86. Kita Menetapkan Pilihan II
Ada gelang baru yang melingkari pergelangan tangan Grace.
Gelang itu terbuat dari perak atau emas putih yang menyilaukan mata Haechan. Tebakan jitunya adalah emas, sebab mustahil rasanya perak bisa sebegitu mengilap. Sepotong bulan sabit biru dari sapphire一lagi-lagi hanya tebakan一tersemat di tengah-tengahnya, otomatis membujuk orang meliriknya, dan karena Haechan merupakan seorang pengamat, lebih sulit baginya berpura-pura melewatkannya.
Tiap kali Grace bergerak, contohnya saat menutup pintu atau mengangkat sebuah tas, gelang itu akan naik-turun, menggantikan gelang-gelang terdahulu yang nasibnya tidak mujur. Satu lagi ciri khas lain Grace selain rambut panjangnya telah menjadi kenangan, mungkin terserak dalam bentuk kepingan-kepingan kecil rusak di jalan raya tempat mereka mengalami kecelakaan yang disengaja.
Grace menjatuhkan tas senjata mereka tak jauh dari kaki Haechan. "Coba lihat hadiah dari Mark."
Ya, Haechan melihatnya. Gelang itu cantik. Namun, apa sih maksudnya menghadiahi gelang bulan pada gadis bermarga Moon? Memangnya dia tak bisa lebih kreatif?
"Tas kita dan isinya ternyata nggak hilang, Haechan. Bahkan tongkat besiku masih ada, kamu percaya itu?"
Senyum Haechan mengembang. "Semuanya masih lengkap?"
"Hm, nggak juga. Ada beberapa yang hilang一aku nggak tahu namanya. Tapi ini yang terbaik yang bisa kita harepin."
Haechan mengambil alih dan memeriksa sendiri. Grace benar. Tiga atau empat senapan mereka lenyap tak berbekas, dia tak ingat daftar persisnya. Tas itu sekarang jadi lebih ringan. Ruang kosongnya dihuni oleh sekaleng soda, sebungkus biskuit gandum, dan keripik jagung. "Kita kehilangan FAMAS juga?"
"FAMAS aku kasih ke Sungchan. Inget kan, Sungchan kidal? Dia lagi latihan sekarang."
Diiringi bunyi mendesis, Haechan membuka kaleng soda yang dia temukan. "Itu cocok buat dia."
Grace melemparkan tatapan menegur. "Mungkin kamu jangan minum soda dulu? Minuman oralit spesialmu ada di nakas."
"Sejak kapan kamu jadi pelit?"
"Bukan, tapi kamu lebih butuh asupan gula dan natrium. Jadi mending一" Haechan terlanjur menyeruputnya. Grace memberengut. "一Terserah kamu."
Dari posisinya yang setengah berbaring, Haechan masih bisa nyengir bandel. "Aku nggak akan mati hari ini, Grace."
Grace melompat naik ke tempat tidur dan bersila di samping Haechan. Ketika itu, dia mengenakan sweter gelap kedodoran yang lebih cocok dipakai adiknya, dipadukan celana denim biru muda. Rambut pendeknya digerai, secara ajaib tampak seperti terobosan model acak-acakan yang mutakhir. "Kedengerannya lucu itu diucapin cowok yang kemarin kelihatan kayak mayat."
"Untung mereka nggak masukin aku ke peti mati, ya?"
Grace mengangkat bahu. "Yah, untung."
Jelas ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Haechan hampir bisa melihat meski berada bersamanya, pikiran Grace melayang ke tempat lain bak jalan setapak yang bercabang-cabang. Sebentar-sebentar Grace menunduk, menekuri kukunya. Haechan memutuskan mencari tahu. "Hei, kamu mau nemenin aku lebih deket?" Dia menepuk bantal di sebelahnya.
Grace menerima tawaran tersebut, membuat Haechan otomatis membuka lengan agar gadis itu bisa bersandar padanya. Harum sabun dan parfum segar menyusup ke hidung Haechan. Saat dia tersenyum, Grace memergokinya. "Apa?"
Haechan memberi Grace kecupan mesra di puncak kepalanya. "Rambut kamu wangi. Itu bikin aku lupa sama bau gudang. Dan gelangmu," imbuhnya, mencuri-curi kesempatan. "Gelang barumu ini juga bagus."
"Ini dari Jisung kalau itu maksudmu, Haechan." Grace mengeluarkan jurus dengusan bantengnya. "Kenapa kamu nggak blak-blakan aja?"
