4. So I'm Waiting
"Jinjja?!" seruku tak terkontrol, hingga hampir menodai baju baru pemberian eomma dengan milk shake cokelat. "Whoa, daebak!" Bahkan untuk kesekian kalinya sepasang mataku pun kembali melebar. "Kupikir kau harus menasehatiku tentang hal ini, Eonni."
"Tidak perlu memaksa untuk melebarkan matamu, Sa Na. Bagaimana pun, ukurannya akan sama saja. Tanpa kontak lens, matamu hanya sebesar biji semangka."
Aku mengerucutkan bibir. Bertindak hiperbolis dengan ejekan sehari-hari yang dituturkan Hyun Ah, mengenai ukuran mata sebesar biji semangka warisan appa.
"Kau juga tidak perlu memakai high heels karena tingginya akan sama saja," ujarku santai lalu meminum milk shake. "Kau tidak akan bisa melampau tinggi badanku, Eonni."
"Tapi aku menggemaskan dan punya pacar, sedangkan kau tidak. Hanya sibuk bermimpi berkencan dengan Suga BTS."
Hyun Ah menyunggingkan senyum penuh rasa bangganya, setelah meletakkan segelas es kopi dengan krim kocok dua kali lipat lebih banyak di atas meja bulat berbahan kayu. "Akan kuberi kau nasihat, tapi hanya ketika kau telah jatuh cinta dan jika aku menyukai pilihanmu."
"Mwo? Kenapa harus mendapatkan restu darimu? Kau bahkan bukan—"
"Ya! Bagaimana pun, kau tetap adikku dan aku menolak jika cinta pertamamu berakhir dengan patah hati," tegas Hyun Ah, kemudian menyuap sepotong cheese cake-nya dan mengembuskan napas kesal.
"Err ... kupikir sekarang bukan saatnya untuk membahas tentangku. Kisahmu lebih menarik," ujarku cukup merasa bersalah karena membuat Hyun Ah sedikit kesal.
Yeah, aku yakin dia hanya sedikit kesal.
"Berhati-hatilah saat kau memberikan hati untuk seseorang." Hyun Ah kembali menyuap chesse cake-nya dan aku hanya mengangguk, sambil tersenyum getir.
Perkataan Hyun Ah memang terdengar cukup protektif untuk ukuran eonni yang memiliki sifat jorok. Namun, percayalah dia tidak asal bicara karena dulu, Hyun Ah memiliki kenangan masa lalu yang berakhir menyedihkan.
Cinta pertamanya—seorang mahasiswa saat Hyun Ah masih SMP, mereka berkencan. Namun, berakhir karena orang itu hanya memanfaatkan uang Hyun Ah dan menghamili gadis lain.
Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana Hyun Ah menangis berminggu-minggu dan kehilangan nafsu makan, karena lelaki tersebut. Bahkan, kami sempat khawatir jika Hyun Ah memutuskan bunuh diri di Sungai Han.
Dan untungnya, kekhawatiran kami tidak terjadi. Hyun Ah lebih menyayangi dirinya, sehingga kami masih bisa melihat gadis itu sampai saat ini.
Namun, setelah kejadian itu pula butuh waktu bertahun-tahun, bagi Hyun Ah untuk membuka hatinya lagi.
Dan lelaki yang berhasil membuka pintu hati Hyun Ah adalah seseorang yang telah ia nyatakan perasaannya tadi pagi.
Ne. Lelaki yang itu, yang sempat kudengar gosipnya saat mengejar bis tadi pagi.
Jadi sebelum bel masuk, Hyun Ah memang menyatakan perasaannya lalu pada jam pulang sekolah, lelaki itu—Kim Seok Jin—memberikan jawaban bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama.
"Jadi sejak kapan kau menyukai Seok Jin oppa?" tanyaku, memancing Hyun Ah agar lebih memilih untuk menceritakan tentang cinta barunya. "Kau tidak mengajaknya untuk perayaan ini?"
