83. Kita Bisa Memaafkan I

Gadis itu terbangun.

Dia berjuang dan berjuang, melawan sesuatu yang memberati matanya. Setumpuk rasa lelah, barangkali, atau rasa takut, bagai batu hitam besar yang terbentuk atas respons alamiahnya yang enggan menghadapi kenyataan. Bisa jadi gadis itu bertanya-tanya dalam benak, ketika membuka mata, akan berada di manakah dia? Surga tanpa rasa sakit? Bumi tempat apapun mungkin terjadi?

Mark Lee meletakkan sepiring puding di nakas dekat tempat tidur. Mudah-mudahan gadis itu menyukainya. Gadis itu, satu yang pertama dari empat. Mark tak sengaja memergokinya bergerak一di mulai dari kejang kecil di jari-jemarinya一setelah melakukan perbincangan satu arah dengan gadis yang lain di kamar sebelah.

Di kamar sebelah itulah, Mark menghabiskan setengah jam diam, menuntaskan rindu, dan berceloteh dengan seseorang yang tidak menanggapinya. Konyol memang, tetapi di saat yang sama juga melegakan. Rupanya ada semacam kekuatan magis dalam mengungkap perasaan di samping orang yang entah bisa mendengarmu atau tidak.

"Bangun," kata Mark, memohon. "Ayo bangun. Ada banyak hal yang mesti kita omongin. Kamu harus bangun."

Gadis yang lain itu tidak kunjung membebaskan diri dari mimpi misterius yang membelenggunya, jadi di sinilah Mark sekarang. Kali ini dia tak perlu mengucapkan apa-apa. Gadis yang ini menjawab harapan Mark dengan suatu pemahaman yang tidak membutuhkan kata-kata. Kelopak mata gadis itu mengerjap, seperti tirai dihempas angin, menampakkan sepasang pupil gelap yang menyorotkan keheranan.

"Halo," Mark menyapa, pelan supaya tak mengagetkan, "Gimana perasaanmu? Kamu mau minum?"

Sapaan Mark berhasil merebut perhatian gadis itu yang tersita oleh lampu di langit-langit ruangan. Gadis itu menoleh. Bibir tipisnya terbuka, menghasilkan suara serak yang dengan lirih bertanya, "Siapa ... Kamu?"

Gadis itu adalah Karina.

Usulan Jaemin untuk memasak dan menyetok puding di lemari es benar-benar brilian. Tidak hanya membantu, tamu mereka juga menyambut positif ide tersebut. Dia menyantap dengan lahap. Dia minum, minum, dan minum, memegang gelas air yang yang Mark suguhkan bagai para pencari harta memegang emas.

Namanya Yoo Karina.

Untuk sementara, Mark harus puas dengan sekadar nama. Karina kepayahan. Kulitnya begitu pucat hingga terkesan transparan. Tidak etis mendesaknya bercerita meski Mark sangat ingin tahu kejadian apa yang menimpa penghuni gudang sebelum kedatangannya, perlakuan yang dia terima, bagaimana dia berakhir di sana. Mark duduk di pojok dengan sabar. Renjun, Jisung, dan Jeno bergerombol di pintu masuk. Wajah mereka masih kusut, digelayuti kantuk. Jaemin-lah yang paling aktif, sekaligus yang paling lelah, berjalan kesana-kemari meracik obat bagi Karina. "Minum ini juga."

"Apa ini?"

"Air dicampur oralit." Jaemin menerangkan. "Aku kasih kamu dua sachet yang dosis 50 ml karena dehidrasi kamu kayaknya tergolong sedang."

Karina terlalu lemas atau terlalu lugu untuk membantahnya. Dia menurut saja. "Jadi ... Kalian temen Grace dan Haechan?"

Mark membayangkan Haechan mengangkat alis dan Grace bersedekap saat dia menyahut, "Ya, mereka bagian dari tim ini."

"Dan Aru, dia mati? Kalian yakin?" Karina lebih terdengar geram ketimbang gembira menerima berita itu.

Secara rinci, Mark menguraikan kembali kegiatan bertamunya ke Arena kemarin, di awali sejak dia dan Jeno melakukan pengintaian. Hari ketika rasa takutnya tumpul dan matanya dibutakan dendam. Mark memberitahu Karina inilah yang mereka bawa: solidaritas, nyali, serta kepercayaan terhadap sesama rekan. Kemudian Aru menyerang balik dengan granat asap, peliharaannya, dan menorehkan luka yang tidak membekas di fisik saja.

Mark memamerkan lengannya yang terbalut perban, menyingkap kaus lengan panjangnya. "Ini kenang-kenangan dari Arena, tapi aku berani jamin, mereka semua mati. Aru bukan pengecualian."

