2. Pengantin Baru
"Apa yang Abah lakukan!?" Aku berteriak lantang dan berjalan cepat menuju tempat Abah dengan mata yang terlihat sedikit bengkak pagi ini.
Bagaimana aku tidak kaget, melihat Abah memberikan semua sertifikat tambak yang beliau punya pada Hasyim.
"Itu milik kita, Abah. Jangan pindah tangankan pada orang lain!"sergahku menegur Abah.
"Orang lain?" tanya Abah santai dengan kerutan samar dikeningnya, "Hasyim suami Kamu, Hasna. Dia anak Abah sekarang dan Dialah yang akan menjadi ujung tombak keluarga Kita."
"Abah percaya sekali dengan Pria ini!?" Aku menggeleng dan membuat gestur tak terima atas keputusan Abah soal sertifikat tambak. "Bagaimana jika Dia justru menjual harta Abah dibelakang?" tanyaku seraya menunjuk dan melirik tajam pria itu.
"Ikut Aku ke notaris hari ini! Aku pastikan dua per tiga dari tanah yang kumiliki, akan beralih menjadi atas nama istriku." Dia berucap tenang. Namun sorot matanya tajam dan rahangnya terlihat mengeras.
Aku menyorotkan tatapan benciku padanya, "Aku tidak butuh apapun! Aku tidak menjual diriku dan masa depanku untuk apapun yang Kamu punya! Kamu menghinaku, heh!?"
"HASNA!!" Abah menegurku keras dan lantang. Aku terkesiap dan langsung menatap Abah penuh penyesalan. Aku mencintai Abah, Aku mencintai Orangtuaku. "Hasyim suamimu. Berlakulah layaknya seorang istri pada suaminya!" ucap Abah menitahku telak.
"Semalam ... semalam ..." aku terisak dan berusaha mengadukan kesakitanku pada Abah. Namun lidahku kelu dan Ummah tiba-tiba datang memelukku erat.
"Ikut Ummah! Biarkan Abah dan Hasyim menyelesaikan urusan mereka!" Ummah menarikku dan membawaku masuk ke kamarku. Kamar yang masih penuh dengan bunga dan hiasan khas pengantin baru.
"Hasyim sudah menjadi suami kamu. Sah, dimata hukum dan agama. Tidak baik membuka kehidupan rumah tanggamu di depan orang lain. Apalagi ada Hasyim disana."
Aku masih terisak dan memandang sendu Ummah, "Semalam ... Pria itu ..."
"Apapun yang Dia lakukan semalam, sudah menjadi haknya, dan kewajibanmu," sergah Ummah cepat padaku.
"Tapi Hasna tidak mencintainya, Ummah!" Aku bisa stress lama-lama jika dihadapkan pada orang-orang yang berpihak penuh padanya.
"Kenali Dia!" Ummah menatapku tajam dan serius. Seakan perintahnya barusan adalah hal yang harus menjadi prioritas dihidupku. "Kenali dan dekati suamimu, maka kamu akan tau siapa Dia sebenarnya ..."
"Duda tua yang ditinggal cerai istri dan anaknya," jawabku singkat.
"HASNA!" Ummah membentakku, "Jaga mulut kamu!" Ummah bahkan tampak tak terima dengan ucapanku. Lihatlah, siapa anak Abah dan Ummah sekarang? "Hasyim sangat berarti bagi kami, Hasna! Tolong jangan bicara seperti itu tentang Dia."
"Berarti? Apa karena hanya dia yang mampu mengelola tambak Abah?" tanyaku tak terima.
Ummah menggeleng, "Tidak. Ini bukan soal tambak ... ini tentang ..."
"Ayo pulang!" Aku dan Ummah sontak menoleh pada asal suara yang tiba-tiba hadir diantara perdebatan kami.
Pria itu berdiri tegap memandangku dengan tenang. Netranya tampak teduh namun Aku tau Dia menatapku dalam dan ... seakan ada sesuatu hal yang tak kumengerti disana.
"Pulang?" tanyaku, "pulang kemana? bukankah aku sudah pulang dan berada dirumahku sekarang?"
"Pulang kerumahku, istriku." Sial! Ia menekankan kata terakhir dikalimatnya. Kata yang paling tidak sudi kudengar.
"Aku tidak mau!"
"HASNA!" Ummah membentakku lagi.
Aku menghela nafas sebal dan menghentakkan kaki dengan kasar. Pria itu memang kurang ajar!
