Bab 7. Tetap Jadi Pemenang.
Selamat siang....
Hampura karena terlalu lama gak muncul wkwkwkw. Oke, untuk menebus waktu penantian kalian, aku update puanjang banget di chapter ini.
Well, semoga kalian puassss.
_________
Mereka belum menegaskan secara lisan, kalau kisah yang tujuh tahun kandas akan kembali dimulai. Namun, dari semua tindak-tanduk yang terjadi setelah bertemu lagi, sepertinya sudah jelas kalau hubungan yang terjalin saat masa remaja akan kembali menuliskan tintanya.
Mungkin karena keduanya sudah dewasa, ungkapan cinta lewat kata-kata tak terlalu dibutuhkan. Kendati demikian, Eveline tetap saja hanya seorang wanita yang kadang butuh validasi sah.
Benar, kan?
Kebanyakan wanita butuh kepastian.
"Aku lagi di tempat Mona, sih."
"Ya gak apa-apa, nanti aku jemput. Atau kamu masih mau main sama temen-temen kamu?"
"Gak ... maksudnya, aku dari tadi siang di sini."
"Berarti mau ya aku jemput?"
"Hmm, chat aja kalau udah sampe sini."
"Siap. Aku tutup teleponnya, ya."
"Hmm, hati-hati Bah."
"Pasti."
Setelah itu sambungan telepon terputus, menyisakan Eveline yang sedang mempersiapkan diri mendengar sindiran dari dua wanita yang sedang menatapnya.
"Emang boleh cuma mantan tapi masih perhatian?" celetuk Dira dengan sedikit nada sinis.
"Emang boleh udah mantan tapi ciuman?" Dan kali ini Mona yang berujar hingga mengundang dengkusan kasar Eveline dan kekehan geli Dira.
"Berisik!" ketus Eveline sambil duduk di single sofa dalam kamar Mona. "Bahi lagi otewe ke sini," lanjutnya setelah berdeham.
"Kita gak budeg. Tadi kalian janjian mau ketemu, kan?" Dira memilih beranjak dari tempat tidur Mona menuju toilet setelah menanggapi ucapan Eveline.
Terkadang Eveline menyesal menceritakan hal-hal yang harusnya ia tutupi dari para sahabatnya. Namun, mulutnya susah sekali diajak kompromi saat salah satu sahabatnya bertanya dengan nada menggoda. Lantas seperti benang rajut yang menjuntai dan ditarik perlahan, semua kalimat yang harusnya jadi rahasia terurai begitu saja. Dan biasanya ada perasaan menyesal sebab setelahnya pasti mendengar ledekan yang digelontorkan Dira atau Mona.
"Jadi kalian tuh gak ada percakapan tentang memulai kembali hubungan di masa lalu, gitu? Cuma mau jalan bareng, gandengan tangan, pelukan, sama cipokan." Tanpa ekspresi tersirat, Mona kembali berujar. "Gue kalau jadi Bahi enak banget. Tapi jadi lo juga enak sih, gak rugi dicium cowok ganteng," lanjutnya sambil menyengir lebar.
Eveline mendengkus kasar, meski sebenarnya sedang menyamarkan perasaan bertanya-tanya setelah Mona berujar demikian. Di usianya yang sudah tak lagi remaja, apa status dalam hubungan harus disahkan secara lisan?
Apa Eveline harusnya memastikan kalau mereka kembali memulai?
Atau membiarkan saja apa yang sedang mereka jalani saat ini.
Menurutnya selama ia dan Bahi konsisten bertukar kabar dan bersikap layaknya orang pacaran, kata-kata yang menegaskan sebuah hubungan tak begitu diperlukan.
Akan tetapi, jika dipikirkan lagi memang lebih baik hubungan mereka diperjelas. Meskipun Eveline yakin Bahi bukan tipekal pria brengsek yang akan meninggalkannya setelah kejadian seminggu lalu. Eveline mengenal pria itu cukup baik, Bahi bukan pria yang hanya ingin mengambil keuntungan dari seorang wanita.
Harapan besarnya semoga Bahi tak berubah.
"Emang masih perlu banget ya, validasi lewat ucapan?"
