Bab 4. Janji Temu.
Guysss, dikomen lagi yaaa yang banyak. Makasih buat komen di chapter sebelumnya 🥰
______
"Jadi, chat si Bahi belum lo bales, Eve?"
Eveline menggeleng ragu.
"Tapi dibaca berkali-kali, kan?"
Mendesah malas mendengar ucapan dua sahabatnya, Eveline sedikit menyesal telah ceritakan tentang pertemuannya dengan Bahi juga perkara pesan singkat yang sampai saat ini belum ia balas.
"Gue cuma baca sekali, terus karena sibuk jadi lupa mau bales apa." Eveline mengelak sambil melempar atensi pada tembok kaca dalam kafe yang mereka datangi.
"Anak tunggal kaya raya yang sekarang jadi pengangguran kalau sibuk ngapain aja emang? Palingan ngecat kuku, berendem di bathtub, baca buku, kalau gak paling liatin taman bunga di belakang rumah."
Eveline mendelik mendengar ucapan Mona. "Gue kan bilang, udah seminggu ini pilates," ujarnya gak terima.
"Oh," balas Mona tanpa raut bersalah.
"Gue gak nyangka, udah putus bertahun-tahun ternyata masih ada efeknya ya kalau ketemu." Dira berujar santai sembari menyambar gelas minumannya. "Balikan aja kalau masih cenat-cenut," sambungnya diiringi kekehan geli.
"Pasti mau jawab, apaan sih?!" seloroh Mona saat melihat Eveline hendak membuka mulut.
Eveline mendengkus kuat-kuat. Ia urungkan kalimat untuk menyangkal dan memilih menyedot jus buah miliknya.
"Tapi menurut gue sih, kalau masih ada yang ganjel, antara lo masih ada rasa atau lo penasaran kenapa Bahi waktu itu mutusin lo tanpa alasan."
"Dia kasih alesan, kok. Katanya gak bisa hubungan jarak jauh." Eveline berujar dengan nada yang terdengar sedikit kecewa.
"Oh. Ya udah sekarang mulai lagi aja. Kan udah bisa face to face tuh. Atau lo coba ajak ngobrol, kalau masih suka pasti taulah gimana rasanya. Ya, nggak, Mon?"
Mona mengangguk setuju sambil mengunyah sepotong wafel berisi es krim vanilla milik Eveline.
"Ngobrolin apa?" Eveline lantas meringis setelah pertanyaan itu disambut dengan kening mengernyit oleh kedua sahabatnya.
Decakan malas di keluarkan Dira disusul dengan ekspresi mencebik Mona.
"Perang dunia kedua, mungkin?" ucap Dira setengah hati.
"Atau pelaku pembunuhan Munir yang sampai sekarang masih tanda tanya."
"Atau sejarah VOC."
"Atau bahas aja kenapa ada hantu yang namanya kuntilanak, tapi gak ada kuntilmama. Gue curiga kuntilanak itu anak haram."
"Atau bahas kisah Ramayana. Tanya si Bahi lebih pro Rama atau Rahwana?"
"Atau lo bahas kenapa Zaskia milih nama belakangnya gotik bukan gobek."
"Gobek artinya apaan, dah?" tanya Dira penasaran.
"Goyang bebek, Ra. Kan sama-sama satu jenis tuh hewan."
"Emang itik sama bebek satu jenis, ya?"
"Eh, emang beda ya?"
"Ya, kan gue nanya. Lo malah nanya balik."
"Menurut gue sih, sama. Cuma beda nama aja. Apa kita tanya aja ke Zaskia langsung, sekalian ketemu sama Irwansyah."
"Lo ini ngomongin Zaskia gotik apa Zaskia Sungkar, sih?!" Dira mulai menggerutu kesal dengan obrolan random Mona.
"Eh, itu beda orang, ya?"
"Tau lah, males! Kolesterol gue naik kalau ngobrol sama lo!"
Eveline yang jadi penonton dua wanita itu hanya menggeleng saja sebelum isi kepalanya sibuk memikirkan, apa ia harus memulai obrolan berdua dengan Bahi untuk mengetahui kalau hatinya sudah tak lagi terjebak dalam memori masa lalu.
***
"Masih belum dibales, Mas?"
Bahi nyaris mengumpat saat Bianca tiba-tiba berujar di depan pintu kamarnya tanpa memberi aba-aba. Gadis itu malah menyengir lebar melihat ekspresi terkejutnya, lalu dengan santai membawa tungkainya masuk menuju satu-satunya single sofa yang ada di sudut kamar.
"Udah dapet balesan belum, Mas? Atau malah diblok?"
Dengkusan kasar Bahi malah mengundang kekehan kecil Bianca yang sedang membuka stoples kaca berisi permen mint. Ia kantongi ponsel yang sejak tadi ada di tangan, lalu bangun dari bibir kasur untuk mengambil hoodie yang menggantung pada kepstok.
"Udah," kilah Bahi sambil memakai hoodie-nya. "Ayo, mau berangkat sekarang, kan?"
Bianca mengangguk sambil bangun. Kemudian, mengikuti sang kakak yang seperti biasa akan mengantarnya bekerja. "Udah bilang belum kalau hape Bia rusak jadi belum bisa chat."