************
Baiklah,
Dia Datuk Maringgih tak tahu diri dan Aku Siti Nurbaya yang matrealistis. Itukah yang terlihat pada kami saat ini?
Aku turun dari mobil dan kini berdiri tegak di pelataran rumah Pria itu. Rumah ini, megah. Bangunannya tidak besar. Perkiraanku, hanya ada sekitar tiga kamar dalam dua lantai. Namun halaman yang mengelilingi rumah ini, aku bahkan tak bisa memperkirakan seberapa luasnya.
Aku terkesiap saat salah satu tanganku Ia gandeng. Pria itu menarikku berjalan mendekati bangunan itu.
"Tidak ada yang menyambut?" tanyaku kala kulihat Ia mengeluarkan kunci dari saku dan membuka pintu utama.
Pria itu menoleh seraya menatapku dengan tanya, "Kamu berharap bertemu siapa? Bukankah Kamu tau bahwa ibuku sudah tiada?"
Aku menggeleng cepat, "Maksudku, seperti penjaga rumah atau pelayan atau ....," oh tidak! Aku mebeliakkan mataku hingga terlihat bulat sempurna, "Jangan-jangan kamu tidak memiliki asisten rumah tangga dan memintaku untuk mengurus gubuk ditengah hutanmu ini!?" Aku merentangkan tangan dan menatapnya tajam.
Ia memandangku lekat, "Apa aku bicara seperti itu? Aku memang tinggal sendiri disini. Tapi Aku memiliki orang yang bertugas merawat hunianku," jawabnya santai. Ia kembali meraih tanganku dan menggandengnya. Aku mengikuti kemanapun langkahnya menuju. "Aku lebih suka sendiri. Karena aku ingin menghabiskan setiap malam berdua denganmu, tanpa ada yang tau."
Aku menoleh dan refleks melepaskan genggaman tangannya. Apa tadi dia bilang?
Aku mengatur emosi dan deru nafasku, "Baiklah, namun Aku harus meminta maaf. Karena keinginanku tidak akan terwujud secepat itu."
"Kenapa?"
"Kurasa Kamu tau jika aku mengajar di pondok pesantren milik Kyai Imron di Mojokerto. Apa kamu tega membiarkanku pulang pergi Gresik - Mojokerto, Suamiku?" Aku memicingkan mata dan menekan kata-kataku yang terakhir.
"Kamu bisa berhenti," usulnya.
Aku menggeleng tegas, "Tidak Akan! Aku mencintai pekerjaanku dan murid-muridku sedang Aku tak sedikitpun mencintaimu."
"Aku akan menjemputmu setiap akhir pekan. Pastikan Kamu tidak memiliki jadwal apapun setiap Aku membutuhkanmu sebagai istriku." Ia kembali mengambil tanganku dan menarikku memasuki kamarnya.
"Lepas!" aku menarik tanganku kasar dan berkacak pinggang dihadapannya. Ia melengos dan berjalan mendekati lemari yang ada di kamarnya. Mengambil kotak kayu yang saat Ia buka..., "Perhiasan? Buat apa Mas tunjukan semua itu? Aku tidak tertarik sedikitpun dengan dengan itu," ucapku dengan dagu yang menunjuk ke benda yang berkilauan itu.
"Ini semua milik Ibuku. Akan kuberikan semua ini untukmu."
Aku membuang muka seraya menghela nafas kesal, "Aku tidak butuh! Dan aku tidak semiskin itu untuk menerima belas kasihanmu," ucapku dengan gestur menantang.
"Baiklah. Aku simpan kembali semua ini untuk anak-anak kita nanti."
"Si Kaya yang sombong dan sok berkuasa," gumamku lirih namun aku tau ia mendengar apa yang kuucapkan barusan.
"Haruskah aku membungkam mulutmu saat ini dan menunjukkan padamu bahwa, didepanku, tugasmu hanya melayaniku!?"
Ia berkata tegas padaku. Matanya tajam menatapku dan rahangnya terlihat mengeras. Tampaknya Pria ini marah dan tersinggung dengan ucapanku barusan.
Aku takut, jujur. Namun sebisa mungkin aku menghadapi sikapnya dengan tidak tampak takut dihadapannya. Kami saling memandang dengan kobaran api yang tampak memancar di bola mata kami.
"Buatkan aku soto ayam! Itu yang ingin aku nikmati untuk makan siang."
Aku menganga dengan dada yang naik turun akibat emosi yang masih berkobar. Sedang dia? dengan santainya menyuruhku memasak dan meninggalkanku entah kemana.
Dasar pria gila!
***************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top