73. Kita Menyusun Strategi

Respons alamiah tubuh Mark Lee yang terlalu tenang tidak dapat dia pahami.

Bagaimana pun, mereka sedang mendiskusikan strategi penyerangan. Mark seharusnya merasakan gelenyar rasa takut, cemas, gusar. Dan anehnya, gelenyar itu tidak ada. Dia sama kosongnya seperti saat menginterogasi Sangyi dengan kekejaman yang dia tidak tahu mampu dia lakukan.

Mark memikirkan Aru, mengingat-ingat monster macam apa dia. Iblis yang tampan, dengan sudut-sudut wajah yang lembut. Pakaian bersih bebas noda. Mulut yang terbuka, tertawa. Aru bahkan tertawa setelah mengeksekusi seseorang. Aru menikmatinya. Namun, tawa itu tidak bisa lagi mempengaruhi Mark sekarang. Barangkali bukan hanya Jisung yang berubah.

Mark mendapati dirinya bersemangat menanti Jeno membeberkan informasinya.

Mata Jeno masih fokus ke jalanan, mengemudi dengan lancar menuju rumah. "Zeny punya dua tempat parkir."

"Dua一apa maksudmu?"

"Perhatiin tata letak bangunannya, Mark-hyung. Zeny berbatasan langsung sama jalan raya, dan tempat itu nggak cuma dikunjungi anak SMA. Pertama kali Renjun ngajak aku ke situ, aku nggak kebagian tempat parkir karena tempat parkir utama penuh sama mahasiswa yang juga naik mobil."

"Ternyata ada tempat parkir kedua?"

"Ya, aku diminta naruh mobil di bagian belakang bangunan. Itu ruang baru, mereka jelas nggak bisa memperluas ke depan. Tahu kan, futsal normalnya dimainin 10 orang? Bayangin setiap orang bawa mobil. Mau nggak mau pihak pengelola harus bikin perubahan."

Buta terhadap segala hal mengenai arsitektur, Mark menutup mata mencoba membangkitkan imajinasinya. "Deskripsiin tempat parkir itu. Yang kedua."

"Tempatnya besar. Bentuknya persegi. Tiga sisinya diapit tembok yang tingginya ... Mungkin sama kayak gerbang sekolah kita. Aku inget tanganku nggak nyampek ke ujung tembok itu. Teksturnya halus, warnanya putih. Itu membantu?"

"Ada pintu atau jendela terdekat dari tembok itu?"

"Pintu karyawan, tapi beberapa pengunjung kadang lewat pintu itu ketimbang repot-repot muterin bangunan buat jemput mobil mereka."

"Jadi tempat parkir kedua lumayan sepi? Kalau aku manjat tembok itu, orang-orang di dalem nggak akan sadar kecuali mereka kebetulan buka pintu karyawan?"

Kebimbangan menerpa Jeno. "Agak ... sulit. Temboknya bener-bener halus. Mesti ada tali atau orang yang mau minjemin bahu mereka."

Mata Mark kembali terbuka, cerah dan bersinar-sinar oleh gagasan. "Kita simpen itu dulu, anggep aja rencana cadangan. Tapi seandainya terpaksa bertamu dari gerbang depan, apa yang kira-kira mempengaruhi orang lain supaya mau buka gerbang rumahnya?"

"Selain paket?"

Mark melakukan kombinasi antara tertawa dan mendengus. "Selain pura-pura nganter bir. Dan menurut kamu, kapan tepatnya orang paling nggak waspada? Sebelum atau sesudah bangun tidur?"

Lama Jeno terdiam. Di dua tikungan dia bergelut dengan pikirannya, sampai sekitar 500 meter dari rumah, dia berucap, "Dulu aku pakai kacamata."

"Kenapa soal itu?"

"Sebelum tidur, aku biasanya nyimpen kacamata di atas nakas. Tapi setelah bangun, aku sering lupa dan nyenggol kacamata itu. Hampir tiap bulan aku beli kacamata baru, makanya orang tuaku nyaranin LASIK. Aku setuju."

Tiga ratus meter semakin dekat. "Bangun tidur, oke."

Dua ratus meter. "Itu kesempatan terbaik kita. Besok atau nggak sama sekali. Elemen kejutan itu yang utama."

