14. First Kiss

Dari semua drama yang pernah kutonton, beberapa memang sering mengusung tema mencintai sahabat sejak kecil serta perjuangan cinta pertama, tetapi semua tidak berjalan lancar karena diselingi dengan adegan cinta bertepuk sebelah tangan, hingga akhirnya kedua tokoh utama bisa bersatu dan berakhir bahagia.

Siapa saja yang menonton, tentu beranggapan bahwa alur tersebut adalah alur paling klise dan gampang ditebak. Namun, di waktu bersamaan akhir bahagia juga merupakan pilihan banyak penonton sebagai penikmat. Aku adalah salah satunya—penentang sad ending dan pemuja happy ending.

Percayalah, diam-diam aku juga mendambakan hal tersebut bisa terjadi dalam hidupku. Taehyung—yang kuklaim sebagai cinta pertama, menerima perasaanku dan kami berakhir bahagia. Namun, sayang ini adalah dunia nyata, di mana aku mendapatkan plot twist paling tidak terduga di dunia, di hari yang sama saat aku menerima penolakan.

Entah apa ini sungguhan plot twist atau aku saja yang tidak peka dalam mengamati keadaan sekitar.

Well, plot twist-nya adalah Jungkook menyatakan perasaannya tepat di depanku—beberapa menit lalu—setelah mengatakan bahwa ia akan pindah ke Osaka. Oh, holy crap! Leluocon macam apa ini? Dan bodohnya, aku malah menangis di hadapan Jungkook.

Awalnya kukira tangisan ini disebabkan karena aku tidak rela Jungkook pergi meninggalkan Korea. Anggap saja, semua sahabat pasti akan merasa sedih jika harus menghadapi perpisahan. Namun, semakin lama menangis di dalam pelukan Jungkook, aku menyadari satu hal ....

... sesuatu yang kuelak selama ini akhirnya menyeruak, memaksa hadir di dalam hatiku dan itu menyakitkan. Maksudku, apakah perasaan suka yang datang terlambat akan sesakit ini? Jika benar, bagaimana dengan perasaan Jungkook, saat kupaksa agar ia membantuku agar bisa menjadi gadis idealnya Taehyung.

Itu akan lebih menyakitkan, bukan?

"Seketika aku merasa seperti orang paling brengsek di dunia." Perlahan, kudorong tubuh Jungkook hanya demi memutuskan adegan berpelukan yang penuh drama. Selepasnya, tanpa rasa malu kuusap air mataku dan memberanikan diri menatap Jungkook.

Jungkook memerlukan jawaban atas pernyataannya dan setelah menangis, selama kurang lebih setengah jam aku menemukan jawaban. "Be honest, aku tidak tahu bahwa kau ... oke, just to the point ... Jungkook, I can't be with you. I'm sorry." Nada menyesal terdengar jelas di bibirku dan mengenai reaksi Jungkook ....

... astaga! Aku benci reaksinya ... maksudku ekspresi yang seperti itu.

Dia tersenyum tegar. Padahal aku tahu bahwa dia sedang dilanda kesedihan mendalam. Begitu pula denganku, tapi ....

... aku tidak bisa menerima Jungkook. Dia sahabatku dan akan tetap menjadi sahabat selamanya.

"Meski kau juga suka padaku, Sa Na?"

Demi Tuhan, pertanyaan Jungkook barusan seketika menusuk jantungku.

Aku memejamkan mata sejenak, sekadar menghentikan air mata yang ingin menetes dan duduk berjongkok di hadapan Jungkook—bersandar pada pagar rooftop.

"Apa yang kau pikirkan tentangku, adalah suatu kesalahan. Aku jatuh cinta pada Taehyung dan jika aku tidak bersikap seperti orang patah hati, itu bukan berarti bahwa yang kurasakan adalah naksir sesaat. Hanya saja—"

"Sa Na," panggil Jungkook dengan nada paling lirih—memotong ucapanku, hingga suaranya terdengar hampir menyatu dengan embusan angin malam.

Aku hanya menatapnya dalam diam. Terutama ketika Jungkook memutuskan untuk duduk bersila di depanku. Dalam hitungan beberapa detik, matanya melihat lurus ke dalam mataku—tidak ada ucapan selanjutnya—dia hanya memandangku, seolah berusaha keras membaca apa yang aku pikirkan.

Dan aku ....

... tidak bisa mengelak.

Sepasang mata Jungkook kali ini terasa menghipnotis, terasa jika kau mengalihkan pandangan maka kau telah membuang waktumu secara sia-sia, bahkan andai kau tahu, sekarang aku juga sedang kesulitan bernapas.

Jungkook menciumku.

Untuk pertama kali.

Ciuman yang ditujukan bukan untuk sahabat, tetapi untuk laki-laki kepada perempuan.

Sayangnya aku tidak bisa menolak.

Dewi batinku menjerit, hatiku meleleh, dan seluruh tubuhku ....

... kau tahu, kelumpuhan sementara. Hanya otakku yang bekerja untuk memutuskan antara membalas atau menolak.

Lalu semuanya terjadi begitu saja. Dalam hitungan beberapa detik, aku membalas ciuman Jungkook dan percayalah ... itu terasa manis.

"Aku mendapatkan jawabannya," ujar Jungkook, setelah mengakhiri ciuman kami dengan kening saling menempel.

Wajahku memanas dan kulihat ia memerah.

"Aku benar-benar brengsek."

"Kau benar, hingga menggiringku untuk melakukan hal nekad."

