What Is In Leon's Mind

"Leon! Leon!"

"Leon astaga! Lihat ke sini!"

"Leon!"

"Leon ganteng banget astaga!"

Telingaku muak mendengarkan seruan orang-orang di bawah panggung, meneriakkan namaku, memujiku.

       Ratusan cahaya kecil yang bergerak seirama terlihat kontras di dalam gelap, mewakili ratusan orang yang duduk berjejeran. Mewakili ratusan orang yang memiliki titik pandang yang sama, dan titik pandang itu adalah aku.

Mataku terpejam begitu lampu panggung menyorot. Terlalu terang membuatku memejamkan mata. Semua orang terdiam, menungguku yang tak kunjung menunjukkan reaksi apa-apa.

Aku menatap mikrofon di genggaman tangan kananku, sementara tangan kiriku kukepalkan hingga kuku menusuk telapaknya.

Perlahan, mikrofon itu kuarahkan ke depan bibir, membuat orang-orang di bawah panggung berteriak tak sabar.

Namun aku sama sekali tidak bernyanyi.

BUK!

Melainkan malah menjatuhkan mikrofon dengan sengaja. Benda yang masih dalam keadaan menyala itu menimbulkan suara nyaring yang sangat memekakkan telinga, menggema di seluruh kawasan panggung.

Dapat kulihat para staf menatapku dengan pandangan mengintimidasi.

Dapat kulihat manajer memijat pangkal hidungnya sembari menggeram.

Tapi aku tidak peduli. Dan tak akan pernah peduli lagi.

Aku menendang mikrofon itu, menimbulkan suara nyaring untuk yang kedua kalinya.

"Huu!"

"Payah!'

"Huuuuuuuu!"

***
BRAK!

Suara meja yang digebrak Mrs. Kaitlyn, Manajerku mengisi ruangan itu.

"Apa yang terjadi padamu, Leon?!" Mrs. Kaitlyn berteriak marah. "Apa kau pikir konser besar tadi itu cuma sekadar hal main-main yang tidak penting, hah?!"

Wanita berkaki jenjang itu kemudian duduk di sofa merah, berhadapan denganku. Ekspresinya keras, keringat bercucuran di dahinya.

"Bahkan baru-baru ini perusahaan sepatu ternama itu membatalkan kontrak kerja samanya! Film keluaran baru itu bahkan tidak jadi menawarkanmu sebagai pemeran utamanya juga!"

Mrs. Kaitlyn menatapku tajam, lalu wanita paruh baya itu berkata, "Kita rugi besar, Leon." Tatapan Mrs. Kaitlyn semakin tajam. "Sebenarnya apa mau mu?"

***

"Mama kecewa sama kamu, Leon!" teriak Mama di depan wajahku.

Aku cuma nenunduk dalam, memandang tembok putih itu dengan bibir yang terkatup rapat, dengan pandangan yang kosong.

"Sekarang lihat dirimu, kau tampak seperti orang tolol yang tidak terurus!" Mama mulai memijat pangkal hidungnya, lalu dapat kudengar umpatannya dalam hati.

"Kau tahu bagaimana Mama menahan malu di depan teman-teman Mama?!" Mama masih saja berteriak, dapat kulihat ia membuka jas hitamnya. "Sebenarnya mau mu apa?"

***

"Hari ini kau tidak usah menjemputku, Leon," ucap Leah. "Aku lebih baik pulang sendiri saja."

Aku cuma tertawa paksa, lalu menaikkan alisku tanda meminta alasan.

"Uh ... Um ... Aku takut teman-temanku malah meledekmu," ucap kakak perempuanku itu. Aku mengepalkan tanganku erat, kerut di dahiku sama sekali tidak berkurang. "Se-sebenarnya teman-temanku masih saja membicarakan rumor itu."

Aku mendecih, lalu kamudian berbalik, ingin kembali ke kamarku.

"Um, Leon," panggil Leah kemudian, membuatku menghentikan langkahku. Hanya menghentikan langkah, tidak berbalik.

"Kamu sudah punya segalanya, kepopuleran, ketenaran, wajah menjamin, bakat. Tapi," Leah berhenti sebentar, "tapi kenapa kau melakukan itu?"

