6. Hujan dan Gelegar Petirnya

Siang hari ini sangat terik. Untunglah pohon kelapa milik Mas Hasyim selalu berbuah dan Mbok Nah memberiku satu butir untuk ku minum. Ini kelapa muda dengan daging yang tebal. Meski Mbok Nah berkata kelapa hijaulah yang bagus untuk ibu hamil, namun menurutku kelapa apapun, asalkan segar dan ada airnya, tentu mampu memberikan kesegaran tersendiri untuk tubuh dan mampu menyuplai mineral yang kubutuhkan selama mengandung.

Kehamilanku sudah beranjak di minggu ke dua belas. Itu berarti sudah sekitar dua bulan aku pisah kamar dengan suamiku. Mas Hasyim menuruti pintaku untuk tak mendekatiku hingga saat ini. Di jam pulang kerja, aku akan masuk ke kamar dan menikmati camilan yang Mbak Rus buat untukku. Dipagi hari, aku hanya bertemu dengannya pada waktu sarapan dan mencium tangannya saat ia akan berangkat kerja. Yah, hanya prosesi cium tangan itulah kontak fisikku dengannya.

Aku dan Mas Hasyim belum sekalipun mengunjungi dokter untuk memeriksakan kandunganku. Sejauh ini, Aisyah, adik tiri Mas Hasyim yang berprofesi sebagai seorang bidan, rutin mengunjungiku untuk sekedar mengecek tensi darah dan mendengar jika aku ada keluhan, lalu membawakanku vitamin kehamilan.

"Apa itu Mbak Rus?" Aku melihat Mbak Rus membuka bungkusan dan menuangkannya ke mangkuk.

"Lontong kupang, Mbak. Seger makan yang kuah-kuah gini siang-siang." Ia mengambil sendok lalu siap menyantap makanan itu. Entah mengapa aku mendadak kepingin

"Ehm... Mbak, Hasna boleh minta sedikit?"

Mbak Rus menoleh padaku seraya menyenyit. "Mbak Hasna ngidam?" tanyanya

Aku mengendikkan bahu, "Kepingin, lihat itu," ucapku seraya menunjuk pada mangkuk menggiurkan itu.

"Yasudah, makan saja yang ini. Mbak biar beli lagi sekalian mau beli pupuk. Tadi lupa." Ia menyodorkan mangkuk itu padaku dan pamit untuk keluar kediaman Mas Hasyim.

Tinggalah aku disini duduk sendiri di atas gazebo yang ada di halaman belakang kediaman suamiku. Sejak keluar kerja, aktifitasku hanya berjalan-jalan keliling pekarangan rumah, memantau buah-buahan yang sedang panen, atau sekedar ngobrol dengan para janda perawat tanaman Mas Hasyim. Khusus Mbak Rus, Mas Hasyim meminta janda termuda itu untuk pulang saat suamiku sudah sampai rumah dan membantu memasak untuk makanku.

Mas Hasyim melarangku beraktifitas banyak. Ia mengancam akan menarik persetujuannya pisah kamar denganku apabila terjadi sesuatu hal dengan kandunganku. Ya, dengan kandunganku, bukan denganku. Dari awal, aku sudah mengira bahwa aku dinikahi hanya untuk tempat menanam benih keturunannya.

Aku menyuapkan lontong kupang itu dan Subhanallah ... terasa nikmat meski rasanya pedas. Aku berkeringat namun tubuhku terasa segar. Lontong kupang dengan es kelapa muda. Makan siang ternikmat sejak aku mengandung. Ya, ternikmat. Karena Mas Hasyim tidak sekalipun mengijinkanku makan masakan luar. Si Tua itu meminta Mbak Rus menyetok sayur organik, ayam kampung, dan ikan laut segar. Sedang ikan air tawar dan payau, tentu dari tambaknya.

"Mbak Hasna mau rujak? Jambu airnya sudah mulai berbuah sebagian. Mbok Nah buatkan sambalnya mau?"

Aku mengangguk tegas dan meminta mangga muda agar disandingkan juga dengan si jambu air itu. Selesai lontong kupang, aku lantas menikmati kesegaran buah dan sambal rujak buatan Mbok Nah. Ya Allah, nikmat manakah yang ku dustakan?

Aku tak sedikitpun merasa bosan tinggal disini. Tentu saja, karena para perawat tanaman yang sangat baik dan perhatian padaku. Mereka menganggapku Nyonya namun mereka menyayangiku layaknya anak mereka.

