76. Kita Menyerang III
Sang iblis merangkak dari dasar neraka
Tempat penderitaan adalah hal biasa
Bahkan disebabkan olehnya
Tak ada ruang bagi sukacita
Iblis itu mengubah tawa menjadi sedu sedan
Dan jika tidak berhati-hati
Kau akan mendapati dirimu berada di kakinya
Hanya menunggu ditimbun dengan tanah.
Kim Aru belum mati.
Salah satu iblis dari neraka kini tengah berdiri dengan bertumpu pada lututnya, punggungnya melengkung seperti busur panah. Berharap Aru mati rupanya terlalu indah untuk jadi nyata. Dadanya naik-turun perlahan, teratur, seakan meneriakkan ejekan. Bibirnya yang menyeringai menegaskan ejekan itu dalam bentuk untaian kata-kata. "Kapten! Apa kabar?"
Beberapa hari tidak berjumpa, Aru masih sama seperti yang diingat Mark: indah dan kejam. Menawan dan menyeramkan. Setidaknya enam mayat bergelimpangan di sekitarnya, tidak termasuk yang berada di halaman. Namun, tak sekali pun Aru melirik mereka.
Aru justru menoleh pada Mark, dan salah mengartikan kerutan di dahinya. "Jangan terlalu kecewa gitu. Nggak ada waktu buat penyambutan yang meriah." Dia tersedak tawa, kembali ke hobinya suka bicara. "Tapi kalau dipikir-pikir, bukannya nggak sopan masuk ke rumah orang tanpa izin?"
Enam orang rekan-rekannya yang tersisa mengangkat senjata mereka dan membidik kelompok Mark, masing-masing satu lawan satu. Mereka berbalik unggul. Adanya Aru membuat kepercayaan diri mereka bertumbuh.
"Jisung," kata Mark, tak berdaya di bawah todongan senapan yang diarahkan ke kepalanya oleh seorang pria berwajah tirus. Dia memegang lengan anggota timnya yang paling muda, meski sudah terlambat. Bahkan seandainya Jisung berhasil lolos, ke mana bocah itu akan pergi? Dengan apa?
"Ah, maknae!" Aru menyapa Jisung dengan lambaian tangan berlebihan. "Kamu ke sini buat ketemu kakakmu?"
"Dan mentornya," imbuh Rim, berlagak akan muntah. Mark kecewa pemuda berkacamata itu belum meregang nyawa. Dari pengalaman singkatnya menghadapi Rim, Mark tahu Rim akan sangat merepotkan.
Aru mengangguk, memakai jempol menggaruk alisnya yang sempurna. "Yap, mentor. Cowok yang matanya sayu itu bilang kamu muridnya. Grace dan Haechan. Aku suka mereka."
"Mana mereka?" Getaran yang tidak dikehendaki menyusup ke suara Jisung saat dia bertanya. "Apa mereka masih hidup?"
Yang diperbuat Aru sama saja dengan mengibas-ngibaskan sekerat daging segar di hadapan seekor anak anjing yang kelaparan, lalu menyembunyikan daging itu tepat ketika si anjing mendekat. Pertanyaan Jisung diabaikan, Aru membungkuk mengambil senjata milik rekannya yang tewas. "Coba kita lihat, semua orang ada di sini. Ada si pirang, Ryujin, si kelinci, dan si anjing liar. Lengkap. Ini kejutan yang nggak disangka-sangka." Dia menggeleng. "Sekaligus kesalahan besar."
Perubahan kedua datang dengan lambat di Arena. Mark merasakannya. Tiba-tiba saja dia sadar seseorang bisa marah dan tidak menunjukkannya. Dia mungkin tidak ahli membaca raut muka Aru, tetapi dia yakin pakar mikro ekspresi mana pun akan sepakat bahwa di balik ketenangan janggal dan seulas senyum ganjil itu, terselip kemarahan yang menggelegak. Aru marah.
"Barangkali udah saatnya aku ngasih kalian sambutan yang pantas?"
