85. Kita Menetapkan Pilihan I
Acara jalan-jalan itu tidak seromantis kedengarannya.
Seperti kata Jaemin, mereka hanya mencari pakaian dan mereka melakukannya tanpa kegaduhan. Grace tidak bicara padanya一tidak banyak一sedangkan Mark punya begitu banyak hal untuk dibicarakan sampai semuanya terbenam di bawah pasir keraguan. Manakala Mark mengajak Grace menambah koleksi pakaian wanita di lemari mereka dan Grace setuju, sejujurnya dia tidak merencanakan mereka menjalaninya dengan tidak saling bercakap-cakap.
Mark bertanya-tanya apakah ini pula yang terjadi ketika Grace bersama Haechan. Apakah Haechan cukup cerdik menemukan topik yang menarik? Apakah mereka memasrahkan diri dalam kesunyian lantas membiarkan segalanya mengalir apa adanya? Namun yang bisa diingat Mark adalah kenangan saat keduanya duduk di motor yang sama, lengan Grace di perut Haechan, dan mereka tertawa. Mereka tertawa. Itu sesuatu yang belum bisa Mark capai kendati dia dan Grace telah cukup lama berada dalam satu atap butik yang sama.
"Gimana menurutmu?" Mark merentangkan sebuah atasan berwarna ungu dengan hiasan kancing yang mirip mutiara.
Grace mencibir. "Terlalu norak buat seleraku, tapi ukurannya pas buat Karina dan dia mungkin suka."
Mark memasukkannya ke ransel yang dia bawa. "Kalau ini?" Selanjutnya adalah rompi bergaris-garis biru.
"Lumayan." Grace sendiri sibuk dengan ransel lain, mengisinya dengan celana banyak-banyak. "Aku suka."
"Kalau Haechan?" Grace berhenti mengepak. Mark pura-pura asyik melipat. "Kalau Haechan, kamu suka?"
"Apa ada alasan aku harus nggak suka dia, Mark?"
Kalimat itu membuka ke sebuah tikungan percakapan baru, yang lebih serius, dan Mark tahu dia tak bisa mundur. "Ada apa sebenernya antara kamu dan Haechan, Grace? Maksudku, kamu bahkan rela ninggalin adikmu buat dia."
Riak-riak kekesalan mengusik danau ketenangan Grace yang semula datar. "Itu bukan salah Haechan. Aku bukan Wendy dan dia bukan Peterpan yang ngajak aku kabur lewat jendela."
"Jadi kalian siapa?" Satu pertanyaan yang bermakna sangat luas diajukan Mark.
"Cuma ...." Grace, si ahli debat, kesulitan membalas一ini momen yang sama langkanya dengan hujan es di negara beriklim tropis. Gantungan baju dalam kurungan jari jemarinya agak tertekuk, hasil dia bengkokkan. "Cuma orang-orang yang nyari kebebasan?" Pungkasnya akhirnya.
Mark mengayunkan tubuh ke atas meja kasir. Pegawai yang semestinya menjaga meja itu terbaring di sisi lain, kepalanya mengucurkan darah. Butik tersebut tidak jauh dari rumah, terletak di area pertokoan yang terbengkalai dan sepi, sehingga Mark tidak khawatir teriakan salah satu dari mereka akan mengundang perhatian. Bagi Mark, bukan pakaian, dia lebih membutuhkan butik itu sebagai tempat untuk mendiskusikan urusan yang belum selesai一dan menuntaskannya. "Bagian mana dari peraturanku yang bikin kalian ngerasa nggak bebas? Atau ini ada hubungannya sama hari dimana kamu dan Renjun pulang?"
"Mark," Grace memberitahu Mark bagaimana satu kata saja一namanya一mampu menggoresnya laksana belati yang diasah, "Apa perlu kita bahas omong kosong ini?"
"Ya ...." Kalimat Mark menggantung, disengaja, seperti pinata, sebelum jatuh berhamburan menebar aura tidak nyaman. "Kecuali kamu mau ngehindar lagi."
Grace tersinggung. "Ada perbedaan antara ngehindar dan nggak mau buang-buang waktu."