"Belum."
"Kok, belum sih?!" protes Bianca sambil memakai helm yang disodorkan kakaknya. "Tau gitu gak Bia kasih nomor Kak Eve."
Bergerak naik ke motor, Bahi sebenarnya sedang menyembunyikan ringisan tipis mendengar gerutuan Bianca. Bagaimana mau membahas tentang ponsel sang adik yang sekarang masih ada di tukang servis, bahkan pesan singkatnya empat hari lalu saja masih belum mendapat balasan. Mungkin benar kata Bianca, nomornya malah diblokir oleh Eveline.
"Nanti kasih tahu Kak Eve, ya, kalau hape aku lagi di tukang servis."
"Iya, nanti kalau inget."
Bersamaan dengan itu, suara mesin motor Bahi mulai mengudara. Bianca lekas naik ke atas motor, berpegangan pada bahu sang kakak karena kuda besi itu cukup tinggi baginya. Kemudian, beralih memegang hoodie bagian pinggang Bahi sebelum roda dua itu perlahan melaju meninggalkan halaman rumah yang cukup luas.
"Bi?"
"Ha?"
"Kamu waktu di kamar ngobrolin apa aja sama Eve?"
"Apa, Mas?"
Bahi berdecak sebentar. "Kamu ngobrol apa aja sama Eve kemarin?"
"Oh, itu. Gak ngobrol hal penting, sih. Kak Eve tanya tentang Mama."
"Terus kamu jawab apa?"
"Ya, jawab sejujurnya. Aku juga bahas tentang Papa waktu Kak Eve tanya kabar Papa."
Bahi mengangguk pendek, lalu memikirkan bagaimana raut wajah Eveline saat mendengar ibunya yang sudah tiada serta keadaannya yang sekarang berbeda.
"Mas?" panggil Bianca setengah berteriak setelah dua kali tak mendapat jawaban.
"Apa?"
"Fokus, dong! Bawa motor masa sambil ngelamun."
Bahi berdecak pelan. "Mas fokus dari tadi, cuma males aja nyahutin panggilan kamu. Mau apa?"
"Gak. Cuma mau bilang, Kak Eve makin bening ya setelah balik dari luar negeri. Aku kemarin waktu mau negur ragu banget, takut bukan Kak Eve."
Bahi tersenyum. Batinnya sedang mengiyakan ucapan Bianca yang memang benar adanya. Eveline berubah. Wanita itu tak hanya berubah dari fisik saja yang saat ini terlihat lebih langsing, tapi juga dari aura wajah yang tampak dewasa dan manis.
"Kak Eve tambah cantik ya, Mas?"
"Hmmm."
"Apa, Mas?" goda Bianca saat mendapati sang kakak yang sepertinya tanpa sadar mengangguk sambil menggumam.
"Apa, Mas diem aja," kilah Bahi santai. "Kamu jangan ngomong melulu kalau lagi naik motor, nanti masuk angin."
Bianca tak mengindahkan. Ia malah terkikik geli sambil terus menanyakan hal-hal yang bertujuan menggoda sang kakak. Bianca yakin, wanita yang kemarin datang ke rumahnya adalah alasan kuat kenapa hingga saat ini kakaknya tak ingin menjalin hubungan dengan wanita mana pun.
***
"Halo, Pak?"
"Iya, halo."
"Iya, kenapa, Pak?"
"Oh, ini Bah. Besok kamu bisa gak masuk?"
"Maksudnya, Pak?"
"Iya, besok kamu mulai kerja lagi. Ada masalah sama teller baru dan Sri yang tugas gantiin kamu kemarin keguguran. Dua kursi di depan kosong, kamu bisa gak masuk besok. Cuti kamu nanti dilanjut bulan depan."
Bahi menghela napas panjang saat supervisornya berujar demikian. "Oke, Pak. Besok saya masuk," putusnya meski tak ikhlas.
"Oke, makasih ya, Bahi."
"Iya, Pak."
Setelah itu sambungan terputus menyisakan Bahi yang sedang berkutat di dapur membuat semangkuk mi instan, mendengkus malas karena rencana cutinya sedikit terganggu. Niatnya besok ia dan Bianca akan berkunjung ke makam sang ibu mengingat sudah masuk jatah libur adiknya. Tapi jika seperti ini, akan sulit mencocokkan waktu libur ia dan Bianca karena tempat kerja sang adik tak melulu memberi libur di hari weekend.
Bergerak mematikan kompor, Bahi mulai menuang mi ke dalam mangkuk yang sudah berisi bumbu dan saus. Kemudian, perhatian Bahi kembali tersedot oleh ponsel yang tadi ia letakkan di atas meja pantri. Kali ini keningnya dibuat mengernyit keheranan saat melihat notifisikasi pesan yang baru saja masuk.
Bahi membersit geli saat membaca pesan balasan Eveline. Lantas ia abaikan mi dalam mangkuk yang belum sempat diberi kuah dan memilih membalas pesan tersebut.
Siapp gak ikut mereka ketemuan?
Oh, iya maaf belum bisa bales komen😭 greget bgt kepingin balesin komen.
(Ini chat Bahi empat hari lalu)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top