13. I'll Go To Osaka

Aku merasa ... entahlah. Terlalu sulit untuk dijelaskan dan terkesan tidak masuk akal. Maksudku, hidup tidak sepenuhnya seperti drama, meski aku adalah gadis penyuka drama.

Hyun Ah, sejak sepuluh menit lalu masih setia duduk di hadapanku. Kakinya berulang kali mendorong tanah berumput di halaman rumah—suatu upaya kecil untuk menggerakan ayunan kayu yang sedang kami duduki. Selama mendengar curhatanku, gadis itu hanya mengangguk sembari menggumamkan kata "O, oke, lanjutkan."

Tidak ada kata lain, kupikir Hyun Ah membiarkanku berbicara hingga selesai atau menganalisa tentang nasihat apa yang sebaiknya dia berikan.

"Dan satu lagi, apa perasaan itu normal jika ditujukan pada Jungkook? Maksudku, perasaan kesal yang kuceritakan padamu." tanyaku mengakhiri sesi curhat dengan beberapa pertanyaan.

Hyun Ah tersenyum kecil. Ada tawa mirip dengkusan yang kudengar lalu ia meletakkan kedua tangannya di pundakku. "Dengar, Sa Na," katanya—memberi jeda sesaat. "Kau orang paling tolol yang pernah kukenal."

"What? Ya! Lihatlah dengan siapa kau bicara, Eonni!" Kutepis kedua tangan Hyun Ah yang bertumpu pada pundakku lalu mengubah posisi dudukku, menjadi bersandar pada sandaran ayunan.

Tawa Hyun Ah terdengar lagi. Aku menolak untuk melihat bagaimana gadis itu mengejekku.

"Apa kau pernah berdebar-berdebar saat bersama Taehyung?" tanya Hyun Ah.

"Ya. Bahkan saat pertama ia menolongku."

"Bagaimana jika bersama Jungkook?"

"Nyaman."

"Perasaanmu saat ditolak Taehyung?"

Aku menoleh. Mencari tahu maksud ucapan Hyun Ah barusan. Maksudku, well apa Hyun Ah tidak memerhatikan curahan hati panjang lebarku tadi? Aku sudah menceritakan seluruhnya, loh.

Kuembuskan napas kasar dan mulai berkata dengan nada paling tenang. "Eonni, apa itu pertanyaan?"

Gadis itu mengangguk mantap dan aku menahan diri agar tidak memutar mata. "Menyebalkan. Tentu saja aku shock, malu, dan tidak bisa menerimanya. It's like ... oh, c'mon! Aku bahkan belum memulainya," akuku, sambil memijat kening.

Hyun Ah mangut-mangut. "Dan Jungkook?"

Mataku melebar. Astaga! Apa aku harus mengulang-ulang ucapanku hanya demi menjawab pertanyaan Hyun Ah dan menerima nasihat? Aku sungguh tak habis pikir.

"Tentu saja aku kesal! Aku bahkan tidak bicara dengannya sampai sekarang."

Kulihat Hyun Ah mengulum senyum. "Kupikir cinta sebenarnya ada pada Jungkook, bukan pada Taehyung. Katakan 'Yes', Sa Na," titah Hyun Ah yang membuatku menganga lebar.

Ini pasti lelucon, 'kan?

Aku mencebik. Itu tidak mungkin, masalahnya Jungkook adalah sahabat sejak bayi dan dia ....

... anggap saja telah mengetahui luar dalam diriku. Jadi bagaimana bisa—

"Katakan 'yes', Sa Na." Hyun Ah kembali memerintah dan aku menggeleng.

"Itu tidak mungkin. Yang aku jatuh cintai adalah Taehyung dan yang kurasakan pada Jungkook—"

"Cemburu,"

"Ya, cemburu," kataku tanpa sadar yang beberapa detik kemudian membuatku kembali menganga. "M-maksudku, cemburu karena waktu berharga dari sahabatku akan direbut oleh gadis itu!"

Hyun Ah mengembuskan napas lalu menepuk-nepuk kepalaku, hingga membuat perasaan risi mulai menyeruak. "Hentikan, Eonni," pintaku dan dia berhenti.

"Saranku, jangan sampai terlambat menyadari perasaanmu. Aku bahkan bisa melihat, bagaimana menggebu-gebunya dirimu membicarakan Jungkook, daripada Taehyung karena kudengar—"

Ucapan Hyun Ah seketika terputus saat pagar rumah kami menghasilkan bunyi bel dan eomma berjalan setengah berlari untuk membuka—melihat siapa yang datang, di jam makan malam.

Kami berdua yang duduk di ayunan teras rumah, tidak jauh dari halaman hanya menunggu siapa tamu kami malam ini dan harus kukatakan sekarang juga ....

... jantungku berdebar aneh, saat melihat Jungkook masuk ke pekarangan rumah kami bersama Hoseok dan eomma.

