Chapter 1
Chapter 1
Isn't it lovely?
All alone.
—
Dear diary...
Masih ada nggak ya orang yang nulis diary di tahun 2020 ini? Kayaknya, enggak ada deh.
Terus gue apa? Bukan orang?
Tapi, hari ini gue bakalan mulai nulis diary lagi setelah 5 tahun. Karena gue pikir—setidaknya, suatu saat—bakalan ada orang yang baca diary gue ini. Ngebaca keluh kesah gue, yang nggak bisa gue ceritain ke orang lain.
Selain itu, mungkin gue juga bisa nulis cerita-cerita yang nggak bisa gue tulis 5 tahun lalu.
Halo, Diary. Selamat datang di kehidupan gue yang kelam ini. Nama gue Elena Jovanka, dan mulai hari ini, gue bakal menoreh kisah di atas kertas polos lo. Be ready.
12 Januari 2020.
—
Gadis berambut sebahu itu menutup buku bersampul kulit hitamnya yang baru ia beli di toko buku seberang jalan beberapa menit lalu. Ia duduk di kursi yang terletak di lantai dua balkon rumahnya selagi angin malam berhembus membelai kulit wajahnya.
Namanya Elena. Atau setidaknya, itulah yang baru saja ia tulis di atas buku yang ia klaim sebagai diarynya itu.
Elena mendongak menatap langit malam dengan tatapan merana. Seharusnya, malam ini hujan. Tapi, kenapa langit malam tiba-tiba saja berubah secerah ini?
Rupanya Tuhan lebih memilih untuk mengabulkan doa orang lain agar hujan tidak turun malam ini alih-alih mengabulkan doanya. Mengingat banjir yang sudah menenggelamkan beberapa kota termasuk perumahan yang tak jauh keberadaannya dari rumah Elena.
Tuhan memang adil.
Sepertinya, Elena harus menunggu hujan di lain malam. Jadi, ia memilih bangkit dari posisinya duduk dan masuk ke dalam kamar.
Rasanya cukup untuk malam ini. Elena hendak istirahat sejenak, mengingat upacara Senin pagi di sekolah sudah menunggunya.
—
Tidak ada yang spesial hari ini.
Itulah yang Elena rasakan, seperti pagi-pagi biasanya saat ia memulai hari di sekolah. Tapi, ia tetap tersenyum kala beberapa siswa junior berlalu lalang menyapanya.
Orang lain tak perlu tahu apa yang ia rasakan, 'kan?
Jadi, Elena terus melanjutkan langkahnya menuju kelasnya yang terletak di lantai 3 untuk meletakkan ransel sebelum upacara hari Senin di lapangan dimulai.
Begitu tiba di tempatnya duduk di paling pojok baris ke 3 dari depan, Elena langsung disambut cengiran Nara. Teman sebangkunya. Dan tanpa perlu ditanya, Elena tahu jelas apa maksud senyumannya.
Jemari Elena bergerak dengan lihai membuka resleting ranselnya, mengeluarkan buku tulis bertuliskan Pendidikan Kewarganegaraan dan topi untuk upacara nanti. Ia mengenakan topi miliknya dan menyodorkan buku tulisnya kepada Nara.
"Beda-bedain," kata Elena, dibalas anggukkan cepat oleh Nara yang langsung saja merebut buku tulisnya.
Malam tadi, Nara mengirimi pesan singkat kepada Elena perihal dirinya yang baru saja pulang ke rumah pukul 9 malam lantaran sibuk latihan tari tradisional untuk lomba tingkat regional SMA se-Jakarta Selatan yang membuatnya tidak sempat mengerjakan tugas Pendidikan Kewarganegaraan.
Walaupun tugasnya diberikan minggu lalu, tapi Elena tahu kalau Nara menghabiskan hampir seluruh waktunya setiap pulang sekolah untuk latihan bersama tim tarinya demi membawa nama baik sekolah. Bahkan di hari libur sekalipun. Jadi, Elena bisa memakluminya sekali ini.
Dia paham betul, kalau seseorang tidak bisa melakukan segala sesuatu dengan sempurna. Belum.
"Makasih, Elena cantik." Nara berujar tanpa menoleh.
Elena tak menggubris ucapannya. "Gue ke bawah duluan, ya."
"Okay!"
Setelahnya, Elena melenggang pergi keluar kelas bersamaan dengan beberapa teman sekelasnya yang lain.
Tiba di lapangan, ia segera menuju barisan tempat anak kelas 11 IPS 2 berbaris. Dan tanpa sadar, ia berjalan ke baris terdepan begitu saja tanpa diminta. Seolah alam bawa sadarnya sudah terbiasa memerintah kakinya untuk melangkah ke sana. Tak peduli bahwa tinggi badannya bukan yang paling rendah di antara murid perempuan lain di kelasnya.
Elena memang sudah terbiasa berdiri di barisan paling depan.
Entah itu karena teman-teman kecilnya yang lain tidak ingin terlihat malas-malasan selagi berdiri di depan atau sekedar ingin bebas mengobrol di barisan belakang.
