71. Kita Punya Sisi Gelap II

Ada ketukan di pintu kamar Mark Lee, pelan dan ragu, mengganggu permainan yang mulai dia anggap seru.

Suara Jaemin dibawa angin melayang dari luar. "Mark-hyung, apa semuanya oke di dalem?"

Senyum Mark awet di wajahnya. Tidak berkurang, tidak terurai. Sedikit senyum itu bahkan bocor dan terdengar dalam bentuk tawa yang teredam. "Semuanya hebat di sini, Jaemin. Nggak ada yang nggak terkendali."

"Tapi, teriakan itu一"

"Kamu urus aja Jisung. Jangan masuk." Meski bila dia nekat pun, dia tidak akan mampu. Mark telah memblokir akses masuk utama ke kamarnya. Takkan ada yang bisa ikut campur kecuali dia mengizinkan, atau orang itu bersedia repot-repot mencungkil daun jendela.

Dari celah di bagian bawah pintu, terlihat bayangan Jaemin yang bergeming. Kenop pintu masih tertekan ke bawah. Mark menghitung satu sampai sepuluh, jeda yang dia butuhkan, sebelum dia berucap, "Ya udah." Dan pergi dari sana.

Hanya tersisa Mark dan Sangyi di ruangan sempit yang terkunci rapat. Dengan pisau yang tertancap. Aroma darah tercium pekat. Tempat tidur dan bed cover berwarna biru adalah saksi ketika Mark meneruskan permainan dengan mendorong pisau lebih dalam, melipatgandakan rasa sakit tamunya. "Di mana? Aku nggak denger jawabanmu."

Tubuh Sangyi berayun maju mundur. Kulitnya licin karena peluh. Dia memandang melewati Mark ke arah senjatanya, seolah bisa meraihnya dalam kondisi tangan terikat di belakang punggung dan kaki terluka. Sudah menjadi bagian dari naluri bertahan hidup manusia sepertinya, untuk mencoba berbagai cara saat terdesak. Terutama saat mereka putus asa. Sangyi tidak mengerti. Dia bodoh jika mengira Mark akan diam menontonnya mendekati senjata-senjata itu lebih dari tiga langkah.

"Oh, itu?" Mark terkekeh. "Mereka punyaku sekarang. Bagus-bagus, ya?"

Sangyi mendelik, pura-pura berani. Namun, itu dia一pengingkaran di matanya. Terdapat kesadaran yang timbul bahwa Mark tidak sekadar menggertak, dan itu membuatnya ketakutan. "Seandainya kalian tahu, kalian mau apa? Si Tikus dan si Kelinci cuma beruntung. Kalian nggak punya peluang ngelawan Aru."

"Sekali lagi, kamu terlalu ngeremehin orang lain."

Tawa sumbang Sangyi keluar disertai ejekan dengan volume yang rasa-rasanya sanggup membangkitkan mayat. "Kapten, perhatiin anggotamu. Kalian ini amatir. Kalian nggak lebih dari anak-anak yang berlagak jagoan. Dengan datengin Aru sama aja kalian setor nyawa."

"Atau mungkin," kata Mark datar. "Aku bisa ngadain reuni yang asyik sama dia. Reuni yang ngelibatin darah."

Sangyi tertawa semakin kencang. "Kamu nggak tahu apa yang kamu hadapi. Aru punya sepasukan orang terlatih di tempatnya."

"Dan tempatnya ada di...?"

Ludah Sangyi tercurah dan mendarat di pundak Mark dari target awal yang tadinya mengincar wajahnya. "Cari tahu sendiri, anjing kudisan."

Dibanding marah, Mark lebih condong ke menyayangkan. Bukan apa yang telah dilakukan Sangyi, melainkan apa yang hendak dia lakukan sebagai balasannya. Mark melirik sekilas noda baru di bajunya dan meringis jijik. "Kenapa kamu ngotot mertahanin loyalitas ke orang yang salah?" Lalu dia menekan gagang pisaunya lebih dalam, merobek jaringan otot, mengiris pembuluh darah. Cairan merah tumpah membasahi lantai, mengisi sambungan antar lininya yang tidak rata. "Sangyi?"

Jeritan Sangyi berubah jadi lolongan tanpa kata, simfoni acak tak beraturan. Lagu mengenai teror yang nada-nadanya pecah saking kacaunya. Tak ada makna, lagu itu hanya bercerita tentang kesengsaraan. "Bangsat!" Rutuk Sangyi dengan napas tersengal-sengal.

Ekspresi Mark setara dengan danau beku di musim dingin. Lapisan es di permukaannya terlalu tebal, makian-makian Sangyi tidak dapat meretakkannya. "Di mana?"

