70. Kita Punya Sisi Gelap I

Terhitung pagi itu, aliran listrik resmi terputus.

Bangun-bangun, Mark Lee merasakan kamarnya panas, lebih terang. Sinar matahari dari jendela menggoda kelopak matanya. Hanya lantai kayu tempatnya berbaring yang dingin, namun itu pun tidak seberapa. Pendingin ruangan berhenti bekerja, angka yang tertulis di remote-nya adalah 18 derajat yang tidak terasa benar. Kesejukannya hilang.

Mark bangkit duduk. Badannya pegal-pegal. Bantal tipis saja rupanya tidak sanggup memberi banyak kenyamanan. Dengan mata setengah terpejam, Mark menekan sakelar lampu. Nihil. Akhirnya dia menyerah, sambil menghela napas.

Kasur dalam keadaan kosong, berantakan. Jisung tidak ada dimana-mana. Pemeriksaan kilat Mark di bed cover yang tidak lagi menyimpan hangat tubuhnya membuktikan Jisung sudah pergi cukup lama. Apa dia sedang sarapan? Mark lekas menuju dapur. Usai dua kali tersandung akibat lebih fokus menggosok-gosok mata dibanding pada ayunan kakinya, dia berhasil tiba dengan selamat.

"Makan?" Jeno menawarkan, mengulurkan satu mangkuk dari beberapa yang ditumpuk rapi di atas meja. Jeno duduk di sebelah Ryujin, menghadap panci berisi sup berwarna kekuningan yang aromanya menggugah selera.

"Apa ini?"

Senyum Ryujin mengembang. "Sup ayam tanpa ayam."

Mau tak mau Mark tergelak. "Mana yang lain? Kenapa sup unik ini masih sisa banyak?"

"Renjun di ruang tamu, ngegambar," jawab Jeno. "Dia emang nggak banyak makan. Kalau Jisung jalan-jalan."

Bahu Mark langsung naik lebih tinggi ke telinganya, tegang. "Dia sendirian?"

"Nggak, bareng Jaemin."

Sepasang bahu itu kembali turun, rileks. Sup ayam tanpa ayam ternyata enak. Sayuran-sayurannya masih segar. Dia jadi penasaran siapa yang meraciknya, mengingat dia tak pernah pandai di bidang apapun yang melibatkan masak-memasak. Entah kenapa, saat menggoreng telur contohnya, dia selalu lupa membubuhkan minyak. Dan pernah sekali karena frustrasi, dia menggunakan gunting untuk memotong buah-buahan. "Bagus. Aku kira dia..." Mark menggeleng, membendung arus pemikiran buruknya. "Omong-omong, listriknya mati."

"Ya," celetuk Ryujin. "Dari tengah malem." Kala itu jam dinding berada di angka 08.22.

Jeno mencetuskan sebuah ide. "Kita harus ke luar lagi hari ini. Cari lilin, senter, baterai, atau benda-benda semacamnya."

"Kita nggak punya sama sekali?"

"Nggak," jawab Jeno kedua kalinya. Dia meneguk segelas air. "Apa yang kita takutin terjadi."

Mark mengeruk mangkuknya sampai tandas yang otomatis menghentikan protes perutnya yang keroncongan. "Tunggu aku mandi, setelah itu kita berangkat. Apa duo J udah jalan-jalan lama?"

"Renjun bilang sejak jam setengah tujuh, sekalian olahraga." Suara Ryujin menjadi kian pelan ketika Mark meninggalkannya ke kamar mandi.

"Ke mana?" Tanyanya, menutup pintu. Dia menghidupkan shower dan bersyukur sebab air tidak termasuk ke daftar masalah pagi ini. Listrik yang mati, gas yang menipis. Dua hal itu membuat kepalanya pening. Dia tak butuh lebih banyak kesulitan, masalah yang berkunjung bertubi-tubi tiada henti.

Mark baru meloloskan kausnya dari kepala ketika sadar tidak ada yang meresponsnya. "Jeno? Ryujin?"

Sesuatu jatuh ke lantai, kedengarannya alat makan dari perak.

Mengurungkan niatnya, Mark memakai lagi kaus itu. Untaian air dari shower menetes-netes di belakangnya, seperti para prajurit tentara yang terjun dari pesawat tempur pada perayaan hari kemerdekaan. Jeno dan Ryujin lenyap. Sebuah sendok tergeletak di kolong meja. Bagian belakang tubuh mereka terlihat berlari tergesa-gesa ke ruang tamu, dan Mark mengikuti dengan segera.

