60. Kita Setia Kawan I

Tidur senyenyak beruang yang hibernasi, Lee Haechan kali ini beristirahat tanpa diselingi mimpi yang rumit.

Orang bilang, tidur adalah cara mereka yang depresi mengelak dari kenyataan. Ketika hidup tak henti-hentinya menekan, ketika semesta tak memberimu jeda untuk bernapas, dan ketika kakimu sukar menemukan pijakan, maka tidurlah yang dipilih sebagai alternatif paling mudah. Sebuah sangkar kecil tempat seseorang bisa pulang, cukup aman meski kenyamanannya bersifat sementara. Tidur merupakan jalan keluar bagi mereka yang lelah, namun terlampau takut dan patuh menentang takdir Tuhan.

Jika boleh berpendapat, Haechan selalu meletakkan dirinya di posisi tengah. Di sana, di antara bejat dan suci, jahat dan baik, ternoda dan bersih, jadi mungkin karena itulah saat terbangun dia tidak merasa takut atau berani. Dia hanya merasakan rasa sakit yang menyiksa.

Kakinya.

Rasa lapar dan haus sejenak tergeser oleh rasa cemas kalau-kalau kakinya tidak tertolong dan dia cacat selamanya. Kecemasan tersebut mencekik Haechan, memaksanya mengeluarkan erangan. Kehilangan satu kaki itu terlalu banyak. Dunia yang sekarang dia huni bukanlah tempat yang ramah bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan. Jika dia tidak bisa berlari, jika dia membebani orang lain一

"Haechan?" Suara Grace dan tepukannya di pipi Haechan menyelamatkan pemuda itu dari racun pemikiran negatifnya. "Kamu nggak apa-apa?"

Haechan terengah. "Aku ... Nggak apa-apa."

"Tadi kamu teriak."

"Pasti karena ngigau."

Sosok di samping kirinya membongkar kebohongan Haechan. "Kakinya. Periksa kakinya, Grace. Luka semacam itu harusnya dijaga tetep kering dan perbannya diganti secara berkala."

"Karina," gerutu Haechan, mengeja namanya untuk kali pertama. "Aku sangsi Aru peduli sama kesehatanku, jadi baiknya kita simpan kekhawatiran tentang ini buat nanti."

Terlambat. Kata-kata Karina telah mengakibatkan Grace gusar. "Biar aku periksa."

Haechan menghindar, yang jadi masalah sebenarnya, karena untuk itu dia harus melakukan gerakan gabungan menyeret pantat dan mengayunkan tangan sebagai gayung penggerak. "Udah aku bilang一"

Grace menangkap kakinya bagai menangkap ekor hewan. "Diem."

"Ini konyol. Kalian berlebihan." Haechan mengeluh, namun memang diam sebagian besar karena kehabisan tenaga. Energi yang dipinjamkan air mineral dari Aru sudah lenyap. Dengan perut lapar dan tenggorokan yang segersang padang Sahara, tak heran proses pemulihannya berjalan selambat siput renta.

"Oh." Hanya itu yang diucapkan Grace saat mengecek kondisi pahanya. Tendangan persahabatan Rim menyebabkan lukanya terbuka. Perban Haechan basah. Darahnya terasa lengket dan berbau karat. Sensasi panas membakar menyebar rata dari paha ke bawah seakan ada api yang menyala menyelubunginya. Sedikit saja menggeliat, hawa panas itu naik hingga ke taraf tidak tertahankan, membekapnya, meresap ke tulang-tulangnya.

Lupakan soal pura-pura kuat. Haechan bersandar lemas di dinding dengan napas tidak beraturan. "Oke, aku akui itu lumayan parah."

Sungchan meringis. Dari matanya terpancar rasa iba. "Menurutku lepas aja perban itu, ganti sama kain bersih."

Saran Sungchan belum sempat Haechan tanggapi karena mendadak terdengar suara anak kunci yang berputar di lubangnya. Dari celah di bagian bawah pintu, muncul sebentuk bayangan. Tak sampai 5 detik, bayangan itu menampakkan wujudnya berupa seorang pemuda berdagu lancip yang tampangnya menyiratkan dia berharap dirinya ada di tempat lain, memangkas rumput di rumah atau di perpustakaan kampus mengerjakan tesis.

Pemuda itu menjaga jarak dari mereka, dan melambai seraya melantunkan sebuah perintah. "Kalian, ayo bangun. Aru mau ngomongin sesuatu."