"Gak juga, sih." Dira yang menjawab setelah selesai buang air kecil. Wanita tinggi yang akhir-akhir ini hobi menjelajahi tempat kuliner itu, kembali duduk di atas kasur Mona. "Beberapa waktu lalu gue sempet jalanin hubungan kayak gitu, Eve. Suka jalan bareng, komunikasi lancar, cerita tentang banyak hal, ya ... persis kayak orang pacaran lah. Menurut gue kalau udah saling nyaman, gak perlu confess terang-terangan dan keuntungannya kalau udah saling beda jalan atau udah gak nyaman, di antara gue sama dia gak nuntut penjelasan apa-apa. Kan dari awal emang gak ada hubungan."
Eveline terdiam sebentar mencerna ucapan Dira yang sejak sekolah memang memiliki pemikiran bebas. Kemudian, mengangguk samar meski batinnya masih mempertimbangkan. Apa ia bisa menjalani hubungan tanpa status dengan Bahi? Bagaimana jika suatu hari nanti ada yang berubah dari pria itu dan ia tak bisa meminta penjelasan karena sejak awal tak terikat dalam hubungan.
Refleks menggeleng ngeri, Eveline lalu mendesah pasrah sambil melempar tatapan pada dua sahabatnya.
"Menurut kalian gue harus tanya ke Bahi, gitu?"
"Kalau lo penasaran tanya aja." Dira yang menjawab santai. "Kita ini sebenarnya apa, Bah?" lanjutnya masih dengan nada yang sama.
"Pacaran atau mantan tapi boleh ciuman," tambah Mona yang disambut dengkusan malas Eveline. "Tapi emang bener, kan? Walaupun kedengarannya kayak anak remaja, menurut gue hubungan yang jelas itu diperlukan. Iya gak, Dir?"
Dira mengangguk tipis saat Eveline melirik ke arahnya diam-diam. Setelah itu tak ada yang kembali bersuara sampai beberapa detik kemudian, Dira mulai membahas rencana mereka yang ingin staycation bersama dalam waktu dekat. Menceritakan kesibukan masing-masing sambil mencari jadwal yang pas, lalu melempar lelucon apa saja yang membuat suasana berubah ceria.
Mungkin sekitar dua puluh menit kemudian, barulah Eveline pamit keluar setelah menerima pesan Bahi yang mengatakan sudah ada di depan rumah Mona. Eveline gegas keluar. Tanpa ingin diantar oleh para sahabatnya, ia menghampiri Bahi yang bersandar di jok motor gede sambil memainkan ponsel.
"Bahi."
Pria itu mendongak lalu tersenyum saat matanya menangkap sosok gadis yang hari ini memakai skinny jins hitam dipadu kemeja biru bermotif salur. Berdiri menyambut kedatangan Eveline, Bahi kian tersenyum lebar ketika wajah gadis itu mulai membalas senyumnya. Lantas tanpa mengatakan apa-apa, saat Eveline tiba di hadapannya, Bahi bergerak santai memeluk Eveline yang tampak terkejut dengan tindakannya.
Eveline tak tahu, apa sekarang Bahi sadar di mana posisi mereka atau memang sengaja melakukannya? Sebab meskipun lumayan lama tinggal di luar negeri dan melihat hal semacam ini sangat lumrah terjadi, tapi Eveline yakin berpelukan lama di pinggir jalan masih dianggap hal tabu di negaranya. Bahkan tak jarang didefinisikan sebagai suatu tindakan tak bermoral.
"Bahi ...." panggil Eveline sambil membebaskan diri dengan enggan. Ia tatap wajah Bahi dengan kernyitan samar di kening saat menangkap pendar sumringah di sana. "Kenapa, sih? Bahagia banget kayaknya."
Bahi tak menjawab, ia malah bergerak mengambil helm dan dengan santai memakaikannya ke kepala Eveline. "Nanti aku ceritain, tapi bukan di pinggir jalan gini," katanya kemudian sambil menepuk pelan batok helm yang sudah melindungi kepala Eveline. "Aku mau ceritain sesuatu!" sambungnya sedikit menggebu-gebu.
"Eve, aku mau cerita!"
Tanpa sadar saat Bahi mulai naik ke roda dua miliknya, Eveline yang masih berdiri mulai tersenyum tipis sebab keadaan sekarang seperti menyeret memorinya ke masa beberapa tahun lalu. Bahi tak berubah, pria itu selalu antusias jika ingin menceritakan sesuatu. Biasanya sesuatu yang menyenangkan.
"Kafe Sweet Afternoon atau resto Masakan Ibu?" tanya Bahi saat Eveline bergerak naik mengisi jok di belakangnya.
"Terserah kamu, Bah. Aku ngikut aja."
"Kafe aja, ya."