"Jaemin?!" Jeno yang pertama bersuara, kaget bercampur cemas.

Di situlah mereka, duo J, Jaemin dan Jisung, berdiri di ambang pintu dengan kondisi babak belur. Ada kunci mobil asing di jemari Jaemin. Pakaiannya punya motif baru, titik-titik merah tua yang menyebar tak rata, tidak sepolos sebelumnya. Dia berjalan sambil menyeret kaki kanannya, selangkah di depan Jisung yang menunduk seolah meneliti corak lantai rumah. Lebih jauh di balik bahu mereka, terdapat sebuah sedan ungu yang terparkir di halaman. Warnanya payah, tidak memancarkan maskulinitas.

Mark menerobos pagar hidup yang merupakan Jeno dan Renjun. "Kamu kenapa?"

Tangan Jaemin一yang juga berwarna merah一bergerak-gerak saat dia menjelaskan situasinya. "Aku nggak apa-apa, aku nggak apa-apa. Ada ribut-ribut kecil sama anak buah Aru, tapi sekarang udah selesai. Aku dan Jisung udah selesaiin semuanya. Yah, selain一"

"Anak buah Aru?" Mata Ryujin terbelalak. "Kalian ketemu anak buah Aru?"

"Ya." Jaemin menunjukkan tampang pasrah, yang akan ditunjukkan seseorang saat dia tahu kesalahannya dan siap menghadapi konsekuensi dimarahi habis-habisan. "Gini, ceritanya panjang. Pokoknya kita ke toserba dan mereka muncul tiba-tiba. Nggak ada pilihan lain, jadi aku ngelawan mereka, dan一"

"Kamu ngapain?" Jeno menyela dengan nada berbahaya.

Reaksi Renjun lebih tak terkendali. "Kamu ini tolol, Jaemin. Bertindak sendirian, apa itu solusimu? Kamu bahkan nggak bawa pistol, gimana bisa一"

Jaemin mengusap wajahnya, yang memindahkan noda merah itu, bercak darah itu, ke pipinya. "Oke, aku salah. Oke. Tapi bisa tunda dulu acara marah-marahnya? Yang mau aku omongin sebelum kalian mungkin berencana ngerebus aku adalah, salah satu anak buah Aru ada di mobil. Dia masih hidup. Kalian mau tahu di mana Haechan dan Grace? Nah." Jaemin mundur, lantas memiringkan kepala ke arah mobil yang dia bahas. "Si jaket kulit itu bisa jawab pertanyaan kita."

Mulut Mark terbuka lebih lebar daripada saat dia makan. "Jaket kulit? Maksud kamu dia orang yang一dia yang ... Bunuh Chenle?"

Jisung yang jadi lebih pendiam dibanding biasanya, mengangguk. Begitu mendongak, Mark mendapati dia tidak lebih beruntung dari Jaemin. Pipinya memar. Bibirnya pecah-pecah, berdarah, dan dari bibir itu, terlontar kalimat yang tak pernah Mark kira akan dilontarkan oleh bocah polos seperti Jisung. "Sebenernya aku lebih suka dia mati."

40 JAM TANPA AIR.

Jung Sungchan lelah.

Sungguh menggelikan sensasi ini, semua keletihan ini, mengingat kemarin dan hari ini dia tidak melakukan apa-apa. Berbaring semestinya tidak menguras tenaganya. Tidur semestinya terasa nikmat. Dulu dia atlet, rutin berlari guna menjaga kebugaran. Sungchan terbiasa dengan langkah-langkah cepat, jarang melambat. Pelatihnya sering berpesan, lampaui batasmu, jangan menyerah. Musuh terbesarmu adalah kemalasan.

Kini, berdiri saja dia tak bisa.

Memalukan. Sungchan ingin marah, namun itu pun memerlukan tenaga yang tidak dia punya. Dadanya sesak一bukan sekadar metafora. Napasnya berbunyi terengah-engah, dangkal, seperti seseorang yang terjangkit flu parah. Kepalanya begitu berat, Sungchan tak kuasa duduk tegak. Dia hanya rebah di lantai, mencengkeram dada, tersiksa. Jika ini yang dinamakan proses kematian, Sungchan ingin bagian ini dipersingkat saja, hingga一

Apa sih yang dia pikirkan?