Mark memperingatkannya. "Aru, apapun rencanamu一"
Aru mendengus. "Don't bark if you can bite. Jadi, tutup mulutmu, Kapten, dan jangan sela pidatoku. Apalagi karena kamu keliru." Dia mengedikkan bahunya. "Bukan aku yang punya rencana, tapi Yuma."
Hampir seketika, sesuatu berwarna hijau pudar menggelinding dari pintu tempat Aru keluar. Benda itu tidak besar, kurang-lebih sepanjang lima inci, berbentuk amat mirip kaleng soda bertuliskan "AN-M8". Dan yang paling aneh, dilengkapi lubang di bagian atas dan bawahnya.
Aru mundur ke posisinya semula, tangannya meremas kenop pintu berwarna putih dengan mantap. "Semoga kalian nggak keberatan aku ngundang banyak orang. Ini idiom lain lagi, the more the mer一"
Jeno melepaskan satu peluru ketika dia berancang-ancang membuka pintu itu. Namun, Aru menghindarinya seolah sejak awal memang berniat berpindah tumpuan. Tanpa berhenti barang sebentar, Aru memberondongnya dengan dua tembakan beruntun yang menghajar dinding tak sampai 30 sentimeter darinya.
Benda yang diduga dilempar oleh Yuma mulai mengeluarkan suara desisan. Dalam lima detik, suaranya semakin kencang.
"Selamat dinikmati." Aru mengumumkan.
Mark belum sepenuhnya paham apa yang terjadi saat suara desisan itu berubah jadi bunyi dentuman yang memekakkan telinga. Gumpalan asap putih kelabu menyebar seperti gelombang air pasang, membentuk ombak setinggi satu, kemudian dua meter, yang terus membumbung mencapai atap. Saking tebalnya, Mark sampai tak bisa melihat Ryujin dan si kembar. Begitu tebalnya, asap itu bagai dinding padat, melata menyerupai ular ke kakinya, pahanya, perut, lalu hidungnya.
Jisung membungkuk kesakitan, terserang serangkaian batuk-batuk hebat. Jenis batuk ketika penyakit asmanya terpicu disertai gejala sesak napas. Asap mengejarnya dengan kegigihan yang tak terbantahkan.
Mark gagal mencegah kepanikan menyergap dirinya. "Jisung? Jisung, keluar. Kamu harus keluar! Renjun? Ren!"
Bukan Renjun, yang muncul malah sosok-sosok kurus dengan daging menggantung longgar di kulit mereka, menebarkan bau busuk menyengat. Separuh buta dan lapar, mereka mengandalkan penciuman mereka. Mendongakkan kepala ke udara, berburu mangsa. Gigi-gigi yang mereka pamerkan berhias darah, menghitam oleh proses pengawetan yang tidak wajar.
Zombie? Tubuh Mark menegang. Di sini?
Untuk bertanya-tanya saja dia tak sempat. Satu dari empat zombie lebih termotivasi, dan maju menyambutnya. Lengannya terulur, tak menginginkan apapun selain mencakar lalu mengunyahnya.
Masih sambil memegangi Jisung, Mark merampas senjata anak itu dan menembak. Di antara suara geraman, langkah kaki, dan gema tembakan yang perlahan mereda, dia mendengar suara lain, desisan lain, yang mengisyaratkan adanya granat kedua yang meledak. Asap di sekelilingnya semakin pekat, kondisi Jisung semakin parah, dan Mark terkurung di dunia yang serba kelabu sementara keberhasilan rencananya tercerai-berai, tinggal angan-angan semata.
Menurut Jeno, suaranya persis seperti cairan parfum yang disemprotkan, disusul suara ban pecah yang lebih lantang.
