Bab 3. Menunggu Pesan.

Aku update lagiiii. Guys, tolong di komen yaa walaupun aku belum bisa bales. Makasih 💙

____________

"Bianca?"

Gadis yang baru saja disebutkan namanya tersenyum ceria hingga menularkan raut bahagia itu pada wanita yang ada di hadapannya.

"Kamu sejak kapan kerja di minimarket?"

"Kurang lebih dua tahun, Kak."

Sekarang Bianca sedang duduk manis di kursi penumpang sembari menjawab pertanyaan basa-basi dari wanita yang fokus mengendalikan setir mobil. Setelah melewati percakapan yang lumrah terjadi saat bertemu teman lama, akhirnya mereka melanjutkannya di dalam mobil yang saat ini melaju mengantarkan Bianca pulang.

"Kak Eve kapan pulang ke Indo?"

"Baru dua bulan lalu."

"Wah, udah lumayan lama, ya. Mau tinggal atau cuma liburan Kak, di sini?"

Eveline membersit. "Aku pulang, Bi. Kan rumahku di sini."

"Eh, kata Mas Bahi udah pindah ke Canada."

"Bahi bilang gitu?" tanya Eveline dan tak bisa menyembunyikan rasa tertariknya saat Bianca menyebutkan nama pria yang semalam pulang tanpa berpamitan.

"Iya. Katanya Kak Eve sama keluarga bakal netep di sana soalnya perusahaan keluarga Kak Eve pindah."

Tersenyum tipis, Eveline kemudian berdeham samar saat pertanyaan yang sejak tadi ia timang dalam kepala ingin dikeluarkan.

"Bia ... hem, aku mau tanya tentang Mama kamu."

"Mama udah meninggal, Kak."

Eveline menoleh sebentar, mendapati tatapan sendu Bianca meski berujar dengan nada santai. Jadi, apa yang semalam dikatakan Damian memang benar terjadi. Lagipula hal itu sepertinya tak cocok dibuat lelucon meskipun Damian memang sering melakukannya.

"Oh, sorry—"

"Gak apa-apa. Udah lama banget kejadiannya. Kayaknya udah ... sekitar enam atau lima tahun lalu, Kak."

Eveline mengangguk-angguk pelan. "Aku nyesel baru tahu sekarang, Bi. Turut berdukacita, ya. Pasti berat banget buat kamu sama Bahi."

"Hum ...," gumam Bianca mengangguk samar. "Bia juga gak nyangka, waktu itu kayak berasa mimpi, Kak. Tapi lama-lama sadar juga, Mama udah bener-bener gak ada."

"Terus, Papa kamu gimana kabarnya, Bi?"

"Papa?" Bianca berdecak pelan. "Bia udah lama banget gak nyebut panggilan itu."

Eveline menoleh sebentar dengan raut wajah penasaran. "Maksudnya?"

"Ceritanya panjang banget. Intinya Papa ninggalin Bia sama Mas Bahi dengan utang yang numpuk. Mas Bahi sampe cuti dari kampus buat fokus kerja dan bayar utang-utang itu soalnya rentenirnya nagih terus."

"Lo gak tanya kabar gue, Eve? Gak penasaran?"

Tepat setelah kalimat Bianca selesai, ucapan Bahi semalam kembali terdengar. Tiba-tiba Eveline sedikit menyesal kenapa tak menanyakan kabar Bahi saat itu karena ia malah mementingkan perasaan kesal dan egonya. Padahal jika dipikir-pikir, masalah itu tak patut dibumbui dendam karena dulu mereka masih sangat muda untuk mengurus hubungan yang serius. Mungkin memang sudah jalannya seperti itu.

"Jadi setelah Mama kamu meninggal, kalian pindah ke daerah ini?"

"Iya. Rumah kena sita bank. Mau gak mau harus pindah ke rumah bekas almarhumah Nenek, Kak."

"Berdua aja?"

Bianca mengangguk. "Oh, iya habis lewatin bengkel, kita berhenti di rumah yang depannya ada pintu pagar, Kak."

"Oh ... oke."

Eveline mengangguk samar sebelum memusatkan atensi pada jalan raya sambil mengamati sekitar, lalu berhenti tepat di depan rumah dengan pager besi yang dicat warna abu-abu. Dari dalam kendaraan, ia melihat sosok pria tinggi yang turun dari motor. Sepertinya Bahi baru saja ingin menyalakan roda dua itu sebelum melihat kendaraannya datang. Pria itu langsung turun, mengambil langkah tegas mendekati pintu pagar sembari mengamati kendaraannya. Bahkan dari kejauhan saja aura Bahi terasa mendominasi sekaligus mengintimidasi, terlebih saat tatapannya mulai mengamati.

