62. Kita Setia Kawan III
Mayat itu terbujur kaku dengan kondisi yang ... Jung Sungchan tidak yakin kata 'mengenaskan' saja cukup menggambarkannya.
Paling tidak usianya 2 hari, karena sudah menunjukkan tanda-tanda pembengkakan. Darah memercik dari lubang di dahinya seperti kipas. Matanya hampa, nyaris putih seluruhnya tertutup kabut kematian. Jeritan tanpa suara mengalir dari rahangnya yang terbuka, sementara lalat-lalat mengerubungi dan memangsanya secuil demi secuil. Dia adalah一pernah jadi一seorang polisi. Lencana perak menyembul dari saku seragam yang dia pakai saat menembak kepalanya sendiri dengan pistol dinas.
Satu lagi bukti bahwa uang dan jabatan tidak akan menyelamatkanmu一tidak di masa sekarang. Kalau nyalimu tidak cukup besar, kalau otakmu tidak cukup pintar, maka namamu akan tinggal kenangan.
Tekad dan kepintaran, apa benar itu saja yang dibutuhkan?
Sungchan masih merenungkannya ketika menangkap gerakan di belakangnya dan Grace muncul, bersimbah keringat. "Sungchan, apa yang kamu dapet?"
"Bukan apa-apa一"
Grace terlanjur melihatnya.
Menjadikan akhir hidup seseorang sebagai tontonan bukanlah perbuatan yang pantas. Namun Sungchan tak bisa menyamarkan kengerian di hadapannya. Pertunjukan ini tidak dilengkapi tirai atau sensor buram, dan yang ditayangkan hanyalah realita dalam kemasan apa adanya.
Bola mata Grace membulat. Pemandangan itu menyita perhatiannya. "Astaga, itu..."
"Ya, bunuh diri. Mungkin karena一"
"Pistolnya!" Grace mendorong Sungchan ke samping. Saat Sungchan menduga dia akan menangis dan mundur ketakutan, dia justru memungut senjata celaka pencabut nyawa yang terlepas dari tangan pemiliknya. Tidak ada rasa takut atau jijik. Kalaupun ada, dia menepis semua itu dengan menyeka pistol menggunakan mantel si polisi yang tergantung di sandaran kursi. "Glock. Lagi. Tapi lebih baik daripada nggak ada sama sekali."
"Glock?" Sungchan terheran-heran. Reaksi si partner kejahatannya di luar perkiraannya.
"Iya, Glock. Ini pistol terkenal di kalangan polisi. Ringan dan efisien, ditambah一"
"Aku tahu apa itu Glock."
"Oh, kalau gitu kenapa masih nanya?"
Secara lisan, Sungchan tidak menjawab. Udara pengap di gudang barangkali menyumbat otaknya dan dia lupa, siapapun yang hidup sejauh ini, baik perempuan atau laki-laki, pastilah memiliki mental sekuat baja.
"Ayo pergi," ujar Grace. "Aku udah periksa ruangan lain, dan cuma nemu butterfly knife di kantong bukti."
"Butterfly knife?"
"Ini." Grace mengacungkan sebilah pisau unik yang gagangnya terbelah dua, saling merapat, dan bisa dibengkokkan berlawanan arah, sehingga saat gagang ganda itu ditutup, mata pisaunya akan tersembunyi dengan sempurna. "Ini butterfly knife, asalnya dari Filipina, yang juga asal keluargaku dari pihak ibu."
Ukuran pisau itu terasa pas di genggam ketika Sungchan meminjamnya. Dia tak ingin membayangkan mengapa pisau cantik itu tersesat ke kantong bukti, sebaliknya, dia berpikir akan betapa mudah diam-diam menyelundupkannya. "Keberatan aku ngambil butterfly knife ini? Kamu boleh simpan Glock itu."
Mereka kembali masuk ke mobil, yang sudah dibersihkan dan ditata apik, agar Aru tidak curiga keduanya pernah mengadakan piknik. "Glock ini isinya dikit. Nggak bakal banyak membantu."
"Kamu tahu caranya pakek pistol?"
"Haechan yang ngajarin. Dulu dia ikut kursus."
Tak tanggung-tanggung, Sungchan melaju dengan kecepatan 90 km/jam, melesat di jalanan lurus tanpa kelokan. Lantai mobil berguncang di bawah kakinya. Mesin meraung, bunyinya mirip harimau yang mengaum. "Bekal yang bagus buat hidup di era kekacauan."
"Untungnya."
"Apa menurutmu sedikit peluru tadi bisa jadi bekal yang bagus juga saat ini?"
Grace mempertimbangkan pertanyaan itu selama sekitar 3 detik sebelum menggeleng tegas. "Aku kira kita bisa maksa Rim tukar posisi, jadiin dia sandera, dan ngadain pertukaran antara dia dan Haechan一"
"Dan Karina."