Jeno terbatuk-batuk ketika kepulan asap menginvasi sistem pernapasannya. Dadanya mengembang dan mengempis susah payah, memohon udara yang lebih segar. Dia akan sukarela memberikannya andai bisa, nanti, setelah masalah dengan kakinya yang sulit berdiri ini selesai diatasi. Dia berkata pada dirinya sendiri bahwa itu karena tiarap terlalu lama, tetapi dia lebih tahu. Berapa banyak remaja yang sanggup tetap tenang usai kepalanya nyaris dihancurkan dari jarak dekat?
Rambut Jeno penuh kotoran一debu, serpihan semen, lapisan cat yang mengelupas. Sekali lagi dia batuk. Sayup-sayup terdengar Mark meneriakkan sesuatu. Walau mustahil menangkap pesannya secara utuh, nada mendesak di suara itu mustahil salah dia artikan.
Lalu ada suara kedua, jamak, geraman-geraman khas yang selalu menandakan hadirnya bahaya.
Suara ini dekat.
Sangat dekat ....
"Apa itu?" Asap entah bagaimana menyerap suara Jaemin dan memangkas volumenya.
Jeno memaksa lututnya berhenti membangkang dan mengerjakan tugasnya dengan benar. "Nggak salah lagi, itu granat asap."
"Bukan, suaranya. Kedengerannya kayak ..."
"Zombie? Ya." Kecurigaan Jeno tak terbendung mengarah ke pintu yang di buka Aru. "Mana Ryujin?"
"Jeno?" Ryujin, mungil dan rapuh, tampak bagai setitik noda hitam di lautan susu kental. Tak berbeda dengan mereka, dia batuk dikepung asap, dan sama sekali tidak menyadari adanya satu sosok gelap yang menghampirinya dari belakang一terlalu padat untuk disebut bayangan.
Baunya lah yang menyalakan alarm peringatan di benak Jeno, busuk seperti sisa makanan yang dikerubuti lalat. Jeno hanya punya waktu sedetik untuk bertindak. Dia meraih lengan Ryujin dan mendorongnya pada Jaemin. Zombie itu jatuh tersungkur ke depan. Peluru Glock mengoyak dahinya tatkala si mayat hidup masih menggeliat-geliat di lantai.
Tiga zombie lain mengekori.
"Apa-apaan itu?" Tanya Ryujin, napasnya memburu.
Jeno menggeleng. "Aku nggak berani taruhan soal ini, tapi mungkin pintu putih itu ... Isinya zombie." Pistolnya kembali meletus, tiga kali berturut-turut.
"Maksudmu dia tidur di ruangan yang bersebelahan sama kandang monster?" Ryujin tercengang. "Astaga, Aru bukan sinting. Dia sakit jiwa."
"Tapi berguna kan?" Sebuah suara serak menjawabnya.
Bicara tentang kesalahan, kesalahan Jeno adalah dia sempat menoleh untuk menatap langsung Ryujin一karena etika, kebiasaan, kesopanan. Sebentar, memang. Namun, saat Jeno mengecek siapa pemilik suara itu, seseorang mengirimkan pukulan ke tengkuknya, yang membawa kenangan masa lalu ke masa sekarang.
Seorang perempuan muda tersenyum, tampil memesona dengan pakaian modis yang melekat di tubuhnya yang semampai. "Kamu suka peliharaan Aru?"
Seandainya pukulan itu lebih akurat, Jeno pasti akan tumbang di samping mayat yang dibunuhnya. Kali ini, Jeno lebih beruntung. Perempuan itu meleset, dan Jeno mampu mempertahankan keseimbangannya. Jeno menangkis pukulan selanjutnya dengan ketangkasan seorang penjaga gawang. Bukan sekadar menghindar, dia mencegah perempuan yang membawa tas dan pistol dua warna itu meremukkan rahangnya. Tangan dalam genggamannya terasa kecil, dan sejenak Jeno bimbang. Dia berpikir, ini perempuan. Sebelum dunia carut-marut, dia akan berkata pantang baginya menyakiti perempuan.
Sayangnya, perempuan itu tidak semurah hati dirinya.
