3. Kerajaan Hasyim
Aku membuka mata. Masih terasa di tubuhku sisa percintaan kami saat matahari terbit tadi.
Percintaan? Aku bahkan tidak tau definisi bercinta. Aku, tidak mencintainya dan melakukan itu hanya karena suamiku yang selalu menitahku untuk melayaninya.
Ia memperlakukanku dengan lembut. Tak sedikitpun menyakitiku. Ia bahkan ..., mampu memberiku rasa baru kala melayaninya. Namun, masih ada rasa tidak terima atas takdir ini. Dimiliki oleh pria yang tak kucintai tidaklah menciptakan bahagia dihatiku sedikitpun.
Aku menoleh kearah pintu dan mendapati suamiku dengan rambut basahnya datang dan mendekatiku. Ia duduk dipinggir ranjang dan mengusap lembut rambutku yang berantakan.
"Bangunlah! Aku membuat sarapan untukmu."
"Aku tidak mau meminum susu buatanmu!"
Ia menatapku. Tak membalas penolakanku akan permintaan anehnya tentang susu hamil itu. Sejak menikah, Ia memintaku untuk mengkonsumsi susu aneh itu setiap pagi dan malam. Aku sungguh tak memahami pola pikirnya.
"Aku harus pergi ke tambak. Temani aku sarapan!" Ia berlalu dan meninggalkanku dikamar sendiri.
Aku mendengus sebal. Beginikah rumah tangga yang katanya membuat senyummu merekah sempurna? semua itu bohong belaka.
Selepas aku membersihkan diri, kami menikmati sarapan dalam diam. Ia membuat mie instan dengan telur dan sayur yang banyak.
"Siang nanti, aku akan pulang untuk makan siang. Aku sedang ingin makan ikan. Tolong buatkan."
"Hm." Aku masih enggan menatapnya lama. Menghitung jumlah mie yang ada dimangkuk rasanya lebih menarik daripada berbicara dengan pria ini.
Ini adalah hari ketiga aku menjadi istrinya. Cuti dua mingguku sudah habis dan besok sudah waktunya aku kembali bercengkrama bersama anak-anak lucu itu. Aku mengantar Mas Hasyim menuju mobilnya. Untuk ukuran tuan tanah seperti dia, mobil pick up mungkin adalah pilihan yang baik dan sesuai dengan selera anehnya. Ia menjulurkan tangan dan aku menyambutnya lantas mencium punggung tangannya sekilas.
Ia mencium keningku lembut dan lama, "Assalamualaikum," ucapnya lalu berjalan menuju mobil baknya itu.
"Mbok Nah!" aku menyapa salah satu pekerja suamiku.
"Ibu ...," sapanya sopan padaku.
"Jangan panggil Ibu, saya masih muda Mbok. Panggil Mbak saja," pintaku padanya. "Yang lainnya kemana?" tanyaku melanjutkan.
"Sri sedang menyapu bagian kebun belakang. Minah sedang menyiapkan pupuk, Rus sedang memanggil Dayat untuk bersiap memanen mangga dan nangka. Saya ya disini, rapih-rapih bagian depan."
Aku tersenyum seraya mengangguk.
"Mbak Hasna mau mangga dan nangkanya? Pak Hasyim biasanya menolak karena dia kayaknya ndak suka makan buah. Jadi semua hasil panen pekarangan rumahnya murni jadi milik kami, para janda pengurus tanaman," jelasnya seraya terkekeh ringan.
"Boleh Mbok, mangganya saya minta tiga buah saja."
"Yang muda? kali aja Mbak ngidam," candanya.
Aku menggeleng seraya tersenyum padanya. Padahal tubuhku tengah merinding membayangkan aku hamil secepat ini. "Yang matang pohon, Mbok. Mau Saya buat jus."
Wanita paruh baya itu mengangguk lantas pamit untuk kembali melakukan pekerjaannya.