Sangyi malah mematung.

Menduga dia mesti didesak lebih jauh, Mark menggerakkan pisaunya menembus betis Sangyi di sisi lain. Dan, memutarnya. "Ini bukan kontes tutup mulut. Jawab aku."

Lebih deras peluh yang menetes dari dagu Sangyi, lebih lantang pula jeritannya. Pria besar itu tersedu-sedu seperti anak kecil. "Oke, oke, cabut dulu pisaunya. Jangan begini. Jangan begini! Aku nggak salah. Aku sebatas nurutin perintah Aru. Temenmu mati karena dia, bukan aku."

"Kalau gitu berhenti ngelindungi iblis itu."

Sangyi menarik napas dengan gemetar. "Arena. Mereka ada di arena. Zeny Futsal Arena, tepatnya, di distrik Nonhyeon."

Mark berupaya tidak terlalu menampakkan kegembiraannya. "Apa mereka masih hidup?"

"Aku nggak tahu."

"Berani taruhan kamu tahu. Atau apa harus aku nyeret kapak ke sini?"

"Jangan!" Dari mata Sangyi terpancar kengerian. Dia mengiba-iba mengabaikan harga dirinya yang terbuang. "Aku bener-bener nggak tahu. Yang cowok, dia kena tembak di paha. Sedangkan yang cewek, dia sempet dipukuli Yuma. Mereka dipaksa masuk gudang sejak kemarin pagi, tanpa makanan atau minuman."

"Gudang?"

"Ya, gudang. Aru marah ke si cewek gara-gara cewek itu nolak tawarannya gabung ke tim."

Pegangan Mark pada pisau melonggar walau dia tidak melepas kunciannya. "Kenapa Aru nawarin itu? Grace terlalu pinter buat gabung ke tim kalian."

"Justru itu," bantah Sangyi, "Aru suka dia karena dia pinter."

Tentu saja. Mark menyetujuinya diam-diam. Grace dan otaknya, elemen yang labil, tak tertebak, sekaligus aset yang berharga. Keterampilan memakai pistol dapat dilatih, tetapi kecerdasan sejati tak seperti buah yang mudah dipetik. Memiliki satu Grace akan lebih menggiurkan daripada tiga Sangyi dalam suatu tim. Dia tak heran Aru menginginkannya. "Ada berapa orang di markasmu? Berapa laki-laki? Berapa perempuan?"

"Tiga kali lipat jumlah kalian."

"Delapan belas?" Mark tergelincir ke kolam mimpi buruk. Delapan belas orang dalam satu tim akan jadi kelompok terbesar yang pernah dia temui sejauh ini.

Sangyi menyeringai. "Apa rencanamu, Kapten? Kamu mau giring anggotamu mati bunuh diri di sana?"

Mark tersenyum. "Nggak. Bukan itu."

Di arsip ingatannya, dia masih bisa melihat Jeno terkapar di lapangan sekolah, tepat setelah dia meyakinkan Jaemin tugas Jeno cukup aman. Melihat pipi Haechan disayat di rumah pertama. Melihat Grace pulang dengan luka di dahinya. Chenle dan Giselle beristirahat. Renjun dan Ryujin berada di titik terendah. Dan Jaemin, serta Jisung, pagi ini nyaris tinggal nama. Teman-temannya sudah sering menderita. Setiap kali selalu terasa menyakitkan. Takkan Mark biarkan Aru atau Aru-aru lain menyakiti lagi anggota timnya.

"Jangan khawatir soal anggotaku. Sebaliknya, Sangyi, khawatirin dirimu sendiri. Pertanyaan-pertanyaanku belum selesai. Kamu tahu apa akibatnya kalau diem?"

Sangyi beringsut mundur. "Jangan. Tolong jangan一"

Diiringi pekikan keras Mark mencabut pisau dan menggantikan posisinya dengan kaki kanannya. "Gimana cara kalian ngatur keamanan?"

Kemudian dia menginjak betis Sangyi seolah itu adalah sampah.

44 JAM TANPA AIR.

"Karina? Kalau kita keluar dari sini, apa hal pertama yang mau kamu lakuin?"

Jung Sungchan berandai-andai, merentangkan imajinasinya sejauh dia bisa mengembara. Dia tidak mempermasalahkan apakah ada yang menjawabnya atau tidak. Dia sudah lelah mengasihani diri sendiri, terlalu lelah mempedulikan suaranya yang tak lebih keras dari bunyi goyangan batang padi. Sungchan hanya ingin bicara, butuh sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Hal-hal menggembirakan seperti kue-kue yang matang atau telur hewan yang menetas. Suatu kelahiran一dalam berbagai cara. Apa saja selain kematian.

