65. Kita Terbentuk

TUJUH JAM TANPA AIR

Pantai. Air laut terasa sejuk di kakinya, tidak dingin atau panas, temperaturnya pas. Pasirnya sehalus sutra. Angin kencang seolah hendak mengangkatnya menuju Negeri Biru yang tak terbatas, tempat langit dan laut menyatu dalam satu garis harmoni yang kabur. Jadi buanglah kompas dan ikuti arah yang hatimu sarankan一

Lee Haechan membuka matanya, mengintip apa yang terjadi selagi dia sibuk memproyeksikan pelayaran yang hanya ada dalam benak. "Kalian belum selesai?"

Grace berkonsentrasi melepas perban di kakinya, tidak mendongak. "Jangan rewel."

"Jangan kelamaan."

Gadis lain, Karina, menggerakkan butterfly knife memotong sebagian kausnya. Karena tampak paling bersih, pakaiannyalah yang terpilih sebagai perban baru Haechan. "Ini nggak akan selesai kalau kamu terus gerak-gerak."

Tapi rasanya sakit, sakit sekali, dan yang bisa Haechan lakukan saat rasa sakit itu mendekapnya adalah menggeliat tak keruan. Itu, atau menjerit seperti anak-anak, yang sudah pasti tidak masuk hitungan. Haechan menggumamkan sesuatu dengan pelan, dan kembali membayangkan kampung halamannya. Sampai dimana tadi?

"Apa kamu yakin ini nggak masalah, Karina? Kita nggak punya air."

"Perbannya makin basah, Grace. Mau nggak mau harus diganti."

Ah, ya. Arah. Itu dia. Bentangkan layar dan biarkan Dewi Angin mendorong kapalmu kemana pun yang dia suka. Jauh dari bos pemarah, tetangga menyebalkan, atau teman yang diam-diam menusukmu dari belakang. Abaikan keraguan dan teruslah menatap ke depan. Jangan biarkan urusan duniawi mengekangmu berpetualang一

Erangan rendah yang gagal dia bendung tumpah dari bibir Haechan. "Jangan terlalu erat."

"Sorry," gumam Karina. "Aku udah berusaha sehati-hati mungkin."

Haechan menyeringai lemah. "Kalian nggak bakat jadi perawat."

Sungchan, satu-satunya orang yang tidak berkontribusi merawatnya melipat lengan di depan dada. "Gimana rasanya?"

"Seharusnya ini bisa jadi surga. Kapan lagi aku dikerubuti cewek-cewek cantik?"

"Tapi?"

"Malah lebih mirip neraka."

Sungchan terbahak, sambil menggelengkan kepala. Mudah berteman dengannya. Dia tidak banyak bicara, sikapnya kerap sedatar lembaran peta, namun dia tahu kapan saatnya bercanda. Dulu, sebelum jadi penghuni gudang, dia merupakan anggota tim basket sekolah yang bertugas di posisi point guard. Dalam tim, pekerjaannya adalah mengatur irama permainan, dan diharapkan mencetak banyak assist. Idolanya Earvin "Magic" Johnson, yang bermain di Los Angeles Lakers selama 13 musim.

"Nah, selesai." Tangan putih Karina kini diselimuti lapisan tipis cairan berwarna merah yang kontras. Sisi baiknya, Haechan bisa bernapas lega karena penderitaannya berkurang. "Maaf, Haechan. Cuma ini yang bisa aku lakuin."

"Bukan salahmu. Kamu pantes dapet ucapan makasih."

"Sama-sama." Karina tersenyum tulus, dan bangkit mencari sesuatu untuk menyeka tangannya. Dia berjalan dengan keanggunan seorang putri bangsawan. Bajunya yang robek-robek, kaus biasa yang naik pangkat jadi crop top, tak mampu meredupkan kecantikannya yang memancarkan pesona ganjil seperti yang ada pada figur AI.

Sepeninggalan Karina, Grace berlama-lama mengamatinya. Itu membuat Haechan tidak nyaman. Dia jadi merasa bak pasien yang akan menerima vonis mematikan dari dokternya. "Apa?"

"Kamu bisa tahan?"

"Ini bukan masalah besar."

Dari bawah, dengan gerakan yang tidak menarik perhatian, Grace menggenggam tangannya. "Muka kamu pucet."

Haechan tidak melepasnya dan malah mengaitkan jari-jemari mereka. "Tetep ganteng kan?" Dia memutuskan mengubah topik, tidak suka menyaksikan mimik wajah cemas pada orang yang disayanginya. "Jadi ... Filipina? Kamu bisa bahasa Tagalog?"

Tidak mudah menipu Grace. Niat Haechan langsung terbongkar kira-kira sedetik setelah kata-kata itu terlontar, namun Grace berlagak bodoh, dan ikut meladeni sandiwaranya. "Ikaw tanga*."