Eomma membawa bingkisan berisi kue beras dan dua lelaki yang bersamanya tampak berpakaian rapi.

Refleks aku mengamati bagaimana keadaanku sekarang. Menyedihkan. Bahkan jauh lebih buruk, daripada Hyun Ah.

Hanya mengenakan pajama dan rambut yang dikucir acak-acakan. Jauh berbeda dengan Hyun Ah yang mengenakan dress karena Seok Jin baru saja pulang setelah mengajaknya kencan.

Menyadari seberepa buruknya penampilanku, buru-buru aku berlari menuju kamar. Tanpa menyapa atau menunjukkan ekspresi hangat, sebagai upaya menyambut tamu. Namun, di sisi lain aku juga jadi kepikiran tentang perkataan Hyun Ah.

Jatuh cinta dan cemburu karena Jungkook dekat dengan gadis lain? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Lalu ... mengapa aku harus kabur hanya karena penampilanku yang terlihat sangat berantakan? Bukankah sebelumnya, aku juga seperti demikian di hadapan dua pemuda itu?

Aku menggeleng cepat, sambil berlari menaiki tangga dan menutup keras pintu kamarku. Setelah mengunci pintu, pandanganku menyebar, sekadar mencari ponsel—ingin menelepon Taehyung.

Ada yang harus kutanyakan dan itu hanya satu pertanyaan. Lalu aku akan meminta maaf karena mengiyakan bahwa aku jatuh cinta padanya.

Bagaimana pun, aku memang harus melakukannya agar suasana di antara kami tidak menjadi canggung.

Seperti yang terjadi antara aku dan Jungkook sejak kami pulang dari rental komik.

Well, aku mengabaikannya. Bersikap dingin dan sekarang kabur, akibat terngiang-ngiang dengan ucapan Hyun Ah.

Ucapan sederhana yang kutolak mentah-mentah, tetapi membuatku berubah jadi lebih memerhatikan penampilan jika berhadapan dengan Jungkook.

Oh, bukan karena Jungkook, tetapi karena aku tidak mau kalah menarik dengan Jihyo.

Itu hal yang wajar, bukan? Katakan 'yes' dan aku akan mentraktirmu kue beras.

Di saat sibuk mencari ponsel di setiap sudut kamarku, akhirnya benda itu bisa ditemukan—terselip di antara tumpukan buku perpustakaan yang kupinjam dan buku soal yang kubeli bersama Jungkook. Melihatnya, aku jadi teringat tentang bagaimana Jungkook mengajariku dengan penuh kesabaran. Bahkan, jika diingat-ingat lagi ... aku telah menyita banyak waktunya demi kepentinganku.

... dan sekarang aku malah bersikap dingin karena seorang gadis. INGAT yang kumaksud hanyalah cemburu sebagai sahabat. Tidak lebih.

"Aku akan menegurnya setelah ini," kataku sembari meng-scroll daftar kontak di ponsel dan mencari nama Kim Taehyung.

Beberapa waktu lalu dengan dalih belajar bersama, kami sempat bertukar nomor. Namun, hingga kini aku menghubungi Taehyung hanya dua kali. Pertama, untuk membahas soal-soal pemberian Ibu Park dan kedua yang kulakukan sekarang ini.

"Halo, Taehyung?" ucapku saat Taehyung mengangkat teleponnya di dering kedua.

Sangat cepat, dia pasti sedang menunggu teleponku.

Tidak, Sa Na! Jangan terlalu percaya diri!

Aku menghela napas. Dewi batinku akhir-akhir ini jadi rajin memperingatkan tentang kepercayaan diri yang tinggi jika berhubungan dengan Taehyung. Padahal aku adalah tipe gadis optimis, tetapi bukankah optimis dengan kepercayaan diri adalah sesuatu yang berbeda?

Sigh, kupikir memang berbeda.

"Sa Na. Kau menelepon malam-malam. Apa kau baik-baik saja? Kenapa kau—"

"Taehyung, dengarkan aku dulu," sergahku.

"Baiklah."

Lagi-lagi kuembuskan napas panjang—mengumpulkan keberanian dan membunuh perasaan gengsi pasca ditolak, sebelum menyatakan perasaan.

"Maafkan aku karena pergi begitu saja. Kau melakukan keputusan yang tepat, menolakku sebelum aku tenggelam dengan cinta satu pihak. Kuharap kita tidak akan menjadi canggung jika bertemu, jadi mari berteman," kataku panjang lebar dan dengan pengejaan yang terlalu cepat.

Lagi-lagi aku melakukannya—berbicara datar, cepat, dan tanpa intonasi—seperti seseorang amatir yang sedang membaca naskah drama.

Tawa Taehyung terdengar di antara bunyi kendaraan yang entah berada di mana dirinya sekarang. Aku mencoba untuk tidak peduli karena sekarang pikiranku hanya dipenuhi oleh ucapan Hyun Ah dan Jungkool kecil yang sedang berputar-putar, hingga membuatku pusing.