"Ya, dan Karina. Maaf, aku lupa. Tapi Rim nggak seberharga itu di mata Aru. Aku yakin Aru lebih rela Rim mati daripada bertekuk lutut di depan orang lain."
Analisis tersebut tidak ditelan Sungchan mentah-mentah. Dia menolak menyerah. Seperti meluncur di atas es, seringnya kamu akan jatuh berulang-ulang sebelum mampu menguasai medan. "Tapi seandainya ada peluang ...."
"Risikonya terlalu besar, peluangnya terlalu kecil. Ini nggak sepadan, Sungchan."
Semangat menggebu-gebu Sungchan sontak menggelembung dan pecah. Bahunya turun beberapa senti sebagai ungkapan kecewa. Menyebalkan rasanya berada di situasi tak berdaya, mengetahui kebebasan ini, yang begitu memabukkan ini, terancam direnggut dan dia tak mampu melakukan apa-apa. Pasrah, terdiam, padahal dia bukan tipe orang yang suka menanti hadirnya ibu peri menaburkan debu ajaib. Ibu peri? Omong kosong. Sosok iblis justru lebih nyata adanya.
"Aduh." Beberapa meter dari lokasi pertemuan, Grace tiba-tiba mengeluh kesakitan.
Refleks, Sungchan menyetop kendaraan. "Kenapa? Ada yang luka?"
"Nggak一nggak parah. Tapi nggak tahu sejak kapan bahuku luka, perih."
"Bahu?" Ketika Sungchan memeriksa Grace, tindakan itu terjadi spontan, minus unsur mencari-cari kesempatan. Dan benar saja, terdapat satu luka goresan di bahu Grace yang melebar ke tulang belikatnya. Masih baru, segar, bahkan belum tertutup sepenuhnya. "Kayaknya ini luka waktu kamu jatuh dari pagar."
Grace menaikkan busananya ke posisi semula. "Nggak penting. Lihat ke arah jam 12一ada Rim"
"Dia ...." Ingin rasanya Sungchan mengumpat, namun berakhir hanya menghela napas. Sentilan ibunya di dahi tiap kali dia tak sengaja menyumpah telah memupuk kebiasaan marah tanpa berkata kasar. Dalam kamus Sungchan, marah berarti mengepalkan tangan dan menyimpan omelan dalam dada.
Rim adalah cerita yang sama sekali berbeda. Saat menyaksikannya menyetir ugal-ugalan, Sungchan sadar dia dan Grace berada dalam masalah besar. 20 menit menghilang tanpa kabar, lebih dari cukup memberi Rim alasan untuk menghajar mereka. Bila sebelumnya dia bisa dibilang bersikap lunak, kali ini dia tak segan melampiaskan kekesalannya. Dodge menyundul mobil yang dikemudikan Sungchan, dan Rim melompat dari sana, menyeret lalu menantang Sungchan dalam adu tinju di ring yang tak kasat mata. "Habis jalan-jalan ke mana, bedebah?"
"Rim, bensin mobilnya一"
Lonceng berbunyi, babak pertama sudah di mulai. Rim mengawali serangan dengan meninju pipi Sungchan. "Bensin mobil apa? Kalian kira aku punya waktu nunggu kalian kayak anak TK nunggu bis sekolahnya?"
Seperti biasa, Rim tak bisa bicara normal tanpa menghujani lawan bicaranya dengan ludah menjijikkan. Sasarannya berpindah, dia menargetkan perut Sungchan hingga pemuda itu meringkuk, mengerang, mengerang, dan merasa seolah organ dalamnya mengempis bak balon yang kekurangan udara.
"Dasar keparat! Aku udah bantu kalian dan ini balasannya? Hah?!"
Otot-otot Rim bergetar, jakunnya naik-turun ibarat kaki kuda di arena pacuan. Rim kira dia dipermainkan, setengahnya lagi memang menanti Sungchan berbuat kesalahan. Tak ada ampun di matanya saat dia menginjak ulu hati Sungchan, sampai tertera jejak berwarna kehitaman.
"Bangsat nggak tahu terima kasih!"
Kemudian, terdengarlah suara itu.
Isakan seorang gadis, menyayat hati dan penuh rasa sakit. Berasal dari seseorang yang menangis cukup lantang dan akibatnya menyebar luas laksana riak air yang disusupi benda asing. Dan seseorang itu, percaya atau tidak, adalah Grace. "Kenapa pula si jalang ini nangis?" Salak Rim, tapi dia juga kebingungan, dan hardikannya meluncur tidak sekuat yang diniatkan.