"Apa artinya?"

"Kamu keren."

Haechan mendengus. "Aku nggak percaya."

Senyum kecil Grace nyaris tak layak disebut senyuman, lebih seperti hanya mengangkat sudut bibir. "Aku generasi ketiga. Nenekku dulu dateng ke Korea buat kerja, dan dia ngotot supaya aku belajar Tagalog. Pengucapan bahasa itu susah, beberapa katanya juga mirip sama bahasa Indonesia."

"Apa bahasa Tagalog nama saya?"

"Ako ay si."

"Berarti buat kenalan aku harus bilang ako ay si Lee Haechan?"

"Hm?" Aksennya, atau nada bicara Haechan, menyebabkan Grace menahan tawa. Dia mengangkat dagu, berpura-pura menganggap itu tidak selucu kedengarannya. "Ya, kamu lumayan."

"Itu kata favoritmu sekarang?"

Tak kuat lagi, Grace menekankan tangan ke perutnya dan tertawa.

Karina kembali bergabung dengan mereka usai kegiatannya bersih-bersih selesai. "Kalau selamat malam? Apa kata orang Filipina?"

"Magandang gabi," jawab Grace, dengan sedikit一Haechan tak percaya ini一malu. Grace menyukai Karina, itu jelas, namun kemampuan bersosialisasinya yang buruk menghalanginya menjalin pertemanan. Dia terlalu takut mengatakan atau melakukan sesuatu yang salah. Dan terutama, ditinggalkan. Hidup bersama sekelompok pemuda asing belakangan ini pasti telah membuatnya rindu memiliki teman sesama perempuan.

Haechan teringat "manusia zombie" yang Grace tangisi di sekolah, lalu cerita Grace saat mereka berduaan.

Yap, rindu.

Karina duduk bersila di samping Grace, mengerutkan hidungnya. "Uh, apa nggak ada kalimat sederhana yang gampang diinget?"

"Itu masih gampang kok. Banyak yang lebih rumit, contohnya Ikinagagalak kong makilala kayo."

"Apa artinya?" Haechan bertanya ulang.

Wajah Grace berhadap-hadapan dengan wajah Karina, tapi dahinyalah, dan bukan matanya yang dia tatap. Dua gadis yang sangat berbeda, dari segi potongan rambut hingga kepribadian, masing-masing tampak menawan dengan cara yang menggetarkan. Seperti bunga, mereka tidak mekar di periode yang sama. "Seneng ketemu kamu."

Haechan bersandar di dinding dan tersenyum, seraya terus menyimak kosakata baru yang diajarkan gadis itu. Jarang-jarang Grace mau berceloteh seantusias ini, maka dia membiarkannya. Terlebih karena celotehan tersebut menghapus rasa cemas yang tidak perlu Grace rasakan. Memang seharusnya begitu. Tidak apa-apa. Lagipula Haechan tak tega memberitahunya bahwa sejak tadi pandangannya berkunang-kunang dan tubuhnya lemas.

Suatu indikasi serius yang menunjukkan kemungkinan lukanya infeksi akibat terpapar kotoran, bakteri, atau kuman.

Suasana ruang duduk tak bisa lebih canggung dari ini.

Suram, menegangkan, rasanya seperti duduk di kereta yang melaju di atas rel berkarat, dan kamu diharapkan tetap tenang一kamu takkan bisa. Mark Lee tidak bisa. Kemarahan menempel di kepalanya ibarat stiker yang susah dilepas ketika dia mencari-cari di wajah Jisung, dan tak menemukan penyesalan. Mudah membacanya, Jisung bagai buku yang terbuka kendati tak seluruh isi buku itu bisa diterjemahkan. Menangani ini akan membutuhkan kamus yang sesuai, dan kesabaran. Berton-ton kesabaran.

Saat ini, Mark tidak memilikinya.

Satu hal yang Mark pelajari dari Jisung adalah, dia sama keras kepalanya dengan Grace. Dari luar, dia memang terlihat serapuh anak burung, namun tak ada anak burung yang sepintar dia, yang tingkahnya begitu tak tertebak. Oleh karena itu, saat memintanya duduk, Mark mengatakannya dengan ketegasan penuh. Dia meraih kaleng minuman secara acak dan menyodorkannya. "Minum ini. Kamu nggak apa-apa?"

"Ya." Jisung berdeham.

Mark menunggu. Ketika 10 detik berubah menjadi 30, lalu 60, kesabarannya yang sudah sedikit kalah perang melawan amarahnya. "Ren?"

