78. Kita Tidak Menyerah II

Cho Jae Rim senang menjadi pusat perhatian.

Seminggu yang lalu, Rim berpendapat tak ada一oh, sama sekali tak ada一sesuatu yang lebih menggairahkan dari menjadi pusat perhatian. Namun, di sinilah dia, memandang bukti kesalahannya. Si pirang kecil tertelungkup di lantai, berusaha menjegalnya dengan jemarinya yang mulus tanpa cacat. Hidup di tengah bencana separah ini dan mampu mempertahankan jemarinya tetap bersih? Bajingan. Dasar bajingan. Itu sudah cukup membuat Rim membencinya. Rim tahu satu hal; dia akan sangat menikmati saat mematahkan jari-jari pemuda itu nantinya.

Wajah sang kapten terkubur di lengannya. Dia tidak bergerak. Mungkin pingsan karena kehabisan darah atau semacamnya. Rim tidak peduli, tidak pula tertarik padanya.

Sedangkan bocah yang megap-megap itu? Wah, wah, dia lain cerita.

Bocah itulah yang menyadarkan Rim mengenai fakta tersembunyi dirinya yang ternyata menyukai balas dendam. Tak jadi soal dia tidak mirip dengan kakaknya, yang Rim inginkan hanya membalas一gadis pelacur itu, kata-kata dari mulut kotornya. Sialan, terutama kata-katanya! Rim benci diremehkan. Seandainya si pelacur dan si pencopet masih hidup, Rim akan berbaik hati menyuguhkan mereka tontonan berkualitas. Tapi keduanya pasti sudah mati, dan bocah itu harus mati juga. Demi kepuasannya.

Dengan gerakan asal-asalan, Rim menodong kepala bocah itu memakai FAMAS. Dia tertawa. Ini selalu jadi bagian favoritnya一menyaksikan seseorang mengkerut ketakutan. "Ada permintaan terakhir, bocah?"

Bocah itu sepertinya tidak punya. Menilik kondisinya, tak banyak yang bisa dia lakukan. Untuk berjalan tegak saja pertama-tama kamu butuh kaki, lalu paru-paru yang sehat. Bocah itu rusak, dan Rim jijik pada segala sesuatu yang rusak.

"Selamat reuni sama kakakmu."

Maka, Rim menekan pelatuk dengan tekanan lembut tetapi ampuh. Permohonan tolol dari si pemuda tolol dia abaikan. Sebutir peluru meluncur diiringi gelombang tawanya yang kedua. Rasanya lebih seperti merobohkan menara dari kartu domino. Begitu selembar kartu diusik, hal selanjutnya yang terjadi adalah serangkaian reaksi berantai.

Sesuatu mengakibatkan Rim kehilangan pijakan, seolah bangunan miring, dan dia tergelincir. Lantai bagai bergetar menerimanya, gumpalan otot seberat 80 kilo, dan peluru yang dimaksudkan untuk Jisung mengoyak langit-langit sebagai buntut Rim yang tidak memperoleh sudut tembak yang pas.

Rim berbaring telentang, tercengang, lebih dari sekadar kebingungan. Otaknya lamban. Dia tidak dapat segera memproses data bahwa baru saja一

一Mark telah menyapu kakinya dari bawah.

Mark Lee lelah dengan semua ini.

Zombie? Bencana berskala nasional? Bertanggung jawab atas nyawa adik-adik kelasnya? Dia tidak menginginkannya. Siapa sih yang mungkin menginginkannya? Paling-paling orang seperti Aru yang sudah kehilangan kewarasan mereka. Tidak mengeluh bukan berarti Mark menerima. Selama ini dia hanya mengira mengeluh tidak ada gunanya. Namun, dalam hatinya, dia benar-benar lelah.

Gara-gara Aru. Selalu saja Aru dan teman-temannya.

Dua dari mereka berada di sini sekarang, termasuk Rim yang punya peranan penting. Rim yang suka berceloteh, pandai memanfaatkan ototnya, bertubuh raksasa. Dia kebalikan Jisung, dan Jisung pernah membuktikan bahwa Rim kurang waspada belum lama berselang. Terlalu fokus pada dirinya sendiri, tidak memperhatikan orang atau keadaan sekitar.

Di situlah dia berbuat kesalahan.

