Whelve
"Bukankah Yang Maha Kuasa terlalu senang mempermaikan takdir kita, Jim?"
Tanya itu begitu menganggu. Menguras otak Jimin untuk berpikir lebih jauh. Apa kiranya yang dia pikirkan saat melontarkan sebuah tanya dengan senyum manis dan mata yang menatap teduh?
Itu sedikit aneh. Sang Pencipta tidak pernah mempermainkan takdir. Semua yang dialami manusia sudah menjadi garis ketentuan hidupnya. Jimin percaya itu. Sangat malah. Tapi kenapa si brengsek Taehyung itu malah mengacaukannya dengan sebuah pertanyaan mudah tetapi terlalu rumit untuk dijawab.
Jimin ingat betul saat itu mereka tengah berbaring lelah di taman pelataran asrama setelah dihukum membersihkan daun yang berguguran. Ini salah Taehyung karena mencuri roti untuk makan malam, Jimin sudah melarang. Tapi pemuda itu malah mengabaikannya, ia juga dituduh membantu Taehyung mencuri. Jimin tidak bisa lagi mengelak saat ia tertangkap basah di dapur.
Menghela napas kelewat panjang, Kim Taehyung mengulurkan tanganya ke udara, lalu membentuk pola random dengan tatapan masih tertuju pada langit yang dihiasi riak awan senja. Bersemu oranye dan bercahaya hangat. Seolah tengah melukis langit sore itu. Tapi anehnya angin berhembus begitu dingin.
"Apa yang kau lakukan?"
"Kau percaya jika Tuhan ada di sana, Jim?"
Pertanyaan itu lagi. Terhitung sudah lebih dari duapuluh kali Taehyung menanyakan keberadaan Tuhan padanya. Terlalu sering.
"Hmm ... aku percaya Tuhan berada di mana pun, Tae."
"Menakutkan."
"A-apa?"
Taehyung menoleh dengan sebelah tangan yang masih ada di udara. Menghentikan aktivitasnya melukis langit demi mempertemukan netra jelaga miliknya dengan sepasang obsidian jernih milik Jimin. Mereka terdiam beberapa detik sebelum akhirnya Taehyung membuka suara terlebih dahulu.
"Tidahkah Tuhan begitu menakutkan Jimin? Dia berada di mana pun. Mengikuti dan mencampuri urusan kita." Sepasang jelaga itu menatapnya begitu kuat, mengirimkan desir aneh yang mengusik degup di dadanya. Entah, Park Jimin tidak terlalu yakin pada si pemuda di hadapannya. Yang tengah menatapnya tenang tetapi menyiratkan segelintir cemas di sana. Ia kembali berujar, "Dan yang lebih menakutkan adalah kenyataan bahwa ia senang mempermainkan takdir para pengikutnya. Sang Pecipta tidak pernah adil, Jimin."
Ada yang salah dari cara berpikir pemuda itu. Jimin tahu, ia menyadarinya. Tapi apa? Taehyung tampak normal. Dia sama dengan kawan-kawan yang lain. Hanya seorang pemuda dengan rasa penasaran yang tinggi. Tapi kenapa pertanyaan pemuda itu selalu mengarah pada takdir dan Tuhan?
"Tuhan memang ada di mana-mana, Tae. Bukan karena ia mengikuti kita, tetapi karena itu sudah menjadi sifat-Nya." Itu adalah jawaban terbaik yang bisa Jimin berikan pada kawannya itu. Ia sendiri tidak terlalu mengerti kenapa Taehyung begitu giat menayakan hal-hal seperti itu.
"Bukankah Yang Maha Kuasa terlalu senang mempermainakan takdir kita, Jim?"
Taehyung kembali bertanya, dengan mata yang menatap lurus pada langit. Dengan suara setengah bergetar menahan getir. Tapi tatapannya terasa begitu teduh, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang nyaris tidak terlihat. Dan Jimin hanya menjawab kelewat tenang. Katanya, "Apa yang kita lalui adalah takdir yang sudah dituliskan olehnya. Baik atau buruk itu sudah menjadi garis ketentuannya. Kita tidak punya hak untuk menentang dan melawan, Taehyung."
Dan Taehyung hanya mampu mematung. Jawaban dari Park Jimin menamparnya secara berkala. Merobek hatinya hingga menjadi lembaran kecil. Ekpresi wajahnya mengeras dan kedua tangannya terkepal rapat. Kim Taehyung mati-matian menahan letup amarah yang mendidih dalam dirinya. Menahan agar ia tidak membantah perkataan pemuda di sampingnya. Karena bagaimanapun jawaban Park Jimin adalah sebuah kebenaran.