Tidak, tidak. Jangan begini. Dia tidak boleh begini. Dia tidak mau meninggal, iya kan? Meninggal artinya melebur, hilang. Sungchan tidak siap一belum siap. Masih ada banyak hal yang ingin dia capai. Apa kata Karina waktu itu? Sesuatu tentang harapan. Atau bintang-bintang. Jangan-jangan malah tentang balon yang melayang di udara ... Ekstrak ginseng untuk meningkatkan stamina ... Sungchan tidak ingat. Tidak ingat sama saja dengan lupa. Dia melirik gadis itu. "Karina?"

Karina tergolek lemas tidak jauh darinya. "Ya?"

"Aku ..." Kening Sungchan berkerut. Dia lupa apa yang hendak dia bicarakan. "Jusmu ..." Akhirnya dia berkata. "Maaf soal jusmu."

Karina mengangguk semampunya. "Haechan lebih butuh."

"Menurutmu dia bisa bertahan?" Haechan sempat tersadar sebentar tadi. Matanya mengerjap-ngerjap, berjuang terbuka, tapi tak lama dia kembali pingsan. Mereka berhasil memberinya beberapa jam tambahan, entah sampai kapan. Sedikit jus apel tidak akan meredakan dehidrasinya, atau menurunkan demamnya. Dia sekarat. Grace belum beranjak dari sisinya.

"Aku nggak tahu, Sungchan. Apa kita bisa bertahan?"

Sungchan mencoba tertawa. Tenggorokannya yang kering justru menghasilkan suara batuk-batuk hebat. Dia mengangkat tangan ke mulutnya, dan saat itulah, dia menyadari ada yang salah. Kulitnya! Permukaan terluar yang membungkus tubuhnya memang masih seputih biasanya, namun ada sesuatu一corak tersamar, kejanggalan一semacam rona biru yang tidak natural. Dia mengecek Karina, Grace, Haechan. Mereka juga.

Waktu mereka sudah tidak banyak.

Pria itu lebih kurus dari dugaannya.

Jaket kulit yang dikenakannya membuatnya terkesan lebih kekar, lebih berisi. Seringainya adalah faktor lain yang memberinya kesan mengintimidasi. Mark Lee masih ingat, dia turun dari mobil Aru tanpa sepecik pun penyesalan, kendati baru saja membunuh seorang remaja, yang tidak akan memiliki kesempatan untuk tumbuh dewasa. Pria ini justru terlihat puas, bangga pada diri sendiri karena peluru-pelurunya mengenai sasaran, seperti pemburu yang sukses memanah rusa. Dalam keadaan tidak sadar, kini dialah yang menjadi mangsa. Bajingan menyedihkan. Sangyi, namanya.

Mark membungkuk memastikan ikatannya cukup erat. Sebagai tindakan pencegahan, dia telah mengikat kaki pria itu. Ekspresinya yang acuh tak acuh merupakan topeng ketenangan semu yang dia pasang selagi mendengarkan cerita Jaemin dan Jisung. Mereka semua berkumpul di kamarnya, tiga pistol baru diletakkan di atas tempat tidur.

"Makanya buat jaga-jaga seandainya Aru ngecek toserba, aku masukin dua mayat temen Sangyi ke bagasi Subaru. Dia nggak akan tahu anak buahnya mati terbunuh kecuali dia bisa nemuin mobil itu, yang udah aku sembunyiin ke tempat lain."

Kemarahan Jeno bersifat seperti gula, mudah larut dan memudar. Dia mengangguk, sudah tidak tampak seperti ingin merebus adiknya. "Jadi Aru bakal ngira mereka terlambat atau nggak bisa pulang. Kerja bagus."

Renjun yang bersandar di pintu menyelipkan sebatang pensil ke telinganya. "Apa Aru bahkan tertarik nyari mereka? Dia nggak kelihatan peduli sama siapa-siapa."

"Lebih baik waspada daripada menyesal, Ren," tukas Jaemin, pandangannya tak kunjung beralih dari Jisung.

Ryujin menggeleng-geleng. "Astaga, ini pagi yang mendebarkan buat kalian. Kamu dan Jisung, kalian hebat bisa ngatasin mereka."