Karina mengangguk, lega. "Sungchan, apa dia nggak apa-apa? Di mana dia? Kalian juga nolong Sungchan kan?"

"Ah," tutur Jeno, lebih dulu mengerti, "Si cowok jangkung? Dia temen kamu? Sung ... Chan?"

"Ya, di mana dia?" ulang Karina cemas.

"Di kamarku, bareng Haechan." Jaemin menimpali. "Keadaannya nggak parah. Mereka harus berbagi karena keterbatasan ruang. Kamar di rumah ini cuma ada tiga. Grace, lain lagi, dia di kamar Mark-hyung, sendirian."

"Grace ...." Karina tercekat, seakan tersedak napasnya sendiri. "Mungkin kalian harus awasi Grace. Jangan biarin dia sendirian."

"Kenapa?" Segala hal mengenai kakaknya membuat Jisung penasaran.

"Dia ... dia nggak stabil, katakanlah gitu. Grace sedih, karena keadaan, Haechan, dan terutama, adiknya."

Renjun melirik Jisung di sebelahnya. "Kenapa sama adiknya?"

Tak menyadari lirikan diam-diam itu, Karina menyambung, "Di gudang, Grace sempet nangis setelah Aru bilang adiknya meninggal. Kalau nggak salah namanya Jisung. Iya, Jisung."

"Eh?" Saking kagetnya, Renjun sampai tak jadi berkicau.

Ekspresi Jisung terlihat sangat unik, gabungan antara tercengang, takjub, dan terkesima. "Jadi ... Noona ngira ... Si Jisung ini udah, hm, meninggal?"

"Ya, persis." Karina menandaskan larutan oralitnya, lalu meletakkan gelas di atas piring puding yang habis dilahapnya. Dia mendongak saat tidak ada yang menyeletuk, dan mendapati laki-laki di sekitarnya kompak menunjukkan raut berpikir keras. "Apa aku salah?"

Mark memajukan kursi yang diseretnya dari dapur, berancang-ancang membuka wawancara. "Karina, kalau kamu nggak keberatan istirahatmu ditunda, boleh kamu ceritain apa aja yang terjadi di gudang? Jangan ada yang dilewatin, entah menurut kamu itu penting atau nggak."

Karina bersandar semakin rapat di bantalnya, memandang mereka bergantian. Untuk ukuran gadis yang terbangun di rumah asing dan dikelilingi orang-orang asing pula, dia tergolong cukup tenang. Dalam diam, dia mengamati, menilai situasi, seperti mencari ... sesuatu? Tiba-tiba Karina tersenyum. "Nggak, aku sama sekali nggak keberatan. Tapi aku punya satu pertanyaan lagi."

"Apa itu?"

"Begini, Mark, selama dua hari di gudang, aku dan Grace sebenernya ngobrolin beberapa hal lain selain adiknya. Salah satunya tentang dua cewek ini, temenku juga. Nama mereka Ryujin dan Giselle ...."

Tak seorang pun dari kelima laki-laki itu siap mendengar lanjutan kalimat Karina. Bahu Mark menegang. Mulut Jeno terbuka tanpa suara. Sementara Karina terus mengoceh一riang, antusias, dipenuhi harapan. Sesekali dia menggunakan tangan untuk menegaskan maksudnya, seperti saat mendeskripsikan, "setinggi ini" atau, "rambutnya sepanjang ini".

Sekujur tubuh Mark kebas. Dia tak ubahnya sedang menonton sebuah pesawat terjun, menukik turun, turun, lantas hancur. Tak berbeda dengan harapan Karina. Mendadak Mark teringat hari pertamanya bertemu Ryujin dan Giselle, bagaimana gadis-gadis itu bercerita mengenai teman-teman yang mereka asumsikan meninggal. Mark lupa nama mereka. Mark tak pernah memikirkan mereka kecuali sekilas saja. Ketika dia berpaling pada Jeno, nampak jelas Jeno sama terguncangnya. Mereka serempak membisu, termangu tak berdaya.

"Apa kalian kenal mereka?"

Baik Sang Pemimpin atau wakilnya itu tak mampu membalas pandangan Karina, menghapus senyumnya, dan mematahkan harapannya, dengan mengaku, ya, mereka mengenal Ryujin dan Giselle, dan Karina bisa mengunjungi keduanya di halaman, tepatnya dua meter di bawah tanah一membawa bunga, sekaligus mengucapkan selamat tinggal.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Beberapa jam kemudian, ketika Karina merasa lebih kuat dan Sungchan pun telah memenangkan pertarungannya sendiri, Mark dan Jeno membantu mereka berjalan ke halaman, menuju makam yang ditandai dengan sederhana. Tak ada nisan, hanya sejumlah kecil bunga yang diperoleh dari tanaman di sekitar. Batu-batu diletakkan di atasnya, tidak istimewa, tetapi penghargaan, dan penyesalan, bagi gadis-gadis yang terlelap di sana tak perlu diragukan.