Sebaris nama menyembul di benak Haechan. Wajah pemuda ini, tidak seperti kejadian yang melibatkan si maknae, tidak terdistorsi di otaknya. Dia Dong Ryul, pembawa tongkat bisbol yang dimanfaatkan Aru untuk membuatnya pingsan.

Grace mengumpat sembunyi-sembunyi. "Kamu bisa jalan?"

Tidak, tapi yang Haechan katakan adalah, "Kita lihat aja."

"Mungkin sesama laki-laki aku bisa bantu?" Sungchan dengan gagah menawarkan.

Tawaran diterima. Sungchan-lah yang kemudian memapah Haechan mengikuti Dong Ryul tanpa kata. Di pagi hari, makin banyak teman-teman Aru yang berkeliaran一lebah-lebah pekerja yang tunduk pada satu penguasa. Atau barangkali dua, ditambah Yuma. Jumlah mereka mengecilkan hati, seketika menghapus peluang meloloskan diri. Kabur dari sini sama mustahilnya dengan mencari hewan karnivora yang vegetarian. Dengan kata lain, sekarang ini mereka bisa saja sedang berjalan ke tiang gantungan.

Dong Ryul terus membimbing 4 orang itu melintasi lapangan, menuju tempat Haechan pernah ditawan. Pemandangan tak senonoh terhampar di hadapan mereka. Yuma duduk di pangkuan Aru, dan asyik menciumnya dengan penuh gairah. Rim di belakangnya, baru menoleh saat tamu-tamu tiba. Wajahnya berbinar cerah.

Dong Ryul berdeham. "Aru?"

Aru berpaling. Jejak lipstik merah tua mencoreng pipinya. "Keluar."

Bukannya kecewa, Dong Ryul justru lega sebab tak perlu terlibat dalam rencana tuannya. Dia bergegas pergi, setengah berlari. Yuma menyudahi ciumannya, dan berdiri di atas kakinya sendiri. Dibenahinya bajunya yang tak kalah modis dari kemarin. Berbeda dengan Rim, Yuma lebih tertarik pada Grace. Dia menatap Grace lebih lama, dan tertawa membaca kemarahan Grace yang belum hilang buntut dari kekalahannya.

"Bilang sama aku, Grace," ujarnya. "Apa seorang kakak masih bisa disebut kakak setelah adiknya meninggal?"

Grace maju hendak menerjang Yuma, yang cepat-cepat dihalangi Karina. Jika saja bukan karena dia, akan ada babak perseteruan baru antara kedua gadis itu. "Dia cuma provokasi kamu!"

Grace terlalu murka untuk mendengar nasihatnya. "Kamu bukan manusia. Kamu nggak layak nyebut dirimu manusia!"

Menikmati respons itu, Yuma mengedikkan bahu dan menyusul Dong Ryul. Aru terkekeh selepas kepergiannya. "Dia suka kamu, Grace, asal kamu tahu."

"Berisik," jawab Grace atas pujiannya.

Tawa Aru tidak terpengaruh. "Selamat datang lagi buat kalian. Aku seneng lihat kalian semua udah akrab. Silakan duduk. Terutama kamu, Haechan, jangan keras kepala." Tak mempedulikan Rim, Haechan langsung merosot sebelum tumbang. Aru melemparinya tatapan kasihan, namun seperti segala hal tentang Aru, itu jelas-jelas palsu. "Nah, Grace, sini."

Keberadaan Rim meresahkan Grace. Dia was-was kejadian Haechan yang dipakai sebagai samsak tinju terulang, itu sangat kentara, jadi dia menurutinya. "Apa?!"

"Kamu lupa satu hal."

Grace berlutut disertai ekspresi muak. "Puas, Aru?"

Senyum Aru melebar hingga nyaris mencapai telinganya. Dengan sisa lipstik Yuma yang belum diusap, tampangnya persis Joker yang kekurangan alat rias. "Bawahan emang harus tunduk. Gimana pun, kita harus ngerti posisi kita, betul?"

"Jangan basa-basi, Muka Patung."

Si Muka Patung mengelus wajahnya一seraut wajah yang berpotensi menghiasi majalah ternama, mengiklankan produk kecantikan atau yah, layanan rumah sakit jiwa. Jangan ragu berobat, kamilah solusi bagi Anda yang hati nuraninya rusak! "Aku punya tugas buat kamu, Grace."