Mendadak Haechan bisa menemukan letak keindahan gelang itu. Mendadak dia sangat menyukainya. "Ya, itu kataku tadi. Bagus. Selera si maknae keren. Jadi kenapa kamu nggak seneng setelah dapet hadiah?"
"Nggak apa-apa."
Ah, kalimat sakti andalan para wanita.
Haechan membisikkan pada dirinya sendiri, sabar. Kamu harus sabar. "Pikirin lagi."
"Pikirin apa? Aku ngga ngerti."
"Jawabanmu. Udah?"
"Haechan, aku nggak suka didesak一"
"Pikirin. Lagi. Dan tolong, jangan coba-coba bohong."
Grace menyerah duluan. Dia memungut bungkus biskuit gandum dan merobeknya dengan tenaga lebih besar dari yang diperlukan. "Tadi aku ngobrol banyak hal sama Mark di butik. Sebagian besar cuma omong kosong nggak penting, tapi intinya dia minta aku buat tinggal."
"Tinggal?"
"Ya. Di sini." Kata-kata Grace agak terganggu karena dia bicara sambil mengunyah. Dan berpaling ke jendela. "Mark bilang aku harus berhenti jadi pengecut."
"Wow," seru Haechan kaget, lalu sebelum dapat menahannya, dia tertawa; separuh takjub dan separuh tak percaya. "Mark Lee bilang gitu? Apa dia masih hidup atau kamu udah ngubur mayatnya di butik yang kalian datengi?"
Gayung tidak bersambut, Grace malah cemberut. "Ha ha, lucu banget, Haechan."
"Bukan salahku, itu lucu. Hei一oke, oke, aku minta maaf." Haechan menangkap tangan Grace yang sudah akan meninjunya lagi. Saat itu, akan lebih mudah berburu minuman isotonik di minimarket di tengah kota ketimbang menyetop tawanya. Dia berdeham. "Ayo, serius, kamu jawab apa buat permintaannya?"
"Aku nggak jawab apa-apa."
"Kenapa?"
"Pertama-tama, permintaan itu nggak ada hubungannya sama tujuan kita ke butik. Kedua, aku bingung. Ketiga, aku nggak bisa jawab secepet itu."
"Kamu bener. Mestinya Mark Lee ngitung dulu dari satu sampek sepuluh. Kayak petak umpet, baru一aduh." Sisa kalimat Haechan melebur dalam ringisan. Dia menggosok-gosok lengannya. Haechan yang malang, kali ini Grace benar-benar melancarkan serangan kedua.
Skor 2-0 untuk keunggulan Grace.
Demi alasan keamanan, Haechan memegangi tangan-tangan galak Grace seperti borgol. "Kamu bohong terus, Grace. Sebenernya kamu udah punya jawaban kan?"
Grace memicingkan matanya, menggeleng. "Jangan sok tahu."
"Tapi aku emang tahu." Haechan, yang terlahir dengan sepaket kepercayaan diri yang tinggi, bersikukuh. "Kamu orangnya spontan. Kamu nggak banyak mikir waktu nerobos ruang tari, waktu nyamperin Aru, atau waktu kamu nempelin pistol ke kepalamu."
"Apa? Dari mana kamu denger itu一dari siapa?"
"Karina sempet mampir sebelum aku tidur一jangan bertengkar sama dia. Aku paksa dia cerita karena tingkahnya mencurigakan. Atau mungkin karena Karina, beda sama kamu, lebih terbuka. Kamu setuju?" Grace membisu. Dia terlihat ingin kabur saja karena malu. Maka, Haechan meraih tangan kanannya dan menghadiahinya kecupan supaya mendapat perhatiannya. "Apa-apaan itu, hah? Nggak semua orang punya otak seksi dan kamu malah hampir hancurin otakmu?"
Grace mengerang. "Aku nggak butuh komentar."
Sayangnya, rem di mulut Haechan tidak selalu berfungsi menuruti perintah orang lain. "Padahal kita janji nggak ada bunuh diri di antara kita."
"Itu janji di bawah tekanan."
"Kamu udah janji."
Air mata mengalir menuruni pipi Grace yang tembam. "Aku mau tukar otak seksiku buat optimisme kamu, Haechan. Nggak semua orang bisa seoptimis kamu. Aku salah satunya."