"Seharusnya aku menendang bokongmu, Jungkook."

Jungkook tertawa kecil. Terdengar canggung, tapi aku menyukainya. "Kau akan menyesal jika melakukannya," katanya lalu menarik tanganku. "Gaja. Kau harus makan kue berasnya. Malam ini spesial karena aku yang membuatnya dan aku tidak ingin kau merindukan masakanku di saat aku berada di Osaka."

Aku tersenyum tidak kalah canggungnya, hingga berjalan sambil bergandengan tangan pun terasa kaku. Tahu 'kan bagaimana perasaan ketika pertama kali berkencan dan itu adalah sahabatmu sendiri, apalagi setelah beberapa jam sebelumnya kau menerima penolakan, meski tidak meminta.

Rasanya aneh sekali, tapi aku bahagia.

Jungkook adalah orang yang paling memahamiku. Maksudnya, jika ia pergi dan menerima penolakanku begitu saja, penyesalan pasti akan menghantuiku dan berjauhan dengan Jungkook bukanlah hal yang kuinginkan. Aku sudah terbiasa, berada di sisi Jungkook—memanfaatkannya demi bertahan hidup.

Dan kuyakin, Jungkook juga merasakan hal serupa.

Tapi ... astaga!

"Jungkook, tunggu," perintahku tiba-tiba dengan langkah kaki terhenti tepat di anak tangga ketiga dari bawah. Aku menatap Jungkook lekat-lekat—wajahnya tampak berseri, seolah melupakan hal penting yang baru saja terlintas dipikiranku. "Kau akan tinggal di Osaka. Benar? Apa itu hanya hitungan bulan atau tahun?"

Jungkook mengangguk lalu menggeleng dalam waktu cepat.

Aku mengernyit dan dia mengembuskan napas.

"Orangtuaku tidak bisa berkunjung dalam waktu yang lama dan hal itu membuat eomma mengkhawatirkan kami. Jadi ... dia meminta kami untuk tinggal di sana. Setidaknya, mungkin sampai appa pensiun."

"Jadi kita ... long distance relationship?"

Menaikkan sebelah alisnya untuk beberapa saat, tiba-tiba saja Jungkook tersenyum simpul kemudian mengusap tengkuk dan mengalihkan pandangan. Wajahnya kembali memerah.

Menggemaskan!

"Kau terlalu imut, Sa Na." Jungkook masih salah tingkah dengan menghindari tatapan kami, dan aku ....

... ya, Tuhan! Aku tidak tahan untuk tidak mencubit pipinya.

"Haruskah kau memperjelas hubungan kita sekarang?" tanya Jungkook yang tiba-tiba menatapku dan—"Huh?" Ia memandangku bingung ketika, aku bergerak panik—menyembunyikan kedua tangan yang diam-diam ingin mencubit pipinya.

Aku memalingkan wajah dengan gerakan terburu-buru. "Itu keharusan karena gadis semacam Jihyo bisa saja—"

"Jihyo hanya teman dekat. Kau cemburu dengannya dan aku tahu itu. Sa Na, tipikal gadis yang gampang dibaca lalu,"—Jungkook menangkup pipiku, memegang dengan kedua tangannya—"tentang long distance relationship, itu tidak berlaku untuk sekarang. Selama berada di sini, aku atau kau harus selalu berdekatan."

"Aku masih tergolong—"

"Tergolong apa?" Suara Hoseok tiba-tiba saja terdengar dari arah belakang Jungkook.

Kami berdua terkejut. Tentu saja. Aku bahkan hampir jatuh karena tersandung anak tangga dan Jungkook—ia malah meracau mengatakan bahwa di wajahku banyak sekali nyamuk, hingga perlu dipukul dengan raket serangga.

"Oh, mianhe. Tidak bermaksud untuk menguping, tapi kalian membicarakannya dengan sangat keras dan aku mendengarnya. Jadi ... apa kalian sedang berkencan?" Hoseok tersenyum penuh lelucon yang seakan-akan siap dilemparkan, jika kami mengelak atau mengiyakan tebakannya.

Kami kompak bergeming. Menyadari situasi yang sedang terjadi dan Hoseok menjadi satu-satunya manusia paling bahagia dengan reaksi kami berdua. Ia bahkan sampai tertawa keras, seolah hal lucu baru saja terjadi.

"Baiklah, baiklah. Aku tahu jawabannya dan aku akan tutup mulut jika kalian melayaniku malam ini." Seringai jahil. Aku melihat itu terpampang jelas di wajah Hoseok. "Pergilah ke meja makan, kita semua menunggu kalian," kata Hoseok lagi lalu pergi begitu saja. Meninggalkan aku dan Jungkook yang kini sedang beradu pandang.

"Apa ini akan menjadi bahan lelucon mereka?" tanyaku pada Jungkook dengan harapan dia akan menjawab tidak.

"Kuharap tidak."

Dan kami hanya bisa mengembuskan napas berat.

Jeon Hoseok. Kami semua tahu bagaimana perangainya.




****

Beberapa hal yang pengen bgt kutanyakan untuk scene ini.

Sa Na nerima Jungkook, saat di awal dia nolak. Apa perlu penjelasan kenapa dia bersikap begitu?

Adegan kiss, apakah terasa manis saat membacanya atau terkesan kaku saat membacanya?

Itu aja cz gua selalu kesulitan nulis kiss scene. Terima kasih sudah mampir see you later, okay ^^

Love you 💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top