80. Kita Menepati Janji I
Zombie terus berdatangan. Banyak sekali. Sulit menghitung jumlah pastinya.
Para mayat hidup berjalan ke arah dua manusia一bagian dari segelintir orang yang masih bertahan一yang bukannya bekerja sama, justru berusaha saling membantai.
Yang lebih tinggi dari mereka menekan batang tenggorokan yang lebih pendek. Dengan satu tangan, hanya satu tangan, dia mendorong leher lawannya hingga terhempas ke pintu sedan dan otomatis menutupnya. Kerangka besi kaca spion yang pecah menusuk kemeja si pendek, merobeknya, menggores perutnya. Tak ada apa-apa lagi yang melindunginya selain kemeja itu. Si jangkung terbahak. "Lemah," desisnya. "Nggak heran temenmu satu per satu meninggal."
Suara tercekik meluncur dari bibir Mark, digantikan jeritan tanpa kata. Mark tahu akan ada waktu untuk mengutuk keadaan, menangis, mengamuk. Namun, tidak sekarang, tidak sebelum dia mengirim bedebah ini ke neraka. Mark meloloskan diri dari cengkeraman Aru, berniat meninju pipinya. Terlalu buru-buru一dia malah meninju udara! Pemuda yang senantiasa menyeringai di hadapannya sedikit pun tidak terluka.
Aru menyambar kerah kemeja Mark saat dia masih terhuyung-huyung. "Perlu dibantu?" Dia mengangguk menjawab pertanyaannya sendiri, dan melompat-lompat seperti petinju yang hendak mengawali serangan. Pukulan telak bersarang di dagu Mark, tak terelakkan. Aru berseru gembira, "Nah, gitu caranya mukul orang!" Dia girang bukan kepalang.
Mark jatuh telentang. Darah dari luka di kepalanya menetes-netes ke aspal. Dia tidak menghiraukannya. Kala itu, Mark kebas, tidak merasakan apa-apa selain hasrat membalas dendam. Matanya sepenuhnya tertuju pada Aru, tak pernah lepas.
"Masih belum?" Aru mendekat. Lebih dekat. Membungkukkan badannya. "Kenapa kamu sekeras kepala ini? Buat siapa?"
Memang belum selesai. Mark belum tamat. Tanpa bicara dia mengangkat kakinya dan menendang dada Aru kuat-kuat. Itulah pembuktian. Sebuah pernyataan bahwa dia bisa melawan, bahwa dia takkan berdiri saja sebagai korban. Aru berhasil Mark buat terkapar, membalikkan posisi mereka.
"Iblis!" Teriaknya murka. Belum pernah Mark semarah itu seumur hidupnya. Giliran perut Aru yang jadi sasaran. Kaki Mark menghunjam ulu hati Aru dalam-dalam. Semua rasa frustrasinya, rasa muaknya, tersalurkan pada target yang tepat. Dan sesaat, Mark bahkan percaya kemenangan berada di genggamannya. Tidak mudah, tetapi mungkin didapat.
Seandainya terjadi pada orang lain, serangan-serangannya akan cukup memberi kisah ini akhir bahagia yang Mark dambakan. Namun ini Aru, musuh lama yang selalu punya cara-cara baru. Mark tidak hidup dalam mimpi, atau dunia di mana jalan keluar bisa diraih tanpa memeras keringat. Aru menangkap pergelangan kaki Mark, dan mendorongnya, semudah bila yang dia singkirkan adalah kaki balita. "Iblis?" Gelak tawanya pecah. "Jadi siapa malaikatnya? Kamu yang biarin temen-temenmu mati?"
Mark jatuh lagi, terduduk kali ini. "Tutup mulutmu, bajingan!"
Mencoba memerintahkan sesuatu pada Aru itu sia-sia. "Omong-omong mana Giselle? Dan si ... Chenle? Di mana mereka, Kapten?"
Amarah di wajah Mark memudar hanya untuk digeser tempatnya oleh kepedihan. "Jangan berani-berani nyebut nama mereka!" Kepedihan itu lantas mengendalikannya agar berbuat sesuatu, tak peduli keputusan yang dia ambil benar atau keliru.
