Bab 2. Chance To Meet.

"Kapan, Dam?"

"Kapan, ya? Udah lama banget, sih." Sepasang manik hitam milik Damian berotasi pelan saat kepalanya dipaksa mengingat kejadian lampau. "Kalau gak salah waktu Bianca mau lulus sekolah. Sekitar setahun setelah kita lulus, deh. Soalnya Om gue kan kebetulan ada kerjasama bareng bokapnya Bahi."

Tiga wanita yang sedang mendengarkan Damian bercerita kembali mengangguk samar.

"Gue denger sih, gak lama setelah nyokapnya meninggal semua aset punya keluarga Bahi disita rentenir sama bank," imbuh Damian lagi sambil menatap Eveline yang mengamatinya dengan serius. "Si Bahi sampe cuti kuliah waktu itu, Eve. Lo gak tahu?"

"Gue sama dia udahan setelah empat bulan LDR-an." Eveline berujar pelan dengan kepala yang sibuk memikirkan banyak hal. "Habis itu gue liat postingan Jena yang jalan bareng sama Bahi. Gue kira mereka jadian."

"Bahi sama Jena?" tanya Damian sedikit terkejut.

Eveline mengangkat bahunya malas sebelum bersandar pada punggung kursi yang didudukinya. "Kayaknya, sih."

Damian berdecak. "Baru tahu gue."

"Gue juga." Mona ikut menanggapi.

"Ya, lo, gue, sama Eve kan emang kuliah di LN. Wajar gak tahu. Si Damian aja yang masih dapat kabar Bahi gak tahu," kata Dira membuat Mona mengangguk paham. "Lo yakin si Bahi selingkuh sama Jena, Eve?" Kali ini ia menatap Eveline yang tampak memikirkan sesuatu.

Dan hingga sekarang Eveline tak punya jawaban dari pertanyaan Dira semalam. Obrolan itu berakhir saat Damian menerima pesan dari Bahi yang mengatakan pulang lebih dulu dengan alasan menjemput adiknya yang bekerja di minimarket. Tanpa berpamitan pada teman-temannya yang masih ada di dalam restoran. Tak lama dari itu, Damian juga pamit pulang karena besok pagi harus pergi ke luar kota.

Mona dan Dira mulai bergabung dengan teman sekolah mereka, sedangkan Eveline memilih berdiam diri sambil membayangkan hari di mana Bahi ditinggal oleh ibunya. Ia tahu, bagaimana kedekatan Bahi dengan wanita yang sudah mengenal dirinya. Mungkin pria itu mengalami banyak hari berat setelah kepergian sang ibu.

"Eveline!"

Wanita yang sudah rapi dengan home dress itu sedikit terperanjat saat bayangan tentang semalam buyar kala mendengar seruan sang ibu dari balik pintu kamar. Eveline menoleh, tak lama mendapati ibunya membuka pintu kamar sambil memasang wajah sedikit kesal.

"Mama udah tiga kali panggil kamu, loh."

Eveline meringis. "Maaf, Ma. Eve gak denger." Lalu berjalan menghampiri sang ibu yang memilih duduk di ujung kasurnya. "Kenapa, Ma?"

Masih dengan wajah sedikit kesal wanita itu menjawab,"Besok pagi temenin mama belanja bulanan, ya."

Eveline membersit pelan. "Gak ah, males. Eve besok ada acara."

"Punya acara ke mana seorang pengangguran?"

Eveline mendengkus, lalu kembali membersit geli mendengar sindiran itu. "Mau bawa mobil baru jalan-jalan, dong. Eve mau main ke rumah Om Danu. Udah lama gak ketemu Shiena."

Nita Maharani-nama ibunya Eveline-mencebik tipis sembari bangun dari posisi duduk yang sudah ditemani anak tunggalnya. "Kalau pulang pasti gitu, gak betah di rumah. Tapi kalau suruh temenin mama susah!"

