64. Kita Terbentur II

Semakin siang semakin panas saja.

Cuaca di bulan februari sama tak terduganya seperti suasana hati wanita. Atau barangkali matahari sedang berniat membalas dendam pada awan hitam, jadi ketika ada kesempatan, sang bintang paling terang menggunakannya untuk menyengat bumi habis-habisan. Sinarnya mengenai kap mobil, menyelubunginya dengan hawa panas, sehingga saat Mark Lee rehat sejenak di atasnya, dia merasa bagai ubi yang di bakar.

Dengan tangan terbenam di saku, Mark memasang wajah cemberut. Kap mobil bukanlah satu-satunya yang mendidih hari ini, kepalanya juga. Suasana hatinya sendiri belum pulih sejak di kantor polisi, dan itu diperparah oleh pencarian panjang yang tidak membuahkan hasil.

Percuma. Semua yang terjadi siang ini hanya menunjukkan bahwa kata harapan rupanya bersepupu dengan kata mustahil. Atau malah tidak ada bedanya? Mark menghela napas.

Tak jauh dari lokasinya duduk, didengarnya Jaemin mengeluh. "Siapa yang ngira kaca vending machine ternyata kuat?"

Jeno menyingsingkan lengan kemejanya. Kakinya terentang seolah hendak menaiki kuda, bukannya melempar batu ke benda persegi panjang tak bersalah yang berisi makanan ringan. "Sebelum ini kan kita nggak pernah harus ngelakuin pengrusakan."

"Apa istilah kerennya? Vandalisme?"

"Biar gampang kita sebut aja kenakalan remaja."

Tawa riang mengisi sudut jalan yang sepi itu.

Si kembar sedang serius sekarang, seserius yang mereka bisa, dan masing-masing berupaya memecahkan satu dari ratusan vending machine yang tersebar di seluruh Korea berbekal alat seadanya.

Apa saja selalu bisa mereka ubah menjadi kompetisi kecil-kecilan. Punya banyak kesamaan dan lebih banyak lagi perbedaan membuat keduanya sering bersaing untuk beragam tujuan; kasih sayang orang tua, prestasi di sekolah, pengakuan. Mark tidak cemas karena perlombaan mereka kerap berakhir dengan gelak tawa tak peduli siapa pemenangnya.

Setelah beberapa kali bertukar lelucon bercampur cemoohan, mereka sukses merampok vending machine itu lantas membungkus seluruh isinya dalam empat kantong plastik besar.

"Tangkap!" Jeno melempar sekaleng lemonade pada Mark.

Refleks yang bagus adalah kelebihan Mark, lemonade itu mendarat aman di genggamannya. "Nggak dingin?"

"Listriknya mati."

"Untung rumah kita nggak," celetuk Jaemin ringan.

Mark, yang membuka kaleng minumannya, sejujurnya sudah berhenti mempercayai keberuntungan. Dia percaya bumi itu bulat, takkan ada asap bila tak ada api, dan usaha yang tidak akan mengkhianati hasil, namun keberuntungan? Tidak. Tidak lagi. "Bukan nggak, Jaemin, tapi belum. Siapa yang tahu berapa lama kota ini bertahan? Kita mesti keluar dari Seoul secepatnya."

"Dan seandainya kita berhalangan ke Jeju?"

Tak ambil pusing, Mark berpura-pura solusinya semudah melompati genangan air di aspal yang retak. "Ada Bucheon. Incheon. Yangpyeong. Kota-kota yang berbatasan sama Seoul bisa jadi pilihan kedua kita. Letaknya nggak terlalu jauh."

"Incheon?" Suara Jaemin mendentingkan gema pengenalan. "Renjun bilang ada Chinatown di sana."

"Atau Bundang," cetus Jeno bersemangat, lega mereka memiliki destinasi yang jelas. "Sekitar 23 km dari sini, yang paling deket."

"Ya, ide bagus." Mereka melanjutkan percakapan di mobil, Mark yang menyetir. Permen, biskuit, dan kaleng-kaleng minuman yang mereka panen dititipkan di bagasi. "Buat sekarang kita pulang dulu. Aku penasaran gimana kabar Renjun."

"Menurutku Jisung yang lebih mengkhawatirkan," ujar Jeno mendadak, dan sama mendadaknya dengan saat dia mulai, seketika itu juga dia bungkam.

"Apa maksudmu?" Mark memindahkan persneling tanpa melihat. Dia menyadari tiba-tiba dua rekannya kompak enggan melakukan kontak mata. "Jisung berubah ke arah yang lebih baik. Bener kan? Itu bagus."

"Ya." Nada suara Jeno masih tidak yakin.

Kesalahan Mark adalah tidak mendesaknya bicara, dia terlambat paham seperti biasa.