Mark melakukan satu-satunya hal yang terpikirkan. Gerakannya kaku saat dia melompat menerjang Aru, lebih cepat dari yang normalnya bisa dilakukan oleh pemuda yang terluka. Lebih gegabah, mengkhianati kebiasaannya yang selalu berpikir panjang. Tangannya membuat gerakan setengah lingkaran, menargetkan mulut Aru yang terlalu banyak bicara. Sayang, siasatnya terbaca. Aru meliukkan lehernya, sukses mengelak.
Aru, dialah ular dalam bentuk manusia. Aru menyerang bahu Mark yang cedera, menekuknya ke arah yang salah. Mark meraung kesakitan, satu pukulan dia layangkan一nekat dan putus asa一tak disangka menghantam pipi Aru, meski lebih lemah dari yang bisa dia janjikan.
Mereka sama-sama mundur dan Aru mengutuk-ngutuk.
Bedanya, Mark mundur lebih jauh, sampai dia menabrak sesuatu一basah, padat, dan membusuk. Mati sekaligus hidup. Berada di antara keduanya. Secercah rasa ngeri menggelitik saraf-saraf Mark, sosok yang dilihatnya saat berpaling bukanlah sosok yang ingin dia temui. Seorang zombie menggeram, mengincarnya dalam keadaan lapar.
Kenyataan mengenai adanya ancaman lain, yang tak kalah besar, membuka mata Mark lebih lebar. Tergesa-gesa menyelesaikan ini一betapa pun dia sangat ingin一bukanlah jawaban. Mark menangkis zombie itu sebelum menyentuhnya, lalu secara sadar, tanpa keraguan, dia menjepit leher si zombie dan melemparkannya pada Aru bagai menyodorkan bingkisan ulang tahun, alih-alih membunuhnya.
Tidak siap menerima hadiah itu, tak urung Aru gelagapan. Namun, dia bereaksi sigap dengan mengeluarkan pistolnya. Pistol yang一bukannya Mark tidak tahu一sengaja disimpan hanya karena membunuh tanpa menyiksa akan membosankan. Satu tembakan, dan zombie itu tewas. Isi kepalanya berceceran. "Sialan一" Sumpah serapah berhamburan dari mulutnya.
Semakin banyak zombie yang menyusul rekan mereka. Cukup jauh sehingga bisa diabaikan, tetapi juga tidak terlalu jauh dan masih menjadi ancaman. Baru satu. Mark memandang darah kehitaman yang mengalir ke kakinya. Dia akan menggunakan semuanya jika harus. Segala cara yang terpikirkan olehnya. Dia tertawa. Gantian Mark yang tertawa. "Kenapa? Takut? Kaget?"
Amarah Aru terpancing. Lapisan tipis sikap konyolnya retak, kemudian terpinggirkan. "Apa?" hardiknya. "Mau jadi makanan mereka?"
Mark tersenyum kecil. "Itu alternatifnya. Kalau ternyata rencanaku nggak berjalan lancar, kalau ternyata aku nggak bisa pergi dari sini sendirian ...." Dia mengedikkan bahu. "Aku lebih milih kita mati sama-sama."
Ketika Park Jisung membuka mata, dia disambut cahaya terang menyilaukan yang menusuk matanya.
Jisung mengerjap, berusaha mengusir kegelapan. Kanopi dedaunan di atasnya menyaring cahaya sedemikian rupa, tetapi masih terlalu banyak untuk ditanggungnya. Dia mencoba berguling, dan langsung menyesal mendapati menarik napas terasa sakit. Benda lembut yang entah bagaimana diposisikan sebagai bantal menyangga kepalanya saat dia terbatuk-batuk parah. Paru-parunya seakan diremas-remas. Sakit sekali一
Seseorang menepuk bahunya, lalu menyerahkan tabung mungil yang Jisung kenal. Inhaler. Miliknya. Tangan yang mengangsurkan inhaler itu kecil dan putih, kecuali salah satu kukunya yang sedikit ternoda warna merah. "Ambil ini." Renjun menyarankan.