Aku memutar pandanganku menjelajahi pekarangan luas milik suamiku. Bagiku, ini adalah hunian ditengah hutan. Banyak pohon buah-buahan tertanam subur disini. Para janda yang menjadi teman Mbok Nah adalah pekerja yang bertanggung jawab mengurus kebersihan pekarangan sekaligus pemilik hasil panen. Hasyim, tak pernah mengambil sedikitpun hasil panen itu, kata Mbok Nah.
Aku berjalan pelan mengitari pekarangan luas milik suamiku. Kelengkeng, jambu, belimbing, mangga, Nagka, Naga. Ya Allah, banyak sekali! Aku bahkan tak bisa mengidentifikasikan setiap tanaman itu.
Menyapa para pekerja yang tengah sibuk dipagi hari ini, sesekali Aku berbincang dan bercengkrama bersama mereka. Membahas tanaman yang mereka rawat dan sesekali mencuri informasi tentang Hasyim si Datuk Maringgi suamiku.
Semua yang mereka bicarakan tentang suamiku adalah hal yang baik. Bagaimanapun aku memancing mereka dengan berbagai pertanyaan, tetap citra baik yang mereka lontarkan tentang pria itu.
Dering ponselku berbunyi. Mas Hasyim meneleponku.
"Aku sedang bersiap mengemudi pulang. Sudah masak?"
Astaga! Aku lupa! Sudah jam berapa ini? "Ehm.. belum. Aku ... sedang bercengkrama bersama orang-orang baik yang mengurus pekarangan rumahmu."
"Rumah kita," ralatnya cepat, "Masaklah sekarang. Buatkan ikan goreng dan sambal saja sudah cukup."
Aku mengiyakan dan menutup perbincangan kami. Bergegas aku memasuki kediaman Mas Hasyim melalui pintu belakang dan langsung membuatkan menu makan siang yang Ia minta.
Mujair goreng, Tempe, lalapan, sambal mentah dan sambal mangga muda. Aku akhirnya meminta tiga buah mangga matang pohon dan satu mangga muda untuk sambal.
Suamiku tampak lahap menikmati masakan yang kubuat. Sedang aku, sedikit menyernyit saat merasakan gurami gorengku yang terlampau asin dan sedikit pahit gosong. Baiklah, ini salahku karena terburu-buru hingga tidak fokus memasak dan berakhir melupakan ikan yang tengah kugoreng dengan api besar.
Ia tidak mengeluh sedikitpun dan menghabiskan apapun yang kubuat. Tempe gorengku pun tidak matang sempurna. Untung sambal yang kubuat tidak terlalu buruk. Semoga rasa sambal itu bisa menutupi kekacauan gurami dan tempe gorengnya.
"Kamu mengambil hasil panen mereka?" tanya Mas Hasyim kala aku menyodorkan satu gelas jus mangga untuknya.
"Hasil panen mereka?" tanyaku seraya menyernyit, "Bukankah ini tanahmu?"
Ia mengangguk, "Iya, tapi aku membebaskan mereka memiliki hasil panen semua tanaman yang mereka rawat."
"Jadi aku salah mendapatkan empat buah mangga ini!? Mbok Nah yang menawariku dulu dan kuterima karena aku menghargai dirinya. Dan tolong ya, Mas! Ini rumahmu dan pekaranganmu. Kamu pun berhak untuk mengambil sedikit dari hasil panen itu!" seruku ketus dan lantang.
Ia tersenyum samar dan memandangku lembut.
"Apa!?" tanyaku dengan nada masih emosi.
"Aku suka mendengarmu memanggilku Mas," ucapnya datar namun terdengar lembut, "Jika kamu menginginkan buah-buahan itu, ambilah. Namun katakan padaku agar aku bisa memberi mereka uang sebagai gantinya. Meski tumbuh dipekaranganku, bagiku, semua hasil panennya adalah milik mereka."
"Jangan-jangan kamu tidak menggaji mereka?" tanyaku curiga.