Eveline mengangguk saja sebelum lengannya bergerak tanpa ragu memeluk pinggang Bahi. Kemudian, tak lama setelah benar-benar siap, kuda besi itu melaju pelan meninggalkan sisi jalan.
***
"Senin besok meeting peresmiannya, Bah. Tapi dari Minggu ini kamu udah mulai urus kerjaan Pak Ahmad."
"Tapi, Pak ... kira-kira ke depannya saya bakal ada risiko pindah ke cabang lain gak? Kalau iya, kayaknya saya mending tetep jadi teller aja. Bukan nolak naik jabatan, Pak. Cuma—"
"Saya paham." Adiguna, selaku manajer perbankan tempat Bahi bekerja menyela santai. "Kamu gak bisa ninggalin adik kamu sendirian, kan?" sambungnya penuh pengertian.
Bahi mengangguk. Duduk di seberang pria yang beberapa tahun ini menjadi atasannya, Bahi tak bisa menyembunyikan raut bahagia bercampur keraguan. Hari ini ia mendapat kabar baik kalau jabatannya sebagai teller bank swasta akan naik menjadi supervisor untuk menggantikan Pak Ahmad yang sebelumnya memegang jabatan tersebut. Namun, di tengah perasaan terkejut dan gembira, ada rasa ragu karena jabatan tersebut biasanya lama kelamaan akan dipindah tugaskan ke cabang-cabang yang baru dibuka.
"Tapi sebenarnya kalau perintah pindah tugas gini sepenuhnya bukan wewenang saya, Bah. Kadang Pak Harun yang rekomendasiin langsung. Dia juga biasanya lihat hal itu dari kinerja karyawan, mungkin kalau dipindah sementara biar bisa kasih dampak bagus buat karyawan di cabang baru."
Bahi mengangguk memahami ucapan pria yang belum lama ini dikaruniai anak kedua. Kemudian, ia tersenyum saja saat Adiguna kembali berujar dengan gurauan tentang adiknya. Katanya kapan mau cari pacar kalau dunianya cuma tentang menjaga Bianca.
Bahi tertawa kecil. Di lingkungan tempatnya bekerja, mungkin hampir semua karyawan tahu bagaimana ia begitu menjaga satu-satunya saudara yang ia punya. Bukan ingin dinilai sebagai kakak yang terlalu mengekang, tapi saat ini hanya Bianca yang bisa ia sebut keluarga paling dekat. Mereka hanya memiliki satu sama lain. Jadi, untuk sekarang sebelum Bianca menemukan kehidupan barunya, Bahi ingin terus menjadi sosok kakak yang selalu menjaga adiknya.
"Jadi, kamu mau naik jabatan, nih?"
Sambil tersenyum bangga, Bahi mengangguk menjawab pertanyaan wanita yang duduk di sampingnya. Saat ini ia dan Eveline sudah ada di salah satu kafe pinggir jalan yang memiliki dua lantai. Ia sengaja memilih lantai atas untuk menghabiskan sore hari bersama Eveline sambil menceritakan hal yang tadi pagi terjadi. Beruntungnya, saat mereka sampai di sana, senja yang mengintip dari gedung-gedung pencakar langit seolah menambah kesan manis untuk melewati tiap menit obrolan santai tersebut. Menjadikan sore itu momen yang berarti bagi Bahi dan Eveline.
"Aku rencananya mau rayain, Eve."
Eveline menoleh sambil meletakkan segelas jus mangga miliknya ke atas meja. Ia nyaris terkekeh melihat raut gembira Bahi yang membuat pria itu terlihat berkali-kali lipat lebih tampan sekaligus menggemaskan.
"Oh, ya? Rayainnya gimana, tuh?"
"Sebenarnya Bia dari tahun lalu kepingin staycation di puncak. Cuma karena tempat kerjanya pelit kasih libur, kayaknya aku mau rayain pake acara makan-makan aja deh."
Eveline mengangguk. "Mau makan-makan di mana?" tanyanya masih memperhatikan wajah Bahi yang juga sedang menatapnya. "Gak mungkin di rumah, kan? Kalian setiap hari makan di rumah cuma berdua."
"Menurut kamu di mana?" Tangan Bahi terulur merapikan rambut panjang Eveline yang menjuntai di bahu, lalu menyibaknya ke punggung. "Aku juga mau ajak kamu, Eve. Kalau mau."
"Aku?"
Bahi mengangguk. "Kalau mau itu juga."
Tersenyum manis, Eveline mengangguk samar. "Mau dong. Kapan lagi dapet traktiran dari teller bank favorit nasabah."
