67. Kita Punya Rencana
Na Jaemin menguap, entah bagaimana berhasil membawa diri dengan baik selagi duduk di tanah dan menyandarkan punggungnya pada pot tanaman yang kusam.
Secara keseluruhan penampilannya jauh dari kata pantas; pakaiannya berkerut-kerut setelah dia mungkin berguling-guling di atas kasur. Rambutnya, lurus dan berpotongan mirip tokoh utama pria di manga Jepang, tampak kusut. Sebelah pipinya dihiasi garis-garis tidak alami yang berasal dari cetakan selimut. Raut wajahnya merupakan persilangan antara memberengut dan menahan kantuk. Pukul 06.08 pagi jelas terlalu dini baginya, dan dia tidak siap memulai hari tanpa secangkir kopi一atau, tahu lah, dua.
Park Jisung berdiri di bawah pintu garasi, keterkejutan belum hilang dari tungkai-tungkainya. Mengingat betapa gemarnya Jaemin bicara, Jisung mengira dia akan langsung dicecar berbagai pertanyaan.
Namun Jaemin agaknya terlalu mengantuk untuk mewawancarainya.
"Jaemin-hyung?"
Seringai lebar mencerahkan wajah Jaemin. "Maaf bikin kamu kaget. Aku kebangun buat ke kamar mandi, dan kebetulan lihat kamu keluar rumah."
"Aku nggak denger apa-apa." Dalam hati Jisung merutuki telinganya yang tidak peka.
"Pastinya. Kamu sibuk baca sesuatu di pangkuanmu. Kertas apa itu?"
Oke, jadi Jaemin mulai sadar. Jisung-lah yang belum menyediakan kebohongan yang masuk akal. Di saat yang paling dibutuhkan, otaknya malah mogok kerja. Dengan panik, dia menengadah ke awan seolah solusinya akan turun dari langit. "Cuma kertas ... Biasa. Itu robekan dari buku sekolahku yang lama."
"Oh." Jaemin menggaruk lehernya. Perlahan-lahan pandangannya berangsur jernih dan waspada. "Dan ngapain kamu di sini?"
"Hm, mau olahraga?"
"Naik sepeda?"
"Ya." Akan lebih baik bila Jaemin sungguh-sungguh mendorongnya ke sekumpulan kaktus berduri. Untuk pemuda seperti Jisung, rentetan pertanyaan yang semakin lama semakin mengintimidasi adalah siksaan pribadi.
Muncul keheningan yang tidak nyaman, setidaknya bagi Jisung yang menyimpan rahasia, karena Jaemin terlihat biasa-biasa saja. Jaemin masih tersenyum一sosok bintang yang bersinar dengan caranya sendiri tanpa harus meniru jejak Jeno menjadi atlet. Dan sejenak Jisung iri, pada kepercayaan dirinya, keberaniannya, dan terutama, kedekatannya dengan saudaranya. Dia dan Grace? Mimpi saja mereka akrab.
"Boleh aku ikut, Jisung?" Tanya Jaemin tiba-tiba. "Aku udah lama nggak gerakin badan." Dia tertawa. "Kecuali nusuk kepala zombie itu masuk ke kategori cabang olahraga baru."
"Ikut?" Jisung berupaya fokus ke pembicaraan, dan mengusir bayang-bayang masa lalu antara dia dan kakaknya. "Itu nggak perlu. Aku bisa jaga diri sendiri. Lagian sepedanya cuma ada satu."
"Ya udah kita pakek mobil."
"Tapi," tutur Jisung putus asa. "Kalau naik mobil, itu artinya kita jalan-jalan, bukan olahraga."
"Gampang!" Seru Jaemin santai. "Aku punya ide." Dia mengolah ide itu seraya menyisir rambutnya dengan jari. "Gimana kalau kita ke toserba yang kamu sebut kemarin? Di sana kamu bisa olahraga, dan aku bisa nyari sesuatu buat sarapan. Beres kan?"
Berpikir dia hanya pandai mencari jalan keluar dari rumah, bukan dari situasi pelik yang menghimpitnya, Jisung tak memiliki pilihan lain selain pasrah. Bukan kali ini saja dia berharap dirinya lebih luwes dalam hal bicara. Seperti ayahnya kala menangani pelanggan. Seperti Grace saat berpresentasi di kelas. Jisung tidak meminta banyak, hanya sedikit meningkatkan nilainya dari D ke C untuk masalah ketangkasan, agar kelak berkata 'tidak' tidak akan terasa sesulit sekarang.