"Aniyo." Hyun Ah menggeleng pelan. "Aku tidak bilang, bahwa aku tidak mengajaknya. Pesta tidak akan meriah jika hanya dihadiri dua orang jadi—"
Suara lonceng pada pintu kafe berbunyi dan secara otomatis memutus ucapan Hyun Ah. Kami menoleh ke arah suara, lebih tepatnya—aku—mengikuti arah pandangan Hyun Ah setelah melihat sepasang mata gadis itu berbinar.
Seorang lelaki tinggi, berbahu lebar, dan menjadi julukan si tampan SMA Jaryong, tampak memasuki kafe dengan senyum semringah. Dia Kim Seok Jin, terlihat serasi dalam balutan kemeja putih bergaris yang hampir mirip dengan pakaian Hyun Ah.
Kupikir mereka telah menentukan dress code agar terlihat seperti pakaian couple. Hal kecil yang diam-diam ternyata sukses membuatku mengkhayalkan Taehyung.
Lalu di belakang Seok Jin, aku juga melihat sosok yang tidak pernah jauh dariku sejak lahir—Jungkook—dia mengenakan jaket denim, sambil nyengir kuda karena tahu akan ditraktir.
Melihat kehadiran Jungkook, perasaan kesal tiba-tiba merayap. Aku mendengkus lalu berdiri dan melangkah ke arah lelaki itu. "Ya! Apa-apaan? Kau bilang tidak bisa pergi karena latihan Taekwondo!" tuntutku, sambil mencoba menarik telinga Jungkook. Namun, sayangnya selalu gagal karena Jungkook jauh lebih lincah, daripada aku.
... dan juga jauh lebih tinggi. 185 cm vs 169 cm—kalian bisa bayangkan bagaimana susahnya meraih telinga Jungkook untuk ditarik.
"Ya, mianhe, Sa Na." Jungkook terkikik, masih berusaha menghindari tanganku sambil berlari-lari kecil di dalam kafe. "Aku hanya melakukan uji coba apa kau akan frustrasi jika aku tidak ada."
Refleks aku mencebik lalu berhenti untuk mencoba menarik telinga Jungkook, dan berlalu begitu saja ke tempat dudukku. Bahkan sampai lupa memberikan salam kepada Seok Jin.
"Annyeong, Sa Na," sapa Seok Jin—terlampau ramah, hingga membuatku terperangah.
Aku tidak pernah bicara pada lelaki itu dan sekarang, dia adalah pacar Hyun Ah—si Tampan SMA Jaryong.
Daebak!!!
Membungkukkan sedikit punggung, aku tersenyum lalu membalas sapaan Seok Jin. Di waktu bersamaan kuberi sikutan di lengan Jungkook saat ia duduk di sampingku.
"Kalian terlihat sangat dekat. Aku tidak pernah punya sahabat lawan jenis yang sedekat kalian," kicau Seok Jin. "Ah, aku hampir lupa. Perkenalkan namaku Kim Seok Jin."
"Ong Sa—"
"Jeon Jungkook," kata Jungkook cepat tanggap, sambil menepis tanganku yang hendak menjabat tangan Seok Jin. "Dan kami bukan sahabat, tapi musuh terselubung yang siap mempermalukan lawan seperti ... ini!" ujar Jungkook, sambil menjambak rambutku pelan, mengacak-acaknya dan ia tertawa—tanpa merasa telah berdosa.
Aku memaki Jungkook, berteriak histeris dengan gaya hiperbolis lalu berhenti saat kudengar suara dehaman Hyun Ah.
"Kalian tidak ingin diusir karena membuat kekacauan, 'kan?" tanya Hyun Ah, terdengar lembut—seperti bukan Hyun Ah.
Kami berdua menyipitkan mata, sembari menatap Hyun Ah kemudian kompak menjulurkan lidah. Kupikir ini adalah kelebihan dalam hubungan persahabatan aku dan Jungkook—kemampuan telepati—mengagumkan, hingga tidak jarang membuat Kim Ha Na iri.
"Jika hal itu terjadi, aku akan menunjuk Jungkook sebagai kambing hitam," kataku santai sebab hal tersebut sudah biasa kulakukan. "Dia selalu bisa menyelesaikan apa pun."