Anggukan Mark menjawabnya. Dia tidak menjawab secara lisan karena sibuk menelaah pilihan-pilihannya saat Jeno tiba-tiba menepikan mobil 100 meter dari rumah.

"Mark-hyung," katanya. "Kita mau一apa istilahnya?一bertamu ke markas Aru kan?"

Bila ada perlombaan untuk keberanian, dan terserah Mark mau memberi pialanya pada siapa, dia pasti akan memilih Jeno sebagai juara pertama. Jeno adalah salah satu orang paling berani yang dikenalnya. Itu sebabnya dia bertanya-tanya mengapa Jeno gelisah. "Ini bukan soal kemauan, Jeno, ini kewajiban. Haechan dan Grace, kita berutang nyawa ke mereka, dan ini cara buat lunasin utang itu. Mereka perlu bantuan."

"Bantuan kita berenam?"

Malas bermain tebak-tebakan, Mark menukas. "Keberatan langsung ke intinya?"

"Jisung." Memahami bahwa kebingungan Mark tidak main-main, Jeno meluncur melewati segmen basa-basi. "Kita nggak bisa ngajak dia."

Mark tidak sependapat. "Kita butuh dia."

Jeno menggigit bagian dalam pipinya sejenak. "Maafin kata-kataku yang kasar ini, tapi hasil evaluasi Renjun ke dia nggak memuaskan. Dan dari keterangan Jaemin, anak ini nggak stabil. Kita udah lihat keanehannya. Jisung ibarat bom waktu一yang udah meledak dua kali dalam sehari."

"Apa yang harus aku bilang ke anak itu? Jaga rumah? Jangan bercanda."

"Bilang aja kita khawatir Jisung cedera. Lagian kalau adiknya meninggal, Grace nggak akan berterima kasih walaupun kita berhasil nolong dia."

Kata-kata itu membungkam Mark lebih efektif dibanding saat menyaksikan Rim memegang senjata Grace.

Pegal akibat terlalu lama menyetir, Jeno meregangkan dan mengepalkan jemarinya bergantian. "Kita beruntung punya anggota yang terobsesi sama bidang medis, tapi Jaemin bukan pencipta keajaiban. Dia nggak bisa ngobatin luka tembak. Berarti satu tembakan aja, satu tembakan, dan seseorang di tim kita bisa meninggal karena kerusakan organ atau pendarahan."

Benih bernama keraguan tumbuh di hati Mark. "Tapi ini kakaknya, dan ngelarang Jisung berpartisipasi itu ..."

Jahat. Meremehkan. Tidak berperasaan.

Jeno merendahkan pandangannya, menunduk. "Aku tahu. Tolong pertimbangin ulang aja. Aku bukannya nggak suka Jisung. Malah sebaliknya."

Rupanya itu saja yang ingin disampaikan Jeno. Dia menyalakan mesin untuk kedua kalinya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di rumah, Jeno menyembunyikan mobil, menutupinya dengan sehelai kain, mengetuk pintu. Pintu itu dibuka oleh Renjun yang menyambut dengan senyum. "Aku udah selesaiin cetak biru putihnya."

Suasana hati Mark yang muram mencuri tawanya saat dia mengayunkan kaki ke dalam. "Mana?"

Seketika dia mematung.

Bukan gambar Renjun, dua buah benda di ruang duduk mengejutkannya. Benda yang terlupakan, benda yang berasal dari sekolah. Mark mengira benda itu telah hilang atau tertinggal di rumah lama. Namun, di sinilah dia; solusinya, jawabannya, tersedia di depan mata. Sejak tadi solusi itu menunggu dia pulang.

Wajah Mark langsung berbinar diterangi kebahagiaan. Girang bukan kepalang adalah sebutan yang benar. Dia mulai tertawa, pada Renjun dan Jeno yang menatapnya heran. "Nggak ada apa-apa, tapi aku mendadak punya rencana."

Malam itu tadinya tenang.

Mark dan seluruh anggota kelompoknya merundingkan strategi bertamu ke markas Aru hingga jam makan malam. Cetak biru Renjun terpampang di tengah meja. Satu lagi halaman buku sketsanya jadi korban untuk menampung catatan Mark yang sesekali dicoret atau dikoreksi bila dirasa ada yang kurang pas. Detik berubah jadi menit, menit berganti ke jam. Malam datang tapi tak ada yang menyadarinya sampai sinar terakhir matahari memudar dan mereka terpaksa menyalakan lilin yang cahayanya tak sepadan.