Jisung menerimanya. Dia menghirup kandungan inhaler itu beberapa kali sampai yakin paru-parunya berhenti berulah. Dia bernapas lagi, lambat-lambat, dan lega sebab kali ini prosesnya tidak menyakitkan.
"Udah mendingan?" tanya Renjun. "Mau minum?" Pemuda itu menyerahkan sebotol air mineral.
"Renjun-hyung." Jisung bangkit mengandalkan sikunya dan mengamati sekelilingnya. Mereka ada di tempat terbuka, di samping sebatang pohon rindang di pinggir jalan. Sedari tadi dia berbaring di tanah, memakai jaket merah yang dilipat rapi untuk bantalnya. "Kita di mana?"
Renjun sendiri bersandar di pohon itu. Air dan sebungkus biskuit berada di pangkuannya, bersama sepucuk pistol. "Nggak jauh dari Arena. Ini一" Dia mengacungkan biskuitnya. "一hasil dari bobol mobil orang."
"Kenapa kita ada di sini?"
Renjun melongo. "Karena kamu pingsan, dan setahuku, orang yang pingsan nggak bisa jalan ke tempat yang aman. Makanya aku bantu."
Jisung menutup matanya sekejap dan menggeleng. "Maaf."
Bukannya menjelaskan apa yang terjadi, Renjun justru menyambung gurauannya. "Harus aku akui, Jisung, buat ukuran bocah 15 tahun, kamu lumayan berat. Lain kali kamu yang mesti nyariin aku camilan. Ini aku anggap utang."
Senyum ceria Renjun yang dibuat-buat tak mampu meredam kegelisahannya. Renjun hanya terlalu baik, dia tidak ingin Jisung merasa bersalah. Setelah sekian hari tinggal serumah dengannya, Jisung kini bisa memahami kapan Renjun benar-benar bercanda dan kapan dia berpura-pura. Jisung membuka botol airnya dan minum, lalu berdiri dan mencuci wajahnya. Begitu air yang dingin itu menyentuh kulitnya, seketika dia merasa lebih baik, lebih segar. "Jadi aku pingsan, dan sebelumnya?"
Renjun bimbang. "Rim ... Kamu inget? Mark-hyung beresin dia."
"Di mana Mark-hyung sekarang?"
"Dia ngejar Aru dan belum balik. Lihat." Renjun menunjuk ke arah pukul tiga. Rupanya bukan tanpa alasan dia memilih piknik di sini. Dari tempatnya duduk, Renjun akan memperoleh akses mengawasi gerbang Arena. "Belum ada yang masuk ke sana."
"Kalau keluar?"
"Sama, tapi ada sinyal flare gun dan suara tembakan."
Semuanya berangsur-angsur jelas di benak Jisung. Mark pergi. Aru belum mati. Sementara dia enak-enakan tidur dan merepotkan Renjun selama ... Jisung menengadah ke langit: sinyal flare gun yang dimaksud Renjun sudah lenyap. Berarti dia pingsan cukup lama. "Yang lainnya gimana?"
"Entahlah." Renjun menawarkan biskuit, yang Jisung tolak, lantas dia habiskan. Bungkusnya dia remas hingga berbentuk bola. Dia menatap Jisung lekat-lekat. "Cuma ada satu cara buat mastiin keadaan mereka."
Ini pertarungan para pemimpin.
Yang terakhir. Acara puncaknya. Dan demi Tuhan, yang akan Mark tuntaskan. Bisa dibilang, mereka, dia dan Aru, sendirian. Tak ada bantuan dari kedua sisi. Aru takkan bisa memanggil teman sniper-nya untuk menghabisi Mark diam-diam, dan Mark tidak akan dibantu Renjun atau salah satu dari si kembar. Ini hanya tentang mereka, tanpa partisipan.
Namun, sementara Aru tersenyum, luar biasa santai, Mark merasakan amarahnya naik, naik, dan membakarnya seperti demam. "Ayo." Aru mengundang, memutar-mutar pistol di salah satu ruas jarinya. "Peti matimu udah siap, Kapten. Siap dihuni."
