3. Short Convertation With Lemonade

Embusan napas kuembuskan—seolah sedang menopang beban berat, saat melihat porsi daging babi di nampan, yang nyatanya memiliki perbandingan jauh berbeda dengan milik Jungkook dan Ha Na.
Ini bukan pertama kalinya, kulihat mereka memiliki porsi jauh lebih banyak dariku. Bahkan daging babi tersebut tampak menumpuk seperti Gunung Fuji di Jepang.
Well, akan kuberitahu sekilas tentang Ha Na atau Kim Ha Na. Dia teman dekatku, terkenal dengan kebiasaan selalu terlambat, suka tidur, dan diam-diam adalah seorang atlit tinju. Jika tanpa mengenakan seragam sekolah, percayalah kalian akan melihat para gadis berbisik kagum bahkan menjerit karena gaya fashion yang membuat orang-orang berpikir bahwa ia adalah seorang lelaki. Selain itu, aku juga tidak meragukan tentang bagaimana perhatian dan sikapnya pun telah melampaui tingkat kebaperan drama romansa.
Jadi jika kalian menemui Ha Na di jalan, di halte bis, di toserba atau di mana pun itu, maka bersiaplah untuk merasakan debaran akan pesonanya.
Pesona yang saat ini pun juga sukses memengaruhi para petugas kantin.
Aku mengerucutkan bibir. Jungkook menatap sekilas ke arahku kemudian segera meletakkan separuh daging babinya di nampanku.
"Aku tahu kau iri dan menginginkannya juga," kata Jungkook setelah memberikan tiga potong daging babi kemudian kembali menikmati makan siangnya.
"Bukan itu yang kupikirkan." Kuambil sepotong daging babi tersebut, menggigitnya lalu setelah menelan, kuputuskan untuk kembali bicara. "Kupikir kalian adalah manusia paling beruntung."
"Tidak juga." Menggunakan sumpit Ha Na mengarahkan potongan daging babi ke arahku. "Bukalah, kau adik kecil yang suka mengeluh dan merajuk."
"Hanya berbeda bulan dan kau menganggap dirimu yang tertua. Lucu juga, selain itu kau belum selesai mendengar perkataanku, Ha Na."
Mereka; Jungkook dan Ha Na saling berpandangan lalu mengedik serta kompak menatapku.
"Ne, lanjutkan," titah Jungkook.
"Hanya karena bertalenta, good looking, dan populer jatah makan kalian jadi lebih banyak dariku. Masalah cinta pun juga terlihat seperti hal biasa."
"Lalu?" Kali ini Ha Na yang angkat bicara, sambil menyuapkan sepotong daging miliknya untukku. Sepertinya dia ingin timbanganku naik.
"Tadi pagi, aku mendapat penolak tersirat dari orang yang kusuka lalu sebelum menyusul kalian di sini, seorang gadis menitipkan ini untuk Jungkook."
Kuserahkan sepucuk surat titipan gadis kelas sepuluh dengan lesu ke arah Jungkook. Namun, lelaki itu tampak tak bersemangat untuk mengambilnya.
Benar 'kan bagi mereka cinta adalah hal biasa.
"Aku baru tahu kau menyukai seseorang? Apa dia dari kelas kita atau seseorang yang tidak kukenal?"
"Tidak kau kenal, tetapi sekelas dengan kita, Kim Ha Na."
"Jinjja? Ada yang salah dengan kepalamu, Jeon Jungkook. Tidak mungkin aku tidak mengenal teman sekelasku."
Jungkook menyeringai jahil. "Apa kau kenal Kim Taehyung?"
"Kim Taehyung?"
"Kau tidak mengenalnya." Jungkook tersenyum penuh kemenangan kemudian meminum segelas airnya.
Aku memutar mata. "Tadi pagi kau terlambat dan menjalani hukuman karena ketahuan membolos jadi ...." Ucapanku menggantung saat sepasang netra hitam bernaung alis tebal itu tertangkap basah sedang mengamatiku. "Dia melihatku."
Menundukkan wajah, segera kualihkan perhatian dengan makan siang yang sudah separuh kuhabiskan.
Entah sungguhan sedang mengamati atau hanya aku yang terlalu percaya diri. Namun, untuk hari ini sepertinya aku belum siap melakukan aksi pendekatan. Pasalnya, sebelum pergi ke kantin, Ibu Park memanggilku—membicarakan nilai-nilaiku yang terus menurun dan di waktu bersamaan aku mendengar, bahwa Kim Taehyung pindah sekolah karena orangtuanya dipindahtugaskan kembali di Korea.
Bahkan saking penasarannya tentang, apakah Taehyung memiliki kembaran atau tidak, aku harus bertanya pada Ibu Park dan wanita itu menjawab ....
"Kau terlalu banyak menonton serial drama, Ong Sa Na."