Jimin sangat yakin apa yang ia katakan pada hari itu memang sebuah kebenaran. Lalu kenapa Kim Taehyung mendadak berubah? Pemuda itu menjadi lebih dingin dari biasanya. Menjadi lebih pendiam dari seharusnya. Dan mengabaikannya seperti ia sudah berbuat salah. Apa yang Jimin lewatkan hingga pemuda itu bertindak demikian?
Dan seperti biasa Taehyung selalu tertidur pada jam pelajaran. Memilih menelusupkan kepala dilipatan tangan. Sementara yang dilakukan Jimin adalah duduk tegak di samping pemuda itu. Bukan karena ia memperhatikan pelajaran, tetapi ia menghalau sinar matahari yang masuk melalui celah jendela. Menjaga agar pemuda Kim itu tidak terganggu dalam tidurnya, meskipun tubuh kecil nan ringkih Jimin tidak bisa melindungi seluruhnya. Tapi ia tetap berusaha seperti biasa.
Matanya menangkap siluet Taehyung yang diterpa sinar matahari. Sinar yang melewati celah tubuhnya. Bibir merah muda yang merekah, mata yang terpejam rapat, rambut hitam sekelam malam. Jimin tahu Kim Taehyung adalah definisi dari sebuah kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.
Sang Pencipta begitu adil, Taehyung.
Bahkan rasanya melihat wajah itu damai dalam tidurnya sudah cukup bagi Jimin untuk memastikan bahwa mungkin dirinya telah berbuat salah. Sebab, tak ada senyum yang terukir dalam lelapnya.
Bel pulang berbunyi nyaring. Saat tangan Jimin hendak meraih pundak pemuda di sampingnya, tangannya lebih dulu dicekal dengan kuat. Mata tajam Taehyung menubruk netranya, lalu ia berujar, "Aku sudah bangun, Jim."
"A-ah, kukira kau masih tidur." Jimin meloloskan tangannya dari cekalan Taehyung, merasa tidak enak hati meski ia tidak mengerti letak salahnya di mana hingga pemuda Kim itu mengabaikannya. "Ayo pulang, hari ini kita kebagian tugas menyiapkan makan malam."
Kim Taehyung mengangguk setengah malas, lalu membereskan buku-buku miliknya yang berserakan di atas meja. Sedikit lambat memasukan barang-barang miliknya, ia sengaja mengulur waktu. Ia sengaja membuat Jimin menatapnya gemas lalu membantunya memasukan barang-barang miliknya dengan tergesa. Menimbulkan senyum samar di bibir Taehyung terbentuk dan hilang bahkan sebelum Jimin menyadarinya.
Mereka berdua berjalan beriringan, melewati kanal tua yang sudah mengering. Jimin dengan sweater abu-abu kebesaran miliknya dan Taehyung dengan sweater hitam bertudung yang menyembunyikan wajahnya, mereka berjalan beriringan. Sedikit lambat dari biasanya, bukan karena lelah. Tapi Taehyung mengurangi tempo miliknya, menahan agar mereka bisa sedikit lebih lama menghirup udara musim gugur yang begitu dingin.
"Taehyung," Jimin memanggil dengan suara yang bercicit kecil. "Aku ingin bertanya."
"Hmm ... apa?"
Tak perlu susah payah bagi Taehyung untuk menoleh pada si pemilik suara. Sebab saat Jimin memanggil namanya ia sudah lebih dulu menghentikan langkah, berdiri memunggungi orang yang tengah mengajaknya bicara.
"Apa aku berbuat salah padamu?" tanyanya tanpa ragu. Suaranya bahkan terdengar begitu jelas di telinga Taehyung.
"Tidak," Taehyung menjeda. Bibirnya terkatup rapat. Dalam kepalanya ia menimbang-nimbang jawaban apa yang harus ia berikan pada pemuda di belakangnya. Beberapa kali ia membasahi bibirnya yang terasa kering, sebelum akhirnya membuka suara. Katanya, "Kau tidak berbuat kesalahan Jimin. Satu-satunya yang salah di sini adalah Tuhan."