Mark mengaitkan kakinya ke kaki Rim lalu melakukan tackle layaknya pemain bola profesional. Jika Rim pikir一apakah dia bisa berpikir?一Mark akan memberinya kesempatan untuk mengambil seorang teman lagi darinya, maka itu jadi kesalahan keduanya. Mark berdiri pelan-pelan, kesusahan meski yang terluka adalah lengannya. Peluru tidak menembus lengan itu, tetapi menyerempet bahunya dan menyebabkan darah mengucur ke ujung-ujung jarinya. Goresannya cukup dalam, terlihat buruk dan mengerikan.

"Rim一" Si pria berwajah tirus memasang tampang khawatir.

Kejutan, Mark memaksa dia diam dengan serbuan dua peluru dari pistol barunya. Pria itu memekik lemah, menyentuh dada, dan meninggal sebelum bisa bertindak.

"Halo, Rim." Ekspresi Mark saat itu mengandung satu makna tunggal; kepuasan. Dia menendang FAMAS mendekati Jisung, pada seseorang yang dia yakini Grace tidak akan keberatan mewarisinya.

Rim bereaksi amat tangkas untuk ukuran orang sebesar dirinya. Lebih waspada dibanding si rekan yang telah tutup usia. Menyadari dia setidaknya perlu merangkak demi mengambil kembali FAMAS一yang mana terlalu merepotkan一dia meraih sebilah pisau bergerigi dari sabuknya. Rim masih sempat menyeringai saat dia bangkit untuk menjangkau Mark, mencoba menyabetkan pisau ke kakinya.

Namun, dia lupa.

Dia lupa ini bukan pertama kalinya mereka berhadapan.

Mark menyambar pergelangan tangan Rim hanya beberapa senti dari betisnya. Peluh muncul di dahi Mark manakala dia perlahan-lahan menekuk pisau ke arah berlawanan. "Inget ini?" Benar, Rim-lah yang mengajarinya. "Trik yang sama." Lalu Mark menyentakkan pisau itu tiba-tiba, mengandalkan seluruh tenaganya. Pisau berpindah kekuasaan, ke tangannya, mengiris Rim mula-mula ringan saja di pinggir perut kemudian berubah jadi tusukan. Rim menjerit lantang.

"Sssst." Mark muak mendengar jeritan. Suara Sangyi sudah cukup menjadi polusi bagi telinganya. "Grace dan Haechan, di mana mereka?"

Renjun ikut berdiri, luka terberatnya meliputi memar dan nyeri di beberapa bagian tubuh. Renjun tidak tahu harus lebih kaget karena apa一Mark yang rupanya tidak pingsan, atau Mark yang tengah memperagakan cara memperoleh informasi dari tawanan. Dia beringsut menghampiri Jisung, tetapi Jisung bergeming. Renjun mengguncangnya, menepuk-nepuk pipinya. "Jisung? Jisung!" Tidak berhasil. Jisung sangat diam, sangat pasif. Pura-pura pingsan tidak berlaku bagi dua orang. "Mark-hyu一"

Mark malah sibuk meneriaki Rim. "Mau aku robek mulutmu itu, bangsat? Jawab pertanyaanku!"

Tak disangka, Rim masih bisa tertawa一tawa kasar seperti gesekan benda tajam pada aspal. "Mereka mampus, membusuk di gudang. Dua-duanya. Semua usaha kalian ini sia-sia."

Napas Mark keluar-masuk tak beraturan. Paru-parunya bekerja lebih keras berkat amarah yang memanaskan aliran darah di nadinya. Mengalir, terpompa, lalu meledak tak kalah dahsyat dari granat. Dia mencabut lagi pisau Rim, memegangnya mantap tanpa sedetik pun goyah. Bila tadi dia sengaja tidak mengenai organ vital, jelaslah kebaikan hati seperti itu tidak bersifat kekal. Mark menepati perkataannya, dia memberi Rim senyum permanen yang akan terus melekat di wajahnya walau pria itu sudah tercabut nyawanya.

Ketika dia selesai, Mark baru teringat pada Renjun dan berpaling. "Kamu nggak apa-apa?"

Mata Renjun tampak berukuran lebih lebar dari normalnya. "Oh, aku一Jisung一"

Suara gemuruh mesin mobil yang bersumber dari luar membuat mereka menjulurkan leher ke pintu. Asap hanya berupa tirai tipis yang gampang disibak sekarang, sehingga keduanya bisa melihat tanpa kesulitan, sebuah Nissan X-Trail biru metalik yang melaju santai ke gerbang. Seorang pemuda, begitu tinggi sampai kepalanya hampir mencapai langit-langit mobil, duduk di belakang kemudi. Sinar matahari pagi gagal menembus kegelapan di matanya. Tawa tumpah dari jendela yang pemuda itu biarkan terbuka.

