya setengah emosi.

Aku memainkan gestur pura-pura mengingat dengan malas. "Tidak ada yang spesial ... kecuali tentang Aisyah yang mengakui sempat memiliki rasa pada Mas dan aku biasa saja." Aku menatapnya datar. Wajahnya mengetat merasa tersinggung dan menahan amarah. "Kenapa tidak menikahi Aisyah? Alih-alih aku yang sedikitpun tak memiliki rasa padamu?" tanyaku santai.

"Bukan urusanmu, Hasna."

"Tapi aku merasa pernikahan ini sulit untuk berjalan dengan baik! Aku benci berpura-pura bahagia di depan keluargamu dan membual dengan meneriakkan keberuntunganku memiliki pria mapan sepertimu!" Aku menaikkan nada bicaraku dan dadaku kembali kembang kempis.

Dengan kasar aku membuka tas, mengambil obat dan membantingnya ke lantai kamar. Ia tersentak melihat perbuatanku. Aku sadar, ini memancing amarahnya.

"Maumu apa, Hasna!?" ia berucap kencang.

Mendengar bentakkannya, air mataku seketika mengalir membasahi wajah. Entah mengapa aku merasakan sakit melihat raut frustasinya. Dia emosi menghadapiku selama ini? Apa dia tau jika aku juga berusaha bertahan ditengah hatiku yang meronta tak terima dengan pernikahan ini?

Aku memukul pelan dadaku seraya terisak kencang. "Aku ingin mencintaimu, Mas. Namun aku tak tau bagaimana caranya membuka hatiku untukmu? Aku ... Aku takut tidak mampu," ucapku terbata.

"Jujur aku sempat takut saat Aisyah berkata pernah memiliki rasa padamu. Aku takut, tapi entah mengapa aku tidak merasa cemburu!! Dipikiranku Mas sudah mengambil hidupku dan Mas tidak boleh meninggalkanku!"

"Aku tidak akan meninggalkanmu!" selanya

"Aku tau! Tapi aku ragu apa aku mampu bertahan denganmu, Mas?" Aku menangkupkan kedua tanganku menutupi wajah. Empat bulan lebih pernikahanku dan aku sudah merasakan kejenuhan ini.

Mas Hasyim berlutut di depanku yang masih duduk seraya menangis tergugu di ranjang. Ia membuka tangkupan tanganku dan mengusap lembut wajahku. Ia mengecup mata, pipi, kening dan pelipisku lembut.

"Boleh aku tau apa yang kamu rasa padaku? Agar aku tau apa yang harus kulakukan untuk membuatmu menerima pernikahan ini?"

Aku menarik satu tangannya dan kuletakkan diatas dadaku. "Apa mas merasa jantungku berdetak kencang?"

Ia mengangguk.

"Jantung ini berdetak kencang bukan karena aku berdebar mendapatkan kecupanmu, Mas. Ini lebih karena aku lelah bertengkar dan menangis kencang."

**********

Mas Hasyim mengajakku makan malam di sebuah restaurant lesehan. Sejak pertengkaran sore tadi dikamar, kami memilih diam dan tak melanjutkan pembahasan itu.

Begitupun saat ini. Hanya kesunyian yang menemani santap malam kami. Setelah semua hidangan habis, Mas Hasyim kembali mengajakku pulang dan tak ada obrolan apapun selama perjalanan.

"Jangan tidur dulu, Hasna." Ia berucap kala aku sudah siap menaiki ranjang.

"Mau apa?" tanyaku

"Kita harus bicara."

"Kenapa tidak dari tadi?"

Ia tak menjawab justru melangkah keluar kamar. Lalu aku bicara sama siapa Mas? Tembok?

Aku sudah tenggelam dalam selimut dan siap berjalan ke alam mimpi saat pintu kamar terbuka. Kulihat Mas Hasyim memasuki kamar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Ia hanya memakai boxer saja dan memperlihatkan tubuhnya yang cukup atletis.