"Pasti lagi curiga aku dianter pulang sama cowok." Bianca setengah menggerutu melihat sang kakak yang sudah siap pasang badan menyambutnya pulang.

"Posesif, ya?" ujar Eveline tanpa sadar.

Bianca yang sudah melepas sabuk pengaman, menoleh ke arah Eveline yang ternyata sedang menatap kakaknya. Ia tersenyum tipis sambil mendorong pintu penumpang.

"Banget, Kak. Udah tahu kan gimana rasanya diposesifin Mas Bahi?" jawab Bianca setengah menggoda. "Rasanya nyebelin," tukasnya sebelum benar-benar keluar dari kereta besi.

Eveline mengerjap saat Bianca menutup pintu mobilnya. Kemudian, berdeham pelan sebelum membuka tali pengaman yang masih menahan tubuhnya. Saat hendak mendorong pintu mobil, ia sempatkan sekali lagi menatap Bahi yang seolah-olah pria itu sedang menunggu ia turun. Tapi mungkin benar, mungkin juga hal tersebut hanya asumsi Eveline saja.

***

Keadaan kian canggung saat Bianca memaksa Eveline untuk mampir sebentar. Setelah berhasil membawa tungkainya menghampiri Bahi dan Bianca, Eveline yang merasa jantungnya 3x bekerja lebih cepat hanya mampu menyapa Bahi dengan kata 'hai' saja. Setelah itu, ia hanya memperhatikan kakak beradik tersebut yang malah sibuk berdebat di depannya.

Bahkan Bahi lupa membalas sapaannya. Entah lupa atau memang tak ingin menjawabnya.

"Tapi aku gak bisa lama-lama, Bi. Ada janji di kantor Papa."

"Sekarang?"

"Bukan. Nanti jam makan siang."

"Oh ya udah, nanti pas mau makan siang baru boleh pergi dari sini."

Sembari berjalan di samping Bianca, Eveline yang mendengar ucapan dengan nada sedikit memaksa itu hanya setuju saja. Sejak dulu, Bianca memang memiliki perangai ceria dan lumayan keras kepala. Jadi, sepertinya sulit menolak keinginan gadis berusia 22 tahun itu. Apalagi Bianca pernah akrab dengannya ketika ia dan Bahi berada dalam satu hubungan.

"Mas Bahi."

Bukan cuma Bahi yang sejak tadi membuntuti dua wanita itu terkejut mendengar panggilan Bianca yang tiba-tiba, Eveline pun sama. Gadis muda itu menoleh sambil mengentikan langkahnya diikuti Eveline yang sedikit mengenryitkan kening.

"Apa?" balas Bahi saat dua wanita tersebut kompak menatap ke arahnya.

"Harus banget ya, ke dalam rumah pakai helm segala. Biar apa coba?"

Eveline tak bisa menyembunyikan kekehan gelinya yang keluar begitu saja, sedangkan Bahi yang refleks memegang helm di kepala bergerak kebingungan dan mulai merasa kesal dengan adiknya. Namun, Bahi bukan tipekal pria yang mudah mati kutu.

"Oh, ini ...," katanya sambil membuka helm dan menyugar rambut dengan gaya paling keren. Menurutnya. "Mas mau taro di kamar. Banyak yang maling helm akhir-akhir ini."

"Maling helm doang, ya?" Sudut bibir Bianca tersungging apik. "Motornya gak? Kayaknya motor Mas Bahi belum dimasukin ke garasi lagi, deh. Aku denger kemarin Pak Toga yang punya bengkel kehilangan motor, loh."

Berdecak kasar, Bahi memilih memutar tubuh untuk melenggang pergi meninggalkan dua wanita itu. Tentu diiringi kekehan kecil yang salah satu suaranya membuat ia tersenyum saat berjalan keluar.

"Bi?"

"Ya, Kak."

Sekarang mereka sudah berada di dalam kamar Bianca. Rumah luas bergaya jaman dulu itu tak banyak memiliki perabot. Di ruang tengah hanya ada satu sofa panjang yang terlihat usang, bufet sepinggang yang berisi benda-benda antik milik sang kakek yang sudah lama tiada. Selain dari itu tak ada lagi, padahal ruang tamu dan ruang tengah memiliki ukuran cukup luas hingga isi rumah terlihat kosong melompong.

Dan Bianca memilih membawa wanita yang dulu sering mengajarkannya bahasa Inggris duduk di atas tempat tidurnya.

"Bahi sekarang lagi sibuk apa? Maksud aku, dia lagi sibuk kerja atau masih kuliah?"

"Oh, itu ...," balas Bianca santai sebelum memberi senyum menggoda. "Tanyai aja nanti ke orangnya, Kak." Lalu terkekeh geli melihat ekspresi wanita di ujung kasurnya.