Aru.

Bajingan itu melintas bagai model terkutuk yang berlenggak-lenggok di panggung peragaan busana sialan. Dia percaya diri. Dia bahkan melambai, dan meletakkan dua jarinya di dahi sebagai salam. Barangkali dikiranya ini pesta kumpul-kumpul mahasiswa, dan dia bebas pamit undur diri sesukanya. Kesalahan besar ketiga. Dia tidak bisa.

Tangan Mark sontak mengepal. "Bukan dia." Maksud Mark adalah, jika ada orang yang lolos dari pesta ini, dia akan memastikan bukan Aru orangnya. Tangannya mengepal semakin rapat. "Dia nggak akan kemana-mana kecuali ke neraka."

Berbekal sepucuk pistol, Mark lari mengejarnya. Dia menyusup ke sedan ungu Sangyi, menemukan kunci yang bertengger di tempatnya dan bukannya di saku Renjun, lantas menyalakan mobil itu.

Renjun berupaya mengejarnya. "Jangan, Mark-hyung, kita hampir selesai di sini. Prioritas kita Grace dan Haechan, inget kan?"

Nasihat Renjun dianggap sebatas angin lalu. Mark seperti kesetanan. Renjun menyadari, kalap. Kejadian saat dia berniat menuntaskan urusannya dengan Aru terulang. Apakah Mark sungguh-sungguh mengira kali ini keberuntungan akan memihaknya?

Renjun menahan pegangan pintu mobil. "Jangan pergi sendirian, terlalu berbahaya!"

Terlambat. Dalam lima detik, sedan melesat kabur dari Arena. Definisi Renjun tentang apa yang perlu dan tidak perlu bertentangan dengan pengertian di kamus pribadi Mark. Renjun berdiri gundah di sana, keinginannya terbelah dua. Dia bisa saja berburu mobil lain dan menyusul Mark. Namun, orang macam apa yang tega meninggalkan temannya yang pingsan?

Akhirnya Renjun berputar balik. "Ayo, Jisung." Ajaknya, sambil memapah Jisung dengan satu tangan sementara tangannya yang lain bersiaga dengan Glock-nya. Dia menunduk, melirik Jisung sejenak, lalu menatap ke depan. "Kita cari udara yang lebih segar."

Jaemin benar, dan Jeno bukanlah orang yang enggan mengakui kesalahannya.

Berapa menit telah berlalu sejak terakhir kali dia mendengar suara Mark? Dua? Tiga? Segalanya terjadi sangat cepat. Waktu berjalan bagai ikan一licin, dan terkadang terlepas saat kau pikir sudah memegangnya. Mungkin sebenarnya baru beberapa detik terlewat, itu kalau dia berpatokan pada asap yang tak kunjung hilang. Namun, Jeno tahu, beberapa detik saja sudah cukup untuk membuat rencana yang kau rancang melebur jadi kekacauan total.

Berpikir dia takkan bisa menangkap bola apapun bila tidak bergerak, Jeno memungut pistolnya dan pistol lain yang nyaris memecah isi kepalanya. Ada sesuatu yang familier pada pistol Yuma一warnanya yang ganda, bentuknya. Jeno sudah sebegitu lama tidak memainkan permainan virtual hingga dia sulit mengingat bahwa di dunia dimana kematian tidak lebih dari ilusi semata, pistol itu disebut Makarov, dan jika fitur-fitur yang disediakan game selaras dengan dunia nyata, maka ada delapan peluru di dalamnya.

"Ryujin, isi ulang pistolmu." Di lapangan hijau, Jeno memang tidak pernah terpilih sebagai kapten, tetapi jika terpaksa, dia akan mengerjakan tugas sebaik-baiknya agar tidak berakhir mengecewakan. "Dan Jaemin?" Diopernya Makarov pada sang adik. "Kalian mau lanjut?"

Jaemin coba-coba menepuk bahunya dan mengangguk. "Masih bisa."

Ryujin menjawab lebih bijak. "Ayo kita selesaiin ini."