Tertawa renyah, Bahi acak gemas poni Eveline yang masih ingat dengan kenarsisannya beberapa Minggu lalu. Saat itu mereka baru saja pulang menonton bioskop ketika Bahi bilang kalau dirinya jadi teller favorit para nasabah wanita di tempatnya bekerja.
"Nanti aja kita obrolin lagi atau kamu cari tempat yang cocok, sekarang pulang ya. Jam tujuh aku jemput Bia."
Tanpa menjawab lagi, Eveline bangun dari kursinya. Kemudian, melihat Bahi mengenakan jaket jins yang tersampir di punggung kursi sebelum mengulurkan sebelah tangan padanya. Mereka berjalan bersama menuruni tangga di sisi bangunan kafe yang langsung terhubung ke area parkiran. Dan Bahi memang sengaja memarkirkan roda duanya di dekat lahan parkir mobil agar mereka berdua tak perlu jauh-jauh memutar arah saat hendak pulang.
Mengisi perjalanan singkat itu dengan obrolan yang kadang mengundang tawa kecil, keduanya kompak menoleh saat suara seorang pria begitu lantang memanggil nama Eveline.
"Eveline, oh My God! Aku gak nyangka bisa ketemu kamu di sini," kata pria itu dengan nada terkejut sekaligus antusias.
"Richard!" balas Eveline tak kalah antusias. Bahkan ia memberi pelukan singkat saat pria yang semasa kuliah berteman dekat dengannya. "Kamu di Indo? Sejak kapan? Kenapa gak kabarin aku?"
Terkekeh pelan, pria keturunan asli Kanada itu melirik ke arah Bahi sebentar. "I arrived here last night. Aku belum sempet kabari kamu," ujarnya dengan pelafalan bahasa Indonesia yang belum sempurna.
"Oh ...." Eveline mengangguk lalu menoleh ke arah Bahi yang berdeham samar. "Oh, iya. Richard ini Bahi," ujarnya memperkenalkan. "Bahi, ini Richard temenku waktu di Kanada."
Dua pria itu saling menjabat tangan tanpa berniat memulai obrolan panjang.
"Kamu sendiri di sini?" Eveline merasa sedikit canggung sekarang.
"Aku sama David. Dia lagi ambil uang di minimarket."
Mengangguk singkat, Eveline baru sadar kalau tangannya kembali digenggam oleh Bahi. "Aku baru aja selesai makan."
"Oh, ya? Sekarang kalian mau pulang?"
Eveline kembali mengangguk menanggapi pertanyaan singkat Richard. Lantas setelah mengatakan beberapa kalimat dan mengiyakan ajakan Richard yang memintanya bertemu di lain waktu, ia dan Bahi melenggang pergi.
Perjalanan menuju rumah terasa sedikit berbeda. Bahi tak menanyakan hal apapun tentang Richard atau mengorek informasi apa ada pria yang pernah dekat dengannya saat di Kanada. Dan tiba-tiba saja Eveline merasa seperti wanita yang haus validasi? Kemudian mulai menerka-nerka, sebenarnya hubungan apa yang sedang mereka jalani?
Bahi sepertinya terlihat biasa-biasa saja saat bertemu Richard, tak ada tatapan mengamati atau sikap kesal yang ditunjukkan secara diam-diam layaknya seorang pria yang sedang cemburu. Pria itu tampak tenang dan bersikap tak peduli dengan apa pun di sekitar.
Mungkin sekitar 25 menit kemudian, kuda besi Bahi menepi di dekat gerbang tinggi yang membatasi rumah mewah tiga lantai dengan jalan raya. Pria itu masih diam sampai wanita yang dibonceng turun dari motornya dengan hati-hati.
"Ada siapa aja di rumah, Eve?"
Eveline sedikit terkesiap, tangannya yang hendak membuka pengait helm berhenti. Ia menatap Bahi yang menaikkan kaca helm hingga sepasang netra tajam itu terlihat di sana.
"Oh, itu ...." kata Eveline sebelum berdeham. "Di rumah ada Mama, Papa dari Senin kemarin di Kanada. Kenapa?"
Bahi menggeleng samar. "Gak niat ngajak aku mampir, Eve?" tanyanya dengan nada menggoda.
Eveline kembali terkejut. Harusnya ia tak perlu demikian sebab begitulah sifat Bahi yang kerap bertindak impulsif.
"Kamu mau mampir?"