"Istilah lainnya kabur, kan?" Alarm peringatan berbunyi nyaring. Tidak secara nyata, hanya ada di benaknya. Mark tahu dia sudah melanggar kesepakatan gencatan senjata saat Grace mengembalikan gantungan baju dengan kasar. Mark tidak peduli. Tidak bila itu artinya mereka bisa bicara. Bicara yang sesungguhnya一melibatkan kontak mata, perdebatan, serta apapun yang dibutuhkan agar masalah ini tak terus mengendap bagai debu di bawah karpet. Silakan saja Grace membanting sebanyak mungkin gantung baju yang dia inginkan.
Akan tetapi, Grace membatasi dirinya dengan menghela napas. "Keputusanku buat pergi dan apa yang aku denger hari itu nggak ada hubungannya一"
Mark menatapnya dengan pandangan lelah. "Grace."
"Barangkali ada, tapi nggak banyak. Dan itu bukan apa-apa. Aku hampir nggak denger apa-apa一"
Mark melompat turun dari meja guna menghampirinya, memangkas jarak mereka yang dulu pendek dan kini entah mengapa jadi semakin lebar. "Bukan itu yang Renjun bilang."
"Renjun salah. Dia pasti bercanda. Dia itu emang jarang serius一"
Kaki Mark mengerem selangkah jauhnya dari gadis yang selama ini mengacaukan pikirannya. "Kamu bisa berhenti sekarang, Grace."
Ajaibnya, Grace benar-benar berhenti. Dia mendongakkan dagunya pada Mark tinggi-tinggi. Bahunya naik-turun cepat, senada dengan dadanya. Dan karena perawakan Mark tidak terlalu mengesankan, hidung mereka nyaris bersentuhan dalam sebuah isyarat keintiman yang tak terbantahkan. Boleh dikata, mereka berbagi napas.
"Kamu cewek paling keras kepala yang pernah aku kenal," bisik Mark. "Tapi Tuhan kiranya nolong aku, Grace, aku peduli sama kamu. Nggak semua yang kamu denger dari balik pintu itu bener. Catat ini: dua orang yang denger satu lagu yang sama bisa punya interpretasi lirik yang berbeda. Aku nggak mau ninggalin kamu. Itu kesalahan dari tindakan yang terburu-buru. Maafin aku, Grace. Apa nggak bisa kita mulai semua dari awal?"
Grace mengeluarkan seruan frustrasi. "Itu bukan salah kamu."
Mengulangi tindakannya kemarin, Mark memegangi kedua pundak Grace. "Kasih aku kesempatan perbaiki ini?"
Dalam keadaan sadar, Grace terbukti terlalu sulit dijinakkan. Dia menepis tangan Mark dan berbalik seakan hendak kabur menerobos jendela. "Aku bilang bukan kamu yang salah. Masalahnya ada di aku. AKU! Seumur hidup, aku selalu ngerasa salah tempat dan nggak tahu harus apa, seolah aku nggak cocok dimana-mana, dan tiba-tiba dateng Haechan. Aku yang ngajak Haechan pergi, tanpa Jisung, kamu tahu kenapa?"
Mulut Mark terkunci rapat.
Kata-kata Grace berubah jadi jeritan melengking. "Karena aku kira Jisung lebih aman bareng kamu, bareng lebih banyak orang! Ini bukan cinta pandangan pertama. Aku nggak setolol itu. Keputusanku pergi murni keinginan spontan karena ... Karena ...." Mark menunggu. Kesabaran ada di pihaknya. "Karena aku lebih bahagia sama Haechan."
Pernyataan itu mengiris sesuatu di dada Mark. "Lebih bahagia?"
Grace mengangguk.
"Lebih bahagia, oke. Tapi kamu nggak bisa kayak gitu, Grace. Apa yang mau kamu lakuin, ninggalin Jisung buat kedua kalinya?"
"Jisung一"
"Butuh kamu." Mark menukas, singkat dan jelas. "Bukan sebagai pelindung atau patron atau semacamnya, melainkan sebagai kakak. Jadi kalau kamu nggak tahu harus ngapain, mungkin ada baiknya kamu berhenti lari dan ngisi peran yang cocok buat kamu. Berhenti jadi pengecut, Grace Moon."
Tamparan keras mendarat di pipi Mark, menolehkan kepalanya ke samping secara paksa. Tidak cukup kuat sebab berasal dari tangan yang gemetaran. Namun juga tidak cukup pelan karena diiringi ledakan amarah. Bekas tangan itu bisa jadi akan menempel selamanya. Rasa sakitnya meresap hingga ke dada.