Dunia boleh saja berakhir besok, atau sore ini, tapi Jaemin tetaplah Jaemin, yang selalu menerima pujian dengan rendah hati. "Ah, peranku kecil. Jisung yang jadi aktor utamanya."

Mark memutuskan menyelidiki apakah dia bersikap berlebihan atau memang Jaemin yang tidak bersikap seperti biasanya. "Jaemin? Bisa bantu aku? Kepalaku pusing. Kamu taruh di mana obat-obatan kita?"

"Bukannya ada di dapur?"

"Nggak ada."

"Siapa yang mindahin?" Si calon dokter tidak senang ada yang mengotak-atik persediaan obatnya. Jaemin berdiri meninggalkan kamar diikuti Mark. Tak ada anggota lain yang merasa haus atau ingin lanjut makan, untungnya. "Ini apa?" Dia mengangkat bungkusan plastik bening dari salah satu rak di atas kompor.

Bungkusan itu diterima Mark hanya untuk diistirahatkan di meja. "Aku bohong. Kepalaku nggak pusing. Oke, mungkin agak pusing. Bukan itu masalahnya. Duduk sini, Jaemin."

"Ada apa?" Jaemin duduk di seberangnya, menyatukan kedua telapak tangan.

"Kamu punya waktu lima menit buat jelasin alasan kamu melototin Jisung. Cepet. Sebelum dia curiga."

"Apa aku terlalu kentara?"

"Ya." Mark mengatakan sejujurnya. "Pasti ada alasannya kan?"

Jaemin bimbang. Kegiatan ini lebih seperti bergosip dibanding diskusi, dan yang lebih parah, orang yang mereka gosipkan berada di bawah atap yang sama. "Di toserba, ada yang aneh sama Jisung. Yang aku ceritain itu bener, tapi aku ngehapus satu detail penting. Luka di dahi Sangyi, lihat kan? Itu nggak sepenuhnya gara-gara aku. Jisung ikut ambil bagian bikin dia kayak gitu."

"Dan?"

Jaemin berdecak tidak sabar. "Mark-hyung, Sangyi udah pingsan. Dan Jisung mukul dia padahal itu nggak diperlukan. Kalau aku nggak nyegah, bisa-bisa Sangyi meninggal. Pokoknya aneh. Seolah-olah Jisung jadi orang lain ..." Dia mendengus. "Sekarang malah kata-kataku yang aneh."

"Kamu yakin?"

"Aku nggak bohong."

"Bukan itu maksudku. Mungkin sebenernya Sangyi nggak pingsan. Mungkin Sangyi masih sadar dan kamu nggak tahu."

"Dia pingsan." Jaemin mencondongkan tubuh ke depan dengan keseriusan yang terlalu kuat untuk disebut main-main belaka. "Aku jamin."

Baiklah, Mark harus mengakui itu lebih aneh dari ucapan Jisung yang seakan mengindikasikan dia gemar menonton pertumpahan darah. Jisung bukan orang semacam itu. Jisung yang Mark kenal adalah pribadi yang lembut, pemalu, penakut. Anak ayam yang berkotek dikala subuh bicara lebih sering darinya. Memukul Sangyi yang pingsan? Dia sukar percaya. "Apa Jisung marah karena sesuatu yang disinggung Sangyi?"

"Entah, tapi Sangyi sempet ngehajar dia."

"Jisung cuma bales perbuatannya."

"Persis kayak yang dia lakuin ke Haechan."

Mark menelan ludah. "Aku hampir lupa soal itu."

"Aku pikir ..."

"Terusin aja."

"Jisung susah ngendaliin emosinya. Ditambah kejadian waktu itu. Tanda-tandanya terlalu mencolok. Dia nunjukin gejala PTSD. Atau ASD."

"ASD?"

"Acute stress disorder. Bukan berarti aku punya kualifikasi buat diagnosis seseorang."

"Oh," kata Mark, mengernyit karena istilah asing yang baru kali ini dia dengar. Lalu dia ingat ada lubang lain di kalimat Jaemin. "Kejadian apa?"

Kejengkelan Jaemin tidak ditutup-tutupi. "Jeno nggak cerita? Dia bilang dia yang mau cerita."

"Aku nanya ke kamu."

