4. Kencan Pertama

Sudah satu bulan pernikahanku dengan Mas Hasyim Berjalan. Ini adalah minggu keempat hubungan jarak jauh kami. Sore nanti, seperti biasa, Mas Hasyim akan menjemputku dan membawaku pulang kekediamannya dan memintaku untuk menjadi istrinya lagi.

Satu bulan ini, memang tidak ada pertengkaran berarti diantara kami. Ia kerap mengalah apabila aku mulai naik darah. Setiap malam atau kapanpun ada kesempatan, Ia akan memintaku melayaninya untuk urusan ranjang. Aku jengah, namun nasihat Ummah dan abah disetiap perbincangan kami ditelepon, membuatku pasrah saja menyerahkan diriku seutuhnya pada manusia itu.

"Mbak Hasna, suaminya sudah datang itu!" Seorang santri mengetuk pintu kamarku dan memberitahuku perihal kedatangan Mas Hasyim.

Aku bergegas keluar kamar dan mengunci pintunya sebelum berjalan menemui suamiku itu. Langkahku terhenti kala mendapati Mas Hasyim tengah berbincang dengan Gus Hasbi. Lihatlah perbedaan sepupu itu. Gus Hasbi terlihat muda, menyenangkan, hangat, ramah, dan suka tersenyum. Berbeda dengan Mas Hasyim yang pendiam, irit bicara, dingin, jarang tersenyum, dan tua. Namun saat matanya mendapati kehadiranku, ada sorot teduh dan lembut yang terpancar dari netranya. Segitu cintanya Dia kepadaku? sayangnya aku tidak!

Ia menjulurkan tangannya untuk kucium. Aku terkejut kala tiba-tiba Ia mencium kening dan pipiku di depan Gus Hasbi. Apa maksudnya? Aku tak suka dipermalukan seperti ini! Aku tersenyum kikuk saat Gus Hasbi menggoda kami dan tersenyum padaku penuh arti. Sungguh, andaikan Ia menjadi milikku. Kami berjalan menuju mobil beriringan setelah pamit pada pria yang kucintai dalam diam.

Tak ada satu kalimatpun yang terlontar dari mulutku. Aku masih enggan terlalu dekat dengannya. Mobil berhenti kala lampu lalu lintas berwarna merah. Ia menoleh padaku dan mencium pucuk kepalaku,

"Aku merindukanmu, Hasna." ucapnya lembut sebelum kembali konsentrasi pada kemudi.

aku hanya berdehem pelan menjawab ungkapan cintanya. Entahlah, tak ada sedikitpun rasa yang tumbuh dihatiku untuknya sampai saat ini. Justru, rasa iri terhadap Medina dan nelangsa atas patah hatiku terhadap Gus Hasbi yang semakin berakar dilubuk hati ini.

Beberapa jam perjalanan ditambah dua kali berhenti di masjid untuk shalat, akhirnya mobil Mas hasyim memasuki pelataran kediaman tengah hutannya itu. Aku memasuki kediaman Mas Hasyim dan menyernyit kala kudapati meja makan penuh dengan berbagai macam hidangan.

"Ayo makan, tadi saya minta tolong Mbak Rus memasak untuk makan malam kita." Ia menggenggam tanganku lembut dan menggiringku duduk di meja makan.

Kami makan dalam diam. Sesekali Ia bertanya tentang persiapanku dan murid-muridku menghadapi Ujian Nasional. Aku hanya menjawab seperlunya dan tak terlalu menanggapi beberapa obrolannya.

Selesai makan, aku mencuci piring dan membereskan sisa makan kami. Ia membantuku hingga selesai lalu menggendongku menuju kamar kami. Tadinya aku menolak, Namun bungkamannya membuat tubuhku seketika lunglai. Aku mungkin lelah akibat perjalanan Mojokerto-Gresik sore ini.

Ia membuka hijabku. Memandangku lembut seakan Ia memiliki cinta begitu besar untukku. Bukannya apa, Aku hanya bingung, dari mana cinta itu bisa tumbuh sedang kami tidak pernah dekat sebelumnya? Aku hanya bertemu dia beberapa kali dan hanya saling sapa singkat. Tak pernah bicara panjang sekalipun.

"Aku ingin melakukannya malam ini," bisiknya padaku dengan tangan tak henti bergerak membuka pakaianku.

"Apa aku bisa menolak?" tanyaku lirih, "Kamu bahkan tak pernah mau mengerti perasaanku sedikitpun terhadapmu. Bagimu, aku hanya pelayanmu."

Ia berhenti bergerak, lalu menatapku tajam. Ada emosi dan kecewa dibola matanya. Aku tak peduli. Memang iya kan? Apa dia mengerti perasaanku yang tak mencintainya? yang setengan hati melayaninya terutama di ranjang? Apa Ia tau bahwa dihati ini masih ada ...

"Aku akan berusaha memiliki hatimu dengan cara apapun itu, Hasna. Ingatlah, kamu istriku, bukan seperti yang kamu anggap dan ucapkan itu!"

Aku hanya tersenyum sinis dengan tetap pasrah mengikuti permainannya. Melayani apa maunya. Sebanyak apapun itu, hingga tubuhku tak bertenaga dan rela terlelap dipelukannya.