Ujung hidung Grace memerah. Matanya basah. Rambut-rambut halus yang menaungi mata itu menggumpal berantakan saat dia menggosoknya. "Maaf, Rim. Semuanya kacau. Ada zombie yang bikin aku jatuh." Seraya mengusap pipi, Grace mencengkeram bahunya. "Sungchan bantu aku nyari obat dan一"
Wajah Rim mendadak jadi seputih ikan mati. "A-apa itu? Luka apa itu?"
"Ini一"
"Jangan deket-deket! Jangan deket-deket!" Grace, yang jauh lebih pendek, ditatap Rim seakan dia malaikat maut yang hendak menculiknya ke alam baka. Rim mundur, nyaris terbelit kaki Sungchan. "Luka apa itu? Jawab!"
Tangan Grace bergerak-gerak liar menepis asumsinya. "Oh, bukan! Bukan! Aku nggak dicakar, berani sumpah! Tapi..."
Rim terpancing. "Tapi apa?!"
Desahan sedih Grace betul-betul terkesan nyata dan bukannya sandiwara belaka. "Aku nggak tahu pasti. Jadi mending kita cepet pulang daripada aku berubah jadi zombie di sini."
Bercanda atau tidak, harus Sungchan akui kalimat Grace barusan lebih dari sekadar agak seram. Ekspresinya yang datar membuatnya tampak semakin meyakinkan. Rim saja tidak yakin apa Grace bergurau. Topengnya terpasang sempurna, aktingnya sekelas aktris papan atas. "Kalau ini cuma salah satu trikmu ...."
"Apa ini kelihatan kayak trik?" Grace membuka tangannya, yang basah karena rembesan darah, dan otomatis memaparkan luka di bahunya. Ujung runcing pagar telah menyayatnya cukup dalam.
Rim langsung ciut. "Tetep di tempatmu. Kita balik ke Arena. Tapi kalau kalian nyeleweng lagi, jangan harap aku mau nunggu dua kali."
Grace membantu Sungchan berdiri setelah Rim angkat kaki. Jari-jarinya yang kurus nan panjang meraba pipi Sungchan. "Kamu oke?"
Keadaan Sungchan sejujurnya jauh dari kata baik-baik saja. Rim memang dungu. Namun berkelahi adalah keahliannya. Semua pukulannya tadi benar-benar mengenai Sungchan dengan telak. "Masih hidup. Idemu brilian, Grace. Apa harus aku panggil kamu cewek zombie?"
"Zombie cantik juga boleh." Candaan setengah hati itu diucapkan Grace guna mengikis ketegangan. Keduanya membisu sejenak memandangi Dodge berisi Rim yang minggat meninggalkan mereka. Asap pembakarannya mengepul, menjadi sosok-sosok tipis hantu tanpa wajah yang tak memerlukan gelapnya malam untuk bergentayangan. "Manusia," imbuhnya. "Itu spesies yang paling menakutkan."
Gerbang kokoh Zeny Futsal Arena menjulang angkuh bagai benteng tak tertembus.
Sebuah benteng tempat Aru menjalankan kegiatan kotornya yang meliputi menculik, menyiksa, memperbudak, dan membunuh orang-orang yang dia anggap mainan. Aru sukses mengubah tempat yang tadinya lokasi nongkrong anak muda menjadi penjara yang dindingnya berlapis cat bernuansa cerah.
Setibanya di arena, Aru masih menunggu mereka di kursinya. Dia tidak bergerak. Seluruh isi jam pasir sudah luruh membentuk bukit keemasan, kecuali sejumlah kecil pasir yang belum melintasi jalur sempit yang menghubungkan bagian atas dan bawah, jadi Sungchan tahu seberapa dekat Karina dan Haechan dengan kematian. Sangat dekat.
Perlahan-lahan, Aru mendongak. "Kalian tepat waktu."
Berada di sarangnya membangkitkan sifat pongah Rim. "Sayang waktu 90 menitnya belum lewat."
Karina menghambur ke arah Sungchan, dengan protektif memeriksa luka-luka barunya yang sulit disembunyikan meski Sungchan tak ingin dia cemas. "Kenapa? Kamu kenapa? Luka apa ini, Sungchan?"
Sungchan meringis. "Kecelakaan."
"Apa Rim yang ngelakuin ini?" Tatapan Karina ganas ketika dia melirik pelaku pemukulan yang ditebaknya asal tapi tepat sasaran.
Aru sedang menginterogasi Rim, nadanya menyiratkan dia takkan menoleransi kegagalan. "Mana kunci mobilnya?" Bagi Aru, apa yang dia perintahkan harus didapat. Mengecewakannya berarti siap menghadapi konsekuensi berat.
Rim menjatuhkan kunci mobil yang dirampas dari Sungchan ke tangan bosnya. "Aku parkir di sebelah mobil Yuma."
"Di sana rame?"
"Penuh sesak."
"Jadi gimana caranya?"