Mark tidak, tidak bisa meladeni keceriaannya. Kematian tidak cukup lucu untuk ditertawakan. Dihampirinya Aru dengan wajah datar. Tinju sekokoh batu dia layangkan, dan memulai. Orang-orang jangkung seperti Aru cenderung mahir menghadapi pukulan-pukulan atas, jadi Mark mengincar rahang alih-alih pipinya. Bahu Mark melengkung dalam sudut tajam, dan Aru yang gagal mengantisipasi tidak cukup cepat menyentakkan kepalanya ke belakang. Tinju Mark mengena telak. Aru terkejut, menggeleng. "Whoa, lumayan juga!" Darah dari pipinya yang beradu dengan gigi mengalir dari sudut bibirnya.
Rasa sakit yang menggerogoti bahunya diabaikan Mark. Dia mengubah target menjadi leher Aru. Dia ingin mematahkan leher itu, tak ubahnya Aru yang kerap mengoceh mengenai hobinya yang suka menginjak-injak orang lemah. Mark ingin membuktikan一
Aru memblok pukulan itu, memakai lengan. Jurang perbedaan usia di antara mereka, meski hanya terpaut beberapa tahun, menganga. Mark adalah remaja yang beranjak dewasa, sedangkan Aru merupakan pria dewasa itu sendiri一massa ototnya lebih terbentuk. Ditambah lagi Aru tidak terluka. Aru tidak perlu menanggung perihnya goresan udara dengan kulit yang terkoyak.
"Kuda-kudamu salah." Aru mengoreksi, memelintir lengan Mark, menyebabkan rasa sakit menyebar di sepanjang punggungnya. "Caramu bertumpu juga. Itu berpengaruh ke keseimbangan." Lalu dia mengakhiri kuliahnya dengan menyepak kaki Mark, menjatuhkannya dalam posisi tertelungkup.
Mungkin dia benar. Mark tidak tahu. Mark memang minim pengalaman dalam bela diri, dan saat ini, bukan teknik, dia lebih mengandalkan amarahnya yang liar. Panasnya moncong pistol yang ditempelkan di poninya membuat Mark menengadah. Aru tersenyum. "Gimana kira-kira pendapat temen-temenmu kalau tahu senjata mereka dipakek buat robek otakmu? Kapten mereka sendiri! Tapi setelah dipikir-pikir, mereka nggak akan bisa ngasih pendapat karena udah mati."
Mark menggertakkan gigi. "Tutup mulut," sergahnya. "Aku bilang tutup mulut!" Dan dia menerjang Aru usai mengutarakan komentar itu. Satu-satunya orang yang harus mati di penghujung pagi ini adalah Aru. Mark meraih pergelangan tangannya dan menekuknya ke bagian dalam. Menghasilkan bunyi khas tulang-tulang yang retak.
Pistol meluncur turun ke aspal, Aru menyumpah-nyumpah. Mengingat pistolnya sendiri berada di mobil, Mark berusaha merebut pistol itu. Ternyata dia terlambat. Aru lebih suka menyingkirkan senjata tersebut ketimbang menyerahkannya pada Mark. Dan saat Mark berpaling, sepersekian detik dalam pikiran untuk mengejarnya, Aru menyambar kerah kerah kemeja Mark.
Sejenak, keberuntungan seolah mengedipkan mata pada Mark. Aru kehilangan satu fungsi tangannya一dan dia sedang sangat kesakitan. Nyaris terlalu mudah, Mark membenamkan kuku-kukunya ke kulit Aru dan memaksanya melonggarkan cengkeraman.
Dia hanya tak melihat kaki Aru bergerak.
Aru mengayunkan tendangan ke rusuk Mark, menghempaskannya ke bangkai kendaraannya yang masih berasap. Nyeri tajam menembus ke jantung Mark, mengacaukan ritme napasnya. Mematikan usahanya. Melumpuhkan dia. Mark mengerang, tak kuasa menahan, terlalu sakit untuk berpura-pura kuat.