"Gimana kalau kita bagi dua?" balas Haechan sungguh-sungguh, dan Grace meledak dalam tawa serak yang menyatakan lebih banyak luka daripada kegembiraan. Haechan merengkuhnya lebih erat. "Jangan langgar janji itu lagi, ya? Aku lebih suka kepalamu tetep utuh di tempatnya. Dan kalau kamu mau, kita bisa tinggal di sini."
Grace berguling, penuh harap. "Kita bisa?"
Haechan tersenyum. "Menurutku tempat ini, tim ini, nggak seberapa buruk. Dan tengok sisi baiknya."
"Apa?"
"Aku juga bisa berantem sama Jaemin."
"Wah, alasan yang mulia." Detik berikutnya, Grace tersenyum tak kalah lebar. Dagunya praktis berada di dada Haechan. "Aku seneng kamu nggak meninggal, Haechan. Seneng banget."
Tawa bangkit dari perut Haechan, melewati tenggorokan, lantas diluncurkan melalui sepasang bibirnya. "Astaga, kamu nggak berbakat ngarang kata-kata romantis."
"Apa yang salah dari kata-kataku?"
"Salah seluruhnya. Harusnya kamu bilang sesuatu yang mirip, 'Grace, entah itu tinggi di langit atau jauh di dasar bumi, aku mau ngelakuin semuanya bareng kamu'. Gitu."
Hidung Grace berkerut geli. "Ih, jijik."
Haechan tidak terima. "Dasar cewek aneh. Itu namanya romantis. Aku yang jarang baca buku aja paham ...."
Setengah jam kemudian, mereka melanjutkan perdebatan konyol itu hingga semua snack habis tak tersisa, soda tandas, dan Grace menguap. Kantuk menyerbunya. Suara Grace jadi semakin lirih, dan pada satu titik, digantikan helaan napas teratur menenteramkan. Haechan terjaga agak lebih lama. Bahunya pegal gara-gara Grace menggunakannya sebagai bantal. Lengannya nyeri, akibat tertekuk dalam posisi yang tidak natural. Namun dia tidak menggeser posisinya. Kala menyusul Grace undur diri dari dunia nyata, Haechan masih memeluk gadis yang disayanginya.
Makan malam di rumah itu diadakan lebih awal, cenderung tenang, dan yang paling melegakan Mark, berlangsung tanpa keributan.
Kursi meja makan tak cukup banyak untuk menampung pantat-pantat yang tersedia, jadi beberapa orang terpaksa duduk di konter dapur, di sebelah kompor dan oven, atau yang lebih strategis, di bingkai jendela yang dibentangkan lebar-lebar. Haechan rupanya sudah merasa cukup sehat untuk keluar kamar, kendati kulit pucatnya mengungkap sebaliknya dan dia pasti lebih rela terjun ke sungai daripada mengakui dirinya terlalu sakit untuk apa saja. Mark menyapanya ketika dia duduk dengan rambut yang masih basah, kaus putih, dan kardigan sederhana.
"Gimana keadaanmu, Haechan?"
"Selain kaki yang nggak bisa diajak lari, sistem pencernaan yang rewel dan kepala yang sesekali pusing, keadaanku bisa dibilang luar biasa."
Mark yang sudah terbiasa dengan gaya bicaranya bersikap acuh tak acuh. "Nggak lama lagi kamu pasti siap bikin masalah."
"Itu emang tujuanku dalam waktu dekat."
Namun Karina dan Sungchan tidak, dan keduanya ternganga mendengar cara berkomunikasi mereka.
Setelah itu tidak ada yang bicara apa-apa lagi karena makanan sudah disajikan. Menunya ramyeon, dimasak dalam sebuah panci besar memanfaatkan sisa-sisa gas yang ada. Potongan-potongan sosis mengambang bersama mi, ibarat daun-daun yang berguguran di atas permukaan air danau berwarna merah.
Untuk sedikit mengujinya, sesaat kabut kecanggungan menyelimuti danau itu dan area di sekitarnya, lalu Renjun menyeletuk, "Kayaknya kita harus berterima kasih ke Aru buat sumbangan makanannya." Dan semua orang tergelak. Kebuntuan itu pun pecah.
Dentingan peralatan makan mengisi dapur sempit itu. Setiap orang menunduk ke mangkuk masing-masing, diselingi bunyi mengecap dan kadang percakapan ringan. Terpikir oleh Mark suasana ini tampak seperti berasal dari lukisan sempurna mengenai persahabatan. Dan jika bisa, Mark ingin menyimpan lantas memajangnya. Mark tidak bisa. Dia justru mengambil risiko mencoreng suasana nyaman itu sebab meski menggoda, makanan "sumbangan" Aru tidak akan bertahan selamanya, dan mereka tak boleh sekadar jalan di tempat.