"Tugas apa?" Sambar Haechan kilat.

"Ambil mobil berisi makanan yang ditinggal Bumjo, itu aja."

Grace menatapnya, terperangah. "Kamu bercanda."

"Sayangnya nggak. Kamu sendiri yang bilang mobil itu penuh makanan, dan orang-orangku banyak. Mereka butuh makan."

"Ada puluhan zombie di sana一"

"Beresin."

"Dan aku nggak tahu apa mereka masih di lokasi atau nggak!"

Protes Grace disikapi Aru dengan ketenangan yang menakutkan. Sangat jarang dia memamerkan emosi lain selain kegembiraan ganjil khas seseorang yang sesat akal. "Itu bukan urusanku. Pokoknya ambil mobil itu atau masuk kamar eksekusi dan nyusul adikmu一terserah."

Karina maju selangkah, memberanikan diri bertanya. "Mobil makanan apa yang kamu maksud?"

"Ck." Intervensi itu disambut Rim dengan decakan, mulutnya mengerut membentuk cibiran. "Jangan ikut campur, jalang. Mereka nggak akan bantu kamu kalau ada masalah."

Aru berpendapat sebaliknya. "Nggak. Karina mending ikut. Kamu bisa bantu Grace. Kalian cewek-cewek jagoan pasti berhasil kalau kerja sama kan?"

Sungchan menegang. Insting melindungi temannya aktif dan bahunya terangkat lebih tegak. "Karina nggak akan kemana-mana."

"Apa, kamu mau gantiin dia?" Sungchan tidak menjawab, namun pertanyaan retorik tidak perlu jawaban. Salah satu pintu loker berderit terhempas angin, menghasilkan bunyi yang membuat merinding. "Oke, Sungchan, kamu yang nemenin Grace. Kalian bakal berangkat ... Hm, 2 menit lagi. Minta detailnya ke Grace di perjalanan."

Pengendalian diri Karina terurai. Aru dan talentanya mendatangkan petaka akan mengusik bahkan orang paling sabar di dunia. "Aku nggak tahu apa rencanamu, Aru, kecuali bertingkah bossy sepanjang waktu, tapi nyuruh 2 orang pergi jemput mobil di tempat yang disesaki monster itu keterlaluan!"

"Oh, aku nggak nyuruh, Karina. Aku udah ngasih mereka pilihan. Kamu salah paham."

Haechan memutar otak. Kata-kata saja tidak akan menyelamatkannya. Mereka boleh mengeluh di sini semalaman dan Aru tidak akan berubah pikiran. Aru akan tetap mendepak Grace keluar bila itu yang dia inginkan. Grace butuh solusi一secepatnya. Berhubung Haechan tak mampu membantu selama kondisi kakinya belum beranjak dari fase payah, ide macam apa yang bisa dia sumbangkan dalam 2 menit yang singkat?

"Sekarang," kata Aru riang. "Bawa ini." Dia mengambil sebuah tongkat, ramping dan keras, dari atas meja, dan sebilah pisau mengkilap. "Kamu dapet pisau, Sungchan."

Itu adalah tongkat yang dimodifikasi Haechan untuk Grace, dan Grace tersentak. Selama sedetik sepertinya dia menimbang-nimbang apakah perlu menusukkan tongkat tersebut ke perut Aru. "Aku kira hilang. Ini punyaku."

"Itu bekalmu."

"Tongkat dan pisau?" Sindir Grace tajam. "Ini pasti efektif bunuh lusinan zombie. Mana tas senjataku, Aru?"

"Tas senjataku apa?" Imbuhan 'ku' yang Grace gunakan mengundang gelak tawa Aru dan Rim yang menjadikan itu lelucon pribadi mereka. "Itu bukan punyamu lagi, fokus ke tugasmu. Rim bakal berperan jadi pengawas kalian, anak-anak."

"Dia?" Jika kebencian itu kecut, anggaplah suara Sungchan sudah mengandung banyak jeruk busuk.

Rim menelengkan kepalanya dalam gerakan ganjil yang menyerupai burung pemakan bangkai. "Kamu nggak suka?"