Eveline terkikik mendengar gerutuan wanita yang kini berjalan menuju pintu kamar. "Kalau nanti sore gimana, Ma?" ujarnya sambil memberi senyum tipis saat sang ibu menoleh. "Sekalian kita dinner."

"Mama setuju!" Nita menyahut antusias. "Mau sama Papa, gak? Biar nanti mama kabari."

"Gak usah, kita berdua aja." Eveline makin tersenyum melihat raut antusias wanita yang sekarang aktif menjadi anggota di salah satu badan amal. "Kalau sama Papa siang ini. Eve mau ajak Papa makan siang bareng di kantor."

"Oh," gumam Nita sambil mengangguk. "Ya udah. Mau berangkat sekarang?"

Eveline mengiyakan dan membiarkan ibunya melenggang pergi meninggalkan kamar setelah berujar hati-hati di jalan. Kembali bangun dari ujung kasur yang diduduki, wanita yang baru dua bulan ini pulang ke tanah air mulai sibuk mencari tas dan kunci mobil. Kemudian, keluar dari kamar mewahnya sambil melampirkan tali tas ke sebelah bahu.

Rumah yang ditempati Eveline terbilang cukup besar untuk seukuran keluarga yang hanya beranggotakan tiga orang saja. Meski memiliki tiga ART, dua tukang kebun, serta dua orang satpam yang bergilir menjaga rumah, tetap saja keadaan di hunian mewah itu terasa sepi saat Eveline menempuh pendidikan dan bekerja di anak perusahaan milik keluarganya di luar negeri.

Sekarang Eveline sudah tak ingin kembali ke sana setelah pamannya dari pihak sang ayah menggantikan posisinya menjalankan perusahaan.

Banyak hal yang ingin Eveline lakukan setelah kembali ke Indonesia. Salah satunya menghabiskan waktu dengan keluarganya.

Di luar sana, pandangan orang-orang tentang anak tunggal yang lahir dari keluarga kaya raya pasti sangat mengagumkan. Meski tak menampik kalau semua fasilitas yang disediakan memang sangat membantu kehidupannya, tapi jauh di lubuk hatinya Eveline kerap merasa kesepian.

Tepatnya ketika sekolah dulu. Ibu dan ayahnya saat itu masih mati-matian merintis perusahaan furniture yang baru dibangun hingga memaksa mereka jarang ada di rumah. Eveline yang setiap hari pulang pergi dengan sopir suruhan sang ayah selalu merasa bosan tiap kali ada di rumah. Itu sebabnya ia sering mengajak Mona dan Dira pulang, menghabiskan waktu berjam-jam di kamarnya sebelum kembali merasa sepi saat mereka berpamitan pulang.

Lantas di sela-sela menjalani hari monoton, Eveline mengenal Bahi yang selalu bersikap sok keren dan merasa paling tampan di sekolah. Meskipun yang terakhir sebuah fakta, tetap saja membuat Eveline sering kesal karena Bahi kerap menganggunya saat di kelas. Namun, siapa sangka pertengkaran kecil yang sering terjadi di antara mereka menjadi jalan bagi sebuah hubungan manis yang berjalan kurang lebih dua tahun lamanya.

Rasa kesepian Eveline saat di rumah tak begitu terasa setelah memutuskan menjalin asmara dengan Bahi. Pria itu selalu menemaninya meski hanya lewat sambungan telepon, membawakan ia makanan yang buatkan oleh ibunya, dan sesekali mengajak ia nakal dengan pergi menonton bioskop saat jam pelajaran berlangsung.

Hingga sekarang, tiap kali kenangan mereka terlintas di kepala Eveline selalu tersenyum tipis sebelum akhirnya mengusir senyum itu dengan dehaman samar.

Merasa mulai kesal dengan pemikirannya sendiri, roda empat yang dua bulan lalu menjadi hadiah dari sang ayah perlahan berhenti di depan minimarket pinggir jalan. Eveline perlu minuman dingin untuk mengalihkan otaknya yang kerap memikirkan hal tak penting.