*******

Suara gemericik air membangunkanku dari lelap dan lelah yang suamiku ciptakan untukku. Aku beranjak dari tidur dan bersiap untuk membersihkan diri.Ia keluar dari kamar mandi yang ada didalam kamar kami. Tanpa menyapanya, Aku langsung saja masuk dan menutup pintunya.

Kami shalat berdua dengan khusyuk. Aku bicara pada Tuhanku, bisakah DIA menghilangkan rasa cintanya padaku agar aku bisa bebas dari pernikahan ini? Aku sungguh tak menikmati berada bersama pria ini. Satu bulan pernikahanku, aku kerap meminta Tuhan mengambil salah satu dari kami agar berpisah, atau menghadirkan satu sosok baru yang bisa saja memisahkan kami. Intinya, aku meminta agar ada perpisahan pada takdir kami.

Usai shalat dan doa, Ia menatapku lembut. Kami saling memandang dalam diam. Aku melihat sorot mendamba dan penuh kerinduan pada tatapannya padaku. Namun aku, hanya memiliki sorot kecewa dan hampa untuknya. Maafkan aku, Mas.

Aku bukanlah wanita yang mampu membohongi diri sendiri. Mata selalu mampu memberikan kejujuran. Berbeda dengan mulut yang selalu mampu merangkai kata manis dibalik kepahitan.

Ia kembali melumat bibirku. Aku hanya bergeming membiarkannya memilikiku. Jujur, hingga saat ini, tak sekalipun aku membalas sentuhannya. Aku hanya mengikuti alur yang Ia bawa kemanapun itu. Aku terlampau pasrah dan terlalu malas untuk mengelak.

"Ikut Saya ke tambak, ya! setelah itu kita pergi ke butik milik temanku. Aku ingin membelikanmu beberapa baju baru." Ia mengusap lembut pipiku setelah ciuman paginya itu.

"Apa aku bisa menolak dan minta berdiam diri dirumah Ummah Abah saja?" tanyaku retoris.

Ia tak menjawab, justru tersenyum manis lalu mencium keningku lama.

Kami tengah duduk di sebuah gubuk di pinggiran tambak milik Mas Hasyim. Abah memiliki tiga sertifikat tanah yang dijadikan tambak ikan dan garam. Semua tanah-tanah itu, jika kugabungkan kurang lebih 3,5 hektare. Disini, aku baru tau jika Mas Hasyim memang pantas disebut tuan tanah. Ia memiliki lebih dari 25 hektare tanah yang terpecah di lima tempat.

Jujur Aku sempat malu saat tau Ia jauh lebih kaya dari Abah dan curiga akan menjual tanah Abah yang jika dibandingkan, hanya sepersekian dari miliknya. Tapi aku cuek saja, toh Pria itu tidak marah. Lagipula memang saat itu aku belum tau tentang dia kan?

Aku memperhatikan dia tengah serius berbincang dengan para pekerja disana. Ku akui, Ia terlihat berkuasa dan berwibawa jika ditempat seperti ini. Yang kutau dari Abah dulu saat emmintaku menikah dengannya, Ia adalah pria yang pekerja keras dan taat beribadah. Aku tak membantah. Karena sejauh ini, memang hal itu yang terlihat.

Ia juga lembut dan santun. Akupun tak pernah mendapat kekerasan apapun darinya. Ia tegas jika bicara, namun Ia tak pernah keras dalam menghadapi wanita.

Satu pertanyaanku. Mengapa Ia bercerai dengan mantan istrinya dulu? Jika Ia sudah kaya, baik budi, dan taat beragama. Ia juga sudah membuktikan jika Ia pria sejati bukan? Ehm ..., maksudku Ia sudah membuktikannya padaku.

"Hasna, sudah terik. Ayo kita cari makan siang dan langsung ke butik. Kalau bisa ...," ucapnya tertahan seraya menatapku lekat, "saya ingin kita menghabiskan malam diluar bersama. Mungkin seperti kencan?"

Aku tak merespon dan hanya mengangkat kedua bahuku sekali lalu berlalu mendahului dia menuju mobil.

Sesampainya di butik milik teman Mas Hasyim, aku memilih beberapa baju dan aksesoris. Mas Hasyim tak membatasi apa yang ingin kubeli. Ia juga tak mempermasalahkan berapapun harga baju yang kupilih. Dari temannya, Aku tau bahwa Mas Hasyim adalah tipikal pria yang royal pada sesamanya. Tak heran jika Ia memanjakanku seperti ini.

Sore hari kala aku beranjak pergi dari butik. Entah mengapa tubuhku terasa sangat lelah dan kepalaku pusing. Beberapa kali aku merasa mataku speerti berkunang-kunang. Sepertinya aku lapar. Aku meminta Mas Hasyim berhenti di sebuah rumah makan. Teh hangat mungkin dapat mengembalikan staminaku.

Aku turun dari mobil dengan kepala yang terasa berat dan mata yang berkunang. Perlahan aku melangkahkan kaki meski jalanku seperti sempoyongan. Hingga tiba-tiba aku merasa tubuhku lemah dan seseorang menopangku saat aku terjatuh.

Semua terasa gelap dan aku tak sadarkan diri. Bolehkah aku berharap, Aku sudah mati?

*********************




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top