Aru, pria terakhir yang berdiri. Dia memegangi tangannya seperti anak kecil memegangi mainan mereka yang rusak, dan menendang Mark lagi. "Dasar keparat!" Kemudian sekali lagi, lebih bertenaga dari sebelumnya. "Keparat. Keparat! Tanganku jadi cedera kan." Dia meringis, sudah berhenti tersenyum sekarang. "Kamu lebih bagus dari yang aku kira, Kapten. Kejutan. Nggak terduga. Tapi di permainan ini cuma ada satu pemenang."
Erangan Mark berubah jadi rintihan yang semakin lantang tatkala Aru menekankan sepatu ke bahunya. "Dan bukan kamu orangnya. Seandainya nggak ada mereka ...." Dia melirik ke samping dengan pandangan menilai; lima meter dari mereka, para zombie setia berdatangan. "Kita masih bisa main-main lebih lama. Kamu beruntung."
Lalu dia berbalik dan Mark ditinggalkan. Dia menjemput tasnya, mengabaikan pistol yang dia tendang lebih dulu dan terlempar lebih jauh. Aru berjongkok. Namun, membuka tas yang dilengkapi ritsleting dengan satu tangan cukup sukar.
Di saat yang sama, Mark merangkak ke mobilnya.
Sesenti demi sesenti, Mark merapat ke sedan itu. Dia berpegangan pada apa saja yang ada一pintu mobil, kaca, apapun yang bisa membantunya tetap berpijak pada kenyataan dan kesadaran. Dia tidak boleh pingsan. Belum, meski rasanya dia sudah separuh jalan ke sana. Mati-matian Mark berupaya membuka pintu mobil tersebut, sesuatu yang mestinya mudah dilakukan seandainya jemarinya tidak berlumuran darah. Sedikit lagi ... Tidak! Terlalu licin.
Mark tidak menyerah. Dia mencoba ulang, mencekal handle pintu mobil tersebut lebih kuat. Menariknya. Pintu itu, atau Tuhan, kali ini berpihak padanya dan terbuka. Mark menyelinap ke dalam.
Aru kembali berdiri berbekal senapan mesin ringan Daewoo K3一senjata yang dapat diandalkan untuk meledakkan kepala seseorang. Asli buatan Korea. Dia tertawa, menikmati ironi bagaimana senjata ini hendak dipakainya untuk menghabisi seorang bocah berdarah campuran. Dia memutar tumitnya. Tawanya musnah. Mark tidak ada, tetapi ada tetesan darah yang mengarah ke sedan.
Dasar keras kepala. Dia masih sanggup melawan rupanya. Berasal dari mana sebenarnya cadangan tenaga bocah ini? Aru mendengus. Dengan hati-hati dia menodongkan K3 ke bagian kursi pengemudi mobil. Dua kali berturut-turut dua peluru dia luncurkan. Dia menunggu. Dia mengawasi bagian bawah mobil dan menanti banjir darah. Aru menebak, darahnya akan seperti air terjun yang deras. Namun jeritan dan darah itu tidak kunjung muncul.
Apa yang terjadi?
Satu ....
Aru beringsut ke sedan itu, menjaga derap langkahnya tetap tenang.
Dua ....
Aru mengepit K3-nya, siap bila sewaktu-waktu harus digunakan dan dengan tangannya yang sehat, dia meraih handle pintu.
Tiga ....
Aru membukanya!
Mobil itu kosong.
Aneh sekali. Kursi mobil itu hanya diisi serpihan kaca yang pecah, jejak darah, dan udara yang bergeming. Di mana Mark? Bukankah tadi dia masuk ke sini? Tidak mungkin dia pergi jauh dengan luka-lukanya, terlebih mengingat sisi lain mobil ini berbatasan dengan trotoar, bukan jembatan tempat dia bisa melompat untuk bunuh diri atau melarikan diri. Sekadar trotoar. Trotoar. Mata Aru terbelalak. Itu berarti Mark ada di一
Aru berputar kilat, mengantisipasi bagian belakang truk, dan melontarkan setengah lusin peluru.
Namun.
Mark yang telah berjalan di trotoar dan memutari truk itu sedang dalam posisi berlutut!
Tak satu pun peluru-peluru kiriman Aru menyerempetnya. Seluruh peluru itu melesat di atas kepalanya一berbahaya tetapi tidak mematikan. Dibidiknya betis Aru, memastikan sasaran terkunci rapat, dan pada gilirannya, membalas.