Setengah jam berikutnya Mark mengemudi dengan tenang. Si kembar yang bercakap-cakap, dia yang menyimak. Sisa perjalanan dia habiskan dengan mencoba menyingkap jalinan semak-semak kusut yang berakar dari berbagai pilihannya. Jeno benar, Bundang lebih mudah dicapai. Menuju tetangga kota Seoul itu tidak membutuhkan kapal, dan dia hafal rutenya. Tidak saja besar, belakangan ini pembangunan infrastruktur di Bundang berkembang pesat, berkat suntikan dana investor dan turis-turis yang berdatangan, dan itu termasuk fasilitas kesehatannya.

Oke, simpan Bundang dalam benak.

Mark berkonsentrasi untuk cepat sampai di rumah, seraya memperhitungkan bagaimana dia akan menyampaikan berita buruk dengan cara terbaik, sebab alih-alih pistol, dia justru membawa camilan. Kantor polisi yang dia temukan telah dijarah, dan yang diwariskan para penjarah itu sekadar perabotan yang tertutup debu tebal.

"Ada apa...?" Mark bergegas turun dari mobil sebelum kendaraan itu resmi berhenti. Lamunannya buyar. Halaman rumah yang tak berpenghuni mengejutkannya. "Ren? Renjun!"

Tiga anggotanya yang Mark minta pulang lebih dulu supaya mereka dapat segera berlatih, lenyap. Ketiganya tak ada di tempat.

Jaemin merupakan orang pertama yang mengendus kejanggalan. "Mobil yang dipakek Renjun nggak ada."

Benar saja, halaman rumah yang atapnya menaungi mereka semalam lengang, dan secara umum lebih bersih dari halaman rumah-rumah sebelah. Bohlam lampunya dalam kondisi normal. Kaca jendela tidak pecah. Bahkan kursi malas di teras tidak berpindah dari posisinya. Tak ada tanda-tanda perkelahian yang dicari Mark, misalnya ceceran darah, robekan pakaian, pintu yang dibuka paksa. Teorinya tentang penyerangan oleh kelompok tak dikenal pun disingkirkan. Sekilas lihat, rumah itu terkesan seperti baru ditinggal pemiliknya ke bank atau ke perpustakaan.

Temuan jejak ban mobil yang tercetak di tanah mengukuhkan hipotesisnya.

Melupakan oleh-oleh, melupakan segalanya, Jeno melesat ke jendela dan mengintip ke dalam. "Gelap. Aku nggak bisa lihat apa-apa."

"Apa mereka pergi?" Tanya Jaemin panik. "Ke mana?"

"Mereka seharusnya nggak pergi kemana-mana!" sergah Mark. "Makanan tersedia. Air juga." Dia menyibak poninya ke belakang, berang. "Kenapa orang-orang ini nggak bisa nurutin perintah sebentar aja?"

Tidak ada yang tahu jawabannya, namun pekikan Jeno menyela pidato penuh amarah Mark. "Ada orang di dalem!" Dia menyipitkan mata, keningnya menempel di kaca jendela yang gelap, yang dirancang dan dipasang agar penghuninya bebas dari pengamatan usil para tetangga. "Dia ... Orang itu sendirian."

"Pistol." Mark memperingatkan, manakala terdengar serangkaian suara mencurigakan yang tidak jelas asalnya. Sesuatu bergeser di lantai一benda berat, mungkin kursi atau meja. Desah napas. Gesekan sepatu dari seseorang yang berjalan tergesa-gesa. Mark mendorong Jeno ke sisi yang aman.

Lalu setelah detik-detik menegangkan yang memicu produksi keringat, Ryujin muncul dengan ekspresi gusar. "Mark! Aku kira kamu siapa. Aku nunggu kalian dari tadi."

"Kenapa kamu sendirian, Ryujin?" Jaemin tidak berbasa-basi.

"Karena..."

Sepasang alis tebal Mark menukik turun. Dia mempersiapkan dirinya menghadapi masalah baru. "Bilang."

Hanya saja persiapan itu terbukti tidak cukup matang dan dia tetap mengernyit saat Ryujin menjabarkan masalah itu dalam satu tarikan napas yang sarat rasa bersalah. "Jisung hilang, jadi Renjun pergi nyari dia."

4 JAM TANPA AIR.

Koin 50 won itu berbaring seimbang di jembatan yang terbuat dari jari telunjuk Lee Haechan. Gambar ikatan padinya berkilau dalam keremangan gudang.

Favorit Haechan sebenarnya koin 10 won, yang lebih ringan dan berwarna cokelat kemerahan, seperti tanah, namun dia harus berkompromi dengan apa yang ada. Dengan satu jentikan lembut kuku jempolnya, koin itu melambung dan berputar-putar di udara, melakukan atraksi akrobat layaknya pemain sirkus di tenda pertunjukan. Haechan menangkapnya di antara jari telunjuk dan jari tengah, kemudian memaksanya berdiri dan menggelinding ke jari lain bolak-balik tanpa benar-benar memperhatikan.