Minimal jadi lebih mudah...
Jaemin bergegas menuju rumah. Jisung mendengarnya berpamitan pada seseorang lalu pintu dikunci dari dalam. Rumah mereka kembali tampak seperti rumah tak berpenghuni; tenang, bersih, tidak mengundang perhatian. Yang terakhir itu sangat penting sebab akan gawat bila ada penyintas lain yang berniat mencari markas dan berhadapan dengan empat remaja bersenjata. Membayangkan ada perselisihan baru sudah membuat Jisung tertekan.
"Ayo." Jaemin melambai usai dia masuk ke Subaru. Kursi penumpang depan terbuka, menunggunya. "Aku udah bilang ke Renjun soal tujuan kita."
Jisung mematuhinya lantas memasang sabuk pengaman. "Diizinin?"
"Kenapa nggak? Asal kamu nggak sengaja bikin mereka cemas, masalahnya selesai."
Gelombang kedua rasa iri menyergap Jisung lebih dahsyat dari sebelumnya. "Mereka nggak akan ngasih izin kalau itu aku."
Jaemin tidak menganggapnya masalah besar. "Itu karena kamu masih kecil. Di rumah, aku juga dimanja karena anak bungsu."
"Nggak separah aku, aku tebak," tukas Jisung pahit. "Omong-omong, belok kanan."
"Siap." Jemari Jaemin mengetuk-ngetuk ringan roda kemudi. Angin yang mengacak-acak rambutnya tidak dia hiraukan. Dia justru menikmatinya. Jisung takkan pernah memahami Jaemin. Kadang hiperaktif, kadang suka menyendiri. Dialah teka-teki yang rumit. Membingungkan. Tapi siapa di dunia ini yang mampu memahami orang lain sepenuhnya?
Jisung berpaling, meneliti rumah-rumah yang mereka lewati, lalu bangunan-bangunan lain yang lebih bergaya dan dilengkapi papan nama; Gym Gihun, toko buku Saebyeok, Bar Jiyeong. Kemudian dia ingat rencananya, dan duduk semakin tegak. "Kalau kita udah selesai sama urusan di toserba, boleh aku olahraga sendirian?"
"Kenapa?"
"Ada urusan."
"Urusan apa?" Jaemin terus mendesaknya.
Area di tengah-tengah mata Jisung mulai berdenyut-denyut. Pantulannya di kaca spion termangu dengan mulut terkatup. Maksud baik yang tidak disampaikan dengan baik pula rentan mengarah ke kesalahpahaman. Meski paham Jaemin khawatir, dia tak bisa mengenyahkan perasaan bahwa dia sedang dimata-matai. Oleh seluruh anggota kelompoknya! "Urusan yang mestinya nggak dibocorin ke orang lain."
Hampir seketika Jisung menyesalinya saat ketukan Jaemin di setir terhenti.
"Rahasia, eh?" Rahangnya mengencang, Jaemin menatap ke depan dengan ekspresi yang bisa berarti apa saja kecuali senang. Marah. Kaget. Kesal. Jangankan dia, bahkan Jisung juga tercengang karena kelancangannya. Dia biasanya tidak seperti ini, terlebih pada orang yang telah berjasa menyelamatkannya.
"Maaf," kata Jisung cepat-cepat meralat. "Itu tadi keterlaluan. Aku keterlaluan."
Jaemin hanya mengangguk.
Menit demi menit berjalan tanpa percakapan. Jaemin sudah tenggelam ke mode diam, dan Jisung bingung harus bagaimana memperbaiki kekacauan yang dia perbuat. Mereka rekan yang kompak, masing-masing terbukti memiliki kemiripan yang sukar disangkal. Tak seorang pun berinisiatif mendepak keheningan, sehingga saat tiba di toserba, dinding di antara mereka menjulang setinggi menara Namsan, melebar sejauh yang bisa dibayangkan dari dua orang yang duduk berdampingan.
Subaru menepi di sebuah gang sempit, yang cukup lebar untuk dimanfaatkan sebagai lokasi parkir darurat. Tinggi toko itu melindungi mereka dari orang-orang yang mungkin mengawasi. Semua berkat tembok batanya yang berwarna merah tua. Namun tempat itu ternyata tak berbeda dengan atmosfer kaku di mobil一kesunyiannya begitu kental dan membuat depresi. Sungguh keadaan terisolasi yang menyeramkan. Sekaligus melegakan.