Tiga jam setelah Mark pulang, daftar peran selesai dibagikan, strategi tersusun matang, dan semua orang yang kenyang masuk ke kamar guna mengistirahatkan badan.

Besok akan jadi hari yang panjang.

Baru tidur sekejap, Mark terbangun berkat suara batuk berkesinambungan disusul tarikan napas kacau yang mengusiknya. Seakan seseorang batuk usai mengelilingi lapangan sekolah lima kali. Jisung berjalan keluar kamar sambil menutup mulutnya. Langkahnya gontai.

Mark diam di balik selimut sampai suara-suara itu berhenti sebelum menyusulnya. Keadaan yang gelap gulita menyebabkan dia harus mengandalkan dinding agar tidak tersandung. Jika pendengarannya bisa diandalkan, Jisung saat ini ada di dapur. "Jisung?"

Jisung tengah membuka jendela supaya kegelapan pekat itu menurun sedikit dayanya ketika Mark muncul. "Oh, Mark-hyung. Apa aku terlalu berisik? Maaf aku ngebangunin."

"Bukan masalah. Kenapa kamu nggak nyalain lilin?"

"Aku ... Nggak suka."

"Nggak suka?" Jisung menggumamkan sesuatu dengan sangat lirih, tampak enggan membicarakannya, jadi Mark membiarkan topik itu pergi dihempas angin. Terlanjur menyelam, dia mengambil teko dan memanaskan air. "Kamu mau lanjut tidur?"

"Nggak, kantuknya ilang."

"Aku juga. Teh?"

"Boleh."

Mark tersenyum. Dia memasang telinga baik-baik. Namun, tidak ada apa-apa. Sepertinya hanya mereka saja yang terjaga. "Kamu tahu, aku nggak bakat masak sama sekali. Untungnya kalau teh masih bisa. Dijamin aman."

Perubahan topik itu melegakan Jisung. "Karena itu cuma ke dapur buat makan?"

Tawa Mark menggelegar. "Aku nggak mau ngeracunin orang lain." Dia menyiapkan dua cangkir, kantong teh, dan gula. Air yang mendidih dia tuangkan ke dalam gelas lantas membiarkan Jisung mengaduknya sendiri. "Silakan dinikmati, pelanggan," candanya.

Manakala Jisung meniup-niup tehnya dan minum seteguk demi seteguk dari sendok seperti balita, Mark diam-diam mencuri pandang ke arahnya. Tatanan rambut pendek, mata sipit, cara bicara yang sering canggung. Tidak ada ciri-ciri Grace dalam dirinya. Mereka berbeda bagai siang dan malam. Mark membiarkan Jisung rileks sebentar sebelum dia melontarkan pertanyaan. "Jisung, asma itu penyakit apa?"

Saking kagetnya, Jisung tersedak. "Apa?"

"Iya, itu penyakit genetik atau ... Ada faktor-faktor tertentu?"

Jemari Jisung merapat di sekitar cangkir teh mencari kehangatan. "Nggak melulu genetik, orang bisa kena asma kalau dia hidup di lingkungan yang kualitas udaranya buruk, tapi anak yang punya keluarga dengan riwayat asma lebih berisiko mewarisi penyakit itu di tubuhnya."

"Pemicunya apa?"

"Nggak sama buat setiap orang."

"Aku nanya kamu." Mark terus mengejarnya meski Jisung menghindar.

"Hmm ... Debu, bulu hewan, serbuk sari bunga."

Mark tergelak tanpa niat menghina. "Kamu pasti bukan penggemar musim semi."

Jisung menggeleng. "Bukan. Aku jadi anak rumahan di musim semi. Orang-orang selalu lihatin aku kalau aku pakai inhaler. Aku nggak suka perhatian semacam itu."

"Gimana sama asap?"

Si pemilik gelar big head melirik bungkusan lilin yang diletakkan Jeno di ujung meja. "Ya, aku nggak tahan deket-deket perokok aktif."

"Mestinya kamu bilang." Mark menghela napas. Dia sudah curiga karena ini pertama kalinya Jisung kambuh di malam hari. "Besok kamu bisa makan malam lebih awal, jadi kamu nggak perlu ngehirup asap lilin."

"Nggak usah."

"Nggak?"