Aku menghela nafas. Ah ..., mengapa aku tak bernafsu sedikitpun melihatnya? Mungkin aku lelah. Jujur mataku saat ini sudah terasa berat.

Ia tak memakai kaos dan langusng menyusulku berbaring diranjang. Tanpa permisi, ia menarikku untuk tidur berbantal tangannya yang terulur. Refleks itu membuat wajahku berhadapan langsung dengan dada bidangnya.

Ya Tuhan, mau apa suamiku ini?

Ia menenggelamkan diriku dalam pelukannya dan menyurukkan wajahnya di atas kepalaku. Kurasakan ia menghirup aroma rambutku dan tangannya mengusap pelan punggungku.

"Apa kamu menikmati menjalani kehamilanmu sejauh ini?" ia bergumam

Aku mengangguk pelan. Mencoba menghindari gesekan antara kulir wajahku dan dada bidangnya. "Kecuali bagian minum obat dan vitamin," ucapku menambahkan.

"Obat dan vitamin apa yang Aisyah beri?"

"Folat ... kalsium .. penambah darah ... vitamin B complex?"

Kurasakan ia mengangguk. "Tak usah diminum jika kamu tidak suka."

Sontak aku menarik mundur wajahku dan mendongak menatapnya penuh tanya. Ia tersenyum lalu melumat singkat bibirku. "Semua kandungan yang ada pada kapsul dan tablet itu, bisa didapatkan dari buah, sayur, dan ikan, dan daging segar yang kamu makan." Aku mengerjap mendengar penuturannya. "Susu hamilnya selalu habis, kan?"

Aku mengangguk pelan, "Tapi aku lebih suka yang UHT dari pada yang seduh. Aku mual mencium bau susu." keluhku padanya.

Ia mengecup keningku lalu bibirnya merambati wajahku. "Coklat, strawberry, atau vanilla?"

"Hah?"

"Rasa susu yang kamu suka."

"Oh ..., Coklat dan Strawberry lebih membuatku nyaman saat mengkonsumsi."

Tiba-tiba ia memutar tubuh kami hingga posisiku saat ini terkungkung dibawahnya. "Besok mau belanja? Aku akan mengajakmu ke Surabaya bila perlu, untuk membeli semua kebutuhanmu selama hamil."

"Bukankah Mbak Rus yang Mas tugaskan untuk itu?" tanyaku heran pada perlakuannya yang tiba-tiba ini.

Ia menatapku lembut, dan itu sedikit mampu membuat satu reaksi aneh dalam tubuhku. "Tidak apa, sekalian jalan-jalan. Aku rindu menghabiskan waktuku berdua denganmu."

"Belum tentu aku mau," sanggahku.

"Beri aku kesempatan untuk membuatmu mencintaiku. Dan aku butuh kerjasamamu untuk membantuku."

"Baiklah," jawabku pada akhirnya.

Tak lama aku merasakan tangannya mulai bergerilya mengacak daster yang kupakai. Aku menggeliat mencoba menolak mengelak keinginannya.

"Aisyah berkata aku boleh melakukannya, Hasna, dan aku tidak ingin kamu menolakku malam ini."

Mendengar nama bidan itu disebut, aku mendadak merasa takut.

"Ehm ..., boleh aku mengajukan satu syarat, Mas?" ucapku seraya mendorongnya menjauh. "Tapi lebih baik kita duduk dulu agar bisa bicara." Hanya itu pemikiran yang terlintas diotakku saat ini untuk mengundur waktu melayaninya.

Ia menurutiku dan kini kami duduk bersila dan saling berhadapan.

"Kamu mau negosiasi apa, Hasna?" Ia bertanya seraya menatapku tegas.

Aku memainkan jari-jari kedua tanganku. Ada rasa gugup memulai pembahasan ini.