Grace merenggut ranselnya dan berderap kencang menuju pintu keluar. "Aku udah selesai belanja."
Mark mengawasinya tanpa berpindah posisi. "Kita belum selesai bicara."
"Oh, menurutku udah." Langkah Grace tidak sedikit pun melambat.
Tinggallah Mark sendirian di ruangan yang berantakan itu. Mark menggerak-gerakkan rahangnya sejenak, kemudian mengambil setumpuk pakaian secara acak. Saat Mark menyusul, Grace telah berjalan beberapa meter dari butik, padahal kondisinya belum pulih benar. Dia berdecak, lantas naik ke Mazda agar dapat menjajari Grace dengan segera. "Masuk."
Grace tidak mengindahkannya.
"Ayolah, Grace, masuk sebelum kamu pingsan. Kita langsung pulang, aku janji, dan aku bakal diem kalau itu mau kamu, oke?"
Luluh oleh kalimat rayuan yang tepat, Grace menutup pintu kursi di samping Mark dan memilih duduk di belakang. Dia memeluk tasnya erat-erat seperti perisai. "Itu yang aku mau."
Dengan demikian, Mark mengalah. Atau sejatinya sejak tadi dia sudah kalah. Dia tidak bisa membedakan. Satu yang pasti一Mark menepati janjinya untuk diam sepanjang perjalanan sampai dia paham, satu tamparan rupanya tidak ada apa-apanya dibanding hukuman didiamkan orang yang kita sayang.
.
.
.
Mereka pulang dalam keadaan yang sama seperti ketika berangkat一tanpa kata.
Ada langit biru bersih di atas kepala mereka, pakaian-pakaian bagus di ransel, bahkan rasa sakit di pipinya memudar. Grace bertubuh kecil, dan Mark duga tak pernah menampar siapapun sebelumnya. Tamparannya tidak berbahaya. Namun tetap saja, Mark merasa lebih buruk. Cuaca cerah dan belaian angin di kulitnya gagal menghiburnya. Beberapa bongkahan es memang tak mudah dicairkan, demikian pula beberapa hati yang lebih sulit lagi ditaklukan.
Di teras, Jeno dan Karina bangkit tatkala Mark menepikan mobil. Karina sudah tidak menangis. Dia sudah paham bahwa air mata takkan membangunkan orang mati, tetapi jika kau menatapnya, menyelam ke dalam mata dan memperhatikan senyumnya seksama, kau akan tahu kesedihan itu dia simpan dalam hatinya. Hanya tersembunyi dan bukannya hilang dalam sehari. Itu tidak mungkin.
"Hei, Ibu Peri!" Dia bergurau. "Kalian dapet gaun cantik buat aku pakek ke pesta pangeran nanti?"
Kekesalan Grace meleleh. "Siapa pangerannya? Jeno?"
Jeno membantu Grace membawakan ranselnya. "Yap, itulah aku一Prince charming." Dia tergelak, melirik Mark, dan dengan murah hati tidak mengajukan tanya. Jeno bisa membacanya sendiri. Di antara si kembar, Jeno selalu jadi pembaca situasi yang lebih baik
Karina mengaitkan lengannya ke lengan Grace. "Ada kejutan buat kamu. Ayo tebak."
"Kereta labu?"
Grace membuat Karina terkikik. "Bukan. Tebak lagi."
"Aku harap itu sesuatu yang lebih enak dari jus jeruk."
Senyum misterius Karina menggugah rasa ingin tahu. "Mungkin bukan sesuatu, tapi seseorang ...."
Grace berhenti melangkah, dan kedipan matanya, napasnya, serta seluruh tubuhnya, seolah ikut berhenti mengantisipasi ketegangan. Dan harapan. "Apa dia一apa dia一"
Mark meminta penjelasan pada Jeno. "Haechan?" Jeno mengangguk, tersenyum.
Raut wajah Grace saat itu terlalu sulit digambarkan dengan tinta. Mark melihatnya, dan berpikir, itulah kebahagiaan murni. Itu raut wajah seseorang yang memenangkan lotre ... Atau jatuh cinta. Keduanya sama-sama perasaan yang memabukkan, lebih dari sanggup menyebabkan orang jadi setengah gila. Binar di mata Grace menerangi rumah dalam suatu cara yang tak bisa dilakukan sang surya, mengharukan. Grace melesat ke kamar Haechan lebih cepat dari dia meninggalkan Mark, terbakar kerinduan.