Jadi kusimpulkan, lelaki malaikatku itu adalah orang yang sama dengan Kim Taehyung.
"Dia?" tanya Ha Na dengan mulut dipenuhi makanan, sembari menoleh berulang kali. Aku hanya mengintip tingkah gadis itu dan berbisik agar Ha Na menghentikan sikapnya. "Kim Taehyung?!"
Suara Ha Na terlalu keras dan aku tidak tahu apakah yang terakhir itu kalimat sapaan atau pertanyaan.
Darahku seketika mendidih, bahkan terasa hampir meledak.
"Kau punya mata dan selera yang tinggi Sa Na," ujar Ha Na.
"Diamlah, Ha Na. Aku sudah cukup malu dengan kejadian perkenalan tadi."
"Whoa, jinjja! Kau gerak cepat. Ceritakan padaku," pinta Ha Na yang kubalas dengan bahasa tubuh tidak bersemangat.
Jungkook tertawa renyah kemudian menepuk pelan kepalaku. "Dia tidak akan bisa menceritakan hal itu, Ha Na. Kau tahu, dia nekat melakukan hal bodoh hanya demi mendapatkan momen perkenalan tidak biasa yang menurutnya akan jadi menarik jika diangkat menjadi serial drama."
"Tidak buruk. Ceritakan saja padaku."
Dan Jungkook pun dengan senang hati menceritakan kejadian tadi pagi saat perkenalan kelas. Tentu saja, dia lebih hiperbolis hingga membuat Ha Na beberapa kali harus mengucapkan kata 'Daebak', sembari menutup mulut dan menatap ke arahku.
Lebih baik aku diam, daripada mengelak dan semakin mempermalukan diri sendiri.
Lagi pula ada pekerjaan lain yang harus kulakukan, daripada membela diri di depan dua makhluk populer itu.
Pekerjaan lain yang nyatanya adalah mengamati Taehyung, sembari mendamaikan logika dan perasaan karena menerima perbedaan sikap sang pujaan hati.
Aku mengangguk pelan. Menyimpulkan pikiran optimis dari opini-opini positif yang kukumpulkan secara paksa. "Anggap saja dia adalah seorang pemalu dan terkejut dengan aksiku di kelas," bisikku pelan dan hanya ditujukan pada diri sendiri.
Kurasakan sebuah tepukan menghampiri pundakku dan aku refleks mencari tahu siapa pelakunya.
Ha Na memberikan acungan jempol untukku. "Kau gadis paling optimis yang pernah kukenal, tetapi kurang percaya diri. Jadi kejar dan patenkan Kim Taehyung di hadapan para gadis."
"Dia bukan barang, Ha Na."
"Shut up, Jungkook. Kau tidak tahu bagaimana kejamnya kehidupan asmara jika menyukai seseorang yang memiliki potensi populer."
"Kau berbicara seolah sudah pengalaman saja, Ha Na." Mengambil nampan makan siangnya, Jungkook bangkit dari kursinya. "Dan Sa Na, jika kau luang jangan hanya membaca artikel tentang cinta pada pandangan pertama, tapi baca juga artikel tentang perasaan suka yang hanya berjalan sesaat."
Kedua sudut bibirku seketika menukik ke atas. Kali ini Jungkook benar-benar bersikap seperti ayahku—terlalu protektif jika hal itu menyangkut dengan seorang lelaki. Bahkan mengenai Suga yang hanya sebatas BIAS, appa rela meluangkan waktu sibuknya untuk bertanya ini-itu tentang Suga.
Padahal Suga tidak akan pernah bisa menjadi milikku.
"Sikapmu berubah jadi lebih protektif. Mengingatkanku pada appa."
Jungkook mengedikkan bahu. "O jal, ayahmu memintaku untuk menjaga anak bungsunya," tukas Jungkook yang berlalu begitu saja meninggalkan kami.
Beberapa detik kemudian tawa Ha Na pun pecah. Ia menepuk-nepuk pundakku. "Seperti seseorang yang cemburu karena sahabatnya menaruh perhatian pada lelaki lain," ungkap Ha Na.
Mataku terbelalak kemudian mendorong pelan bahu Ha Na. "Ya! Kau tidak ada bedanya denganku. Terlalu banyak menonton drama lalu merealisasikannya di kehidupan nyata."
"Bukan berarti tidak mungkin, Sa Na." Ha Na kembali menoleh ke meja Taehyung yang meja berada di belakang kami. "Gaja, hampiri dia dan berikan ini lalu mengobrol, seolah tidak ada kejadian apa pun di kelas tadi," kata Ha Na, sembari menyurungkan sebotol minuman lemonade ke arahku.
Ha Na mengedipkan sebelah mata. Aku terpegun sesaat kemudian melirik ke arah Taehyung.