"Tuhan?" Jimin mengulang dengan raut bingung penuh tanya. "Tapi Tae, Bapa bilang Tuhan--"
"Dia berbuat salah padaku, Jim. Hanya padaku!" gertaknya geram. Taehyung menatap lekat pada iris Jimin, membuat pemuda itu bungkam seketika. Dalam hati Taehyung berkali-kali mengutuk diri karena telah membuat Jimin merasa takut pada dirinya. Salahkan ia yang tidak bisa mengontrol diri. "Atau barangkali memang aku yang sudah melanggar ketentuannya," Taehyung berujar nyaris berbisik.
Park Jimin tersenyum manis, kini dia tahu apa penyebab kawannya itu berbeda sejak kemarin. Hanya karena ia mungkin memiliki sebuah dosa pemuda itu jadi uring-uringan. "Kau bisa melakukan pengakuan dosa Tae. Tuhan pasti akan memaafkanmu. Percayalah," katanya masih dengan senyum manis.
Taehyung mendengkus lalu terkekeh geli. Mendengar jawaban polos Jimin membuatnya semakin yakin jika dirinya adalah orang paling berdosa. "Kau berharap Tuhan memaafkan aku?" pemuda di hadapannya mengangguk antusias, saat akan kembali bersuara Taehyung lebih dulu berujar kelewat tenang, "Dia tidak akan mau memaafkan aku, Jimin."
"Tapi Tae--"
Dan Taehyung berbalik badan, berlalu meninggalkan Jimin dalam kebingungan yang semakin merayapi kepalanya. Keningnya berkerut halus, memikirkan kembali kiranya kali ini perkataanya yang mana yang berhasil menyentil sisi sensitif Taehyung. Bahkan pemuda itu tidak mau mendengarkan penjelasannya lebih lanjut lagi. Kepalanya memutar kembali segala percakapan sebulan terakhir yang kerap kali berakhir dengan sikap dingin Taehyung.
"Kau tidak akan pulang?" tersadar dari lamunanya, Jimin menemukan Taehyung yang sudah berjalan cukup jauh dari tempatnya mematung. Pemuda dengan tudung hitam itu menatap Jimin sedingin biasanya. Tapi anehnya ia tidak merasa tersinggung sama sekali. Padahal dulu Taehyung selalu menatapnya dengan hangat dan senyum merekah.
Seperti yang sudah dijadwalkan. Ia dan Taehyung tengah berkutat dengan alat-alat dapur. Mereka tidak sendiri ada empat anak lainnya yang juga memiliki tugas yang sama. Tentu, tinggal di panti asuhan bukan hal yang mudah bagi mereka. Setiap hari selalu ada tugas berbeda yang menanti mereka. Memangnya mereka punya hak untuk melawan dan menentang? Ini adalah satu-satunya tempat teraman yang ada. Tempat yang mau menampung mereka saat dunia menolak keberadaan mereka.
"Tae sup kimchinya sudah mendidih."
"Hmmm."
Respon yang sama lagi. Jimin tidak mengerti apa yang salah pada pemuda itu. Ia sudah terlalu banyak berubah semenjak sebulan terakhir. Yang bahkan Jimin tidak mengerti apa penyebab pemuda itu memiliki sikap begitu dingin. Jika itu karena jawabannya tadi sore atau karena jawabannya yang lalu maka Jimin akan meminta penjelasan. Ia butuh tahu apa yang dialami kawannya itu.
Seingatnya Bapa sudah sering kali meminta ia dan Taehyung berdo'a siang dan malam. Meminta pengampunan pada Tuhan. Bapa juga sering mengajarkan banyak hal tentang kebaikan Tuhan padanya dan Taehyung. Lalu di mana letak kesalahan Jimin? Jika memang pemuda itu memiliki dosa kenapa tidak melakukan pengakuan. Alih-alih malah mengatakan jika Tuhan berbuat salah padanya, Jimin tidak mengerti.
"Tae nanti malam temani aku berdo'a, yah?"
"Hmmm."
Jengah. Jimin jengah dengan respon itu. Jimin memajukan bibir beberapa senti, merasa kesal karena tanggapan Taehyung. Sementara orang yang dituju nyaris saja luluh hanya karena sebuah ekpresi manis yang padahal sudah sering kali dilihatnya itu.
"Aku akan menemanimu."