"Aku nggak tahu," tukas Renjun kasar, hampir berupa geraman. Segala hal tentang omong kosong ini, Huang Renjun tak punya waktu meladeninya. "Aku belum nanya-nanya. Jisung aku temuin di toserba, dia tadi ... Sebenernya tadi kamu ngapain? Kamu nyatet apa di sana?"

"Nggak ada," jawab Jisung cepat, seperti telah direncanakan. "Aku kebetulan lewat di toserba itu setelah dari toko perhiasan."

"Toko perhiasan?" Tatapan menyelidik Jeno seakan menyiratkan Jisung adalah mobil aneh yang tiap komponen mesinnya ingin dia bongkar. Matanya menyipit dan semakin sipit. "Di mana?"

Jari kurus Jisung menunjuk ke pintu. "Di ujung jalan. Nggak jauh. Aku naik sepeda yang aku ambil dari rumah tetangga." Dia tersenyum. Anggota lain tidak. "Sekarang sepedanya masih di toserba."

"Biar aku perjelas, kamu ke toko perhiasan itu karena...?" Tanya Jaemin, langsung ke pokok permasalahannya.

"Kakakku." Hanya itulah yang dikatakan Jisung. Dia merogoh sakunya, mengeluarkan rantai gelang tipis, terbuat dari emas putih, berhias bulan sabit tunggal dari berlian biru berkilauan. Berlian itu membelokkan sinar matahari siang dalam suatu cara yang mengagumkan. Kaitnya mungil, luar biasa halus, bahkan agak tersembunyi yang menjaga keindahan desainnya. Lambang kedewasaan, kalau Mark boleh berpendapat, anggun dan elegan, tanpa terlalu banyak aksesoris yang bisa memberi kesan berlebihan. Siapapun yang mengenakannya bisa tampil mencolok sekaligus sederhana. Melihatnya, Mark seketika tahu gelang itu akan pas melingkar di pergelangan tangan Grace. Pasti pas. Itu memang tampak seperti sesuatu yang disukainya. "Aku..." Suara Jisung bergetar manakala senyum palsunya memudar. "Aku nyari gelang baru buat dia."

Pemahaman akan kasih melembutkan ekspresi Ryujin yang semula gusar. "Kenapa kamu nggak ngajak aku atau Renjun?"

"Aku kira kalian masih lama latihannya, dan aku bisa balik sebelum kalian sadar aku pergi."

"Kamu pergi dua jam." Renjun mengingatkan, meski tidak lagi terdengar kesal.

"Maaf. Aku nggak bermaksud bikin semua orang cemas."

Satu masalah selesai, ketegangan Mark pun luruh berguguran. Dia senang sebab ternyata ini hanya salah paham akibat anak bandel yang tidak ingin merepotkan kakak-kakaknya. Mencemaskan seseorang, ditambah beban lain yang masih dipikulnya, membuatnya merasa 10 tahun lebih tua. "Lain kali kamu harus izin, ngerti? Aku nggak mau kejadian ini terulang. Kita ada di perahu yang sama Jisung, ada baiknya kamu inget itu sebelum kamu mutusin buat mendayung sendirian."

13 JAM TANPA AIR

Panas. Perih. Tak tertahankan.

Menjelang malam, tak banyak topik yang bisa dibicarakan. Tak ada lagi bahasa Filipina, atau bahasa lain yang bisa membuat mereka tertawa. Ketika dingin menyerang dan kesadaran menerjang, rasa sesak di dada membengkak lebih dari yang mampu ditanggung, lalu terurai一persis sebatang lilin yang padam.

Semua orang akan mati, pada akhirnya.

Hewan yang menjadi bangkai. Tumbuhan yang layu. Manusia bukanlah pengecualian. Bedanya, hewan dan tumbuhan tidak cukup berakal (dan payah) untuk merayakan satu langkah lebih dekat yang mereka ambil menuju kematian, lantas mengemasnya dalam sebuah pesta ulang tahun yang meriah. Sepanjang pengetahuannya, Lee Haechan yakin manusia merupakan satu-satunya makhluk yang tahu bahwa maut itu nyata adanya, namun hanya sedikit yang mempersiapkan bekal dengan benar.

Semua orang akan mati, sekarangkah waktunya?

Sementara ubin kotor yang dia duduki bertambah dingin, tubuh Haechan justru semakin panas dari dalam. Sensasi panas berpusar-pusar dari kakinya, dan memanjat naik ke tenggorokan. Produksi air liurnya menipis, dia sulit menelan. Jus apel yang dihadiahkan Grace dan Sungchan sudah dia tenggak sehingga kini tidak ada apapun yang tersisa guna meredakan panasnya. Jika saja bukan karena aroma gudang yang pengap, Haechan akan mengira dirinya benar-benar terdampar di neraka.