Lengan Mark berguncang akibat efek recoil yang ditimbulkan. Angin meniup rambut dari dahinya sehingga dia bisa menyaksikan peristiwa itu dengan jelas. Aru yang tak terkalahkan, Aru yang memiliki seribu cara untuk hidup, berteriak, kombinasi dari murka dan rasa sakit. Rompi anti-peluru tidak melindungi kakinya. Dia jatuh terjengkang.
"Bangsat," makinya. "Bangsat一"
Mark menghampiri dan menembak betisnya yang lain ketika Aru menunjukkan tanda-tanda akan mengoceh. Teriakan Aru kian melengking. Mark memandanginya. "Ini bukan punyamu." Dia memungut K3 yang ikut jatuh dan menyatukannya ke tasnya.
Tiba-tiba Aru tergelak一suara mengerikan yang menyeruak bersama ludah yang berhamburan. "Kamu kira udah menang, ya? Kamu kira ini akhirnya?" Mark mengerutkan kening, dan Aru melanjutkan, "Temen-temenmu tetep mati. Mati." Dia terkekeh. "Mereka mati!"
Raut wajah Mark tidak berubah, walau dalam hati kebenciannya berkobar dan tidak akan padam dalam waktu lama. Dia terus menatap Aru, bertanya-tanya bagaimana bisa seseorang tersesat sebegitu jauhnya? Lalu dia teringat ucapan Jisung dan menirukannya, "Kenapa?"
Jawaban Aru tidak menjawab baik pertanyaan Jisung atau Mark. "Kenapa nggak? Mereka yang lemah pantes mati."
Ekspresi Mark menampakkan kejijikan mutlak. "Kamu," ujarnya. "Terlalu rendahan buat disebut manusia." Untuk ketiga kalinya, dia mengaitkan jari telunjuk ke pelatuk dan menekan, menghadapkan moncong pistolnya ke leher Aru hanya agar dia sekarat sedikit lebih lama.
Aru tersedak dan tersedak, menyemburkan darah. Dia menggeliat-geliat tak keruan, mencakari lehernya. Matanya melotot oleh ketidakpercayaan dan ... Kegilaan—jenis kegilaan yang tak sanggup dilunturkan kematian. Menjadi bagian dari dirinya, tak terpisahkan. Bagai iblis dan kesombongannya.
Mark tidak tinggal untuk menyaksikannya meregang nyawa. Dia pergi dari tempat itu, mendekap tas Grace dan Haechan di dadanya dan tidak menoleh ketika segerombolan zombie menimpa Aru, memangsa apa yang tersisa darinya. Pekikan mereka yang sibuk makan mengiringi kepergiaan Mark. Ini bukan akhir. Aru benar soal itu. Mark masih harus kembali ke Arena, sambil mengharapkan yang terbaik. Dia harus—
Tiba-tiba Mark tersandung. Dia pening bukan main. Tungkainya terasa lemas. Baru saat itulah Mark sungguh-sungguh meresapi penderitaan yang dialami tubuhnya. Hampir kena tembak. Kecelakaan. Dihajar dengan ganas. Mark ingin beristirahat ....
Tidak. Dia memarahi dirinya sendiri, berkata dalam hati ini belum seberapa. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sudah dilakukan Aru pada Grace dan Haechan, dan mereka tengah menunggunya. Mark berjuang bangun, tetapi bintik-bintik putih memenuhi pandangannya dan detik itu pula, lututnya bertabrakan dengan aspal. Di bawah sinar matahari yang merayap naik ke takhtanya, Mark berkedip pelan. Keringat dan darahnya bercampur baur. Desah napasnya adalah irama kacau yang tak beraturan.
Mungkin ... Mungkin dia memang perlu beristirahat.
Sebentar.
Hanya sebentar ....
Mark pun memejamkan mata.
RIP Kim Aru, kayaknya kagak bakal ada yang kangen dia ya awowkwokw 😭 Puaskah kalian? Awas aja ada yang bilang kurang sadis cara matinya 😡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top