"Aku nggak mau ngerepotin orang lain."

"Berarti kamu lebih suka cari penyakit?"

Secara harfiah, Jisung bukan trenggiling yang akan menggulung diri jika terancam, tetapi itulah yang dalam tanda kutip dia lakukan saat dipojokkan. "Bukan! Maksudku bukan itu!"

"Apa asma ini bahaya? Bisa bikin kamu meninggal?"

Serta-merta Jisung mengangkat inhaler yang dia sembunyikan di sakunya. "Yang penting ada ini, aku nggak akan kenapa-napa."

"Kamu nggak jawab pertanyaanku."

Kini, Jisung tidak hanya kehilangan kantuk, selera minum tehnya pun musnah. "Nggak. Gejala asma lama-lama bakal reda. Paling-paling 10 menit, atau ..." Jisung berhenti mengoceh saat tatapan tajam Mark menusuknya.

Mark menandaskan tehnya sendiri. "Aku udah ngomongin ini sama Jeno. Kayaknya kamu nggak bisa ikut besok."

Jisung pucat pasi. "Kenapa?"

"Kamu nggak siap. Kepalamu luka. Kamu cedera. Belum lagi一"

"Jaemin-hyung juga cedera." Jisung berargumen. Bocah yang dulu patuh diminta tinggal di lab itu melawan. "Kakinya cedera. Dia lebih parah dari aku. Kenapa dia boleh ikut sedangkan aku nggak? Ini nggak adil."

"Jaemin masih bisa jalan. Lukanya nggak separah dugaanmu."

Komentar Mark diabaikan. "Ini nggak adil," ulang Jisung. "Apa karena aku sakit? Itu alasannya?"

"Kita cuma khawatir ke kamu."

"Kalau gitu jangan." Tiba-tiba bak melihat foto dari sudut berbeda, Jisung berubah ke dirinya yang lama. Bukan perubahan fisik一Jisung masih bocah tinggi kurus yang sama一melainkan kerapuhan di matanya. Dia kembali ketakutan, pada kemungkinan Mark menjadikannya orang terakhir yang mengetahui kondisi kakaknya. "Jangan begini, Mark-hyung. Aku tahu aku salah karena bertindak tanpa izin. Aku salah karena bunuh Sangyi seenaknya, tapi ini hukuman yang berlebihan."

"Aku nggak bilang ini hukuman."

"Buat aku nggak ada bedanya. Mark-hyung." Keputusasaan menderanya. "Kalau aku boleh ikut, aku nggak akan membangkang. Aku janji bakal nurutin semua perintah. Aku juga nggak perlu dijaga, dan ... Dan ... Pokoknya aku bersedia ngelakuin apa aja!"

Dengan sengaja Mark berbalik memunggunginya. "Aku nggak butuh janji. Kepercayaan itu terbentuk seiring pembuktian."

Keran air diputar, suara air yang mengucur bersaing dengan suara pelan Jisung. "Maka dari itu kasih aku kesempatan."

Selama semenit penuh Mark mengunci mulutnya. Dia mencuci cangkir lambat-lambat. Dia membilasnya berkali-kali walau telah bersih. Akhirnya, Mark mengeringkan dan meletakkannya di rak. Dia memandang Jisung lagi yang menunggunya dengan sabar. "Semua perintah?"

Jisung mengangguk tegas. "Ya, semuanya."

"Bahkan seandainya aku nyuruh kamu mundur waktu situasinya memburuk?"

"Tapi itu ... Namanya pengecut."

"Bukan itu jawaban yang aku mau."

Jisung mengaku kalah. "Setuju, termasuk perintah mundur."

Sesuatu menyerupai kepasrahan merasuk ke tulang-tulang Mark. Dia membahas situasi masa depan padahal tidak yakin terhadap situasi masa sekarang. Ditatapnya Jisung, sosoknya yang melebur dalam kegelapan, nyaris berkata, tidak. Mark capek berdebat. Sesungguhnya dia tidak ingin bersikap kejam, sama besarnya dengan dia tidak ingin menyesal. Namun, ketika dihadapkan dengan jurang, dia harus memutuskan apakah akan melompatinya atau mengambil jalan memutar. "Oke, Jisung, inget janji itu baik-baik dan buktiin. Kamu boleh ikut."

Mark berharap lompatan itu akan mengantarnya ke seberang.