"Aku tidak akan bersikap canggung. Namun, aku meragukanmu. Lagipula, sepertinya kau sama sekali tidak peka terhadap perasaan sendiri dan perasaan orang lain."

"Huh?" Aku? Tidak peka? Kedua alisku menyatu, setelah mendengar ucapan Taehyung yang terkesan sama sekali bukan karakter Sa Na.

Aku tipikal gadis yang peka, kok. Lihat saja, setiap menonton drama air mataku selalu lolos jika berada di sad scene.

"Jungkook menyukaimu. Itu terlihat jelas dan kau ... kupikir kau juga memiliki rasa yang sama. Cara kau memandang Jungkook itu berbeda, apalagi saat kalian belajar bersama. Well, aku sempat melihat kalian menghabiskan waktu di perpustakaan—saat kau menghindariku secara tiba-tiba."

"Kau salah paham, Taehyung!" sergahku penuh tekanan dan malah mengundang tawa di bibir Taehyung. "Aku belajar karena ingin menjadi gadis idamanmu dan ... oh, Tuhan. Kumohon lupakan."

Taehyung kembali tertawa lalu sayup-sayup kudengar embusan napasnya. "Aku tahu. Dan aku mengapresiasikannya. Namun, cobalah untuk memahami perasaanmu. Kupikir rasa yang kau maksud itu adalah perasaan kagum karena aku menolongmu dan memberikan cincin milik Suga. Andai saja kau tahu, bahwa Jungkook lebih memerhatikanmu. Ia bahkan memarahiku karena telah menolakmu tadi."

"Apa?!" jeritku setengah mati lalu buru-buru mengambil napas. "Kau pasti bercanda. I-itu—"

Ucapanku seketika terputus saat suara ketukan terdengar pada pintu kamarku. Aku mencoba untuk mengintip. Namun, sebuah suara memanggilku—itu suara Jungkook. Dia menyusulku.

... dan nada suaranya terdengar sedih. Apa aku telah melakukan kesalahpahaman? Tentu saja, Jungkook pasti mengira bahwa aku marah padanya.

"Sa Na, kau di dalam, 'kan? Bisa buka pintunya? Kita harus bicara. Aku tidak bisa jika kau mendiamkanku lebih lama lagi."

Nah, 'kan! Apa yang kupikirkan benar-benar terjadi lalu di waktu bersamaan, ucapan Hyun Ah dan Taehyung kembali berputar-putar.

Aku dan Jungkook saling menyukai. Itu lucu sekali. Jesus!

"Akan kubuka sebentar," ucapku kemudian beralih pada Taehyung yang menungguku di saluran telepon. "Sampai ketemu nanti, Taehyung. Trims karena mau mendengarku." Dan aku pun memutuskan panggilan, tanpa membiarkan Taehyung berkata lebih, lalu buru-buru mengganti baju.

Aku tidak ingin terlihat berantakan di depan Jungkook. Ini pertama kali dan itu sungguh mengherankan.

"Aku sudah selesai. Kau bisa buka pintunya," kataku setelah memoles lip tint dan beberapa detik kemudian pintu kamarku terbuka.

Jungkook dengan ekspresi sedihnya langsung memelukku. Sepertinya ia menangis, kurasakan bahunya sedikit bergetar dan aku ingin menggodanya. Namun, sekarang bukan saatnya karena Ong Sa Na bukan orang brengsek yang tidak tahu kapan tepatnya melemparkan lelucon.

Aku menepuk punggung Jungkook pelan-pelan. Sebisa mungkin menenangkannya dan menunggu, meski sudut bibir tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

Jungkook benar-benar manis dan cute, jika seperti ini.

"Sa Na, aku akan pindah ke Osaka. Awal semester depan," kata Jungkook tanpa aba-aba—di luar ekspektasiku—aku melepaskan pelukan lalu menatap Jungkook dengan tatapan tidak percaya.

"Mwo?" lirihku, berharap bahwa ini adalah lelucon.

Namun, Jungkook malah mengangguk dan aku membalasnya dengan gelengan.

Ditinggal sahabat yang sudah seperti soulmate adalah hal buruk bagiku dan itu akan mengundang rasa kesepian dalam hidupku.

"Tidak," lirihku lagi.

Jungkook kembali memelukku dan di tengah perasaan sesak di dalam dadaku, kudengar Jungkook berbisik—mengatakan sesuatu yang sudah dikatakan dua orang sebelumnya.

Mataku membulat dan basah di waktu bersamaan.

Aku tidak tahu apakah harus bahagia, marah atau bersedih.

Perasaanku campur aduk. Itu saja.



*****

What do you think about this?

Thx you so muchhl for reading and sebentar lagi cerita ini akan tamat.

Semoga kalian masih betah dan please give me your vote plus comment.

Also follow my wattpad account for new story and my instagram @augustin.rh for qoutes and keep in touch with me.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top