"Kalau aku ..." Napas Sungchan terputus-putus. "Aku mau main basket."

Sungchan seakan bisa mendengarnya sekarang. Bunyi duk duk duk bola oranye yang memantul-mantul dari tangan pemain. Teriakan pelatih yang memintanya bermain lebih lepas. Sorakan teman-temannya saat dia berhasil mencetak poin dan menyalip perolehan lawan. Sungchan menyukainya. "Aku juga mau minum yang banyak. Jus, coke, kopi. Karina, kamu suka teh kan? Kamu pernah bilang favoritmu teh barley."

Tetap tidak ada jawaban. Tidak apa-apa.

Karina tidur. Grace juga terlelap sedari tadi, memangku kepala Haechan, mengelus rambutnya. Tubuh Grace miring ke satu sisi, wajahnya tampak damai. Mungkin begitulah arti kematian yang sesungguhnya. Bukan hilang, melainkan pulang. Bukan memudar, melainkan kembali ke wujud sejati tanpa terkekang aturan-aturan duniawi. Dengan kata lain, sebuah akhir.

Siapa yang menyangka? Dia akan meninggal di gudang lapangan futsal. Dia tak ada bedanya dengan hewan yang terperangkap di kandang. Bila beberapa jam lalu Sungchan masih menyangkal, kini dia lebih bijak dengan tidak terus-menerus berdusta. Dia mulai meyakini satu hal pasti yang muncul ketika dia telah merelakan dan pasrah, bahwa inilah dia, ini kuburannya. Tanpa nisan bernama. Baunya seperti tanah lembap.

Sungchan mati rasa, kebas. Dia seolah tidak lagi terhubung dengan lengannya, kakinya. Dia tidak bisa menggerakkan mereka meski hanya guncangan ringan pada jarinya. Selagi berbaring miring menghadap dinding, pandangannya memburam, jadi dia menutup matanya. Rasanya enak. Nyaman. Bebas.

Di suatu tempat di luar sana, Aru tertawa. Seberkas cahaya bulan menyusup melalui ventilasi bersama hembusan angin segar. Sebuah pintu terbuka, dan Sungchan memasukinya一secara sukarela.

Empat orang penghuni gudang itu akhirnya beristirahat, pergantian hari tak dapat mengusik mereka.

Air dingin bergulir menuruni pundak Mark Lee.

Hujan buatan shower membasuh banyak hal darinya一sisa kantuk, debu, keringat, darah. Dari pundak ke lengan, melewati lekukan siku, lalu jemari tangan, dan di situlah air berubah warna menjadi merah. Jika seorang seniman ingin melukis kematian, itulah warna yang tepat; merah gelap yang mengandung kesuraman dan duka.

Mark berpaling saat drainase menyerapnya dengan cepat. Menyiksa tawanan takkan dia sebut sebagai pencapaian, terlebih bangga terhadapnya, namun ketika dicari-cari, rasa bersalah itu tidak ada. Dia kering, cenderung menikmati. Suara-suara yang berbisik bahwa menusuk betis orang yang terikat itu bukan perbuatan mulia lama-lama semakin pelan dan lenyap tak berbekas. Lalu Mark ditinggalkan, bersama sosok yang tidak dia kenal dan baru hari ini dia ketahui eksistensinya.

Mark yang kejam. Mark yang sadis.

Jemarinya gemetar kala mengusap cermin untuk menengok penampilannya. Dia terperangah, tidak percaya. Perubahan yang begitu drastis seharusnya menyisakan bekas. Mark setengah mengira akan melihat ... Entahlah, kegelapan di wajahnya? Namun wajah ini masih sama一wajah si ketua kelas andalan para guru. Dari luar, dia tak menunjukkan perbedaan.

Membelakangi pintu, Mark bergerak seperti robot mengenakan pakaiannya; hoodie kuning dan celana jeans. Yang kurang adalah kacamata berlensa bulat dan setumpuk buku tebal. Sehelai handuk tersampir di lehernya. Dia keluar dari kamar mandi dan langsung berpapasan dengan Jaemin. "Jeno belum pulang?"

"Bentar lagi pasti pulang."

Mark tersenyum pada Jisung yang sama seperti Jaemin, dia larang menerobos masuk ke kamar. "Gimana keadaanmu?"

Jisung menyentuh perban baru di dahinya. "Mendingan."

Jaemin berusaha mencairkan suasana. "Kepalanya gede sih, jadi lebih kuat. Apa istilahnya一big head? Lukanya pun agak ke pinggir, aku nggak perlu cukur rambutnya buat nempelin perban. Untung aja!"

"Big head?" ujar Mark. "Aku juga pernah dipanggil gitu."

"Sama siapa?"