Aku mengeratkan kepalan tanganku.

Leah menghela napas, lalu berkata, "Apa lagi mau mu?"

***
Aku masih saja duduk dengan pandangan kosong, seperti tidak lagi hidup. Datar, seperti tidak lagi bisa memasang ekspresi.

Secangkir Americano di depanku itu sama sekali tidak kusentuh.

Sementara Randy, sahabat baikku hanya melihatku dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.

Terlihat jelas bahwa ia merasa tidak nyaman, tak seperti biasanya. Randy tidak lagi mengeluarkan lelucon-lelucon yang selalu membuatku tertawa sampai perutku sakit.

"Um, Leon, hari itu aku datang ke konser besarmu." Randy mulai membuka percakapan setelah dua puluh menit kami terdiam. "Jujur, dude, apa yang kau lakukan itu benar-benar bodoh."

Aku masih bergeming, membuat Randy sepertinya merasa canggung.

"Bukannya aku ingin meledek atau apapun itu. Tapi," Randy memberi jeda. "tapi bayangkan saja, orang-orang ingin melihatmu tampil di sana, tapi apa yang kau lakukan?"

Sebelum berdiri dari kursinya dan meninggalkanku sendirian, sahabatku itu berkata, "apa lagi yang kau inginkan, Leon?"

***
Jam satu malam.

Aku mengabaikan angin dingin yang mulai menusuk kulit.

Orang-orang bertanya;

Apa mau mu?

Apa yang kau inginkan?

Jalanan malam beraspal itu lengang. Sama sekali tidak ada kendaraan, jejeran lampu jalanan sudah mati, hanya ada beberapa saja yang masih mengerjap-ngerjap.

Apa salah jika aku menjawab, aku tidak lagi ingin jadi orang yang cuma dikenang karena bakat dan tampang, lalu kemudian dilupakan ketika dua hal itu hilang?

Aku melangkahkan kaki, memesang tudung jaket. Mengabaikan suasana malam yang mencekam. Berlari menuju tempatku menyendiri.

Apa salah jika aku menjawab, aku muak dengan orang yang datang ketika aku berhasil, dan pergi di saat aku jatuh?

Aku mulai berlari, berlari dalam hening dan gelap. Berlari menuju tempat itu.

Apa salah jika aku menjawab, frustasi karena menjadi sosok yang dikelilingi orang-orang yang tidak tulus?

Aku melepaskan tudung jaketku begitu aku melihat tempat itu.

Taman tidak terurus yang ditutupi cahaya bulan karena bangunan kantor bertingkat lima di hadapannya. Taman yang meski sudah lama ditinggalkan, tetap subur bunga dan rumputnya.

Tempat di mana dulu aku masih bisa dikelilingi orang-orang yang benar-benar dekat bukan karena niat tersembunyi, tempat di mana dulu aku bisa merasakan rasanya tertawa bersama, dan juga sedih bersama.

Aku melangkah menuju pos depan. Ingin duduk menyendiri di sana.

Namun baru saja kakiku melangkah, mataku sudah melebar, terkejut setengah mati ketika melihat seorang gadis yang juga duduk di pos itu.

Ini jam satu malam!

"WAAAA!" Kami sama-sama berteriak. Gadis itu hampir saja terjatuh dari bangku kayu itu.

"Kau?!" Gadis berpakaian lusuh itu menunjukku, aku cuma bisa menatapnya dengan berbagai perasaan. Kaget, takut, prihatin, dan lain sebagainya.

"Apa yang kau lakukan di sini? Ini jam satu malam! Perempuan tidak boleh keluar selarut ini!" seruku, setelah sekian lama, aku akhirnya mengeluarkan suaraku.

"Lah? Kau sendiri bagaimana? Ini jam satu malam! Artis terkenal tidak boleh keluar selarut ini!" serunya balik.

Aku tertawa kecut, lalu kemudian duduk di sampingnya.

Anehnya gadis itu sama sekali tidak terkesan, minta foto, tanda tangan, atau apalah itu.

Gadis itu cuma menatap sinis. Kalau diperhatikan, ia memiliki roman muka yang lumayan manis.