Sungchan, si pemuda jangkung, tidak banyak bicara usai diberi keterangan. Dia cenderung menyetujui apa yang disampaikan Karina. Namun dia tidak bersikap sepasif di kamar saat berada di makam teman-temannya. Air mata menggenang di mata Sungchan, yang gugur dalam sekali kedipan. Karina bersimpuh, menangis tersedu-sedu.

Bagian paling ironis dari peristiwa itu adalah fakta bahwa Ryujin dan Giselle sejatinya tak pernah ditinggalkan, dan justru mereka yang jadi pihak yang meninggalkan.

Park Jisung mendekam di dapur, bernapas perlahan-lahan, tidak bergerak, kecuali saat mencelupkan sebutir gula kubus ke cangkir tehnya. Jisung mengaduk teh itu, membiarkan gulanya larut. Dia tidak menghindar. Dia tidak bersembunyi dari siapa-siapa. Setidaknya itulah yang dia tanamkan dalam hatinya. Jisung hanya ingin menyendiri. Persis seperti Grace yang memilih kabur daripada meluruskan kesalahpahaman. Dasar. Dia ternyata lebih mirip dengan Grace dari yang disangkanya. Mereka sama-sama pengecut. Kakak-adik tidak ada bedanya.

Kesendirian Jisung sialnya tidak berlangsung lama, karena selanjutnya Mark masuk. Rautnya kelam. "Kamu nggak nemenin Grace?"

Jisung mengangkat bahu, mengamati Mark yang tak keruan. Jeno mungkin sering tampak tertekan, tetapi Jisung lebih tahu; Mark tak kalah sering menghukum dirinya sendiri. Contohnya saat dia gagal mengejar Aru di percobaan pertama. Contohnya sekarang. Dari dapur pun, Jisung masih bisa mendengar sedu sedan Karina di kamar Ryujin. Itu membuat duka di wajah Mark kian nyata.

"Kamu udah makan?" Mark bersandiwara, memainkan peran sebagai seseorang yang telinganya bermasalah.

"Ya." Jisung berdusta. "Udah." Padahal mustahil dia makan sambil menelan kesedihan sepahit ini. Jisung tidak memberitahu Mark bahwa satu-satunya alasan kakinya seolah menempel dengan meja makan adalah karena dia menilai dapur tempat yang paling netral. Jisung tidak sanggup menengok Grace yang "terlelap" terlalu lama. Bahkan lebih aneh lagi baginya menyaksikan Haechan pingsan. Haechan yang itu一yang selalu amat percaya diri, paling nekat, rupanya bisa terkalahkan.

Mark membuka salah satu botol air yang dijarah dari Arena, dan menenggaknya. "Jaemin dan Renjun, di mana mereka?"

"Berangkat nyari tambahan oralit. Jaemin-hyung bilang stoknya emang dikit."

"Oh. Jaemin mestinya istirahat." Tatapan Mark kosong. "Aku lupa. Suruh dia istirahat pas pulang. Aku mau ngecek一" Mark menunjuk kamar, tidak begitu jelas, dan menghilang.

Jisung tidak menyusulnya. Dia setia duduk, menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Barangkali seharusnya dia menerima ajakan Renjun dan Jaemin saja. Sudah terlambat. Dia menggeleng, berpaling ke jendela, menunggu tanpa kepastian.

Park Jisung menunggu bagaimana hari yang berat itu akan berakhir nantinya.

Di dalam kamar, sebaliknya, Mark tak tahan duduk tenang.

Pertama-tama dia mengecek Haechan yang menguasai kamar itu seorang diri karena Sungchan tengah bersama Jeno atau Karina, entahlah. Mark muak menunggu, lelah dipermainkan, dan terutama, benci menjadi tidak berguna. Namun tak ada yang bisa dia lakukan untuk Haechan. Ini adalah jenis pertarungan yang tidak dapat dia intervensi, antara Haechan dan infeksinya.