Memberi jeda sebentar, Bahi kemudian menggeleng dengan senyum geli di bibirnya. "Nanti aja, deh," katanya santai lalu mengendus kemeja yang dikenakan. "Aku baru balik kerja, takut bau asem."
Eveline mendengkus menyamarkan sedikit rasa gugup sekaligus sebal dengan sikap Bahi. "Kamu gak kepikiran, aku bakal risih cium bau asem kamu?"
"Gak," balas Bahi sambil meraih sebelah tangan Eveline. "Kamu kan gak masalah walaupun aku bau asem." Lalu tertawa melihat mata Eveline sedikit mendelik tajam. "Oh, iya. Tadi temen kamu asli Kanada?"
"Richard?" Eveline sedikit tak menyangka Bahi membahas Richard setelah ia mengira pria itu tak peduli. "Iya. Dia asli Kanada. Kenapa?"
Mengangguk pendek, Bahi tatap Eveline lembut. "Oh ... dia lumayan fasih bahasa indo, ya?"
"Iya, kakaknya nikah sama orang indo. Dia udah sering main ke sini. Kalau libur summer dia suka ikut aku pulang ke Indo buat ke rumah kakaknya."
"Oh," balas Bahi singkat.
Eveline mengernyit. "Cuma oh aja?" tanyanya skeptis sambil menarik genggaman tangan Bahi. "Ada yang mau kamu tanyain lagi gak tentang Richard?"
Bahi tampak berpikir sebelum menggeleng. "Gak ada. Gak ada yang penting juga buat aku."
"Oh," gumam Eveline terdengar kecewa.
Bahi tahu, wanita itu menginginkan hal yang lebih jelas darinya. Mungkin salah satunya kecemburuan dan hal tersebut membuat ia tersenyum gemas. Ternyata Eveline belum berubah tentang sikap yang tak bisa terang-terangan.
"Kalian deket, ya?" tanya Bahi tenang.
"Aku sama Richard?" Eveline mulai heran dengan sikap Bahi. Pria itu kadang terlihat peduli kadang juga terlihat tak acuh. "Kenapa?" tanyanya memancing sambil mengerling jail. "Kamu cemburu, ya?" guraunya sedikit ragu.
Dengan santai Bahi menggeleng, menarik tangan Eveline agar lebih dekat dengannya. Kemudian, melepas pengait helm yang masih ada di kepala wanita itu. Sambil membiarkan Eveline mengamati wajahnya, Bahi berujar santai.
"Eve, kamu tahu gak pepatah yang dibuat netizen."
"Pepatah?" Eveline mengerjap saat sadar wajahnya begitu dekat dengan iras tampan pria di hadapannya. "Pepatah apa?" katanya sambil menyamarkan dehaman gugup.
"Pemenangnya tetap orang lama," ucap Bahi sambil tersenyum dan meletakkan helm yang tadi digunakan Eveline di dekat stang motornya. "Bener, kan?" Lalu terkekeh Eveline terlihat bingung untuk menjawab.
"Ya udah, aku pergi ya. Hati-hati masuk rumahnya," tukas Bahi sebelum kembali menyalakan mesin roda duanya dan melaju pergi meninggalkan Eveline yang baru tersenyum tipis saat dirinya sudah benar-benar pergi.
Sepertinya pepatah itu benar terjadi padanya.
*****
Etssssss, gapapa senyum aja Eve. Jangan ditahan wkwkw.
Slogan Bahi, mantan semakin di depan! Hahahaha.
Bang Mandra ke Bahi: Swombong amatt!😂
Anyway guys! Maaf gak bisa sesering dulu update-nya. Tapi aku janji bakal namatin cerita ini sama cerita Gavi-Abel meski gak dalam waktu dekat, semoga badanku sehat selalu biar bisa tepatin janji. Aamiin.
Tapi ya gitu, aku gak bisa rutin up karena ada kesibukan baru.
Yeps, mungkin sebagian udah tahu buat yg belum tau aku sekarang lagi sibuk mengurus baby Newborn😍
Kemarin anakku ada di fase gendong bobo taro nangess😂 mashyallah banget pokoknya mah.
Akhir-akhir ini jadwal tidurnya udah mulai normal ngikutin emak bapaknye. Jadi, mamaknya bisa istirahat dan bagi waktu meskipun udah gak bisa prioritasin nulis huhuhuhu🥺
Gapapa, aku pasti usahain jenguk lapak ini sesering yang aku bisa.
Kalian jaga kesehatan yaa, kita ketemu lagi di chapter selanjutnya.
See you....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top