69. Kita Menjalankannya

Park Jisung tidak takut.

Ada banyak hal yang dipertaruhkan, seribu kemungkinan yang bisa melenceng dari rencana, dan uniknya, dia tidak takut barang secuil pun. Untuk apa? Pada apa? Semua yang dia miliki sudah direnggut.

Jisung sendiri merasakan perbedaannya, bagaimana melalui proses perubahan yang dipaksakan, dia kian jauh dari dirinya yang lemah di rumah pertama. Bocah cengeng itu sudah tidak ada. Pemuda tangguh namun rusak di dalam ini penggantinya. Pemuda yang keras kepala, tidak tumbang walau berulang kali berniat menyerah. Tidak akan pernah selagi dia masih punya alasan.

Duduk bersimpuh di lantai toserba, Jisung menghitung alasan-alasan itu; menyelamatkan Grace, Haechan. Menjadi orang yang berguna. Memastikan Jaemin tidak tertangkap. Kemudian, membalas dendam. Dia sedang menjalankan keempatnya sekaligus, berharap tetap hidup sampai akhir, di bawah pengawasan si jaket kulit yang oleh teman-temannya dipanggil Sangyi.

"Periksa toko-toko sekitar. Setiap gang dan sudut-sudut gelap." Sangyi memerintahkan, berlagak seperti bos besar. "Kalau ada rekannya si Tikus ini, bunuh dia. Kamu sendirian?"

Pertanyaan itu ditujukan pada Jisung, tapi dia mengunci mulutnya rapat-rapat. Dia memperhatikan salah satu teman Sangyi mengokang Revolver-nya dan minggat. Dari pintu samping lah dia keluar.

Sangyi tertawa. "Tikus, jawab dong. Bisu, ya? Tenggorokanmu perlu digorok?" Dia berdecak prihatin. "Kamu mestinya pergi jauh dari sini. Jangan berkeliaran di sarang ular. Ini bukan tempat yang cocok buat bocah yang napas lancar aja nggak bisa."

"Oh ya." Teman Sangyi yang tersisa, pemuda berpakaian polo shirt sederhana, menimpali. Wajahnya familer, tetapi tanpa ciri khas yang mencolok, kenangan tentangnya sulit digali. "Ini bocah yang waktu itu kan? Yang megap-megap kayak ikan di darat?"

"Bener. Geledah dia."

Sesuai perkiraan Jisung, tebakannya jadi kenyataan. Dia diperiksa, saku-sakunya ditepuk-tepuk cermat. Tidak banyak yang pria itu temukan. Kertas catatannya diabaikan. Gelang kakaknya dilempar sembarangan. Jisung berusaha tetap tenang saat pria yang sama membaca petunjuk penggunaan di label tabung inhalernya, lalu memutuskan tabung itu tidak cukup berharga untuk disimpan, dan mengembalikannya.

"Cuma obat." Si Penggeledah meledek. "Dia bersih."

Senyum geli tersungging di bibir Sangyi. "Bahkan nggak bawa pisau?"

Tak lama, si Pencari yang Sangyi tugaskan mengecek bangunan-bangunan di sekeliling toserba kembali. Keningnya dihiasi butiran-butiran keringat tipis. Tak ada cipratan darah di baju atau celananya, yang diartikan Jisung sebagai pertanda baik. "Nggak ada, Sangyi. Lingkungan ini sepi."

"Menarik," komentar Sangyi singkat. Dia mengarahkan senjatanya ke bagian bawah dagu Jisung hingga Jisung mendongak. Meski termasuk jangkung untuk anak seusianya, Sangyi lebih tinggi. Dan lebih kuat. "Mana anggota kelompokmu yang lain?"

Jisung masih bungkam.

Salahnya. Kemampuannya membaca raut muka orang lain tidak sejalan dengan pertumbuhan tulang-tulangnya yang pesat. Jisung belum pandai, dan tidak tahu bahwa Sangyi sudah jemu menunggunya buka suara. Dengan satu langkah kilat Sangyi mendekatinya, menyarangkan tinju ke perutnya dengan kekuatan yang sanggup membuat Jisung merosot lunglai. Dulu sekali, Haechan pernah memukulnya, namun tidak seperti ini, tidak sesakit ini. Sangyi dan teman-temannya terbahak-bahak ketika Jisung terpuruk di kaki mereka, menyentuh perutnya dari luar yang dia yakini akan memar.