Inilah obat penenang versinya.

Senyum simpul merekah di wajah Grace. "Dasar pencopet."

Haechan membalasnya lirih. "Kamu iri karena nggak bakat mainan koin, kan?"

"Bakatku lebih keren; aku bisa mecahin kepala zombie dan bikin mereka babak belur."

"Kamu juga."

Grace meraba luka gores di bahunya yang belum mendapat perawatan yang pantas. "Oh, ini bukan gara-gara zombie. Nggak banyak peristiwa seru di kantor polisi, kecuali waktu aku ngambil pistol dari mayat petugas yang ... Bunuh diri."

"Bunuh diri?"

"Ya, dia一" Grace memperagakan gerakan menembak pelipis. "一dor! Otaknya berceceran, di makan lalat."

Efek negatif dari dianugerahi imajinasi yang kreatif adalah, Haechan bisa langsung membayangkannya. Dan dia tidak suka, bayangan mengenai lelehan otak, semburan darah, serta maut yang mengibarkan bendera kemenangan. Rasanya menyedihkan一sekaligus kasihan. Di satu sisi ada dia dan Grace, yang masih bertahan, dan di sisi lain ada mereka yang memilih menyerah. Karena berbagai alasan mereka memutuskan mengakhiri hidup mereka.

Haechan bukanlah orang baik, terlebih pengagum polisi, namun dia juga bukan orang yang gampang menghakimi. Bila seseorang lelah dan ingin beristirahat, apa hak kita mencaci maki pilihannya? Mengadu nasib pun percuma, sebab derita orang lain tak bisa diukur setepatnya. Mereka yang mengaku peduli terlambat beraksi, dan mereka yang meremehkan takkan sudi mendengar. Jadi walau salah, tak urung Haechan merasakan aliran hangat simpati bagi polisi yang tidak dia kenal.

Bukankah itu lebih baik ketimbang menghujat orang yang sudah meninggal?

Haechan menegakkan tubuhnya. "Ayo kita buat janji. Kamu dan aku, jangan pernah mikir tentang bunuh diri."

"Aku?" Grace terkekeh, kaget. "Aku nggak mau. Itu janji yang terlalu berat. Gimana kalau aku kejebak di gang sempit sama selusin zombie dan nggak ada jalan keluar?"

"Pasti ada."

"Mungkin kita kepisah jauh."

"Aku cari kamu sampek ketemu."

"Pisauku jatuh, pistolku kehabisan peluru."

"Grace." Haechan menyadari sepenuhnya tatapan Karina dan Sungchan, dia hanya tidak mengacuhkannya. Baginya, tidak masalah dijuluki preman romantis demi menghibur seorang gadis. Yang Haechan tahu, baik dan buruk, perasaan yang tidak diungkapkan itu hal yang tidak berguna. "Ini bukan soal gimana kita meninggal, melainkan apa yang kita lakuin sebelumnya. Kita emang nggak bisa menang di setiap pertandingan, tapi apa salahnya berjuang? Usaha dulu, apapun hasilnya terserah Tuhan. Yang penting waktu semua tamat, kita nggak punya penyesalan dan bertanya-tanya gimana seandainya kalau kita nggak nyerah. Paham?"

"Wow," kata Grace, berkedip lambat-lambat. "Yang tadi ngomong itu Haechan atau Mark?"

Haechan menghembuskan napas dari gigi-giginya yang dirapatkan. "Lupain aja."

"Jangan marah! Aku cuma nggak nyangka kamu bisa ngasih nasihat se ... Sebijak itu."

Sesungguhnya Haechan pun demikian. Di kehidupan sehari-harinya, Haechan tidak terbiasa bicara panjang lebar selain saat berdebat. Dia suka menggunakan mulutnya sebagai senjata untuk membuat orang kesal, bukan malah memberi mereka semangat. Perasaan aneh yang mekar di hatinya ini membingungkan, menyebabkannya peduli pada Grace dan memikirkannya dengan kadar yang tidak wajar. Apa semua orang yang jatuh cinta mengalaminya atau ini sekadar fase labil dari remaja? Ah, dasar cinta pertama!

"Tapi bagus kok," gumam Grace, dia mendongak di sudut tertentu yang menonjolkan lekuk bibirnya. Menggoda. "Itu lumayan ... Memotivasi."

"Lumayan?"

"Ya."

Tawa Haechan menyembur keluar. "Berapa nilaiku dari skala satu sampai sepuluh?"

"Sembilan." Grace menjawab, tersenyum lembut padanya tanpa bekas-bekas ledekan. "Dan aku janji nggak akan bunuh diri asal kamu janjiin hal serupa."