Aku menyernyit kala mendengar suara deru mobil memasuki kediaman Mas Hasyim. Aku bertanya pada  Dayat yang siapa yang datang dan ternyata Mas Hasyim. Buat apa dia siang-siang begini pulang? Bukankah Mbak Rus sudah membekali dia makan siang?

Suara langkah tegapnya terdengar dirunguku. Sepintas aku melirik ia berjalan kearahku. Aku melengos dan memandangi apa saja yang penting tidak bertatap mata dengannya seraya tetap menikmati potongan buah dan sambal buatan Mbok Nah.

"Sudah makan?" Ia duduk di pinggir gazebo, tepat dibelakang punggungku.

"Hm"

"Aku tidak melihat masakan apapun di meja makan."

"Aku makan lontong kupang milik Mbak Rus. Ia tak perlu memasak lagi untuk makan siangku," jawabku tanpa sedikitpun menoleh padanya. Anehnya, ada desiran halus yang tiba-tiba hadir di hatiku. Mungkin ini rasa bersalah dan sungkanku padanya. Entahlah.

"Jangan makan sembarangan. Jaga kesehatanmu, Hasna."

"Apa aku pernah sakit sejak kita pisah kamar? Kesehatanku tergantung kestabilan emosi dan pikiranku. Selama aku tenang, aku yakin tubuhku akan baik-baik saja."

Hening. Ia tak membalas jawabanku sedikitpun.

Aku melanjutkan gigitan buahku tanpa bergerak kemanapun. Menolehpun tidak. Biarlah angin yang mengisi kekosongan dan keheningan diantara kami. Dayat dan para janda perawat tanaman sudah tidak terlihat lagi di taman belakang. Mereka tau bahwa hubunganku dan Mas Hasyim tidak baik-baik saja. Namun mereka tidak mencampuri dan bertindak seakan tidak terjadi apa-apa diantara kami.

Lima menit, ia tak beranjak sedikitpun. Tahukan dia kakiku sudah keram duduk bersila demi memunggungi dia?

"Hasna," panggilnya lembut dan lirih hampir menyerupai bisikan.

"Hm."

"Boleh Aku memegang perutmu?" bisiknya ditelingaku tiba-tiba dan berhasil membuat tubuhku terperanjat kaget.

Ia menghela nafas. Aku terdiam tak menjawab karena tubuhku tiba-tiba tegang. "Yasudah. Tidak jadi," ucapnya lirih dan kutangkap ada nada kecewa disana.

"Sentuh saja, asal tidak lama." Entah ini angin dari mana, namun mulutku tiba-tiba mengucapkan itu.

Baru saja aku menutup mulut, dan tangan kekar itu tiba-tiba sudah terulur dari belakangku. telapak tangannya bersarang di perutku. Mengusap bagian bawah perutku pelan seakan ia tengah menyentuh sesuatu yang rentan pecah. Aku melirik kebawah dan menatap punggung tangannya yang legam dengan garis urat yang tercetak di beberapa tempat.

Merasakan usapan lembutnya, entah mengapa hatiku merasakan sesuatu yang aku tidak tau itu apa? Ada sedikit nyaman yang terasa di relung hati. Namun aku tak ingin berasumsi lebih.

"Sudah, Mas. Tolong lepas," pintaku.

Tangan kekar itu perlahan bergerak menjauhi perutku. Tanpa meminta ijinku, ia tiba-tiba mengelus punggungku dan mengecup pucuk kepalaku.

"Jangan sentuh aku!" refleks aku berucap keras padanya, "Aku sedang tidak ingin berurusan dengan emosiku saat ini. Aku hanya minta ketenangan dan kewajiban Mas memberiku hal itu!" gusar Aku berkata padanya.

Aku tak tau apa yang terjadi, ia masih terpaku berdiri di pinggir gazebo dibelakangku. Aku sungguh sedang tak ingin melihatnya. Tolong pergilah, Mas. Jangan bangkitkan emosi apapun dalam tubuhku!

"Aku pergi, " pamitnya seakan mengerti inginku. Suara langkah kaki tegapnya terdengar menjauh.

Aku menghirup oksigen sebanyak mungkin dan menepuk-nepuk dadaku lembut. Lihat kan, kehadirannya selalu mampu membangkitkan satu emosi dalam tubuhku. Detak jantungku bahkan berdegup kencang karena kalut dengan kehadirannya.

Suamiku, adalah sumber emosiku.