"Aku tanya sekali lagi, mana anggota kelompokmu yang lain?"

Jisung yang merasa mual menjawab terbata-bata. "Di rumah. Mereka tidur nyenyak."

"Jadi kamu kabur?"

"Buat nyari kakakku."

Alis Sangyi terangkat naik. "Kakak? Si cewek FAMAS?" Dia melirik Jisung dengan sorot mata iba. "Kakakmu udah tamat riwayatnya."

"Belum." Sedikitpun Jisung tidak percaya padanya. Sedikitpun Jisung tidak mau mempercayainya. "Dia belum meninggal."

Si pencari menyeletuk, "Itu kan menurutmu."

"Hei, denger, Tikus." Sangyi berjongkok di hadapannya. Sekilas Jisung membaca tulisan "M4 Carbine" di senjata yang dia genggam. "Kamu kayaknya pinter, kamu tahu tentang rantai makanan? Di dunia yang kejam ini, orang-orang yang lemah ada di bawah. Kamu, contohnya. Bocah penyakitan. Terus di atas, di puncak piramida, ada Aru. Mereka yang udah ngejual jiwa mereka ke setan. Mereka yang nggak tahu apa itu belas kasihan. Kamu pikir kakakmu punya peluang menang dari Aru? Kamu salah."

"Kalian juga."

"Soal apa?" Sangyi menunjukkan ketertarikan. Dia tersenyum jenaka, tak mengira Jisung akan merepotkannya.

Namun karena sudah sebegitu sering dihadapkan dengan sikap menyepelekan seperti itu, Jisung terbiasa. "Pegang kata-kataku, cepet atau lambat, kalian bakal nyesel ngeremehin orang lain."

Tangan berat dan kasar menarik Jisung bangkit, memastikannya berdiri dulu, lalu menghantam pipinya dengan telak. Pukulan kedua lebih keras, sama tak disangkanya, dan turut mengenai hidung yang memicu tanda tanya apakah hidungnya patah. Sangyi menyeringai culas. "Pidatomu boleh juga, tapi masih butuh sedikit latihan."

Keseimbangannya terganggu, Jisung tertatih-tatih mundur. Dia tidak kaget mendapati darah memercik dari sudut bibirnya. Rasanya nyeri saat menggerakkan rahang, jadi dia menghentikannya, termasuk upaya mengenai bicara dan membalas.

Sangyi menikmatinya, jelas, namun si Pencari malah menyuarakan kebosanan. "Ayo pulang, Sangyi. Kerjain dia di Arena. Kalau kita terlalu lama, nanti Aru marah."

Arena?

Anggukan setuju dipersembahkan Sangyi. Begitu kemarahan Aru disinggung, dia menciut. Aru yang marah barangkali hobi memakai pistol dan peluru, bukannya paduan pas ketegasan dan kelembutan seperti yang telah dipraktikkan Mark. "Ikat dia. Kita bawa si Tikus ini. Aru pasti seneng dapet mainan baru setelah mainan-mainan lamanya dia buang."

Giliran si Penggeledah yang aktif bekerja. Dia membongkar toko berburu tali. Dia mengikat Jisung seperti hewan ternak, dalam simpul longgar akibat tidak cakap. Jisung tidak melawan. Sepanjang waktu dia memegang inhalernya, menjaga benda itu dari siapapun yang berniat merampas.

Sangyi memimpin jalan ke mobil, menuju sedan butut berwarna norak. Bukan jenis kendaraan yang akan digunakan pembunuh berjalan-jalan. Sedan itu tak memberi kesan mengancam. Si Pencari dan si Penggeledah mendorong Jisung. Mereka mengapitnya, tidak melihat tatapannya yang lapar akan kesempatan. Di manakah Jaemin sekarang?

Sepuluh langkah dari pintu masuk, Jisung mengaitkan kaki kirinya ke kaki kanannya, berpura-pura dia tersandung dan menabrak Sangyi dari belakang. Pria itu tersungkur, di saat yang sama Jisung merasakan bahunya bebas. M4 Sangyi terlontar dari tangannya dan menyelinap ke bawah kolong mobil seakan hendak bersembunyi. Sangyi berputar marah. "Tikus Sialan!"