Tersenyum. Akhirnya Jimin tersenyum melihat kawannya itu luluh. Dan entah, Taehyung merasa menjadi lebih baik. Ternyata mendiamkan pemuda itu pun tidak terlalu berguna baginya. Malah itu membuatnya sedikit tersiksa. Melihat bagaimana ekpresi kecewa yang timbul di kedua iris jernih milik Jimin membuatnya merasa menjadi orang paling berdosa karena tidak menjaganya dengan baik.
Yang Maha Kuasa menjadikanmu kelemahanku.
Tepat pukul 10 malam Jimin dan Taehyung duduk berdampingan di rumah Tuhan. Mata keduanya terpejam rapat, jari jemari keduanya saling bertautan erat dan hati mereka merapalkan do'a tiada henti. Bersahutan dalam hening, degup mereka menjadi penjelas bagaimana khusunya mereka meminta.
"Taehyung," Jimin memanggil dengan mata yang masih terkatup rapat. Suaranya tampak ragu saat hendak melempar sebuah tanya yang mengganggu beberapa waktu ini. "Kau bilang Tuhan berbuat salah padamu. Ia berbuat salah apa?"
Suara Jimin terdengar sedikit bergema. Dalam sunyi malam yang semakin larut Taehyung bisa merasakan degupnya melonjak, sebelumnya ia tidak pernah berpikir jika pemuda di sampingnya akan menanyakan hal ini.
Melepaskan tautan jari jemarinya,Kim Taehyung membuka mata perlahan, mengerjap sebentar karena cahaya lilin yang begitu silau. Pandangannya bertemu dengan patung yang mereka sebut Tuhan.
"Kesalahan Tuhan padaku hanya satu Jimin. Tapi Yang Maha Kuasa menjadikan aku penjahat dalam kesalahan yang dibuat-Nya," ujarnya kelewat lirih. Suaranya beradu dengan desir angin malam.
"Apa kesalahan yang Tuhan perbuat padamu?" Jimin kembali mengulik.
Terdiam sesaat, Taehyung akhirnya menjawab tanpa ragu. "Jatuh cinta." Matanya menatap lurus pada mimbar. Nyaris tanpa emosi. "Dia membuatku jatuh cinta pada seseorang."
Jimin tertegun. Ia menghentikan rapalan do'anya. Matanya terbuka dengan cepat, lalu ia menoleh dengan ekpresi yang tidak dapat dijelaskan. Apa yang salah dari jatuh cinta? Bukankah itu manusiawi? Itu perasaan lumrah yang dirasakan setiap manusia. Kasih dan sayang itu 'kan juga diajarkan oleh Tuhan.
Maka demi memastikannya Jimin kembali mengulang perkataan Taehyung dengan ragu. "Jatuh cinta? Apa yang salah dari itu?"
Taehyung menoleh, mengganti fokusnya pada pemuda di sampingnya. Meneliti ekpresi bingung dan aneh yang mampir di wajah kawannya itu.
"Itu adalah sebuah kesalahan."
"Apa yang salah? Jatuh cinta itu manusiawi, Tae."
Tiga detik. Butuh tiga detik untuk Taehyung bisa menyemburkan tawa hanya karena rentetan kalimat yang diucapkan Jimin. Ia terkekeh geli seolah apa yang didengarnya adalah hal lucu.
Memang manusiawi, jika perasaan itu timbul pada orang yang tepat.
"Kau salah kali ini, Jim. Tuhan bahkan tidak akan suka jika aku mengakuinya."
"Kenapa?"
"Karena itu sebuah kesalahan."
Jimin terdiam. Kepalanya sibuk mengolah informasi yang didapatkannya barusan. Tentang mengenai kenapa sebuah rasa cinta menjadi sebuah kesalahan. Bukankah seharusnya itu menjadi anugerah bagi setiap umat manusia?
"Tae aku tidak mengerti. Kenapa cinta bisa menjadi sebuah kesalahan?"
Wajah Park Jimin menunjukan rasa penasaran yang absolut. Bahkan kini ia sudah sepenuhnya menghadap pada Taehyung, melupakan tujuan awalnya untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Taehyung tersenyum kecil, menilik bagaimana binar ingin tahu itu terpancar pada netra jernih pemuda di hadapanya. "Jangan dipikirkan. Lupakan saja, aku hanya asal bicara," katanya sembari mengulas senyum kecil menenangkan. Tapi itu tidak serta merta menghilangkan rasa ingin tahu Jimin. Itu malah semakin membuatnya penasaran. Menyulut keingin tahuannya menjadi lebih banyak.