Tak sabar ingin menghirup udara segar, Jisung meraih pegangan pintu mobil dan menariknya. Pintu itu bergeming. Dia mengerutkan kening. Apa-apaan ini? Pantang menyerah, Jisung mengerahkan lebih banyak tenaga dan menarik lebih keras. Tidak bisa. Tidak ada perubahan. Apakah ini karena dia belum sarapan?
Jisung berbalik dan mendadak memperoleh jawabannya.
"Child safety lock," dendang Jaemin, menyanyikannya seperti lagu dengan suaranya yang merdu. "Ini fitur yang berguna kalau kita berkendara bareng anak-anak."
Jisung membenturkan kepalanya ke jendela.
"Nah, Jisung," lanjut Jaemin, tidak mempedulikan reaksinya yang lesu. "Ada beberapa hal yang harus kita bahas. Buat permulaan, kenapa kamu nggak bilang apa rencanamu dan alasan kamu ngotot nyembunyiin itu?"
28 JAM TANPA AIR.
Di tempat yang berbeda, suara nyanyian dari orang yang berbeda pula mengusik Jung Sungchan.
Sungchan terbangun, terlalu cepat, dan akibatnya selama semenit penuh dilanda pening yang luar biasa. Segalanya campur aduk, dia gemetar. Benar-benar gemetar hebat yang melibatkan tangan tak bisa diam serta keringat yang terjun bebas dari pelipis ke pipinya. Alih-alih dilingkupi rasa segar sehabis istirahat, dia justru kepanasan dan lelah, padahal suhu gudang itu sejuk karena masih menyimpan sisa-sisa kebekuan musim dingin yang belum enyah.
Ini belum pernah terjadi sebelumnya, pada seorang atlet yang sepatutnya berada di kondisi prima.
Berapa lama? Sudah berapa lama berlalu sejak dia terakhir kali minum? Sungchan menyapukan jari ke bibirnya. Kering. Kasar. Tenggorakannya bak terganjal sebongkah batu raksasa. Gigi-giginya dikertakkan ketika dia menopang dirinya bangkit dan mencari sumber nyanyian yang mengganggu tidurnya.
"Di telinganya, gadis itu berbisik tentang negeri impian
Tak ada penyakit, kau akan muda selamanya
Lukamu pasti sembuh pada saat yang tepat
Sebab di Tir Na Nog, tak ada yang mengenal duka
Sang kesatria pun terperdaya
Oh, gadis berambut emas, kaulah peri yang menyesatkan!
Kesatria itu lupa, tak semua monster berwajah mengerikan."
Si penyanyi, Grace, asyik melantunkan lagu yang berkisah mengenai manusia-manusia yang tersesat. Lagunya asing, terkesan mistis. Suara Grace yang jernih seakan memboyong Sungchan ke hutan belantara dimana para peri masih suka menari di bawah sinar bulan一minum anggur dari gelas-gelas kristal, menunggu dengan rayuan-rayuan menjebak.
Ketiadaan musik pengiring tidak Sungchan perhatikan, nada naik-turun yang Grace gunakan sudah menghipnotisnya. Gadis itu bernyanyi dengan baik. Alunan lagunya menyelubungi Sungchan di malam yang sepi itu bagai sehelai selimut kesayangan. Bahkan Karina ikut terjaga. Dia beringsut menghampiri Grace dan menyentuh lengannya. "Gimana keadaan Haechan?"
Aneh, Haechan satu-satunya orang yang masih terlelap, kendati Grace bersenandung dengan volume yang cukup lantang dan pemuda itu terbaring di pahanya一praktis mendengar lullaby tersebut dari jarak yang paling dekat. Sungchan mengira Haechan berpura-pura. Sebentar lagi, dia akan bangun lalu menggoda Grace seperti yang sering dia tunjukkan. Namun dia tetap hanyut dalam sungai ketidaksadaran. Napasnya pendek-pendek, sangat samar. Dadanya mengembang pelan. Terlalu pelan.
Grace menjawab pertanyaan Karina sekenanya. "Haechan nggak apa-apa."
"Kamu yakin? Dia nggak gerak sama sekali."
Ketika Karina mengulurkan tangan hendak memuaskan rasa penasarannya, Grace mencekal tangan itu dan mengembalikannya ke pangkuan, tepat sebelum Karina menyentuh bagian tubuh mana pun milik Haechan. "Jangan. Tolong. Biarin Haechan tidur. Itu lebih baik daripada dia kesakitan."