"Aku Leon Abrian, penyanyi terkenal sekaligus model ternama," ucapku sambil nyengir. "Aku ke sini karena frustasi. Sudah terlalu banyak orang yang menginginkan kehadiranku."

Gadis itu tersenyum kecut, lalu berkata, "aku Deani Alika, yatim piatu," ucapnya sambil menunduk. "Aku ke sini karena frustasi. Sudah tidak ada orang yang menginginkan kehadiranku."

Di saat itulah, di bawah heningnya malam, kami berjabat tangan.

***

Jam satu malam. Kami yang baru berkenalan itu saling berbagi kisah.

Jam satu malam. Kami yang berbeda kasta, tapi memiliki masalah yang sama, saling berbagi cerita.

"Dean, aku lelah. Orang-orang hanya mendekatiku di saat aku berhasil," ucapku, mulai membuka topik.

Dean yang duduk di sebelahku itu tersenyum manis, lalu berkata, "maka kau masih beruntung," ucap Dean. "Sedangkan aku? Orang-orang tak mau lagi mendekatiku, dalam keadaan apapun itu."

Aku tercengang.

"Dean, aku lelah menjadi orang yang dikenang hanya karena bakat dan tampang, lalu dilupakan ketika dua hal itu hilang," kataku lagi.

"Maka kau masih beruntung," ucap Dean lagi. "Sedangkan aku? Aku sudah dilupakan, bahkan sebelum aku dikenang karena bakat dan tampang."

Lagi-lagi aku tercengang.

"Dean, seminggu lagi aku ada konser besar kedua. Menurutmu aku harus bagaimana?" tanyaku kemudian.

Mendengar itu, Dean tersenyum penuh arti.

***

       Satu minggu kemudian ...

Aku menghela napas. Tersenyum ke arah orang-orang di bawah panggung yang menatapku penuh harap.

Iya, tersenyum.

Panggung besar itu benar-benar megah, dengan hamparan penonton yang luas, lampu-lampu panggung yang semuanya terarah padaku.

Aku mengangkat mikrofon, lalu mengarahkannya ke arah bibirku. Aneh melakukannya ketika baru seminggu lalu aku menjatuhkan dan menendang benda itu.

Suara petikan gitar mengalun, membuat orang-orang berteriak dan bertepuk tangan riuh.

"It's late at night and neither one of us is sleeping

I can't imagine living my life after you're gone

Wondering why so many questions have no anwers

I keep on searching for the reason why we went wrong."

Aku menyanyikan lagu Just Take My Heart dari Mr.Big saat kulihat seorang gadis berwajah familiar terlihat tersenyum di bangku penonton VIP saat lampu panggung menyorot penonton.

      Dean?

"Where is our yesterday? You and i could use it right now

But if, this is goodbye ...,"

Gitar listrik mulai dipetik, drum mulai dipukul. Aku berdiri dari kursi, lalu berjalan sambil memegang mikrofon, menelusuri sisi panggung yang lain.

"JUST TAKE MY HEART WHEN YOU'RE GONE!

I don't have a need for that anymore

I'll always love you, but you too hard to hold

Just take my heart when you're gone"

Konser berlangsung semarak dan meriah. Dan aku menikmatinya, mungkin karena hari ini aku boleh memiliki lagu apa saja.

Aku terus mencari kesempatan untuk bisa pergi ke titik di mana aku bisa melihat gadis yang mirip dengan Dean itu--atau mungkin saja Dean yang asli--tapi apa mungkin gadis itu bisa membeli tiket? Atau cuma penglihatanku yang salah?

***
Dean, gadis itu benar-benar orang yang mampu mengubah persepsiku dalam satu malam saja.

Aku sampai di ruangan Mrs. Kaitlyn, ingin mengabari soal kontrak yang kudapatkan kembali.

Aku baru saja ingin membuka pintunya, namun sebelum itu, kudengar percakapan serius atara Mrs. Kaitlyn dan seseorang.

"Kerja bagus, Dean." Kudengar Mrs. Kaitlyn berkata. "Kau hebat bisa mengembalikan Leon seperti biasa, aku tidak salah memilih psikolog ternyata. Ohya dan ini upahnya, terima kasih ya."

"Iya, Mrs. Kaitlyn. Sama-sama."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top