Penderitaannya pasti terpampang jelas sebab Grace langsung menepuk-nepuk pahanya. "Sini. Tidur di sini, biar romantis."

Haechan menyerah mencoba tersenyum. Dia menerima undangan Grace tanpa sempat memikirkan balasan yang akan mengimbangi guyonannya. "Grace." Ritme napas Haechan melambat. Kulit wajahnya yang kecokelatan diwarnai rona merah yang mengkhawatirkan. "Maaf."

"Buat apa? Mestinya aku yang bilang gitu gara-gara nyeret kamu ke masalahku."

"Aku nggak nyesel."

"Itu tandanya kamu idiot." Grace berdecak, berlagak ceria. Menunduk sebentar, dia mencari robekan pakaian Karina yang tak terpakai dan menekankannya, dengan teramat lembut, ke dahi Haechan. Kain itu kontan basah. Haechan berkeringat sederas aliran air sungai.

Bahkan matanya berkaca-kaca, walau ia terlalu sakit untuk mempedulikannya. "Aku ikut sedih soal si maknae. Dia anak baik. Aku suka dia."

"Ya?"

"Ya." Haechan berhenti一harus berhenti. Otot-otot kakinya mengejang dan intensitas rasa sakitnya kian hebat. "Aku udah ngasih tahu dia tentang rahasiamu. Semuanya."

Gerakan tangan Grace menggantung kaku di udara. "Kapan?'

"Waktu kamu dan Renjun hilang. Aku ... Ngajak dia jalan-jalan." Sejenak Haechan tertawa berkat eufemisme itu. Bisa dibilang dia tak sepenuhnya berdusta. Itu adalah dusta yang dicampur sejumput kebenaran. "Dia berhak tahu, Grace. Bocah itu sayang kamu terlepas gimana perlakuanmu ke dia. Si Park Jisung itu, dia pengen jadi adikmu."

"Dia emang adikku, kamu lupa?"

"Nggak, aku masih inget betul sikapmu yang nggak mencerminkan kalimat itu. Seolah-olah kamu nganggep dia tugas yang harus kamu emban, bukan keluarga."

"Itu一nggak." Lidah Grace mendadak kelu. Kata itu, nggak, diacungkannya ibarat tameng untuk menghindar.

Haechan hanya terkekeh saat wajah Grace mulai berbayang dalam pandangannya. Kelopak matanya menutup separuh, dia tak sanggup menjaganya tetap terbuka lebar. "Kamu pembohong yang baik."

"Dan kakak yang buruk?" Grace terdengar benci mengakuinya.

"Bukan buruk. Menurutku kamu cuma nggak tahu caranya sayang ke orang lain kecuali dirimu sendiri."

"Dengan kata lain egois, ya?" Senyum getir terpatri di bibir Grace. Waslap daruratnya kembali bergerak menyusuri dahi dan leher Haechan. "Kayaknya kamu bener."

Haechan mendesah, lelah. "Dan kayaknya aku harus istirahat."

"Kamu ngantuk?"

"Ngantuk, capek, pusing."

Grace menghirup napas dalam-dalam. "Jangan tidur lama-lama, oke?"

Dalam keadaan setengah sadar, Haechan tak dapat memerintahkan kepalanya untuk mengangguk mengiyakan一dan dia juga tidak menginginkannya. Pantang baginya menjanjikan sesuatu yang sulit dia tepati. Sejak dulu Haechan selalu percaya ada kekuatan besar di atas sana yang berkuasa terhadap nyawa setiap makhluk di jagat raya. Tuhan, manusia menyebutnya. Dan bila Tuhan sudah memanggilnya pulang, dia bisa apa selain menerimanya?

Hidup dan mati. Fana dan kekal. Haechan juga mempercayai surga dan neraka, meski dia bimbang dimana tempatnya. Mungkin dia akan ditempatkan di tengah-tengah, tempat orang-orang sepertinya yang perilakunya sukar dikategorikan. Terang bagai cahaya, gelap bagai bayangan. Jika tempat semacam itu benar-benar ada, dia ingin mencapainya, atau kemana saja yang akan membebaskannya dari segala jenis luka. Terserah Tuhan. Dia sudah berjuang一dengan sangat keras. Dia berhasil sampai di titik ini dengan mengucurkan banyak peluh dan darah. Waktunya istirahat.

Mata Haechan perlahan-lahan terpejam.

Setetes air mata bening mengalir dari sudut mata kirinya, namun dia hanya merasa seperti pemenang.

*ikaw tanga artinya kamu idiot WKWKWK
Sekarang dah jelas ya, kenapa nama Grace kagak ada bau2/? Korea, kali aja ada yang penasaran gitu

Ilustrasi Haechan pas tahu dia dikerjain Grace :

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top