"Oh, oke..." gumam Karina, seperti juga Sungchan, menyadari sikap Grace yang lebih sinis. Tidak ramah. Lebih liat.
Grace terang-terangan mengabaikan Karina dan melanjutkan nyanyiannya yang tertunda. Kini, dia memilih lagu berirama sedih, masih bernuansa gelap, dari bahasa yang tidak dikenal.
Sungchan ingin mengatakan sesuatu一apa saja一tetapi dia lebih ahli melakukan tembakan floater daripada menghibur wanita. Lagipula ini bukanlah jenis perkara yang bisa dia tuntaskan. Karina kian layu. Haechan pingsan, dan Grace putus asa. Satu-satunya jalan keluar mereka, pintu persegi panjang besar berwarna cokelat, tekunci rapat. Suka atau tidak, semakin lama mereka semakin dekat dengan kematian.
Gudang itu menjadi lebih kelam saat orang-orang yang tertawan di dalamnya mulai kehilangan harapan.
Untuk setiap rantai, selalu ada titik terlemah. Jika kamu ingin merusak rantai itu, incar titik tersebut, maka rantainya akan putus. Sebuah pertautan yang salah, bagian yang terlalu kendur. Titik itu bukti bahwa tak semua rantai diciptakan sama kuat, kenyataan yang kerap kita jumpai pada manusia yang hidup dalam komunitas. Dengan kata lain, di setiap kelompok, akan selalu ada anggota yang hanya menjadi beban.
Sebuah celah; dirinya.
Park Jisung membiarkan napasnya berembus di jendela, menutupinya dengan selapis tipis uap hangat. "Aku ketahuan, ya?"
Dibanding saat menguak rahasia Haechan, Jaemin yang tergelak bersikap lebih halus padanya. "Jisung, kamu pernah baca buku tentang psikologi? Tips ampuh menghindari kecurigaan, jangan ngubah rutinitas, misalnya, bangun pagi dan bersikeras olahraga."
Dengan canggung Jisung mengusap dahinya, merasakan lembapnya keringat yang berpindah ke jemarinya yang panjang. Sejak dulu dia bukan penggemar konflik. Terlibat pertengkaran hanya membuatnya lelah secara mental. "Ini mungkin kedengeran basi, tapi aku bener-bener nggak bermaksud bikin semua orang khawatir."
"Kalau gitu kurang-kurangi bertindak sendiri一itu saranku."
"Rencanaku belum tentu berhasil."
"Apa salahnya kamu ngajak orang lain diskusi?"
"Dan一" Jisung terus bicara, seakan Jaemin tidak menyela. Dari suaranya, tercurah keraguan yang dia pendam. "一aku pengen ngelakuin sesuatu, supaya aku berhenti ngerasa jadi orang yang nggak berguna."
Keraguan itu rupanya bersifat sepihak. Jaemin, di seberangnya, tidak segan-segan mengungkapkan apa yang dia pikirkan. "Bikin dirimu terbunuh nggak akan nolong siapa-siapa, termasuk Grace."
"Aku nggak akan melangkah sejauh itu, kecuali situasinya nggak memungkinkan."
"Jelasin." Kepalang basah, Jisung mengeluarkan kertas yang dia klaim adalah robekan dari buku sekolahnya. Sebagian kata-katanya memang benar, sebagian lagi terjalin dari dusta. Dia memperbolehkan Jaemin membacanya. "Apa ini?"
"Daftar tempat-tempat yang berpotensi dikunjungi Aru. Atau temen-temennya."
"Dari mana kamu dapet asumsi semacam ini?"
"Itu toko makanan," imbuh Jisung, memberi lebih banyak petunjuk. "Semuanya. Itu benang merahnya."
"Benang merah? Jisung, apa yang kamu omongin?"
Jisung menghela napas. Dia mencondongkan tubuh melewati Jaemin dan menekan tombol unlock yang mematikan sistem penguncian yang diaktifkan pemuda itu. Dia keluar, lega terbebas dari mobil yang pengap. Tak lama kemudian, Jaemin membuntutinya. "Di dua kesempatan, apa yang terjadi sama kelompok kita nggak berbeda sama peristiwa yang dialami kelompok Ryujin Noona. Aru ngincer kita karena kita lengah dan punya makanan. Inget apa yang dibilang Renjun-hyung?"
"Waktu dia deskripsiin anak buah Aru?"
