77. Kita Tidak Menyerah I

Huang Renjun mendengar berbagai suara一sebagian dia mengerti, kebanyakan tidak.

Ketika granat meledak, dia sedang berjongkok di balik meja yang menjadi perisai dadakannya, mengamati dan memindai, betapa lapangan futsal yang dikenalnya sudah berubah. Sejatinya, Renjun ingat, terdapat dua lapangan, dipisahkan semacam sekat dari jaring-jaring yang mencegah bola dari satu tim mengusik permainan tim lain. Kini, sekat itu lenyap, menciptakan arena bermain futsal berukuran dua kali lipat. Kantong-kantong tidur berbaris di satu sisi, bersanding dengan botol air, camilan, bantal seadanya.

Rupanya setelah menculik orang, kelompok Aru punya banyak waktu luang untuk berleha-leha.

Renjun mengembuskan napas panjang, mengumpulkan ketenangan. Tempatnya sekarang telah bertransformasi jadi kolam asap, dan Renjun, dengan segala cara, bertekad agar tidak tenggelam. Granat memuntahkan gumpalan asap putih yang berbahaya meski tanpa api一menyusahkan paru-parunya, membatasi penglihatannya, memperlambat kerja timnya. Asap ini harus segera disingkirkan.

Glock di tangan Renjun tersentak-sentak mengirimkan satu peluru yang menargetkan kaca jendela. Lubang baru terbentuk menyedot asap seperti vakum raksasa. Hantu-hantu tanpa tubuh itu terbang menuju sinar matahari dan terbantai oleh terang. Jendela kedua tak bernasib lebih mujur. Semakin banyak pecahan kaca yang berguguran. Renjun tengah beralih ke jendela ketiga saat peluru yang bukan berasal dari pistolnya meluncur menjadikan dadanya sasaran tembak.

Dekat. Sangat dekat. Renjun sampai bisa melihat bunga apinya saat peluru itu ditembakkan. Mendengar suara pelakunya. "Kamu tahu." Dia pria, baik mata dan suaranya sedingin salju yang membeku. "Tindakanmu nggak diperlukan, karena asap ini bakal hilang dalam hitungan menit."

Jarak dua meter mereka diseberangi tanpa kendala oleh peluru dari pistol besar pria itu. Pelurunya kali ini mengenai meja, dan yang mengejutkan Renjun, menembusnya.

Pria itu memiringkan dagunya. "Kamu juga harus tahu, peluru dengan kaliber tertentu bisa nembus rompi anti-peluru, apalagi cuma meja kayu yang kamu pakek sembunyi kayak pengecut itu."

Menghadapi pria yang bicara seolah dirinya adalah jurnalis yang menyampaikan berita, Renjun dipaksa berguling, memaparkan posisinya一lalu menekan pelatuk saat kepalanya bahkan masih ada di bawah!

Itu aksi yang gegabah, ceroboh, tidak diperhitungkan masak-masak. Namun, Renjun mendapatkan apa yang dia inginkan. Pria itu secara instingtif menghindar jika tidak mau pinggangnya celaka. Dalam satu detik yang krusial, pandangannya turun dari senjatanya.

Begitu dia menengadah, sebuah kursi melayang dan merobohkannya.

Saking kerasnya, kursi itu hampir patah. Si pelempar, Renjun, agak pusing manakala dia lagi-lagi menggali isi Glock-nya yang tepat menyasar kaki lawan.

"Kamu tahu." Renjun menirunya dengan sempurna. "Ada pepatah China yang bunyinya shuōhuà shì yín, chénmò shì jīn."

Batok kepala pria itu hancur, otaknya melebur jadi bubur merah kasar menjijikkan dihajar peluru Glock yang mematikan. Bola matanya melotot liar, seakan hendak menggelinding keluar dari kelopaknya.

Asap dalam skala yang lebih kecil mengepul dari pistol itu. "Artinya, bicara itu perak, diam itu emas."

Renjun mengedikkan bahu, meninggalkan pemandangan tak menarik itu. Tapi tidak sebelum mengambil barang-barang berharga korbannya. Yang dalam hal ini, adalah senjata dan magasin. Dia berpaling dari mayat itu tanpa apapun selain ketidakpedulian di wajahnya. Belajar bersikap abai, dia mulai terbiasa.

"Ren!"

Dua kali Renjun dipanggil, dia bergegas melacak sumbernya. Didapatinya Mark sibuk mengurus zombie dan Jisung sekaligus. Jarak pandang yang terbatas bukan tandingan bagi ingatannya yang tertata. Tidak sulit menemukan mereka. Renjun mengayunkan Glock-nya, menyukai bobotnya yang ringan, serta keandalannya dalam melumat kepala zombie asal diarahkan dengan benar. Dua mayat hidup tumbang, darah mereka terciprat ke pipinya.