Ia menatapku dalam dan lamat. "Aku memberi mereka gaji. Tapi bagiku, hasil panen tetap milik mereka. Semoga kamu ikhlas dengan keputusanku."
"Terserah!" rasanya tidak lucu aku berdebat dengannya hanya masalah buah.
Ia beranjak dari duduknya saat aku membereskan sisa makan siang kami. Aku mendengus lirih kala Ia melingkarkan tangannya dipinggangku dan mencium bibirku lembut. "Aku kembali ke tambak. Jangan terlalu lelah dan jangan lupa minum susu hamilnya. Aku sungguh menginginkan kamu hamil secepatnya."
"Pergi!" ucapku dingin seraya meliriknya penuh benci.
****************
Ah .... Aku merindukanmu, Pondok Pesantren Al- Istiqamah.
Aku tersenyum kala mobil Mas Hasyim memasuki pelataran pondok pesantren tempatku bekerja. Namun senyum manis penuh kerinduan itu lenyap kala netraku memandang Medina dan Gus Hasbi yang tengah berjalan bersama seraya bercanda mesra.
Harusnya aku yang bersama Gus Hasbi!
"Jangan sekali-sekali Kamu merusak hati dan pikiranmu karena pria lain, Hasna!"
Aku menoleh dan mendapati suamiku memandangku lekat dengan rahang yang mengeras. Dia tau aku mengamati pasangan itu dan Dia marah padaku?
"Bagaimana Aku bisa merusak hati dan pikiranku, jika hatiku saja sudah hancur sejak Mas memilikiku." Aku menatapnya santai dan acuh.
Ia mendekatkan wajahnya dan melumat bibirku sekilas. "Aku akan menjemputmu setiap jumat sore. Jaga kesehatan. Jangan abaikan setiap panggilanku diponselmu, istriku."
Aku turun dari mobil dan menutup pintu itu dengan kasar. beberapa santri tampak kaget saat mendengar suara pintu mobil yang kudorong dengan kencang. Aku tak peduli meski sebenarnya sedikit malu. Aku melangkah menuju kediaman Ummi Khalila tanpa menunggu keponakannya yang masih sibuk dengan barang bawaanku.
Setelah menyapa Ummi Khalila dikediamannya, Mas Hasyim meminta izin mengantarku sampai kamar. Aku ingin menolak, namun tak mungkin karena pemilik tempatku bekerja masih keluarganya. Kami berjalan beriringan dalam diam menuju kamarku. Ia masuk dan meletakkan barang-barang bawaanku didepan lemari.
"Aku langsung pulang, ya," ucanya pamit padaku, "Ada yang mau kirim bibit udang sore ini. Aku harus segera sampai tambak lagi," tambahnya.
"Aku bahkan tidak mengharapkan kamu ada disini, Mas. Seharusnya kamu hanya mengantarku sampai parkiran saja. Tidak perlu sejauh ini. Pulanglah, Aku ingin tenang tanpa melihatmu."
Tak ada emosi yang terpancar di wajahnya. Baguslah jika Dia sadar bahwa kehadirannya hanya menghancurkan hidupku dan tidak tersinggung atas ucapanku tadi. Ia mengecup pucuk kepalaku dan pergi meninggalkanku sendirian dikamar ini.
Kamar yang dulu kutempati bersama Medina. Namun keberuntungan memihaknya yang dinikahi Gus Hasbi sedang aku hanya mendapat ampas kesialan dengan dimiliki seorang duda tua.
************
Thanks to black matcha ice cream, kacang garuda dan sate madura yang berhasil mem-boosting mood dan energy ku untuk update di malam ini..
besok no update yah ...! Aku mau rumpik dari pagi sampe sore di sekolahan JQ karena rapotan dan setelah itu, biasanya ada tagihan jalan2 dari putra mahkota.
Jangan lupa vote pemirsah. I Lav ya!
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top