Dengan gaya yang tampak tegar, Taehyung meletakkan gelas kosongnya, sambil menatap ke arah jendela. Aku masih mengamatinya dan secara tersirat, ekspresi masih membutuhkan beberapa teguk air, terlihat jelas di wajah Taehyung.
Dari awal Taehyung selalu bersikap seolah kuat, keren, dan tegar. Jadi wajar jika Taehyung tidak bersikap panik di saat mungkin, dia benar-benar membutuhkannya.
Aku mengambil sebotol lemonade pemberian Ha Na dan untuk sekarang, kupikir bersikap tidak gegabah adalah pilihan terbaik.
"Kau serius?" tanyaku pada Ha Na, sambil menggenggam botol lemonade dengan kedua tangan. "Aku akan melakukannya."
Ha Na mengangguk mantap. "Akan kuawasi kau dari sudut tak terlihat," katanya kemudian pergi meninggalkan meja dan aku melangkah mendekati Taehyung.
Jantungku berdebar keras, darah pun terasa kembali mendidih hingga membuat beberapa butir keringat menghiasi keningku. Aku bersyukur kantin ini memiliki fasilitas pendingin ruangan.
"Hai, ambillah. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih saat konser BTS semalam dan plester serta tumpangan yang kau berikan tadi pagi, sekaligus permohonan maaf atas tingkah memalukan di kelas tadi."
Bibirku terkatup tiba-tiba, Mataku terbelalak, dan otakku secepat kecepatan cahaya langsung berpikir—semoga perkataan barusan tidak terdengar seperti seseorang yang menghapal naskah.
Menghapal naskah tanpa titik koma dan tanpa intonasi. Itu buruk sekali dan sepertinya, aku baru melakukan hal tersebut.
"Gomawo," kata Taehyung yang sebenarnya tidak terdengar jelas. Namun, sukses membuat efek kembang api dan suara terompet penuh suka cita menghiasi punggungku—menjadi latar musik, tentang bagaimana suasana hatiku sekarang.
"Kau pasti merasa sangat malu karena sikapku di kelas tadi. Mianhe, Taehyung." Menarik kursi di hadapan Taehyung, ragu-ragu aku duduk di depannya.
Duduk di depannya adalah sudut terbaik, aku bisa memerhatikan Taehyung secara leluasa. Terlebih saat ini dia sedang mengamati lapangan sepak bola yang terlihat jelas dari jendela kantin.
Aku penasaran apa yang membuat Taehyung tertarik untuk memerhatikan lapangan sepak bola. Diam-diam, kuikuti arah pandanganya—tidak ada apa pun—aku mengernyit.
"Tindakanmu tadi tergolong sangat mencolok dan pertanyaanmu ... lumayan aneh jika diajukan saat perkenalan." Taehyung mengalihkan perhatiannya padaku, sambil meminum lemonade.
Punggungku sedikit menegang. Ucapannya yang panjang lebar barusan, cukup membuatku terpukau—jauh berbeda dengan gayanya saat di kelas tadi. Seketika aku mengira bahwa Taehyung bisa saja mengidap penyakit bipolar.
"Kau barusan berbicara lebih banyak, daripada saat di kelas."
Taehyung memiringkan kepala ke sisi kanan, tangannya memutar-mutar botol lemonade. "Tidak terlalu mengherankan dengan sikapmu tadi, karena saat di konser BTS pun kau yang paling bersemangat di antara dua temanmu. Apa kau mendapatkan tutup botol bekas minuman Suga?"
Taehyung tidak menjawab pertanyaanku. Namun, setidaknya ini lebih baik, daripada dia mengacuhkanku di kelas tadi.
Dan yang benar saja, aku sempat terperangah dalam hitungan menit karena Taehyung mengingatnya lalu memilih untuk membicarakan hal tersebut.
Aku menggeleng pelan. Senyum penuh rasa bahagia tidak mampu kusembunyikan lagi. "Bukan tutup botol, tapi kau memberikan cincin milik Suga yang tidak sengaja ikut terlempar saat dia melemparkan botol minuman tersebut."
Taehyung tersenyum kecil kemudian mengangguk samar dan bangkit dari tempat duduknya. "Aku harus pergi sekarang, kau bisa kembali ke kelas sendirian, 'kan? Ong Sa Na."
Ong Sa Na. Ong Sa Na.
Barusan dia menyebut nama lengkapku, 'kan? Dan ... ya Tuhan, hatiku bergerumuh saat itu juga. Jadi tanpa menanyakan ke mana Taehyung akan pergi, aku hanya bisa mengangguk kaku.
Mengangguk kaku karena menyembunyikan perasaan suka cita di balik punggungku, sekaligus menahan diri agar tidak bersikap norak.
*****
Gimana chapter ini?
Semoga gak bosen ya karena alurnya lamban *.*
Sebenarnya, aku sedang berusaha untuk up tiap hari tapi cz terkendala sama paket internet jadi ... u know lah

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top