"Beritahu aku ...," desaknya. "Pada siapa kau jatuh cinta? Apa dia menolakmu?" rentetan pertanyan Jimin mengudara, mengirim rasa cemas pada diri Taehyung. Oh sial, ini tidak bagus.
Taehyung menggeleng kecil, menolak untul memberi tahu. "Tidak Jim. Kau tidak perlu tahu. Ini rahasiaku dengan Tuhan."
Jimin mendecak jengkel, pemuda di hadapannya malah berputar-putar terus. "Kau bilang Tuhan berbuat salah padamu. Sekarang kau malah punya rahasia dengan-Nya. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?"
Skak mat. Taehyung terjebak. Dia tidak bisa mengelak lagi dari pertanyaan Park Jimin.
"Ceritakan. Taehyung."
Nada yang tegas, wajah yang lugas, mata yang menatap tajam. Taehyung tahu akan tiba saatnya Jimin menanyakan hal ini, tetapi ia tidak tahu jika hari ini akan datang begitu cepat. Ia tidak menduga ini sebelumnya. Ia belum siap menceritakan segalanya.
"Bukankah Yang Maha Kuasa terlalu senang mempermainkan takdir kita, Jim?"
Pertanyaan itu lagi. "Tae aku seri--"
"Aku juga serius, Jim." Taehyung menghela napas pendek, ia menggigit bibir bawahnya kuat sedikit ragu harus memulainya dari mana. "Tuhan mempermainkan takdir kita. Dia menjadikannya rumit. Berbelit-belit."
"Aku tidak mengerti. Apa hubunganya dengan kau yang jatuh cinta?" cicit Jimin kelewat geram. Ia sudah diambang batas rasa penasaran. Ditambah Taehyung terus berkelit.
Taehyung terdiam beberapa detik. Berpikir cepat akan apa yang harus ia lakukan saat genting seperti ini. Pergi meninggalkan Jimin pun bukan solusi yang tepat, karena pemuda itu pasti akan kembali bertanya.
Haruskah?
"Itu berhubungan, Jim. Semua yang aku katakan berhubungan." Taehyung menetapkan tekadnya, bagaimanapun ini akan menjadi kesempatan pertama dan terakhirnya. "Tuhan menjadikan aku seorang penjahat karena telah melawan dan menentang ketentuannya."
"Apa maksdumu?"
"Sssttt," pemuda itu menghentikan celoteh Jimin, meminta agar Jimin diam barang sekedik saja. Agar ia punya kesempatan menjelaskan segalanya. "Cinta itu suci. Tapi aku tidak yakin dengan perasaan yang ada pada diriku. Perasaan ini rumit Jimin, sulit untuk mengutarakannya. Aku akan menjadi sangat jahat jika mengakui perasaan ini." Taehyung menelan saliva gugup, bibirnya terasa kering. Perutnya mendadak mulas. Ini tidaklah baik.
"Tae aku tidak mengerti."
"Kau akan mengerti saat aku mengucapkan sederet kalimat sederhana. Tapi berjanjilah sesuatu padaku, Jimin."
Taehyung mengulurkan jari kelingkingnya cepat. Lalu meminta Jimin cepat-cepat mengaitkan jari mereka. Lalu ia berbisik kelewat tergesa, "Berjanjilah kau tidak akan membenciku setelah semua ini. Berjanjilah, Jim."
Meski heran tapi Jimin tetap mengangguk pasti. Menyanggupi permintaan Taehyung meski ia tidak yakin akan sanggup menepatinya. "Aku berjanji, Tae." Untuk saat ini saja Jimin akan berjanji meski ia tidak tahu apa yang akan terjadi di detik selanjutnya.
Menghela napas panjang Taehyung kembali mempertemukan netranya dengan iris milik Jimin. Begitu tenang rasanya melihat dirinya dari pantulan mata Jimin. Ia selalu suka hal itu.
"Kesalahan yang Tuhan buat adalah membiarkan aku jatuh cinta, Jimin," Taehyung berujar kelewat tenang. Meski dadanya sudah bertalu keras, memukul rongga dadanya hingga sakit. Tapi ia tidak lagi memedulikannya. Ia hanya harus mengatakan sebait kalimat sederhana dan mengakhiri kegilaanya.
"Kau tahu pada siapa aku jatuh cinta?" Taehyung bertanya dan dijawab gelengan kepala oleh Jimin. Menghela napas kasar, ia menatap tepat pada manik di hadapannya, mengunci pandangan Jimin hanya agar pesan ini tersampaikan dengan sempurna. "Padamu, Jimin."