Diusapnya darah itu memakai punggung tangan, seraya berkata, "Di sini."

Mark tampak lega. "Bawa Jisung pergi. Sekarang."

"Sekarang?" Keadaan Jisung memang jelas tidak baik, dan Renjun tidak mendadak tuli, dia bertanya hanya karena tidak yakin.

"Ya. Kamu tahu sendiri Jisung nggak bisa nyetir." Ekspresi Mark sendu saat menatap si bungsu. "Pokoknya bawa dia pergi sejauh mungkin, minimal sampai situasinya aman."

"Tapi一" Pergi artinya jadi pengecut, dan hingga mati pun, Renjun tidak mau dikenang dengan gelar itu.

Sembunyi kayak pengecut....

Rupanya, Mark malah menganggap protes Renjun salah tempat. Satu kibasan tangan, satu decakan tidak sabar, dia pakai guna mendorong Renjun agar minggat. "Jangan banyak tanya, kita nggak punya waktu buat debat. Kamu dan Jisung harus pergi secepatnya."

Keinginan Renjun untuk membantah lagi demi harga diri dihentikan oleh Jisung yang tergelincir dari pegangan Mark dan merosot ke lantai. Bunyi napasnya tidak keruan. Bajunya kusut di bagian dada tempat dia meremasnya. "Wah, Jisung!" Kondisi Jisung tak pernah separah ini sebelumnya. Renjun memikirkan ambulans, tabung oksigen, nebulizer. Mereka tidak memiliki ketiganya. "Oke, oke, ayo pergi."

Yang menjengkelkan, Jisung masih bisa bersikap keras kepala. "Aku ... Nggak mau." Bisiknya tersendat-sendat. "Noona一"

Renjun bersikeras. "Kamu nggak akan bisa nolong siapa-siapa sekarang ini!"

"Kunci mobil." Mark mengingatkan mereka. "Kamu ada kuncinya?"

"Oh, itu ...." Sial, Renjun lupa. Apakah dia sempat mencabutnya tadi? "Mungkin di saku?"

Tatkala Renjun sedikit membungkuk untuk menepuk-nepuk saku celananya, sesuatu melesat dari samping kirinya, cepat dan tak terelakkan, tidak lebih besar dari jempol laki-laki dewasa tetapi sangat berbahaya一

Dan langsung bersarang di lengan Mark!

Mark mundur menabrak dinding, menyiramkan darahnya ke lapisan cat yang semula putih bersih. Dia terjatuh. Mark, yang selalu berusaha menampakkan kekuatan di depan anggota kelompoknya, terjatuh. Jemarinya menyentuh lengan, dan darah merembes dari sela-selanya. Erangan memilukan mengalir dari bibirnya, nyaris menjelma jadi teriakan.

Tawa seseorang menggelegar, lalu menyebar bagai bergabung dengan asap. "Hmm ... Meleset dari perkiraanku, tapi hasilnya lebih bagus."

Kengerian Renjun atas apa yang baru saja terjadi tergambar jelas di wajahnya saat dia berpaling.

Bibir Rim melengkung mengukir senyuman puas. FAMAS Grace dilambai-lambaikan sebagai penyambutan. "Si pirang Renjun, mau ke mana? Urusanmu di sini belum selesai, kita perlu bahas beberapa hal." Jeda sejenak, dia membetulkan letak kacamatanya. "Salah satunya soal acara jalan-jalanmu sama pacar Haechan."

Dalam dunia sepak bola, kiper bertanggung jawab atas banyak hal, dan Jeno lebih dari paham.

Seberapa tinggi dia melompat dan menghalau bola akan menentukan apakah dia memanen hujatan atau pujian. Pilihan untuk mengantar timnya ke neraka bernama kekalahan atau kemenangan senikmat surga seringkali berada di tangannya一dan bukan sekadar kiasan semata. Terlambat setengah detik saja bisa berujung penyesalan. Tak ada reka ulang. Keputusan wasit bersifat mutlak. Sejak menjadi penjaga gawang dua tahun silam, Jeno sudah sering diharuskan membuat keputusan-keputusan yang sukar.

Namun, tidak seperti ini.

Tidak pernah sesukar ini.