Lalu, seperti kecerobohan yang tidak disengaja, Jisung melepas inhalernya. "Oh," katanya datar. "Obatku jatuh juga."

Sesosok tubuh ramping seorang pemuda keluar dari balik tembok toserba, muncul ibarat kelinci yang dimantrai para pesulap. Kelinci yang ini tidak jinak. Na Jaemin menyerbu laksana macan kumbang; lebih ganas, lebih cekatan, mengincar mangsa yang paling dekat dengannya.

"Hei," panggilnya.

Sial bagi si Penggeledah. Dia hanya sempat menoleh sebelum berkenalan dengan pisau Jaemin. Bilah pisau itu berkilau tertimpa sinar matahari, dan dia mengerjap. Dia menutup matanya. Kekeliruan besar. Maut datang dalam bentuk remaja tanggung yang menghujamkan pisau dalam-dalam ke lehernya, hingga gagangnya seolah bisa ikut melesak. Pemuda itu mengeluarkan suara mengerikan, dan ambruk sejurus kemudian. Darahnya menyembur deras mengguyur aspal.

Mendadak, Jisung bisa mendengar suara Haechan; satu selesai. Ayo, maknae, bertindak!

35 JAM TANPA AIR.

"Apa-apaan kamu?" Hardik Karina. "Kamu pikir ini semua bakal selesai dengan bunuh diri?"

Kehilangan, begitu sering hingga menjadi rutinitas. Takdir yang tak terelakkan. Mengurasmu ibarat buldozer mengeruk tanah. Menguras Grace. Tak ada habisnya. Kenyataan bahwa orang yang dia sayang memudar perlahan-lahan dan dia tidak bisa berbuat apa-apa meruntuhkan sisa harapan yang dia punya. Tidak bisa mencegah, tidak bisa menolongnya. Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa. Jung Sungchan pikir, kesedihan atas kehilangan Haechan akan membunuh Grace lebih dulu dibanding dehidrasinya.

Grace menangis, histeris. Sekujur tubuhnya gemetar. Dia tak tampak seperti gadis yang mengelabui Rim atau berusaha menerkam Yuma. Grace yang ini rapuh, hancur, tak lagi ingin hidup. Dia kehilangan terlalu banyak; dimulai dari adik, dilanjutkan sosok seorang kekasih. Siapa yang bisa menanggungnya tanpa setidaknya lepas kendali sekali?

Selama itu Karina berlutut di depannya, menangkup pipinya, membisikkan kata-kata menenangkan. Bahkan ketika jeritan-jeritan Grace berubah menjadi sesuatu yang tidak dapat dipahami, Karina setia memeluknya. Gadis kecil itu tenggelam di dekapan gadis yang lebih besar. Tangan Karina-lah yang menyelamatkan Grace dari jurang yang Aru ciptakan.

Sungchan mengemasi pistolnya. Sewaktu dia kecil, Sungchan pernah punya pistol mainan yang dibelikan orang tuanya agar dia bisa ikut bermain perang-perangan yang melibatkan saling menyemprotkan air sampai basah kuyup. Lalu pistol virtual. Di dunia game, tentu saja. Setiap pistol bisa di-upgrade dengan cara mengumpulkan berlian. Cara mengoperasikannya pun gampang, tinggal tekan titik spesifik di layar.

Glock ini berbeda. Sangat berbeda.

Permukaannya halus, mulus. Tidak mirip besi, lebih condong ke plastik kendati tidak sama persis. Sungchan gagal menepis godaan untuk membelainya, menelusuri setiap inci. Dingin. Dia bergidik.

Cukup. Sungchan lekas menyembunyikan Glock itu di bawah patahan tiang gawang, tempat Grace akan sulit menemukannya. Ketika Karina berkata, "Kamu masih punya aku", Sungchan memangkas jaraknya dengan mereka dan tersenyum.

"Dan aku. Kamu nggak sendirian, Grace. Semua bakal baik-baik aja, oke?"

Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya. Sepahit dusta.

Serangan tak terduga merupakan kunci keberhasilan mereka.

Na Jaemin bukan petarung kelas unggulan. Jisung bahkan lebih parah一dia satu tingkat di bawah amatir. Sejatinya peluang mereka sedikit, melawan tiga pria besar berbekal sebilah pisau biasa, namun pria-pria itu terlalu santai, kelengahan mesti mereka bayar dengan nyawa.