Membawa sebotol minuman rasa leci, Eveline berdiri di depan meja kasir yang dijaga seorang pria berusia dua puluh tahunan. Ia jarang membawa uang cash karena lebih sering menyodorkan kartu kredit atau aplikasi transaksi dalam ponsel.

"Iya, Kak. Mungkin bakal nunggu sampai mesinnya normal lagi. Gimana?"

Mesin yang biasa dipakai untuk menggesek kartu kredit sedang bermasalah. Eveline tak bisa membayar dengan kartunya.

"Kalau pakai aplikasi transaksi bisa gak?"

"Bisa, Kak."

"Oh, kalau gitu pakai ini aja." Eveline menunjukkan ponselnya yang sudah tertera barcode khusus.

"Kak Eveline, ya?"

Masih menunggu sang kasir men-scan barcode, Eveline dibuat terkejut dengan panggilan ragu-ragu dari seorang perempuan. Saat menoleh, keningnya sedikit mengenryit sebelum bola matanya melebar melihat siapa gadis yang baru saja memanggilnya.

***

Bahi sudah dua kali mengecek ponselnya. Menunggu pesan sang adik yang biasanya sudah meminta dijemput dari tempat bekerja. Bianca Abraham, adiknya yang dua tahun ini bekerja sebagai kasir minimarket memiliki jam kerja shift. Hari ini Bianca dapat jadwal malam. Biasanya dimulai dari jam 11 hingga delapan pagi. Tapi untuk jam pulang, kadang menjadi lebih lama. Katanya harus membuat laporan dulu dan hal itu memakan banyak waktu.

Bahi.
Udah selesai belum, Dek?
Mas jemput sekarang, ya?

Bianca.
Gak usah, Mas. Bia udah di jalan pulang. Sebentar lagi sampai.

Bahi.
Pulang? Sama siapa?
Naik ojol.

Bahi.
Dek?

Bahi.
Bia, kamu pulang sama siapa?

Tak kunjung mendapat balasan, Bahi yang penasaran dan sedikit cemas bergerak mengambil jaket sambil berjalan keluar menuju garasi mini di samping rumah yang menyimpan motornya. Baru saja memakai helm dan mengeluarkan roda duanya, ia dibuat mengernyit dengan mobil mewah yang perlahan berhenti di depan rumahnya. Tak lama, wanita yang sangat ia kenal keluar dari pintu penumpang.

"Mas Bahi!"

Bahi yang sudah menunggangi motornya, kembali turun. Menghampiri Bianca yang sedang membuka pintu pagar rumah. Bahi bahkan lupa melepas helm di kepala karena penasaran dengan orang yang ada di balik setir roda empat itu.

"Pulang sama siapa?" tanyanya tanpa mengalihkan tatapan tajam ke arah pintu kemudi.

"Bukan sama cowok, matanya gak usah nyolot!" ketus Bianca saat melihat sang kakak begitu waspada.

Tak lama orang yang sedang diperdebatkan muncul. Menampilkan diri dengan senyum gugup sebelum melangkah ragu mendekati adik kakak yang salah satunya terlihat tak percaya.

"Bia ketemu Kak Eve di minimarket," kata Bianca santai.

"Hai," sapa Eveline canggung.

Bahi menoleh pada sang adik hanya untuk meminimalisir rasa gugup dan kejut saat melihat Eveline ada di hadapannya.

"Dek, kamu baru ketemu udah nyusahin orang, ya?"

Dan jawaban dari sindiran itu adalah tamparan kesal Bianca yang mendarat mulus di lengan kakaknya.

________

Cieee pada gugup ketemu mantan uhukkk!

Guys, aku gak tau di kalian. Tapi di aku alur cerita mereka seru banget😭 ini balik ke selera sih,. Semoga mood aku gak uring-uringan waktu nulis ini hahahah.

See you....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top