Jaemin. Ryujin. Jeno tidak tahu apa dia benar-benar menyerukan nama mereka atau hanya membayangkannya. Tenggorokannya seolah tersumbat. Dia menoleh ke kanan; melihat Ryujin berupaya menyingkirkan zombie yang mengerumuninya. Menengok ke kiri; adiknya meneriakkan kata tolong tanpa suara. Semuanya seakan berlangsung dalam gerak lambat, di benak Jeno yang tegang.....

Bunyi derak mengerikan terdengar dari bahu Jaemin. Si pelontar memelintir lengannya dalam posisi yang tidak natural. Efeknya seketika terasa. Nyeri hebat mencengkeram separuh sisi atas tubuhnya, mengubah desisan Jaemin menjadi rintihan. Revolver-nya, tali penyelamatnya, sudah tanpa sengaja terlempar. Si pelontar juga kehilangan pisaunya. Kedua senjata sama-sama berada di luar jangkauan. Berarti ini murni pertarungan yang melibatkan fisik saja.

Atau, pikir Jaemin, bagaimana dengan kegesitan?

Bersyukur dia bukan kidal, Jaemin menyikut pria itu sekuat tenaga. Sejak kecil bertubuh ramping dan tinggi, sikunya yang mencuat mengincar ulu hati lawan dan ... Kena! Siku yang telah ditekuk menyerupai ujung lancip segitiga itu menghantam si pelontar, dan dia melolong kesakitan. Serangan Jaemin cukup mengakibatkan orang lain mengalami krisis pernapasan, dan bagi sang pemangsa, untuk melepaskan buruannya. Begitu pria itu mundur menghindarinya, belitan laksana rantai di lengan Jaemin terurai, dan dia tersungkur ke depan.

Di lantai yang berlapis darah, dihiasi banyak mayat, Jaemin tergeletak. Sulit diredam, dia mengerang saat menyentuh lengan kirinya. Lengan itu kini gemetar, memar, terkulai lemas. Patah? Keseleo? Sejujurnya Jaemin tak bisa menebak, tetapi rasa sakitnya ... Jaemin tercekat. Rasa sakitnya luar biasa.

Berita buruknya, si pelontar sekarang marah, dan gantian melontarkan sumpah serapah. "Bangsat kecil!" Dia menyambar lagi pisau kesayangannya.

Jaemin menghindar ketika pria itu berniat membalasnya. Walau harus menambah nyeri baru pada lengannya, niat si pelontar sukses digagalkan, dan yang membuat Jaemin seperti mendapat berkah dari langit, yang membuat dia tak mempercayai keberuntungannya, pria yang sama terlanjur merunduk dalam usahanya melancarkan tikaman maut. Hal ini Jaemin pandang sebagaimana adanya: sebuah kesempatan.

Sejenak, rasa sakitnya terlupakan. Kaki Jaemin menyerang rahang pria itu dari bawah.

Darah dari gigi yang patah, sebaliknya, tersembur ke atas. Tendangan Jaemin menyebabkan pria itu terjungkal. Pisaunya terbang ibarat bola di situasi penalti yang melenceng dari gawang. Kala itu, mirip atau tidak, bukti bahwa Jaemin dan Jeno berbagi gen tampak ketika dia menangkap pisau si pelontar di gagangnya. Sembari menahan sakit, Jaemin tertatih-tatih bangkit.

Kontan saja, pria itu panik. Namun, dia berbadan besar, dan refleksnya lambat. Jaemin jadi terkesan seperti rusa muda yang lincah dibandingkan dengannya.

Pemuda yang dipanggil "anak-anak" itu menginjak dada si pelontar. Dia tidak tersenyum atau menunjukkan emosi apapun saat menusuk pria itu. Dia melakukannya tak ubahnya mengikat tali sepatunya. Santai. Datar. Pria itu tewas setelah tiga tusukan di perut, leher, rusuk. Genangan darahnya melebar.

Waktu tiba-tiba berjalan normal kembali bagi Jeno.

Yang lebih tua dari sepasang anak kembar itu menendang Revolver pada yang lebih muda, dan menunggu hingga Revolver tersebut mendarat di kaki saudaranya. Di luar fakta bahwa Jaemin harus bernapas pelan-pelan dari mulut berkat darah yang masih mengucur dari hidungnya, dia berhasil mengangguk, tegas. Kekhawatiran Jeno pun terpangkas setengahnya.

Jeno menyambar Glock-nya, dan berlari ke tempat Ryujin berada. Derap langkahnya yang tergesa-gesa mengundang perhatian para peliharaan Aru. Ketika salah satu dari mereka datang, Jeno merobek mulutnya dengan tamparan moncong pistol dan menembaknya, kali ini, tanpa keraguan. "Ryujin!"