Tak berselang lama, upacara pun dimulai. Tak lupa, Nara datang dengan dramatis sembari berlari-lari menyusuri koridor sembari mengenakan topinya dan berujung berdiri tepat di samping Elena.
"Udah telat, maunya paling depan," ledek Sayudha, ketua kelas sebelah yang berdiri di samping kanan Nara.
Nara berdecih.
"Empat L," umpatnya. "Lo lagi, lo lagi."
Elena segera menyenggol lengannya, menandakan agar Nara diam daripada menanggapi ledekan Sayudha yang kalau ditanggapi tidak akan ada habisnya.
Akhirnya, upacara berlanjut dengan khidmat. Walaupun ada sedikit suara mengganggu pendengaran Elena yang berasal dari ocehan atau bisikan murid-murid di barisan belakang. Tapi, Elena tidak peduli. Yang ia inginkan hanya upacara ini cepat berakhir.
Sampai, Sayudha yang berdiri di samping Nara menghancurkan ketenangannya.
"Apaansi, Dha!" bisik Nara yang hampir memekik saat Sayudha terus saja menyenggol lengannya.
"Lu tukeran tempat dah sama Elena," titah Sayudha.
"Bego lu ya, diliatin anjir," kata Nara.
"Buruan elah."
Elena berdecak, melotot ke arah Sayudha saat Nara menariknya untuk bertukar posisi.
"Ngapa?" sosor Elena cepat. Pandangannya tetap lurus ke depan.
"Lo bisa dance kan, El?" tanya Sayudha tiba-tiba.
Elena meliriknya aneh. "Udah bener Nara yang di sini."
"Yeh, dia mah jungkat-jungkit," ledek Sayudha. Sempat-sempatnya.
Nara yang mendengar ucapan Sayudha pun melotot dan hendak memukul cowok itu, tapi Elena menahannya.
"Kenapa emang?"
"Gue butuh orang yang bisa modern dance, bukan tradisional," jelas Sayudha.
"Lo tau dari mana gue bisa?"
Sayudha memutar bola matanya. "Satu sekolahan tau kali, El."
Sialan. Elena tidak menyangka ucapan itu akan keluar sama sekali.
Satu sekolahan tahu? Dari mana?
"Ngaco," kilah Elena.
"Serius gue. Itu si Kenzo mau ngomong."
Alis kanan Elena terangkat. Kenzo?
"Kenapa nggak lo aja?"
"Special request, katanya."
Sumpah demi hujan yang melanda sejak awal tahun baru, Elena dapat melihat sudut kanan bibir Sayudha terangkat saat berujar demikian. Apa maksudnya?
"Request denied," balas Elena.
Kali ini Sayudha benar-benar menoleh bersamaan dengan tubuhnya yang condong ke kiri.
Langsung saja Elena menepuk pundaknya untuk kembali menghadap ke depan. Mereka berada di barisan paling depan, bisa-bisanya Sayudha membuat pergerakan sejelas itu.
Masalahnya, kalau Sayudha dihukum, sudah jelas Elena akan ikut dihukum mengingat yang orang lihat adalah mereka berdua yang tengah berbincang.
"Why?" tanya Sayudha, nampak jelas tak terima.
Elena memukulnya sekali lagi. Kenapa sih, anak kelas sebelah semerepotkan ini?
"Iya, Na. Why?" Nara di sebelahnya ikut-ikutan.
"Nggak tertarik."
"I'll make you in."
Tiba-tiba saja ada sebuah suara berujar di belakang tengkuk Elena, membuat sekujur tubuhnya merinding seketika. Pertahanan dirinya entah mengapa merasa terancam.
Sepertinya, itu Kenzo.
Dan dari ancaman yang ia rasakan, sepertinya Elena akan kehilangan masa-masa tenangnya.
—
Main Casts:
• • • • •
notes.
hi, semuanya! apakabar?
semoga baik-baik aja ya.
setelah berpikir panjang akhirnya kuputuskan untuk publish cerita ini.
kali ini aku kembali lagi untuk menghibur kalian semua di tengah krisis yang tengah melanda negeri kita tercinta ini.
semoga kalian semua terhibur dengan tulisanku setelah sekian lama ya.
aku udah tulis banyak cerita ini sejak akhir januari lalu. jadi, semoga aja aku bisa update setiap hari untuk kalian.
mohon dimaafkan untuk cover-ku yang biasa saja ini. padahal, biasanya aku selalu menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengedit cover. iya, seniat itu.
kali ini, lelah saja.
percuma kalau cover yang kubuat dengan segenap hati berakhir digantikan dengan yang lain seolah tak dihargai. lebih baik, tidak perlu repot-repot dari awal 'kan?
lalu, pada cerita ini aku akan bahas tentang seseorang yang terluka hatinya, namun tak banyak yang tahu. terlalu kokoh untuk terlihat rapuh bahkan sedikit saja.
karena, ia menyembunyikannya dengan sempurna. dengan sosok yang terlalu kuat.
sampai, kita sadar bahwa menoreh luka memang semudah itu.
semoga pesanku sampai pada tulisan ini ya.
sehat selalu!
xoxo, melanie.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top