Sebelum korban pertamanya roboh, Jaemin sudah mencabut pisaunya. Bila Jisung disebut mirip ikan di darat, si Penggeledah lebih mirip ayam yang disembelih. Dia menggelepar di tanah, darah menyembur dari lubang di bawah telinganya. Apa yang keluar dari mulutnya tak lebih dari suara batuk menyeramkan sebelum dia tewas.

Saat itulah Jaemin memungut Revolver-nya.

Revolver yang disiapkan sejak awal. Revolver yang bertujuan membunuhnya. Dia bermain-main dengan Dewi Fortuna saat menekan pelatuk, mengincar si Pencari, tepat di dada. Sebutir peluru terbang disertai suara letusan kencang一

Merobek bahu pria itu dan seketika menghempaskannya!

"Bangsat!" Sangyi tersadar. Sangyi, yang tempo hari tidak bertindak cepat dan terlambat menolong temannya. Dia melompat menerjang Jaemin membawa segenap kemurkaan.

Jisung bertindak spontan. Selagi tangannya masih terikat, dia melepaskan satu tendangan ke lutut Sangyi, namun Sangyi terhuyung pun tidak. Rencananya mudah dibaca. Sangyi berkelit, merenggut kerah pakaiannya dan mendorongnya ke jendela sedan. Retakan lebar terbentuk di kaca itu, dan menyebar menyerupai jaring laba-laba.

"Jisung!"

Kepala Jisung terbentur keras. Bangunan toserba berputar-putar di matanya, seolah rangka batu batanya yang solid berubah menjadi agar-agar. Atas dan bawah. Panas dan dingin. Di antara kungkungan rasa sakit, segalanya serba buram. Ketika ia hendak bangkit, seseorang menarik kakinya dan menyebabkannya terjungkal. Jisung berpaling. Si Pencari!

"Keparat," semburnya geram. "Keparat kecil sialan!"

Kuku Jisung mencakar-cakar aspal saat dia mati-matian menghindar. Dari tempatnya berjuang, dia menyaksikan Jaemin berebut Revolver dengan Sangyi. Satu peluru lagi lepas landas, menuju langit. Entah siapa yang meluncurkannya. Sangyi menghajar betis Jaemin dan Jaemin langsung goyah. Kepalan tangannya melayang, tapi Jaemin sebatas mengenai udara. Sangyi merunduk di moment yang tepat. Pukulan Jaemin yang semakin liar menandakan angin sudah berpindah ke kapal lain.

Kondisi Jisung lebih mendesak. Si Pencari mengurungnya dengan sepasang lengan sekuat baja. Bau anyir darah menusuk indera penciuman Jisung manakala pria itu meletakkan jemarinya yang basah di lehernya, memutus aliran darah dan oksigen ke otak Jisung. "Pergi sana ke neraka!"

Pria itu mencekiknya. Mencuri napasnya. Jisung mulai tersedak. Paru-parunya menyempit dari ukuran normalnya. Dia membayangkan paru-paru itu menyusut dan lenyap. Dia memberontak, dengan tangan dikuasai tali tebal, menghambat aksinya.

"Hamster ..."

Jaemin terjatuh di dekatnya. Sangyi nyaris berhasil. Sebelah kaki Sangyi telah memijak panggung kemenangan.

"Sebenernya Grace sayang sama kamu."

Tidak tahan lagi. Dia perlu bernapas. Dia harus bernapas. Sekarang dan secepatnya, supaya kegelapan berhenti menggerogoti kesadarannya. Ini bukan tentang dirinya saja. Ini turut menyangkut kakaknya. Kalau dia meninggal, siapa yang akan menolong Grace sebesar keinginannya?

Tidak. Belum.

Jisung menampar wajah si Pencari dengan punggung tangannya, menyingkirkan pria itu secara paksa. Talinya mengendur, lalu putus. Pria itu terguling, lantas memekik saat tak sengaja menimpa bahunya yang koyak. Segera, Jisung menjauhinya, linglung dan pusing, menghirup udara seperti penyelam yang terlalu lama berada dalam air. Dengan rakus. Matanya jelalatan menganalisis pilihan-pilihan di depannya; ada dua senjata, Revolver dan M4.