"Yah, oke, ini kejadian yang awalnya aku kesampingkan. Gimana pun, kita berduka dengan cara yang beda-beda, dan Jisung一" Ekspresi Jaemin berubah. Dia menggapai sebuah obat secara acak. "I-ini dia."

Jisung mendadak berjalan memasuki dapur dengan raut wajah terlampau tenang. Derap langkahnya tidak mengusik lantai, dia tidak menimbulkan suara. Kedatangannya benar-benar tanpa peringatan. "Mark-hyung, udah mendingan?"

"Apa?"

"Pusingnya."

Mark nyaris lupa dia seharusnya merasa pusing. "Hm, itu ... Ya. Ini obatnya. Ternyata aku nggak teliti."

Jisung tidak menggubris tingkahnya yang ganjil. "Sangyi udah sadar." Di saat yang sama, Mark mendengar suara berat seorang pria yang mengoceh disertai makian-makian kasar. Mengutuk, mengancam. Suara itu minta ampun berisiknya.

Mark meraih sebilah pisau yang gagangnya berhias potongan kulit wortel. Bukan pisau yang besar, namun tajam. Dan itulah yang dia inginkan. Sempurna. "Jisung, kenapa kamu nggak obatin lukamu dulu? Biar aku yang ngurus tamu kita. Jaemin, tolong, ya?"

Jaemin mengangguk. Jisung duduk ragu-ragu di kursinya semula.

Tiba di kamarnya lagi, Mark mengawasi si jaket kulit. Tak satu pun dari Jeno, Renjun atau Ryujin bersedia mendekatinya. Mereka membiarkan pria itu menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari tali yang melilit tubuhnya. Percuma saja. Mark mengerjakan tugasnya lebih baik dari orang yang mengikat Jisung. "Jeno," panggil Mark. "Kamu bisa nyari lilinnya tanpa aku?"

Jeno bingung. "Lilin?"

"Ya. Lilin, senter, baterai? Ajak Renjun dan Ryujin."

"Tapi dia ..." Jeno melirik Sangyi.

Mark melambaikan tangannya. "Gampang. Jadi, lilin?"

"Bisa," jawab Jeno lambat-lambat. "Sekarang?"

"Secepatnya."

Renjun mendorongnya dari belakang. "Ayo, berangkat."

Mark menyaksikan mereka pergi, dan memastikan mereka jauh dari jangkauan pendengaran, kemudian menutup pintu. Jeno sepertinya dapat mengendus adanya sesuatu yang tidak beres. Dia tidak peduli. Seluruh konsentrasinya terpusat pada moment ini saja. Mark mengunci kamarnya.

"Sangyi," gumam Mark, mondar-mandir. "Itu namamu kan? Aku Mark Lee. Kita pernah ketemu sebelumnya. Kamu pernah jadiin punggungku keset buat bersih-bersih sepatumu. Kalau nggak salah kamu dan Aru ngambil dua temenku. Grace dan Haechan. Apa aku keliru?"

"Persetan! Lepasin tali terkutuk ini! Kalian kira Aru nggak bakal nyari aku? Kalian kira Aru bakal diem aja一"

Mark berjongkok di hadapannya dan mensejajarkan mata mereka. "Jangan remehin Jisung dan Jaemin. Aru nggak akan bisa nyari kamu. Atau dua temenmu yang udah tewas. Gimana rasanya kehilangan rekan?"

Celotehan Sangyi semakin panjang dan variatif. Dia berupaya menendang Mark, tapi terhalang oleh tali.

Mark tertawa. "Kasih tahu aku di mana mereka. Cewek yang makek banyak gelang dan cowok yang matanya sayu. Di mana mereka, keparat?"

Sangyi memandangnya penuh kebencian, yang kurang lebih sama dengan apa yang dirasakan Mark terhadapnya. "Apa yang bikin kamu ngira aku mau kerja sama?"

Tanpa aba-aba Mark menghunus pisaunya menembus celana Sangyi dan menancap cukup dalam di dagingnya. Sangyi berteriak. Lelehan darah merah kental mengalir membanjiri lantai. "Kayaknya kamu mau, kecuali kamu lebih suka kakimu putus."

Permainan baru saja di mulai.

Satu persatu semua karakter berubah, dan sementara itu, Haechan masih aja tidur pulass~~ xixixi 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top