"Dan aku akan menyeretmu ke lubang hitam, Sa Na!" Jungkook kembali merusak tatanan rambutku, hingga tanpa sadar tingkah kami berdua membuat Seok Jin tertawa renyah.
Ya, tertawa renyah seperti kami adalah komedian di acara TV kesukaan appa.
"Kuharap kalian sadar, bahwa hanya di meja ini yang pengunjungnya paling ramai," tukas Seok Jin di sela tawanya.
"Dan paling mencolok," timpal Hyun Ah lalu melirik ke jam tangannya. "Kapan temanmu akan datang? Kau sudah tahu, bahwa di dekat sekolah kita ada tempat karoke yang baru buka?"
"Ne, aku juga melihatnya. Kata teman sekelasku mereka memberikan diskon untuk pelajar."
"Whoa, jinjja?!" Seok Jin terlihat antusias dan aku mengangguk mantap.
"Aku akan menyanyikan lagu BTS," ujar Jungkook.
"Kita akan melakukan kolaborasi."
"Aniyo, Sa Na. Aku ingin kita bertanding dan yang kalah harus mentraktir tteokbokki."
Mendengar penolakan Jungkook, mataku langsung menyipit—menatap sinis ke arah lelaki itu lalu mengusap hidungku cepat. Kuulurkan tanganku dan dengan tegas berujar, "Diterima. Jangan sampai menyesal, Jeon Jungkook."
"Kau yang akan menangis darah, Ong Sa Na." Jungkook tersenyum miring, memperlihatkan wajah angkuh hingga akhirnya kembali normal saat Hyun Ah bertepuk tangan, meruntuhkan aura peperangan kami.
Hyun Ah geleng-geleng kepala, tangannya terlipat di bawah dada, sedangkan Seok Jin kembali tertawa.
"Apa aku pernah mengatakan bahwa kita akan pergi karoke, eh?" tanya Hyun Ah sengit. "Kenapa tiba-tiba kalian merencanakan hal lain saat merayakan pesta jadian kami?"
Kami berdua yang mendengar pertanyaan tak terduga Hyun Ah seketika terperangah. Maksudnya, bukankah pesta perayaan selalu tidak jauh-jauh dengan karoke? Acara makan-makan pun akan terasa hambar tanpa nyanyian dan tarian, lalu apakah kita sedang menjalani pesta kecil ala lansia?
Tidak. Hyun Ah pasti cuma bercanda. Hanya duduk diam menikmati hidangan bukanlah gaya Hyun Ah, jadi aku menunggu tindakan gadis itu selanjutnya.
Menunggu dengan landasan harap-harap cemas. Jungkook juga begitu, ia bahkan meminta dengan isyarat tatapan puppy eyes yang tidak jarang membuatku terpaksa mengakatakan 'Iya.'
"Eonnie," panggilku lesu, sambil menendang kaki Hyun Ah diam-diam.
Tidak ada tanggapan. Ia hanya melotot hingga terasa sepasang mata itu akan jatuh di atas piring bekas cheese cake, kemudian menjadi santapan penutup.
"Hanya ber—" Ucapan Seok Jin terputus saat seseorang menyapa mereka, beberapa detik setelah suara lonceng khusus pengunjung berbunyi.
Kami berempat menoleh ke asal suara dan di saat orang lain menyambut dengan perasaan hangat, maka aku melakukan hal yang berbeda.
Aku terpegun, terkejut, memekik pelan, bahkan hingga memucat. Ini hiperbolis, tapi sungguh aku melakukannya—mengingat bagaimana penampilanku akibat mahakarya Jungkook, refleks kuucapkan kata permisi kemudian mencari toilet.
Taehyung—orang yang sempat dibicarakan Hyun Ah, sekaligus yang ditunggu ternyata merupakan teman Seok Jin. Aku mengembuskan napas berat, bersandar pada pintu kemudian melirik ke arah cermin di dinding toilet.