"Sama一"

Jisung menggoyang-goyangkan gelas di genggamannya hingga air dalam gelas itu membentuk pusaran. "Aneh, aku nggak ngerasa beruntung sama sekali."

Senyum Jaemin mengecil. Cengiran Mark musnah. Kedua pemuda itu saling pandang di meja makan sama dengan perasaan yang tak selaras. Jaemin yang bingung berkata, "Maaf", semata-mata karena mendadak tidak ada yang bicara.

Kedatangan tim pencari lilin disyukuri Mark, dan itu tak hanya disebabkan mereka pulang dengan jumlah lengkap tanpa luka tambahan. Bahkan suara Renjun yang curiga terdengar merdu di telinganya. "Apa nih? Kok sepi?"

Jeno mengulurkan sebuah kantong plastik berisi barang-barang yang dipesannya pada Mark. "Seadanya, maaf. Kita cuma cari di sekitar sini dan geledah beberapa rumah. Tapi kayaknya itu cukup buat beberapa hari."

"Bagus, Jeno. Ada masalah?"

"Nggak. Di sini?"

"Di sini apa?" Berpura-pura bodoh adalah strategi Mark menunda-nunda menjawab pertanyaan sulit.

Sial baginya, Jeno tidak gampang dikelabui. "Di sini maksudku di rumah ini. Apa ada masalah?"

"Bajingan itu apa kabar?" Sambung Ryujin, konsisten menolak menyebut nama tamu mereka sejak awal.

Mark duduk. "Aku sedikit ... Interogasi dia, dan hasilnya aku dapet banyak informasi tentang di mana Aru, berapa anggotanya, senjata jenis apa yang mereka punya. Lumayan detail."

"Dia mau ngomong?" Sahut Renjun penasaran.

"Aku paksa dia ngomong."

Renjun seketika menyesal sudah bertanya.

Jeno membuka dan menutup mulutnya dua kali sebelum mengajukan pertanyaan lanjutan. "Dia masih di kamar?"

"Ya."

"Hidup?"

"Sementara."

Jisung melakukan pemberontakan dengan berdiri dan memprotes tindakan Mark melalui sorot matanya yang menentang. "Aku kira dia mati."

"Tenang, Jisung."

"Kenapa dia belum mati?" Suaranya jadi lebih menuntut

Mark, yang menanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya memiliki jawaban yang tidak ingin dia bagi-bagikan seperti permen di hari Halloween. Dia lelah. Sebelum memutuskan membunuh orang, dia ingin sejenak beristirahat. "Nanti aku urus dia. Aku udah bilang aku yang bakal urus dia."

Si bungsu di kelompoknya menggeleng tegas. "Ini nggak bener." Jisung bergegas pergi menuju kamar yang mereka tempati semalam.

"Jisung!" Jaemin memanggilnya. Tidak dihiraukan. Jisung teguh mengambil jalan yang dia pilih. Semua orang yang mengikutinya tidak membuatnya memperlambat langkah.

Di dalam kamar, terlihatlah pemandangan tidak menyenangkan karya Mark. Sangyi pingsan. Pisau melubangi betisnya. Memar berderet di wajahnya. Ada darah dimana-mana, bagai gelombang air pasang. Banjir darah yang sebenarnya. Sampai saat itu, Mark tidak sadar seberapa parah kekacauan yang dia perbuat, dan sesaat dia malu, pada persoalan-persoalan yang terlalu rumit untuk dia tambal dengan alasan-alasan karangan. Faktanya, dia telah mengubah kamar remaja biasa menjadi ruang pembantaian.

Ryujin tertegun. "Woah, Mark一"

Namun itu belum apa-apa. Dia tak dapat mengantisipasi apa yang terjadi selajutnya. Tak seorang pun siap. Ada kilatan cahaya, bunyi nyaring menggelegar, dan ledakan keterkejutan. Tangan-tangan terangkat menutupi mata, kaki-kaki mundur di luar kendali. Mark menghirup bau bubuk mesiu, disusul selongsong peluru yang jatuh berdenting ke lantai.

Sangyi tewas.

Jisung menurunkan M4 yang dia sambar, senjata yang mengirimkan peluru pencabut nyawa ke dada Sangyi, lantas tersenyum一senyum anak-anak yang murni dan lugu. "Sekarang kita bisa diskusi dengan santai."

Untuk kali pertama sejak temannya meninggal dan kakaknya hilang, Jisung tertawa.

Oke ini telat, tadinya mau gua kasih warning di awal tapi batal biar pada terkejoed massal awokwokwok :vv maap ya kalo part ini agak sadis, ntar lain kali gua bikin Mark kelitikin Aru aja deh ☺️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top