Kaki Mark mengetuk-ngetuk aspal, dan dia mengawasi pergerakan itu seolah mencari tahu perbedaan antara kaki yang kiri dan yang kanan.

Pukul 04.46, masih terlalu awal. Bunga-bunga belum mekar. Rotasi bumi agaknya bekerja dengan kecepatan yang sama seperti saat Mark mencuci cangkir tehnya. Titik-titik embun melapisi rumput di pekarangan. Pagi itu beraroma sesegar roti yang baru dibakar, sehangat semangat, sekuat tekad. Jenis pagi yang menjanjikan hal positif dan seakan berpihak padanya.

Benarkah?

Jangan-jangan ini hanya kasus salah interpretasi dimana mata melihat apa yang didambakan saja, bukan kenyataan. Suatu usaha menyedihkan membengkokkan realita yang akan berakhir sia-sia. Benarkah? Mark membuka matanya lebar-lebar, berupaya melihat lebih jelas. Tetapi, dia justru menguap sampai mengeluarkan air mata.

Di sebelah Mark, turut bersandar di mobil ungu yang sama, Jeno tertawa. "Masih ngantuk?"

"Semalam ada kejadian seru tambahan."

"Aku tahu." Mark menoleh dengan sebaris tanya yang tertahan di lidahnya, dan Jeno menjawab, "Kalian bukan satu-satunya orang yang nggak bisa tidur. Jisung kan? Kita ngajak dia?"

Mark mengembuskan napas panjang. "Aku terlalu plin-plan, ya?"

"Penilaian manusia sering berubah-ubah. Kadang seorang pemimpin dituntut bikin keputusan terbaik di situasi sulit. Bukan plin-plan, tapi hati-hati. Yang penting," sudut bibir Jeno melengkung ke atas, "Bukan aku yang dicincang Grace kalau Jisung lecet-lecet."

"Sialan," gerutu Mark. Jeno terbahak-bahak.

Mark mengamati kakinya lagi, berpikir, gerakan berulang itu mirip seperti menari, ketika sisa anggota kelompoknya bergabung dengan mereka. Renjun, Ryujin, Jaemin dan Jisung, masing-masing gugup dengan caranya sendiri. Mereka justru bodoh jika tidak gugup. Terlalu percaya diri akan membuat mereka mengendurkan kewaspadaan.

"Kalian siap?" Tanyanya. "Tolong periksa pistol dan magasin kalian. Hari ini kita bakal bertamu ke tempat yang istimewa."

Seseorang berambut pirang di tim itu tergelak.

"Ini kesempatan terakhir," imbuh Mark. "Siapa yang pengen mundur dipersilakan. Nggak akan ada yang bilang kalian pengecut. Nggak ada pula pemaksaan. Kita di sini karena kita punya tujuan yang sama, karena Aru ngambil banyak hal dari kita. Jadi kalau kalian ngerasa nggak selaras sama tujuan ini, kalian boleh balik badan ke rumah. Ada?"

Ternyata tidak ada. Semua orang serempak menggelengkan kepala.

Senyum yang tersungging di wajah Mark mengungkapkan lebih banyak kebanggaan dari yang sanggup dia katakan. "Berarti kita sepakat. Sesuai strategi yang kita diskusiin kemarin, Ryujin ikut si kembar. Renjun dan Jisung ikut aku. Ambil ini." Dia mengoper flare gun pada Jeno. "Biar pun aku mau misi ini sukses, aku mohon jangan bersikap egois. Seandainya salah satu dari kita terluka, jangan tinggalin dia一nggak peduli lukanya ringan atau berat. Kita harus hadapin ini bersama-sama sebagai tim yang kompak.

"Mulai sekarang, ini bukan permainan. Ini taruhan antara hidup dan mati, berbahaya dan hasilnya penuh misteri. Aku nggak tahu soal masa depan, aku juga nggak pinter berkata-kata, tapi kalau ada sesuatu yang harus aku bilang di moment ini, nggak lain tentang pilihan kita yang cuma dua." Mark mengangguk pada teman-teman yang hingga kini mempercayai kepemimpinannya. "Kita yang menang atau mereka yang kalah. Ayo berangkat."

Mark yang naif dan Aru yang pinter manfaatin situasi, siapa kira2 yang bakal kehilangan lebih banyak? Atau bahkan kehilangan nyawa ...? 😏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top