Dia meninju Jeno memakai tangannya yang tak diawasi. Tinggi mereka yang hampir sama membuat tinju itu mengenai tahi lalat di bawah matanya. Belum puas, kakinya beraksi menendang tulang kering Jeno. Tendangan ini lebih terstruktur dan cermat. Sepatu high heels-nya menikam area itu laksana pedang katana, lantas memberi serangan final pada Jeno yang telah bersimpuh ke titik tempat jantungnya berada. Jeno tak berkutik, terkapar di sana.
Perempuan itu mengarahkan moncong pistol hitam dan cokelatnya ke kepala Jeno, bersiap menembak一
Sebutir peluru berdesing menggagalkan rencananya.
Ditembakkan dengan akurasi yang tidak sempurna, peluru itu sebatas melintas di dekat telinga si perempuan asing. Lalu sebutir lagi一terlalu melebar! Peluru kedua melenceng lebih jauh dari pendahulunya, dan menghunjam kening seorang zombie yang penasaran dan mengira boleh bergabung ke perselisihan mereka.
"Jeno!" Teriak Ryujin. Keinginannya meluncurkan peluru ketiga terhalang pistolnya yang mengeluarkan suara klik berulang-ulang.
Perempuan itu menyunggingkan seringai sadis. Seringai yang kian lebar saat dia menyaksikan sesuatu yang berkaitan dengan Jaemin yang melenguh parau, dan tawa orang lain yang berkumandang penuh kemenangan...
Sebuah pisau terbang membelah udara, dilontarkan sedemikian rupa seperti senjata para ninja, dan sudah akan merobek wajah Jaemin bila refleksnya tidak menyelamatkannya.
Benda itu jatuh dengan suara dentingan logam. Mata pisaunya terlalu ramping, kecil, dan tidak cukup tajam untuk menancap di dinding. Tapi si pelontar merupakan ancaman yang berbeda. Lengannya yang berniat melumpuhkan Jaemin sekokoh batang kayu, dan dalam melaksanakan pekerjaannya, dia tak kenal ampun.
Jaemin mengelak. Tubuhnya berkelit ke kanan, pistol yang masih panas berada dalam penguasaannya. Satu keunggulan dia punya, dan dia hanya butuh satu peluang. Jika ada hal penting yang dia pelajari minggu ini, itu adalah perihal menempatkan garis pembidik ke target yang tepat dan jangan menaruh belas kasihan ke siapa saja. Maka dia berpaling, mencari-cari sasaran一
Betis seseorang menghantam hidungnya dengan telak.
Sengatan nyeri yang menjalar di hidungnya itulah yang menghasilkan lenguhan yang masuk ke telinga saudaranya. Darah mengalir deras. Jaemin terhuyung-huyung mundur, sukar berdiri tegak. Si pelontar tersenyum, menyerupai pemain rugby yang suka menggencet lawannya sampai pingsan. "Anak-anak?" Dia terbahak. "Lebih cocok main ular tangga."
Oke, itu kesalahan. Jaemin bukan Jeno yang kesabarannya seluas samudera. Malas berbasa-basi, Jaemin mensejajarkan Revolver-nya ke kepala pria itu. Sebagian nyeri yang membekas mengakibatkan pandangannya buram. Serangan tadi pastilah ikut mengenai matanya. Dalam kondisi seperti itu, si pelontar seakan menggandakan diri jadi dua, dan Jaemin dibuat bingung harus membidik yang mana.
Pria itu menerjang layaknya banteng buas. Udara terpompa keluar dari dada Jaemin, menambah beban bagi paru-parunya yang kewalahan karena asap. Sesuatu mematuk lipatan sikunya, menyebabkannya terlipat ke dalam. Revolver terlepas. Dibuat kebas oleh rasa sakit, bisa dibilang si pelontar leluasa memilin tangan Jaemin ke balik punggungnya.
Pria itu berdecak. "Hati-hati sama benda itu, Nak." Lantas memilin lengannya lebih erat. Jaemin mendesis kesakitan. Sedikit tekanan lagi, dan tulang bahunya akan patah...