"Cewek itu ...." Rim dilanda angin topan keraguan, berbeda dengan Grace yang dengan mantap melesat pada Haechan. "Dia yang punya ide."
Pandangan Aru memindai Grace seksama, dari ujung rambut ke ujung kaki, lalu diam. Tak pernah jadi pertanda bagus saat dia tidak bersuara, ini jenis ketenangan menipu yang hadir sebelum terjadi badai dahsyat. "Grace?" Senyum mengerikan itu, seolah iblis sendiri yang tersenyum, terukir di bibirnya. "Penilaian Yuma tepat."
Grace yang memeluk Haechan menoleh.
Usai kunci mobil aman di genggamannya, Aru menyulut rokok dan terkekeh. "Grace, ayo jadi anak baik dan ke sini."
Bila Grace merasa takut, dia berhasil membuang perasaan itu ke tempat yang jauh. Sungchan menyaksikannya menanggapi panggilan Aru tanpa khawatir pistol di pinggangnya akan ... Tunggu dulu. Mana pistol itu? Sungchan berkedip; pistolnya menghilang. "Ada tugas lagi, Aru? Kamu mau aku bantu potong rambut jelekmu?"
"Nggak, nggak kali ini. Aku justru mau ngajuin penawaran."
"Penawaran apa?"
"Yuma butuh temen main, dan menurutku kamu dan dia bakal jadi temen baik. Kalau kamu mau ...." Aru sengaja menjeda kalimatnya agar dramatis. "Kamu bisa gabung ke kelompokku."
Ruangan itu seketika senyap, tangan dingin keheningan merenggut kemampuan orang-orang berbicara. Saking heningnya, Sungchan bisa mendengar desis bara api rokok Aru dan bunyi napas entah siapa yang terkesiap. Sungchan tidak habis pikir, orang bodoh macam apa yang bersedia bergabung ke sarang penyamun?
Namun bila dipikir-pikir lagi ....
Kelompok ini kuat一itu jelas. Jumlahnya banyak. Senjata mereka beraneka ragam. Dan Aru, memakai segala cara, menyediakan berbagai keperluan anggotanya. Menjadi salah satu dari mereka, bersama mereka, merupakan bencana. Sekaligus berkah mengingat kamu takkan sanggup bertahan di luar sana sendirian.
Akankah Grace menerima tawarannya? Sungchan melirik gadis itu. Salah. Raut wajah Grace hanya menunjukkan kejijikan. "Apa yang bikin kamu ngira aku mau bersekutu sama para pembunuh adikku?"
Aru menghirup rokoknya dalam-dalam. "Itu kan masa lalu, Grace. Jangan jadi orang pendendam."
"Sinting, kamu abnormal!"
"Lebih sinting mana sama orang yang ngotot berduka buat orang yang nggak berguna?"
Grace marah besar. "Dia adikku, Aru!"
"Adik yang nggak berguna." Aru menekankan, seperti menekan bagian tubuh yang memar. "Udah bagus dia mati. Masa satu kali pun kamu nggak pernah berharap punya adik yang sehat? Seorang adik yang nggak akan bikin kamu repot nyari obat. Adik. Yang. Nggak. Penyakitan."
Haechan tertawa. "Apalagi bakatmu selain manipulasi orang dan jadi pembunuh?"
Lain dengannya, Grace malah diam. Napasnya memburu.
"Lihat kan?" Aru cekikikan. "Kita semua punya iblis di diri kita. Kamu cuma nggak mau ngakuin itu dan milih bersikap sok suci. Pura-pura jadi kakak yang baik, teladan. Sampah! Lepas topengmu, Grace. Naik ke kapalku sebelum kamu tenggelam."
"Kapalmu?" Grace memandang sekelilingnya dengan sorot mata merendahkan. "Tempat ini?"
"Ya, penawarannya terbatas."
"Denger baik-baik, Aru." Suara Grace mengiris udara dengan ketajamannya. Sosok gadis pemberontak yang dilihat Sungchan melawan Rim, telah kembali. "Jisung emang sakit, Jisung emang punya kekurangan, tapi dia ratusan kali lebih baik dari kamu dan aku nggak akan nukar dia demi apapun. Kamu dan geng kecilmu ini, silakan cara orang tolol lain buat jadi anggota baru."
Penolakan itu tidak menyakiti Aru. "Kamu nggak tertarik?"
"Aku lebih suka mati."
"Dikabulkan." Anehnya Aru hampir terdengar menyesal. Hampir. "Sana mati membusuk di gudang. Hiu yang ada di situ namanya Kelaparan dan Kehausan. Asal kamu tahu, Grace, manusia nggak bisa bertahan lebih dari 3 hari tanpa air."
Dah lama kita kagak nengok tim Mark ya, next part kita bakal intip2 latihan Jisung dan Ryujin mwehehehe 😏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top