Untuk menyelesaikannya, mereka harus sekali lagi menerobos pekatnya kabut asap. Jeno tidak terkejut saat setengah lusin zombie menghadangnya. Menurut cetak biru Renjun, ruangan berpintu putih yang disulap Aru menjadi kandang peliharaannya adalah kantor manajer Arena yang luas dan lapang.

Beruntung baginya, bagi ketiganya, tubuh-tubuh yang setengah hidup itu tidak dapat menyaingi tubuh mereka yang sehat. Gerakan zombie lambat, mereka cekatan. Para zombie hanya menang dari segi jumlah一yang dengan cepat terpangkas.

Peluru-peluru berlompatan dari pistol semi-otomatis Jeno, menghancurkan kepala mereka satu-persatu. Tiga untuk setiap kalinya, masing-masing menimbulkan suara laksana lonceng kematian yang berdentang. Kala itu, Jeno seakan buta. Dia tidak lagi memperhatikan siapa yang dia bunuh, terlebih repot-repot menghitungnya. Sekilas, semua zombie tampak serupa dalam pandangannya, mereka jadi lautan wajah rusak yang sama.

Di sisi lain, Jaemin menyarangkan tendangan ke seorang zombie, menontonnya terjatuh, dan tanpa basa-basi menembak. Makarov itu tidak lebih dari senjata biasa di tangannya. Setitik pun tidak ada rasa bersalah karena menggunakan senjata dari gadis yang mati mengenaskan. Orang-orang mungkin memanggilnya tidak punya hati. Namun, Jaemin lebih suka menjuluki dirinya fleksibel, serta pandai menilai situasi.

Di tengah-tengah mereka, Ryujin menoleh ketika terdengar suara ribut dari ruangan di sisi kanannya. Bukan geraman zombie yang tidak manusiawi, suara ini membentuk kata-kata一jelas berasal dari mulut manusia. Gagah berani sekaligus sembrono, Ryujin berinisiatif mengeceknya.

"Jangan!" Tindakannya tidak memperoleh restu dari Jeno.

Tetapi Ryujin teguh pada pendiriannya. Dia membentangkan pintu ruangan yang dicurigainya lebar-lebar. Rahasianya pun terkuak. Dua orang pria asyik berjongkok di samping sebuah jendela besar, dan berjuang mencongkelnya dengan bantuan lempengan pisau tipis yang diselipkan di bagian bawahnya. Engsel jendela itu berderit memprotes, menolak tangan-tangan mereka yang berusaha membobolnya.

Salah seorang dari mereka, pria yang lehernya berhias kalung perak, mengangkat tangannya dalam pose menyerah. "Tenang, tenang," ujarnya tak jelas pada siapa一dia dan mitranya, atau Ryujin dan si kembar. "Nggak perlu ada pertumpahan darah. Kita baru mau pergi."

Pria satunya, yang mengenakan ripped jeans, gemetaran. Tenggorokannya kelihatannya tersumbat rasa takut.

"Kalian cuma berdua?" tanya Jeno. "Mana yang lainnya?"

Para tuan rumah Arena menjalin kontak mata. Namun masih, pria pertama yang bersuara. "Kalian pasti lebih tahu. Banyak yang meninggal. Aru kabur. Begini, izinin kita pergi dari sini一"

Si pemakai jeans robek-robek mengangguk. "Nggak ada ruginya. Kalian justru bisa hemat peluru."

"Sebenernya," Ryujin tidak termakan ocehan mereka, "Aku keberatan."

"Ryujin一" cerocos Jeno.

Rentetan tembakan mengguncang ruangan itu sebelum Jeno sempat mengucapkan sesuatu lebih dari dua kata. Betapa luar biasa efek yang ditimbulkan Glock 19 Ryujin. Suaranya yang begitu nyaring terkesan tidak masuk akal keluar dari pistol yang begitu kecil, disusul bunyi dentingan selongsong pelurunya yang lebih pelan.

Pria-pria yang memohon-mohon demi hidup mereka itu jatuh terjungkal menimpa jendela. Ryujin telah menunjukkan pada mereka cara lain untuk membukanya. Apa yang tersisa dari jendela hancur berantakan, bermandikan darah.

Sayangnya, mereka tidak tewas seketika.