Dia memilih M4.

Berdasarkan pengalaman, menggunakan senjata api akan lebih mudah bila kamu tahu dasar-dasarnya, minimal bagaimana pengamannya bekerja. Maka sembari merangkak, Jisung menggapai M4 itu dan mengokangnya, dengan kesigapan yang akan diapresiasi Haechan, kemudian tanpa basa-basi menembak. Hasilnya lebih baik daripada saat latihan. Hanya satu peluru yang meleset. Peluru kedua sukses menembus kepala si Pencari dalam satu gerak lurus dan mengirimnya ke tempat yang pantas.

Dua tembakan beruntun dari senjata yang dikenalnya mengejutkan Sangyi. Fokusnya terpecah. Fokus Sangyi memang gampang terpecah. Jaemin memanfaatkannya dengan menonjok lawannya, hingga kepala Sangyi bertabrakan dengan aspal. Sangyi tidak melawan. Dan tiba-tiba, kesunyian menyelimuti toserba. Tempat itu berubah jadi sehening pemakaman.

"Jisung?"

Jisung terlampau lelah merespons. Dia berbaring telentang, mata terpejam.

"Apa kamu kambuh lagi? Jisung!" Jaemin tersaruk-saruk menghampirinya. Dia memeriksa anak yang lebih muda itu, memperhatikan ritme napasnya. "Sakit? Butuh inhaler?"

Gelengan Jisung mewakili penolakannya. Dia tidak merasa sesak, dia justru merasakan kepuasan. "Sangyi masih hidup?"

"Siapa?"

"Sangyi. Si jaket kulit."

Melegakan sekali saat Jaemin bereaksi dengan anggukan. "Dia cuma pingsan."

Dibantu Jaemin, Jisung berdiri. Kulit di pergelangan tangannya mengelupas, perih bak teriris silet-silet tajam. Dia beringsut menengok Sangyi, sekadar memastikan. Jaemin rupanya benar. Luka di kepala mereka anehnya kelihatan serupa.

Kecemasan membayangi wajah Jaemin. "Kamu lempar ke mana inhaler一"

Tak mengacuhkannya, Jisung memukul dahi Sangyi memakai M4-nya, membuat kepala pria itu berayun-ayun layaknya bandul kalung. Dahi Sangyi robek. Pembunuh Chenle, orang yang berkata kakaknya meninggal, kini tidak berdaya. Jisung menyukainya.

Jaemin terperanjat. "Apa yang kamu lakuin?"

"Dia belum meninggal kan?" Bibir Jisung yang terluka melengkung ke atas. Dia mengangkat M4 lagi, bersiap memberi pukulan kedua.

"Jisung? Jisung, jangan!" Suara Jaemin melengking, bernada panik, cenderung ngeri. Jaemin merampas M4 itu darinya, namun Jisung menolak merelakan begitu saja. Jisung tidak mengerti. Bukankah begini aturan tim mereka? Siapa yang memegang senjata lebih dulu berhak mengklaimnya. Kenapa Jaemin menghalanginya? "Aku bilang jangan! Dia nggak akan berguna buat kita seandainya dia meninggal."

"Dia belum meninggal," sanggah Jisung tenang.

"Dia bakal meninggal kalau kamu berulang-ulang mukul dia," seru Jaemin, menekankan tiap kata. "Aku bukan dokter sungguhan. Aku nggak bisa ngobatin orang yang gegar otak."

Mereka berpandangan. Wajah mereka terpaut beberapa senti saja. Tinggi mereka hampir sama. M4 terjebak di tengah-tengah keduanya, masing-masing mencengkeram senjata itu, tak mau kalah. Jisung yang pandangannya kosong, Jaemin yang menantang agar Jisung membantahnya. Detik demi detik terasa seperti selamanya. Waktu melingkar bagai pita yang terus memanjang.

Jisung-lah yang memutus kontak mata mereka. Dia menunduk, memandang tangannya yang dinodai darah Sangyi seakan itu tangan orang lain. "Maafin aku, Jaemin-hyung. Aku nggak tahu ... Aku agak kacau ..."

Suaranya menghilang, begitu pula monster asing yang tadi sempat menampakkan diri.

Ilustrasi Jisung pas rencananya berhasil 😳👉 :

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top