Dan udara mendadak menjadi semakin dingin. Suasananya mendadak menjadi begitu canggung.Menguar dengan ekpresi mematung Jimin yang kelewat beku. Tubuhnya bergeming. Tidak bergerak untuk beberapa detik.
"Tae ... aku tidak mengerti."
"Aku mencintaimu, Jimin." Tegas Taehyung, "Sesederhana itu."
Jimin menggeleng cepat, menolak kenyataan pada apa yang baru saja ia dengar dan saksikan. "Itu salah Tae, itu tidak benar."
"Aku tahu." Taehyung berkata dengan lesu, mimik wajahnya memancarkan kesedihan. Jimin benci ekpresi itu."Itulah mengapa aku sebut Tuhan senang mempermainkan takdir kita. Aku tahu ini salah. Tapi perasaan ini bukan kehendakku."
Tidak, ini tidak benar. Jimin yakin ini hanya sebuah kesalahan. Tuhan tidak mungkin menulis takdir sekacau ini. Ini tidak benar, bahkan ia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi diantara ia dan Taehyung.
"Aku mencintaimu, itu adalah takdir yang ditulis oleh Tuhan. Ini adalah kesalahan yang Sang Pecipta buat. Aku juga tidak ingin berada dalam kondisi ini, Jim."
Benar, ini bukan salah Taehyung. Bagaimanapun pemuda itu sudah berusaha menutupinya. Tapi tetap saja ini terasa tidak begitu benar. Ini sangat aneh.
"Sejak kapan?" tanya Jimin, tetapi Taehyung malah menunjukan ekpresi bodoh, ia jadi makin kesal. "Sejak kapan kau mencintaiku, Tae?"
"Ah, itu ...." Taehyung menjeda, bibirnya mendadak membentuk senyum manis, pipinya bersemu merah di bawah cahaya yang temaram. Mata pemuda itu juga jadi lebih berbinar, Taehyung sebahagia itu. "Aku mencintaimu sejak kau selalu diam-diam menyanyikan lagu menghantar tidur saat aku mimpi buruk."
"Kau tahu Jim, saat kau mulai bergumam bernyanyi pelan demi agar aku tertidur nyenyak. Rasanya aku mendapatkan tempat paling aman dan nyaman. Mendadak saja semua gambaran menyeramkan tentang dunia hilang tak berbekas. Itu semua karenamu, Jim."
Mulut Jimin terbuka lebar, sekali lagi tidak percaya pada apa yang didengarnya. Mendapati wajah Taehyung yang bersemu, mungkin merasa malu karena sebuah pengakuan yang manis -setidaknya mungkin bagi pemuda di hadapannya- rasanya Jimin ingin masuk ke dalam perut bumi saja. Menghilang dan tidak kembali. Ia sendiri tidak pernah menyangka jika selama itu Taehyung menyukai dirinya. Benar-benar gila.
"Kau tahu kita tidak bersama 'kan?"
"Jimin kita bisa mencobanya dulu, jika memang tidak---"
"Tidak Tae, aku tidak bisa." Binar itu meredup, wajahnya kembali murung. Jimin akui ia memang menyayangi Taehyung. Tapi sebagai saudara, tidak lebih dari itu. Tidak akan pernah bisa. Dia pemuda normal, mana bisa dipaksa untuk menjalin sebuah hubungan dengan Taehyung. Bahkan rasanya terlintas dalam pikira pun tidak pernah.
"Kenapa tidak bisa?" tanya Taehyung, masih dengan wajah penuh harap.
Maka menatap Taehyung dengan dingin Jimin bermaksud untuk mengakhiri segalanya, karena mereka tidaka akan pernah bisa bersama bagaimanapun caraya. Ia menatap tepat pada manik di hadapannya. Mengunci pandangan dan atensi Taehyung. "Karena aku mencintai seorang gadis, Taehyung."
Dan binar dalam mata Taehyung benar-benar hilang seketika. Menguap bersama udara yang semakin dingin. Hatinya remuk menjadi serpihan abu. Jiwanya hilang dalam hitungan detik. Untuk pertama kalinya ia jatuh cinta, dan untuk pertama kalinya ia merasakan patah hati yang begitu hebat.
"Benar 'kan kataku Jimin. Tuhan senang mempermainkan takdir kita."
Whelve End.
Terimakasih sudah membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top