"Setuju."

Janji itu lalu disegel dengan penyatuan jari kelingking mereka一suatu tindakan yang kekanakan dan manis, dari sepasang remaja kasmaran yang masih mencari jati diri.

"Hilang?" Bantalan sofa ruang duduk melesak ke bawah ketika Mark mendudukinya. Cekungan di bagian tengahnya bertambah dalam. "Gimana bisa Jisung ... Hilang?"

Sengaja atau tidak, Ryujin melakukan apa yang dilakukan gadis-gadis saat mereka gugup; menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Aku nggak tahu, Mark. Pagi tadi semuanya lancar. Renjun jelasin hal-hal penting tentang pistol, aku dan Jisung latihan. Di tengah-tengah prosesnya, Jisung izin mau istirahat, makanya kita latihan berdua. Tapi waktu selesai, dan Renjun ngecek kamarnya, dia nggak ada."

"Apa Jisung ninggalin sesuatu? Surat? Catatan?"

"Selain perabotan asli rumah ini, kamarnya kosong."

"Ini nggak masuk akal," ujar Jaemin, yang mengenyakkan diri di samping Ryujin dan mengklaim satu tempat yang tersisa. "Jisung yang paling semangat belajar, kenapa dia pergi? Apa dia dan Renjun berantem?"

"Cuma..." Ryujin terbata-bata. "Cuma perselisihan kecil."

Suara Mark naik satu oktaf. "Perselisihan macam apa?" Tanpa perlu ditegaskan, dia marah一pada dirinya yang berjudi dan kalah, pada Renjun yang tidak menjalankan tugas dengan benar, serta Jisung yang meniru tingkah kakaknya. Ada apa dengan kakak-beradik ini? Jangan-jangan gen gemar menghilang ada di DNA mereka.

"Hasil latihan Jisung ... Nggak begitu bagus. Dia kecewa sama dirinya sendiri karena terus-terusan gagal."

"Renjun marahin dia?'

Ryujin menggeleng, menurunkan pandangannya. "Nggak, Renjun justru berpendapat dia yang salah karena nggak bisa jadi guru yang baik."

Sunyi senyap saat Mark tidak bereaksi. Wajahnya kaku. Sorot matanya, di atas pipi berbintik-bintik, terlihat dingin. Satu masalah agaknya tidak cukup dalam sehari, pikirnya, dan tidak menengadah meski Jeno meliriknya penuh arti menunggu tindakan.

Namun hari ini Jeno tidak kebagian tempat duduk, tidak pula memiliki cukup banyak kesabaran untuk menunggu. "Gimana pembagiannya? Aku dan Jaemin? Mark-hyung dan Ryujin?"

Jaemin berdiri sebelum Mark menyambar ujung jaketnya. "Kita nggak akan kemana-mana." Lalu ketika si kembar mulai ribut, dia berkeras dengan memberi penekanan, "Aku bilang kita nggak akan kemana-mana. Kita tunggu Renjun sampek jam empat. Kalau dia belum pulang juga, kita susul dia. Jisung pasti nggak jauh. Bocah itu nggak pernah bawa mobil atau motor. Jaemin?"

"Sepulangnya dari apotek, dia nggak cerita apa-apa tentang itu."

Konfirmasi adiknya dianggap Jeno sebatas angin lalu. "Bukan berarti dia nggak bisa. Jisung itu tipe orang yang harus ditanya baru cerita."

"Santai, Jeno."

Jeno menatap Mark tak percaya. "Santai? Apa aku satu-satunya orang yang nyadar di sini? Sejak kejadian Aru, Jisung berubah aneh. Dia一"

Jika Jeno ingin bercerita, tampaknya dia harus berusaha lebih giat. Suara ban mobil yang bergulir masuk ke halaman menyedot atensi semua orang. Mobil itu parkir di sebelah Subaru, si pengemudi lebih mungil dibanding penumpangnya. Tampang pengemudi itu muram, rambutnya berantakan, sementara si penumpang menggigil dalam balutan kaus tipisnya. Kaca jendela yang tidak ditutup mengakibatkan udara dingin leluasa menyusup.

Jaemin-lah yang membukakan pintu bagi mereka. "Masuk."

Mark menumpukan tangannya di lutut dan berdiri. "Dari mana aja kalian?"

"Itu yang kepingin aku tahu," ucap Renjun, sambil membongkar kantong plastik oleh-oleh hingga menemukan soda rasa jeruk. "Apa istilahmu, Jaemin? Mudah-mudahan Jisung punya alasan yang bagus."

Fun fact : kalo kalian pernah nonton film The Flu, nah Bundang ini kota yang jadi latar film itu. Gila sih keren bat filmnya ༎ຶ‿༎ຶ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top