Setiap kali terdeteksi adanya gerakan, Ryujin mengirimi mereka lebih banyak timah panas. Jangankan minggat, Ryujin tidak mengizinkan mereka sekadar bernapas. Dia terus menembak, lagi, lagi, dan lagi, sampai tubuh mereka berlubang-lubang dan ratapan mereka ditelan keheningan.

"Mereka nggak pantes hidup." Ryujin menunduk, menerangkan motifnya. "Semua anggota kelompok Aru nggak pantes hidup. Bayangin apa yang mereka lakuin ke temenku, temen kalian. Bahkan walau mereka nggak berpartisipasi, jadi saksi mata nggak lantas bikin mereka ada di pihak yang benar."

Si kembar membisu, lidah mereka kelu. Mendadak Arena menjadi setenang pemakaman. Suatu ketenangan yang janggal, menyebabkan bulu kuduk meremang. Ini merupakan jenis ketenangan yang membuat orang-orang mengira keadaan baik-baik saja, lalu hal buruk terjadi tanpa dinyana. Dan itu membangkitkan kewaspadaan mereka. Jeno, Jaemin, dan Ryujin sudah cukup dewasa untuk mengerti bahwa hujan bisa turun saat hari sedang cerah.

Ambil payung dan persiapkan. Mereka menyisir tempat itu bersama-sama. Kesimpulannya mengejutkan : tak ada orang lain selain mereka.

"Mana Mark-hyung?" Jeno bukan tipe orang yang hobi menggigiti kukunya saat gelisah. Reaksinya terhadap stres yang meningkat  adalah berjalan mondar-mandir tanpa arah, di antara mayat-mayat zombie dan mayat yang lebih baru ditengok dari kondisinya.

Meja yang sempat melindungi Renjun rusak. Rim tergeletak tidak jauh darinya, bersanding dengan sejumlah pistol tanpa pemilik. Ketika Jaemin mengumpulkan dan memeriksa magasinnya, dia menemukan nyatanya seluruh pistol itu masih bisa digunakan. "Kalau mereka pergi, mereka mestinya bawa pistol-pistol ini. Kenapa malah nggak dibawa?"

"Mungkin buru-buru?" Tebak Jeno.

Ryujin menyarankan, "Jeno, kamu masih nyimpen flare gun kan? Tembakin satu peluru lagi. Seandainya Mark, Renjun dan Jisung sembunyi di sekitar sini, itu bakal jadi sinyal aman buat mereka. Mereka pasti paham."

Jeno setuju. Dia keluar ke halaman dan meluncurkan asap merah yang terbang lurus ke awan-awan, sambil berharap, dengan sangat, ketiga temannya akan meresponsnya seperti sebelumnya.

"Sekarang," ujar Ryujin datar. "Pinjemin aku satu pistolmu, Jaemin."

"Punyamu habis?"

"Ya, habis. Aku butuh一" Gangguan datang dari dalam diri Ryujin sendiri. Gadis itu mencengkeram kepalanya. Dia jatuh berlutut. Tenaganya ikut habis, energinya terkikis, dan tak lama dia menangis tersedu-sedu.

"Ryujin? Ryujin, hei, ada apa?" Terlalu menyepelekan jika menganggap Ryujin berurai air mata karena Jaemin mempertanyakan permintaannya. Namun, Jaemin tetap menekuk kaki di sebelahnya, dengan lembut menyentuh lengannya.

Ryujin menghindar. "Jangan."

Jeno menjajari mereka. "Kenapa? Ada masalah apa?"

"Jangan sentuh aku." Sekujur tubuh Ryujin menggigil di udara pagi yang hangat itu. Dia berdiri. Dia mengasingkan diri dari Jeno maupun Jaemin. Kulitnya lembap dilapisi keringat. Dan ketika Jaemin bersentuhan dengannya tadi, Jaemin merasakan suhu tubuhnya meninggi. Demam. Ryujin demam. Padahal saat berangkat dia sehat-sehat saja. Mengapa kini dia demam?

Kengerian yang melanda Jaemin membuatnya kesulitan bicara. "Ryujin ...."

Gadis itu terisak. Dia mengangkat pakaiannya, sebuah blouse sederhana yang warnanya pudar, dan di sana, di perutnya, terdapat dua bekas gigitan zombie yang masih basah.

Apa yang harus dilakukan seorang awwthor saat dia pusing karena ceritanya punya banyak tokoh? Ooohhh tentu sj eliminasi satu persatu mwehehehehe (˵ ͡° ͜ʖ ͡°˵)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top