Pantulan gadis berambut acak-acakan, berparas seperti anak bungsu Tuan Ong Seongwu terlihat jelas dalam pantulan cermin tersebut. Catat, aku TIDAK AKAN MENJERIT, seperti di film-film karena kaget dengan penampilan sendiri karena nyatanya, aku langsung merogoh tas merapikan tatanan rambutku.
Jungkook sialan!
"Akan kubuat kau membayar ini," ujarku penuh tekad sembari menyisir rambut dan menata kembali kucirannya. "Oh, Taehyung mengapa tidak bilang bahwa kau mengenal mereka, heh?" tanyaku pada pantulan cermin, seolah dia adalah Taehyung.
Sambil menggoyang-goyangkan kaki akibat panik, aku terus memilin rambutku dengan cermat. Membentuknya menjadi kuciran ekor kuda ponytail hingga tiga menit kemudian, penampilanku menjadi lebih manusiawi sekaligus sempurna.
Sempurna dalam artian layak untuk dicintai oleh Kim Taehyung.
Aku tersenyum, membuatnya semanis mungkin lalu menyempatkan diri melakukan aegyo. "Sa-rang-hae, Kim Taehyung," ujarku dengan membentuk hati menggunakan kedua lengan di kepala lalu menjerit seorang diri.
... bahkan sampai memukul dinding karena gemas.
Ong Sa Na, kau memang gadis terimut di dunia.
Kupikir aku nyaris sinting akibat jatuh cinta pada Taehyung. Jadi karena sudah tidak sabar melihat paras my fallen angel, segera kulangkahkan kakiku menuju meja tempat pasangan baru itu merayakan pesta.
Alright, awalnya kupikir mereka memang menunggu—menikmati beberapa hidangan kafe—berbincang mengenai Hyun Ah dan Seok Jin. Namun, saat aku membuka pintu toilet, pemandangan paling mengejutkan malah terjadi.
Taehyung bersandar pada dinding, persis di depan pintu toilet wanita dengan gaya paling keren sedunia; tangan kiri bersembunyi di saku depan celana jeans, tangan kanan tersangkut pada tali tas ransel yang sengaja hanya disampirkan sebelahnya saja, dan satu kaki tertekuk karena separuh tertumpu pada dinding.
Melihat pemandangan tersebut, refleks membuat dewi batinku menari hula-hula sambil menjerit. Beberapa gadis pun ikut tertegun melihat Taehyung, hingga mereka berbisik (setengah hati) mengutarakan betapa tampan dan kerennya lelaki itu.
Mereka melewati kami dan aku memergoki salah seorang gadis sedang mengedipkan sebelah mata ke arah Taehyung. Kejadian kecil itu menarik atensiku, hingga membuatku leherku berputar mengikuti mereka dan akan terus seperti demikian jika Taehyung tidak berkata, "Aku kalah suit dan mereka memintaku untuk menjemput, tanpa memikirkan ke mana kau pergi. Jadi kutunggu saja."
Jadi kutunggu saja. JADI KUTUNGGU SAJA, untaian senyum terlihat jelas di wajahku sebab entah mengapa, dipikiranku kalimat itu memiliki makna lain.
Seperti ... Taehyung tidak ingin menarik banyak perhatian pengunjung kafe, Taehyung ingin para gadis tahu bahwa ada seseorang yang sedang ia tunggu, dan Taehyung ingin memperlihatkan seberapa perhatiannya dia—jika di dalam toilet wanita, mungkin saja aku di-bully—seperti beberapa adegan pada drama atau sereal webtoon.
"Ne ... gaja," kataku, berusaha santai sambil melangkah terlebih dahulu. Taehyung mengikuti di belakang, bersikap seolah tidak tahu, bahwa aku sedang kekurangan oksigen dan jantungku berlarian ke sana-kemari—meminta kebebasan.
Tidak jangan gegabah, Sa Na. Kau harus ingat bagaimana kejadian saat perkenalan tadi.
*****
Karena gak ada paket internet jadi aku bakal update lagi, bulan depan. See you soon.
Berikan tanggapannya ya. Gomawo 💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top