"Oh, iya. Kak Eve udah punya pacar atau masih single?"

"Aku—"

"Dek."

"Iya, Mas!"

Jawaban Eveline terpotong oleh panggilan yang berasal dari balik pintu kamar. Wanita itu berdiri saat Bianca berjalan untuk membukakan pintu, lalu bergerak mencari kesibukan agar tak bertatapan dengan Bahi yang ada di benda penghubung tersebut.

"Kenapa, Mas?"

Bahi melongok sedikit ke dalam kamar sang adik, lalu menatap Bianca yang kini melipat tangan di bawah dada sambil mengamatinya.

"Itu ... Mas pesen minuman di gofood. Nanti kamu ambil aja, ya. Mas mau keluar sebentar."

"Mau ke mana?"

"Ada urusan."

"Urusan apa?"

Bahi mendengkus malas. "Bocah gak usah kepo!"

"Bukan gitu, masa ada tamu di rumah malah pergi."

Bersamaan dengan ucapan Bianca, telepon genggam milik Eveline berbunyi dari dalam tas. Hal itu membuat sang pemilik gegas mengambil benda tersebut dan menjawab panggilan dalam ponsel.

"Bi, aku kayaknya harus pergi sekarang, deh. Tadi papa yang telepon," kata Eveline setelah selesai menjawab telepon sang ayah.

"Eh, sekarang banget, Kak? Mas Bahi lagi pesen minuman, loh."

Eveline refleks memberi atensi pada Bahi yang masih berdiri di depan Bianca. Pria itu sedang menatapnya sebelum kemudian mengangguk samar mengiyakan ucapkan Bianca.

Dan Eveline nyaris meringis tak enak hati. "Maaf, Bi," ujarnya meski setelah itu baru menatap Bianca. "Next time kita ngobrol-ngobrol lagi, ya."

"Oh, oke. Nanti aku chat Kak Eve duluan."

"Oke!" Eveline bergerak mengambil tasnya, lalu berjalan menghampiri Bianca juga Bahi yang masih ada di sana.

"Aku pergi ya, Bi."

Eveline pikir, Bahi tak akan mengantarnya sampai ke gerbang depan rumah.

Namun, pria itu di sana. Berdiri di samping Bianca yang tersenyum melambaikan tangan padanya saat roda empat yang ia bawa mulai melaju perlahan meninggalkan tempat.

"Hati-hati, Kak."

"Hum, makasih ya."

Tapi mungkin Bahi hanya sedang memerankan tuan rumah yang ramah, dan menghormati tamunya yang hendak pergi dari rumah. Ia mendengar jelas, tadi Bahi akan pergi ke suatu tempat saat ada dia di sana.

"Mas?"

"Hmm," jawab Bahi setelah melepas atensi dari roda empat yang baru saja pergi dari hadapannya.

"Kalian asing banget kayak gak pernah ciuman aja."

"Astaga, Bianca!"

Bianca hanya tertawa puas sambil berjalan cepat untuk menghindari omelan sang kakak yang sedang melebarkan mata dengan mulut terbuka.

***

Eveline tak begitu berharap, tapi ia sedikit penasaran kenapa hingga saat ini Bianca tak menghubunginya. Terhitung sudah dua hari setelah pertemuan tak sengajanya dengan gadis itu. Rasa penasaran Eveline memang belum pada level tinggi hingga ia harus datang ke minimarket tempat Bianca bekerja atau datang ke rumah gadis itu dengan alasan yang bodoh. Namun, perasaan bingung  sekaligus heran tetap ada.

Masih duduk di sofa dalam ruang kerja ayahnya, Eveline yang baru selesai mengobrol santai dengan sang ayah sedang mengecek beberapa chat yang masuk ke ponselnya. Tak banyak notifikasi dalam aplikasi hijau itu karena Eveline tak menyimpan banyak nomor di sana. Rata-rata diisi oleh keluarga dan sahabat dekatnya saja, selain dari itu ia lebih suka berinteraksi dengan para temannya lewat DM Instagram atau aplikasi sosial media lainnya.

Memilih bangun dari sofa, Eveline yang sedang mengikat rambut panjangnya menoleh ke arah ponsel yang baru ia letakkan di atas meja. Kemudian, mengernyit melihat pesan dari nomor baru muncul di layar lock screen.

08968678xxxx
Hai, Eve. Ini Bahi.
Kalau lo mau, di save ya nomor gue.

Dan Eveline merasa geli karena tersenyum sendiri setelah membaca pesan yang tak berniat ia balas sama sekali.

__________

Balas, Eve! Tar Bahi gak bisa tidur loh kalau gak dibales chatnya😂😂

Makasih yang masih mau mampir. Jangan lupa vote, yaa.....

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top