Kulit di sekitar luka Haechan memerah, bengkak, dan masih mengkhawatirkan kendati Jaemin sudah membersihkannya. Suhu tubuh Haechan sangat tinggi sampai dia menggigil. Dia tidak bisa minum, tetapi semalam Jaemin berusaha memasukkan oralit lewat sendok sedikit demi sedikit. Jaemin juga mencoba antibiotik, lalu mengompresnya. Sayang, demamnya tidak kunjung reda. Haechan-lah yang kondisinya paling gawat dari mereka berempat.

Mark terkekeh mengenang perselisihan keduanya yang kini menyisakan api kecil yang nyaris padam. "Kamu," ujarnya, "Perlu berterima kasih sama Jaemin." Itulah yang dia katakan sebelum minggat agar Haechan memperoleh suasana yang lebih tenang. Pintu dia tutup, memisahkannya dari Haechan yang terbaring di balik selimut hijau, terus melawan.

Mark beranjak ke kamar Grace. Dia menyelinap tanpa mengetuk. Salahnya. Seseorang yang ada di dalam seketika terlonjak, berupaya beringsut menjauh di ranjang sempit itu. Darah Mark seakan membeku di nadinya. "Grace!"

Grace, separuh duduk dan separuh terlentang, mencengkeram seprai. Napasnya tersengal-sengal. Matanya nyalang ketakutan. "Mark?"

Kaki Mark bergegas menghampirinya. "Hei, hati-hati, jangan bangun dulu. Kamu pusing?"

Grace saat itu setali tiga uang dengan Grace pada hari pertama penyerangan di sekolah. Kebingungan merampas sebagian besar kecakapannya. "Mark, di mana ini? Tempat apa ini?"

"Tempat yang aman. Ini rumah yang一"

"Ini bukan gudang?"

Berniat menenangkan, Mark mencekal masing-masing pundak gadis yang gemetaran itu, meski tidak terlampau kencang mengingat lokasi lukanya. "Bukan, ini bukan gudang. Malah, Arena udah nggak lagi ada. Minum?" Mark menuntun gelas air ke bibirnya.

Grace minum dengan patuh, lantas mengernyit. "Apa maksud kamu?"

"Maksud aku, kamu nggak perlu takut. Jeno udah bakar tempat itu."

"Aru一"

"Mati." Mark menukas, tidak repot-repot menyamarkan kepuasannya. "Aru mati. Percaya sama aku. Mereka semua mati, Grace. Sekarang nggak apa-apa. Kamu aman."

"Aman?" Grace skpetis. Sepintas tatapannya tidak fokus, linglung. "Jadi kamu dan Jeno ... Kalian ...."

Kepala Mark terangguk mantap. "Bukan cuma aku dan Jeno, ada yang lain juga. Kita dateng buat kamu dan Haechan, walaupun agak terlambat. Aku minta maaf."

Sifat keras kepala Grace menyembul menembus kabut kebingungannya. "Padahal kalian nggak perlu ngelakuin itu ...."

"Ya, perlu." Mark bersikeras. "Karena terlepas kamu mau ngakuin atau nggak, kamu dan Haechan tetep bagian dari tim ini. Dan kita masih peduli."

Upaya Mark menghibur Grace terbukti gagal total. Grace menunduk, dagunya menyentuh dada. "Tapi, Mark, aku bikin kacau semuanya. Aku kehilangan semuanya. Mereka yang berarti ... pergi. Aku sendirian."

Tak patah arang, Mark mengangkat dagu Grace, memaksa mata mereka bertautan. "Grace Moon yang selalu lari, gimana kalau kamu berhenti sebentar dan ngakuin kamu salah?" Lalu tanpa menanti reaksi, Mark berseru lantang, "Jisung!"

Kurang dari semenit, Park Jisung muncul di ambang pintu一seorang adik, keluarga, dan pengingat bahwa Grace masih punya alasan untuk tinggal. Mereka adalah hadiah bagi satu sama lainnya. Jisung hendak bertanya apa yang Mark inginkan saat dia menyadari kakaknya telah membuka mata. Jisung menelan ludah. Dia maju selangkah, keraguan menyatu dengan harapannya. "Noona ...."

Hal berikutnya yang Mark tahu, ketika Jisung sudah merapat ke tempat tidur adalah Grace yang bangkit tertatih-tatih dan membungkus Jisung dalam pelukan erat, erat, seolah dia tenggelam dan Jisung merupakan pelampung penyelamatnya. "Jisung," kata Grace tergagap. "Jisung." Grace berkata betapa dia menyayanginya ... sesuatu yang ingin didengar Jisung sejak lama.

Mau ngintip lagi Grace rambut pendek, chings? Ini dia (☞゚∀゚)☞

Tapi sayang sekali manteman, sekarang dia udah pakek hair extension ༎ຶ‿༎ຶ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top