"Hasna?" panggilnya tak sabar.

Aku menghela nafas. "Begini, Mas," mulaiku tanpa menatap wajahnya. "Aku tidak tau apa yang terjadi pada rumah tanggamu dulu dan aku tak mau memaksamu memberitahuku. Aisyah pun mengaku bahwa ia pernah memiliki rasa padamu dan itu berhasil membuatku takut. Aku tidak tau bagaimana pandangan wanita diluaran sana tentang dirimu." Kali ini, aku memberanikan diri menatapnya. "Yang kutau, wanita lebih mudah tertarik pada pria yang mapan daripada tampan."

Keningnya berkerut dan aku bisa membaca ketidakpahaman di wajahnya.

Gugup aku membasahi bibirku. "Dan Mas ... menurutku ... lebih dari mapan."

"Lalu?"

"Aku hanya ingin memastikan bahwa Mas tidak akan meninggalkanku atau menyakitiku hanya karena wanita lain."

Ia mengerjap berkali seakan berusaha keras memahami permintaanku. "Apa yang membuatmu berfikir seperti itu, Hasna?"

"Entahlah," Aku menggeleng. "Yang jelas, satu syaratku. Jadikan aku yang nomor satu dan prioritasmu diatas apapun itu."

"Permintaanmu terlalu blur dan aku tak mampu menangkap maksudnya."

"Mudah, Mas!" tekanku padanya, "cukup jadikan aku yang nomor satu diatas segalanya!"

"Tidak semudah itu, Hasna."

Aku mengangkat kedua tanganku rendah, "Benar kan? Mas bahkan tidak bisa menjanjikanku apa-apa."

Ia menatapku dalam seraya mengembuskan nafas pelan. "Baik." Ia mengangguk tegas. "Tapi itu jika kamu mau bekerja sama denganku untuk membuka hatimu."

Aku menelan ludah dan menarik nafas dalam. Mengangguk, aku memulai tekadku untuk mencoba terbuka dan lebih dekat dengannya. "Deal!" kuulurkan tanganku sebagai bentuk perjanjian dan negosiasi ini.

Tak ada balasan jabat tangan yang kutunggu. Aku mulai gusar dan mengentakkan tanganku memberi aba-aba agar dia balas menggenggam.

"Bukan begitu cara suami istri melakukan persetujuan, Hasna. Kita menikah, bukan menjalani bisnis." ucapnya menjawab kekesalanku.

"Lalu bagaimana?" aku mulai tak sabar bicara dengan pria ini!

Seketika ia menciumku penuh hasrat dan mendorongku terlentang dibawahnya. Selanjutnya, aku hanya pasrah menerima 'prosesi persetujuan suami istri' yang ia maksud tadi.

***********

Maafkan hamba dobel up Hasna hahahaha...

Aku sedang mentoring kepenulisan sambil cicil2 tulis dan jadilah satu chapter lagi ahahahaha..

Maafkan daku yang nge hold rani seakan tak menyayangi anak itu. Bukannya apa, konfliknya Rani ini lebih ke keluarga dan orang tua (terutama ibu) sedang untuk konflik yang bau2 begitu.. aku mudah terenyuh dan mudah menangis jadi harus bener2 bangun feel supaya cerita itu bisa terlihat hidup. Kalian sabar menunggu kan..??

Aku mau tanya apa lagi ya ...? Lupa! Yasudah nanti2 aja lagi.. wkwkwk

Oya, satu lagi! (tiba-tiba inget!) Untuk cerita ini, mau konflik ringan atau konflik agak berat macem diandra?? Kelas beratku ya macem diandra hehehe.. aku belum mampu menulis konflik yang rumit dan terlalu menguras emosi hehehe..

Jangan lupa vote dan komennya.. Oya, kadang aku suka posting dan jawab komen2 pembaca di stories IG. Sila di follow kalau berkenan.


LopLop

Hapsari









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top