Jisung membenarkan.
Jeda sesaat ketika Jaemin berjuang mengingat-ingat. "Renjun bilang mereka nimbun makanan."
"Tepat, jadi perkiraanku, cepet atau lambat kita bakal ketemu mereka di tempat-tempat kayak gini." Sambil lalu Jisung mengisyaratkan toserba yang terbuka, menampakkan makanan-makanan ringan yang tercecer di lantai. "Ini mirip berburu. Kita bisa nangkep hewan buruan asal kita sergap hewan itu di habitatnya."
Tatapan Jaemin berubah serius. "Aru nggak bodoh, Jisung. Dia bukan hewan yang bisa kita giring ke lubang jebakan dan seandainya bisa, dia pasti ngelawan. Kita nggak bawa senjata."
"Aku bawa pisau di mobil."
Melalui jendela Jaemin memungut pisau itu dan mengamatinya dengan bantuan sinar matahari yang keemasan. "Mana pistolmu?"
"Ada di Ryujin Noona."
"Kurang persiapan," tegur Jaemin sengit. "Kamu nggak ngira sanggup ngalahin Aru pakek pisau aja kan?"
Mengedikkan bahunya, Jisung mencoba memperlihat mimik muka tak acuh. "Aku cuma berharap sanggup nolong kakakku gimana pun caranya."
"Bahkan kalau harus mati?"
"Bahkan kalau harus mati," ulang Jisung mantap, tanpa secercah kebimbangan. Tidak untuk masalah sepenting nyawa kakaknya. "Jangan halangi aku, Jaemin-hyung."
Sesuatu berkelebat di mata Jaemin. Penghargaan, barangkali. Atau cemoohan dari seorang pemuda yang lebih dewasa terhadap anak-anak yang akan bertindak konyol tanpa perhitungan matang. Sulit mengartikannya. Sesuatu itu menghilang semendadak kemunculannya. "Ayo kita pulang."
"Apa? Pulang? Aku nggak mau一"
"Park Jisung." Suara Jaemin tidak kencang, cenderung pelan, namun Jisung sukses dibuat mematung berkat tatapannya yang menyaingi ketajaman pisau yang dia pegang. "Jangan salah sangka, rencanamu bagus. Bagus banget malah, tapi kamu harus ngaku kalau kamu butuh bantuan. Kita mesti lapor dan libatin Mark-hyung."
"Mark-hyung terlalu hati-hati, dia terlalu banyak mikir."
Tawa Jaemin menyeruak mengoyak kesunyian. "Kamu, sebaliknya, terlalu gegabah."
Kritik itu menghantam Jisung ibarat kereta yang menabrak dadanya. Satu jengkal dia mundur, mengelak dari serangan verbal yang terlanjur dilancarkan. "Pokoknya aku nggak mau pulang tanpa hasil."
"Jadi kamu berniat berkeliaran di kota naik sepeda? Brilian."
Sebelum Jisung sempat menyahut, suara mobil yang mengarah ke tempat mereka kontan membungkam mulutnya. Dalam sepersekian detik saat dia mempersiapkan jawaban, suara itu terdengar sekeras mangkuk kaca yang pecah. Mata Jaemin yang melebar menandakan hal yang didengarnya bukan khayalan semata. Jantung Jisung berdebar-debar. Tubuhnya kebas. Terakhir kali mereka kedatangan orang asing, dua temannya meninggal. Jisung memandang kalut ke sekelilingnya. Celaka, gang sempit itu berujung buntu!
Melupakan perdebatan mereka, Jaemin membimbingnya bersembunyi di balik mobil. Sebelah tangan Jaemin melingkari bahunya, seperti kejadian di apotek tempo hari. Gelombang nostalgia menerpa. Keduanya berdiri dalam senyap, napas Jisung sedikit terengah-engah.
Bukan karena asma, bukan pula karena kepanikan, melainkan kemarahan yang gagal dia bendung saat menyaksikan seseorang turun dari sebuah mobil ungu berbekal sepucuk senjata api dan seulas senyum riang. Senyum yang menghantui mimpi buruknya. Senyum dari一
Pembunuh Chenle.
"Lagu" yang dinyanyiin Grace sebenernya cuma kata-kata acak yang gua bikin berdasarkan legenda rakyat Irlandia, tepatnya kisah Niamh dan Oisin. Mungkin ada yang pernah baca juga? Ehehehe sengaja kagak gua sebut nama mereka 😏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top