Dengan asumsi diskusi lebih lancar dilakukan dengan perut kenyang, Mark berdiri selepas mangkuk-mangkuk di hadapannya nyaris bersih. "Aku mau ngomong sesuatu," ujarnya, terlalu tegang untuk berbasa-basi.
Mereka berhenti makan. Mereka memandangnya.
"Ini tentang rencana kita yang udah tertunda terlalu lama. Aku tahu kita seolah ada di atas angin sekarang. Kita punya makanan, kendaraan, dan rumah yang hangat, tapi sewaktu kita jadi terlalu nyaman, masalah sering kali datang. Ditambah lagi kelompok kita semakin besar. Ada sembilan kepala di ruangan ini, dan aku yakin kalau kita harus sepakat tentang sesuatu, kerawanan Seoul adalah salah satunya. Kota. Ini. Nggak. Aman." Mark menekankan tiap kata dengan mengetuk meja. "Aku pikir rencana kita pergi perlu dipercepat berhubung semua orang, termasuk Haechan, mulai sehat."
Persis ketika Mark mengharapkan reaksi, Karina menginterupsi, "Aku seneng kamu nganggep aku dan Sungchan bagian dari kelompokmu, Mark, tapi kita mau pergi ke mana?"
"Kampung halamanku," sahut Haechan, "Jeju."
Kening Sungchan berkerut-kerut. "Kamu yakin itu ide bagus?"
"Begini, Jeju kandidat tempat pengungsian yang paling tepat. Angka orang yang sakit di Jeju rendah, jadi aku ragu pemerintah ngirim banyak vaksin yang bikin mutasi maut ini ke ke pulau itu."
"Bukan itu, Haechan," sanggah Karina. "Gimana sama rutenya?"
"Aku hafal rutenya. Ada banyak cara buat ke pelabuhan."
Sisa ramyeon Sungchan terlupakan saat dia berkonsentrasi sepenuhnya. "Tapi itu masalahnya. Kita bukan orang pertama yang pengen kabur dari kota ini. Aku dan Karina pernah ke pelabuhan, dan kalian mau nebak apa yang aku temui? Zombie. Ratusan jumlahnya. Dan nggak cuma pelabuhan, mereka juga ngumpul di stasiun dan bandara."
Grace mendongak dengan lambat. "Kamu nggak pernah cerita soal itu sebelumnya, Sungchan."
"Maaf, Grace. Gudang bukan tempat yang pas buat nyari topik pembicaraan."
Jeno melompat dari bingkai jendela dengan tangkas. "Itu masuk akal. Selagi kita di sekolah, mungkin orang-orang buru-buru nyerbu pelabuhan dan tempat-tempat semacamnya karena mereka kira luar kota atau luar negeri situasinya lebih aman. Jadi seandainya kita berhasil ke sana一"
"Itu sia-sia." Jaemin menyelesaikan. "Kita nggak bisa nyebrang."
Haechan meletakkan tangannya di bahu Grace. "Aku nggak suka ini, tapi kamu inget apa yang kita bahas sambil minum kopi?"
Kenangan apapun yang disinggung Haechan membakar kecurigaan Grace. "Barangkali itu jawaban dari teka-teki kenapa banyak rumah yang kosong."
Di samping oven, Renjun sedang mengacak-acak rambutnya. Lamanya hari yang berlalu bisa ditilik dari akar-akar rambut hitamnya yang bertekad mengkudeta cat rambut pirangnya. "Biar aku perjelas, berarti kita coret dulu pelabuhan, bandara, stasiun, dan ... terminal bus?" Sungchan mengangguk, rupanya itu bukan pengecualian. "Dengan kata lain, kalau mau minggat dari kota tercinta ini, berarti kita mesti ambil jalur darat tanpa ngelewati titik-titik berbahaya tadi. Kalian yang orang Korea tulen, apa kota terdekat dari sini?"
Mark dan Jeno bertatapan. Mereka memperoleh solusinya di saat yang sama. Kata mereka, "Bundang."
Hiya ... Udah ketebak alurnya neh. Siap2 ya, bentar lagi kita menuju ending uhuy (~‾▿‾)~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top