Perhatian si perempuan jangkung teralihkan. Betapa cepat situasi bisa berubah dibuktikan Ryujin saat melempar badan padanya. Benturan dengan lantai lapangan futsal yang licin menorehkan luka di kepala perempuan itu, memercikkan darahnya seperti hujan rintik-rintik. Pupil matanya seketika bergerak-gerak tak fokus. Dia mengerang, suaranya lebih mirip hewan.
Kepalan tangan Ryujin beradu dengan pipi perempuan itu hingga kepalanya terayun seperti pendulum jam. Kukunya menciptakan satu goresan panjang yang tak direncanakan sekaligus memuaskan. Korbannya mengerang lagi, ludah berhamburan dari sudut bibirnya. Ketika pulih dari disorientasi, dia menjangkau ke atas. Namun, Ryujin berambut pendek, dan tak ada apapun yang dia dapat.
Lutut Ryujin mengunci lengan-lengan berbahayanya. Tanpa sengaja dia juga menindih pisau yang terbungkus kulit di sabuk perempuan itu. Ryujin melihatnya, dan lekas menarik-narik pisau itu agar terbebas. Bilah bajanya tampak cemerlang dalam keremangan. Satu tarikan penuh tekad berikutnya dan pisau itu berpindah kepemilikan.
Jeritan tertahan perempuan itu diredam bunyi baja yang menembus daging lunak manusia. Kakinya menendang-nendang, lalu dalam hitungan detik dia bergeming一untuk selamanya.
"Bangsat!" Sekonyong-konyong, sebuah tangan besar melanjutkan apa yang perempuan itu mulai. Tangan itu menjambak rambut Ryujin dan menghempaskannya ke dinding diiringi pekikan. "Yuma? Yuma!"
Dari sekilas pengamatan saja, perempuan itu jelas sudah meninggal.
Emosi nyata pertama berkelebat di wajah Aru一amarah panas dan pahitnya duka一sangat cepat sebelum disamarkan di bawah topeng ketenangannya. Mata hitam legam Aru berkilat-kilat saat dia menyambangi tempat Ryujin terpuruk, merenggut kerah bajunya dan mengancam merobeknya. "Bangun. Dia mati. Dia mati, jalang. Dan itu gara-gara kamu!"
Ryujin terkekeh meremehkan. "Dia mati karena pisaunya sendiri. Bukannya itu menyedihkan?"
Api lain berkobar, dan ucapan Ryujin ibarat menuangkan metanol ke dalamnya. "Lebih menyedihkan mana dibanding mati di sarang musuh?" Lalu Aru meletakkan dua jari di mulutnya dan bersiul. Tindakannya mengundang lebih banyak zombie yang berduyun-duyun mendatangi lokasi. Tak tanggung-tanggung, lima zombie merapat bak anjing yang patuh pada tuannya. Para peliharaan.
Sang tuan kemudian menghadiahi santapan lezat dengan melempar Ryujin pada mereka.
Usaha terbaik Ryujin mencakar Aru tidak mempan. Tenaganya kalah, bukan tandingan pria gila yang dibekap kemarahan. Tanpa pistol, dia serentan bayi yang baru lahir di sini. Zombie-zombie itu menimpanya dengan semangat.
Di hadapan Jeno, Aru berdiri menjulang, terhibur melihatnya berusaha bangkit mati-matian. "Anjing liar." Sisa-sisa dendam itu masih ada. Aru agaknya belum lupa bahwa tanpa campur tangan sniper-nya, Jeno pasti bisa mengalahkannya. "Siapa yang kamu pilih sekarang?"
Dia menyarangkan tendangan kuat ke dagu Jeno, dan melenggang pergi dengan tas Yuma, tergelak, meninggalkan Jeno bersama pilihan-pilihan sulit yang harus dia ambil一segera.
Kalo kalian jadi Aa' Jeno, siapa yang bakal kalian tolong? Adik yang kalian anggep bisa jaga diri, atau cewek yang situasinya lebih genting? 😏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top