"Rim rekan yang seru kok, kalian mungkin berakhir berteman nanti." Aru terbahak-bahak. Dengan senang hati Haechan akan menyaksikannya tersedak dan meninggal. Atau menonton Grace melompat menikam jantungnya bak pemburu vampir di masa lampau. Keduanya tidak terjadi, percuma berandai-andai. "Ini peraturannya, Grace, Sungchan, kasih mobil itu ke aku dan aku izinin temen kalian yang di sini hidup. Waktunya 90 menit. Lebih dari itu, aku patahin tulang-tulang Haechan dan Karina. Satu demi satu. Inget pelajaran biologi dasar? Ada 206 tulang di tubuh manusia. Jumlahnya melimpah."

Grace yang terguncang mencengkeram erat tongkatnya. "Nggak..."

"Ya." Aru menyeringai culas, monster seutuhnya. "Nyawa Haechan ada di tanganmu. Sana, lekas berangkat."

"Nggak!" Sembur Grace, membangkang, mengira negosiasi mereka belum usai. "Ini misi bunuh diri, kamu nggak bisa ngelakuin ini, Aru!"

"Waktu terus bergulir, Grace." Sambil mengatakan itu, Aru meraih benda ketiga dari meja, yang tadinya tergeletak di posisi telentang. Haechan hanya melihat benda itu di film-film lawas, atau film yang kebetulan ber-setting di toko antik; sebuah jam pasir. Aru memutarnya agar sisi jam yang penuh berada di atas, butiran-butiran pasir keemasannya kontan luruh ke bawah. "Sisanya mungkin ... Wah, entah ya, 85 menit?"

Sungchan memotong komentar kasar apapun yang akan dilontarkan Grace. "Ayo, nggak ada gunanya ngajak dia debat."

"Tunggu." Semua orang menatap Haechan dengan sorot mata berbeda-beda manakala dia terpincang-pincang menghampiri Grace. Jarak mereka seakan berkilo-kilo meter jauhnya. Haechan tak bisa melangkah tanpa merasa ibarat membelah kakinya jadi dua. "Aku mau peluk Grace buat terakhir kalinya."

Air muka Grace yang diselimuti kemarahan sontak berubah bingung. Kata "terakhir" acap kali berkaitan dengan konotasi negatif, namun melampaui hal itu, pantaslah dia mempertanyakan mengapa Haechan bertekad menunjukkan afeksi di depan orang-orang yang akan menganggapnya hiburan menggelikan. Kaki Grace yang sehat memperpendek jarak mereka dan tiba-tiba, pengendalian dirinya porak poranda. Grace bergelayut di lengan Haechan. Seluruh kerisauan, ketakutan, dan kegelisahannya, terpampang nyata. Saat ini perasaan Grace terbuka demi Haechan seorang, yang dibalasnya dengan mencekal bahu kurusnya一bahasa cinta ketika kamu tidak ingin melepas seseorang.

"Nggak apa-apa, nggak apa-apa," bisiknya. "Kamu lebih cerdas dari 2 cecunguk itu, kamu pasti bisa."

Aru bertepuk tangan heboh. "Romantisnya!"

Tak menggubris si orang sinting, Haechan mengubur bibirnya di lekukan leher Grace, dan mengatur agar rambut pendek gadis itu menutupi rahasia yang berniat dia bagi. "Dengerin aku, jangan bereaksi. Pergi ke daerah Banpho, nggak jauh dari sungai Han. Berseberangan sama spa Hwari, ada kantor polisi di sana. Banpho, sungai Han, dan spa Hwari. Catat itu baik-baik."

Detik berikutnya, moment itu sirna.

Dugaan bahwa Sungchan kidal diperkuat saat dia meletakkan tangan kirinya di pundak Grace, dan mengarahkannya ke pintu keluar. Rim menyusul malas-malasan sebab bukan nyawanya yang dipertaruhkan. Sungchan mengangguk pada Karina, sebelum tubuh tingginya hilang ditelan lorong gelap. Dan Grace, yang benar-benar tidak bereaksi, mengucapkan selamat tinggal lewat sapuan lembut di dadanya.

Doa sederhana Haechan hanya berisi satu permintaan semoga pelukan tadi bukan sungguh pelukan terakhirnya dengan Grace. Untaian doa itu lalu melayang ke langit, dan Haechan memohon supaya Tuhan berkenan mengabulkannya.

Duh, mon maap buat yang ngarep Grace duet maut bareng Karina, next part kita bakal lihat cerita ini dari sisi Sungchan ya 😳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top