Di belakangnya, dilalap jenis api yang berbeda, Mark melintasi kamar yang sama sambil menunduk dalam. Dia tidak menyaksikan Grace membenamkan wajahnya ke dada Haechan, dan Haechan yang mengelus rambutnya. Dia tidak menyaksikannya. Mark tidak mau menyaksikannya.
Akhirnya Mark duduk di meja makan, merobek sebungkus permen dari vending machine yang dibobol si kembar. Dia memasukkan satu ke mulutnya. Rasa semangka. Di lidah Mark, alih-alih manis, permen itu terasa pahit, tawar, dan hambar.
Rasanya seperti patah hati.
Rasanya baru sekejap Haechan tertidur saat tiba-tiba ada yang memanggil namanya, membuka pintu, dan angin puting beliung menyerbu masuk ke kamar. Angin puting beliung atau sesuatu yang menyerupainya.
Haechan tak ingin disalahkan. Tekad kadang hanya menjadi tekad, tak berkembang bagai telur yang tak pernah menetas, tapi kecuali seseorang memiliki pengalaman tertembak dan menerima perawatan seadanya, maka tak ada yang berhak menghakiminya karena kembali terlelap. Lagipula, menunggu itu menyebalkan. Jadi setelah berurusan dengan garpu yang mungkin bobotnya dua ton itu, Haechan berbaring dan memutuskan tak ada salahnya beristirahat.
"Haechan!" Panggilan itu mengganggu tidurnya. Sejujurnya, dia tidak ingat kapan terakhir kalinya tidur nyenyak. Haechan berusaha duduk, kebingungan, lalu sesuatu menubruknya tanpa peringatan. Sesuatu yang familier, hangat, dan nyaman. Seseorang yang dicarinya.
"Grace Moon."
Grace menangis tanpa suara, membasahi kemeja Haechan dengan air mata. "Halo, pangeran tidur."
Ketegangan Haechan luruh. Tubuhnya yang waspada perlahan mengendur. "Halo juga, sexy brain."
Grace malah terisak. "Aku kangen julukan itu."
Tak mengacuhkan pintu yang terbuka, Haechan mengizinkan dirinya menikmati momen itu. Dia tak harus selalu menjadi seliat batu karang. Untuk sebentar saja, dia hanya Lee Haechan si remaja 17 tahun一muda, terluka, dan larut dalam cinta. "Maaf aku tidurnya lama."
"Terlalu lama."
"Mungkin nggak akan selama itu kalau kamu nungguin aku?"
Orang biasanya tidak beralih dari memeluk ke memukul begitu saja. Namun Grace selalu penuh kejutan, dan pukulanlah yang Haechan terima, menyasar perutnya. "Sindiran, sindiran. Apa pengalaman hampir mati cuma bikin pisau di mulutmu lebih tajem?"
Haechan mengaduh, lebih dari setengah dari reaksinya sekadar dramatisasi. "Apa kamu sempet latihan tinju di gudang?" Sekonyong-konyong, dia kehabisan tenaga. Pemulihan Haechan tidak sepesat yang lainnya. Suaranya masih parau. Kulit wajahnya juga belum menampilkan rona terbaiknya, dan itu tidak termasuk nyeri konstan di kakinya. "Tunggu." Dengan malu, Haechan berbaring lagi.
Yang melegakan, Grace menanggapi dengan santai. Tak ada tawa atau cemoohan baik di mata atau gerak-geriknya saat dia merapikan bantal yang menopang Haechan. "Kamu mau aku pergi dulu? Kamu ngantuk? Capek?"
Haechan memijat dahinya. "Ngantuk, ya. Ini pasti gara-gara obat yang dikasih si Jaemin."
Grace mulai beranjak. "Kalau gitu mending aku ke kamar supaya kamu bisa tidur一"
"Jangan." Haechan mencegahnya, memegang tangan mungil itu dalam genggaman lemah. "Daripada tidur, aku lebih suka ngobrol sama kamu. Sini, Grace. Duduk di sebelah aku, ya?"
Njir 2k kata isinya cuma bahas masalah hati. Mudah2an kagak ada yang ketiduran bacanya ya. Gua juga agak kesusahan nulis ini karena Grace dan Haechan ceritanya sama2 keras kepala, tapi semoga suka deh kalian ¯\_༼ •́ ͜ʖ •̀ ༽_/¯
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top