Ryujin, yang padanya Jeno berutang nyawa.

Sesaat, Jeno takut dia terlambat, karena Ryujin tidak terlihat, tidak bersenjata. Sama sekali tidak ada jeritan. Tapi lalu gadis itu bergerak. Tangannya mendorong kepala zombie menjauh, yang lantas mati Jeno bunuh. Dari belakang, Jaemin menyumbang bantuan lewat peluru-pelurunya. Dua zombie tewas. Jeno membereskan yang kelima.

"Ryujin," panggilnya. Bohong bila Jeno berkata dia tidak panik. "Ryujin, gimana keadaanmu?"

Jaemin menyusul sekian detik kemudian. "Kamu nggak apa-apa? Ada luka parah?"

Teror di mata Ryujin saat itu meluap-luap, terpancar kuat, sampai-sampai tangannya yang menyelinap merapikan pakaiannya luput dari perhatian si kembar. "Aru! Apa dia kabur?"

Jeno menggeleng. "Bukan itu yang penting sekarang. Pokoknya一"

"Jadi dia kabur?"

Luka di dagu Jeno berdenyut nyeri hanya karena membahasnya. "Ya," tukasnya penuh penyesalan. "Bahkan kali ini, Aru lolos lagi."

Di antara mereka bertiga, Jaemin saja yang setia berdiri dan menatap lurus ke depan. "Lupain Aru. Menurutku, bukan dia yang layak kita jadiin prioritas. Apa kalian sadar sejak tadi kita nggak denger kabar dari Renjun, Mark-hyung, atau Jisung?"

Dan, Jaemin lupa menyebutkan, Aru pergi sendirian. Yang artinya, teman-temannya yang lain masih ada di sini, tinggal dan menanti dengan sabar.

Ini belum selesai.

Cho Jae Rim menyeret sebuah kursi yang belum Renjun gunakan, lalu membaliknya, dengan kaki, sehingga bagian sandaran menghadap ke atas.

Pria lain muncul di belakangnya, berwajah tirus dengan jari-jari kurus panjang yang melingkar di sekeliling pistol mengilapnya. Penampilan keduanya sangat kontras. Namun, Renjun menyadari, mata mereka menyimpan sesuatu yang mirip; sorot lapar, kemarahan yang membara.

Rim mengangguk pada Renjun. "Ini susah dipercaya, tapi bocah itu yang bunuh Won, Bumjo, dan Seongjin."

"Dia?" Rekan Rim meneliti Renjun dari ujung rambut ke ujung sepatunya, lalu berpindah pada Jisung yang seolah bernapas lewat sedotan, dan Mark, yang memegangi lengannya.

Renjun tidak bodoh. Dia menyimak pembicaraan mereka dan mengerti seluruhnya. Diam-diam, dia menengok pistolnya yang dia letakkan di lantai saat menyangga Jisung. Sekarang semua terserah padanya. Semua bergantung padanya seorang. Jika dia bisa meraih pistol-pistol itu, setidaknya satu saja, akan ada peluang....

Dengan gerakan mendadak, Renjun menekuk lututnya dan meraba lantai. Namun, sama mendadaknya, Rim menendang kursi kayu tadi seakan itu sebatas mainan dari kertas. Kursi menghantam Renjun di dada dan wajahnya. Kaki kursi yang tumpul menekan perutnya, tetapi mendarat bagai belati yang telah diasah. Renjun seketika ambruk, diserang rasa sakit yang melumpuhkan. Jangankan meraih pistol, duduk pun dia tak bisa.

Tiga dari enam anggota tim Mark, termasuk Mark sendiri, kini terbaring berkeringat dan berdarah, di tengah kepulan asap dan di hadapan dua pria yang segar bugar.

Rim tertawa. "Ada permintaan terakhir, bocah?" Ironis, senjata yang pernah dipakai oleh Grace kini diarahkan ke adiknya.

Renjun mencoba menjegal pergelangan kaki Rim. Dia mencoba. Dia sungguh-sungguh mencoba. Sayangnya, Rim berjalan terlalu cepat. "Jangan ...."

Permohonan Renjun tak dihiraukan. Laras FAMAS persis sejajar dengan dahi Jisung. Rim menyeringai. "Selamat reuni sama kakakmu."

Kemudian, FAMAS itu meletus.

Si kembar J : abangnya sering ragu-ragu tapi atletis. Adeknya lebih sigap tapi impulsif. Sejujurnya pertanyaan kemaren cuma prank doang karena Jaemin bisa mandiri awokwokwok 😭 Akankah ada prank jilid dua buat Grace dan Jisung? Hmmzz ☺️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top