***********

Aku heran, siang tadi matahari terik menyinari. Namun malam ini, mengapa hujan bisa turun dengan derasnya ditemani gelegar petir? Sedang Aku, sejak dua jam lalu mendadak menjadi pengunjung rutin kamar mandi.

Mas Hasyim tengah duduk di sofa ruang tivi dan fokus pada layar plasma lima puluh inch itu. Ia tampak tak tergangu dengan dengan aktifitasku yang mondar mandir keluar masuk kamar tidur dan kamar mandi. Salah sendiri mengapa ia tak membuat kamar mandi dalam seperti milik orang kaya kebanyakan?

Auh ... perutku bermasalah ...

Aku merebahkan tubuhku diatas ranjang dan mengusap keringat dingin yang mulai menjalari beberapa bagian tubuhku. Diare sejak petang tadi membuat tubuhku agak lemas ...

Kurasakan ranjangku melesak kala aku sudah nyaman memeluk guling dan hendak menutup mata. Aku refleks menoleh dan kudapati Mas Hasyim sudah berada diatas ranjang. Tangannya terulur menyentuh kening dan sekitar leherku. Mengusap keringat yang sejak tadi tak berhenti mengucur.

"Saya sudah bilang. Jangan makan sembarangan!" Dia berucap tajam seakan aku melakukan satu kesalahan fatal.

"Sembarangan? Aku hanya makan lontong kupang! dan itu halal! Mbak Rus baik-baik saja, padahal memakan menu yang sama. Perutku hanya kaget karena sudah lama tidak mengkonsumsi makanan pedas dan itu akibat peraturan Mas!" Aku mengomel panjang sekuat tenaga ditengah tubuhku yang terasa tak berdaya.

Dengusan kesal kudengar darinya. Pria itu beranjak keluar kamar dan menutup pintunya. Aku kembali memejamkan mata. Berusaha terlelap meski ada rasa tak nyaman mendera. Tak lama, pintu kembali terbuka dan aku tidak perlu repot bergerak untuk tau siapa yang datang.

"Minumlah," Ia menarikku pelan agar terduduk diranjang dan menyodorkanku segelas teh tawar kental yang hangat.

"Sudah," aku menyodorkan cangkir itu saat kurasa tenggorokan dan tubuhku sudah cukup hangat dengan minuman itu. Aku kembali membaringkan diri seraya meliriknya yang masih memperhatikanku.

Ia bangkit dari ranjang, meletakkan cangkir di nakas lalu mengambil minyak kayu putih dari meja rias. Tanpa permisi, ia menyingkap dasterku dan membalurkan minyak disekitar perutku. Tangannya perlahan mengusap-usap perutku yang mulai membuncit kecil.

Tangannya gemetar. Aku mengerjap merasakan getaran lembut itu dipermukaan kulitku. Ia gugup? Bukankah ia sudah menjamahku lebih dari ini?

"Ehem ..."

Dia menoleh padaku. Memandangku penuh tanya. Tangannya berhenti mengusap namun tetap bersarang di atas perutku yang mulai tampak itu.

"Bukankah aku meminta Mas untuk----"

"Tolong tahan kebencianmu padaku saat ini saja!" selanya cepat, "Sebentar saja. Hanya malam ini sampai perutmu kembali baik." Ia bicara tegas dengan wajah yang terlihat mengetat. Namun aku tak buta untuk melihat permohonan dari binar matanya.

Aku menghela nafas jengah. Ingat! pria ini dingin dan otoriter. Tubuhmu saat ini kurang fit, Hasna. Jadi, lebih baik untuk tidak melakukan konfrontasi apapun dengannya.

Mengambil guling, aku kembali memunggunginya dan memeluk guling agar segera terlelap. Hujan deras yang memberikan kesejukan malam ini, sayang jika tidak dinikmati sebagai pengantar tidur agar aku bisa terlelap. Kurasakan tubuhnya berbaring menempel padaku dan memelukku dari belakang. Tangannya tetap bekerja mengusap-usap perutku.

Tak berselang lama mataku terasa berat. Ada kenyamanan dan ketenangan yang menjadi pengantar tidurku. Mungkin suara hujan dan kesejukannya yang membuatku sedikit lebih rileks malam ini.

Kurasakan kecupan kecil disekitar pundak dan belakang kepalaku saat kesadaranku sudah diambang mimpi dan kenyataan.

Ini nyaman. Dan entah mengapa, terasa memabukkan ...

*******

Yang kangen Hasna .... Monggo dilanjut episodenya hahahaa...

Jangan lupa vote dan komennya sayang...


LopLop

Hapsari




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top