58. Kita Jujur
Huang Renjun jauh lebih mungil dari Jeno dan Jaemin.
Lupakan soal kembaran ketiga, dia lebih cocok jadi adik mereka. Dengan rambut pirang yang sering acak-acakan, bentuk wajah kecil, dan sepasang mata indah yang memancarkan kepolosan, dia mengingatkan Mark pada gambaran pixie di buku karangan ibunya. Atau manusia rubah. Atau peri hutan一bila mereka benar-benar nyata.
Si pixie sekarang menatap Mark, setelah puas meniru tingkah Mark beberapa menit lalu. Tangannya kotor, namun halus一tangan khas seorang seniman. "Apa aku ngelakuin kesalahan?"
"Kenapa pikiranmu nyambung ke situ?"
"Karena pujian biasanya diobral di depan umum, sedangkan cacian lebih sering diucapin di belakang punggung."
Mark memindahkan tumpuan kakinya, dibarengi dengan menghela napas. Mau tidak mau seseorang harus melakukannya. Suka atau tidak, Renjun harus dibuat sadar bahwa kegemarannya bermain-main suatu hari nanti bisa merugikan dirinya sendiri. "Ayahmu itu, dia dokter kan?"
Renjun menengadah, terkejut. "Soal itu..." Dia menjawab hati-hati. "Iya, dokter neurologi."
"Kamu punya cita-cita jadi dokter juga?"
Kening Renjun berkerut. Dia mencongkeli kukunya, pertanda tidak nyaman atau tidak paham mengapa Mark tiba-tiba bersemangat membahas keluarganya. "Nggak, sebenernya aku, eh, lebih tertarik ke seni daripada dunia medis. Seandainya keadaan masih normal, aku niat ngejar beasiswa ke universitas Hongik."
"Hongik? Bagus. Itu bagus." Mark si putra profesor mengenal Hongik sebagai universitas swasta yang berjaya di bidang seni rupa. Hongik bisa dibilang pesaing utama SNU, mereka kerap mencetak lulusan jenius yang dalam beberapa tahun akan mengadakan pameran di berbagai galeri terkenal. "Tapi, Renjun." Selalu ada 'tapi' untuk mengawali sebuah kritikan. "Maaf kalau aku kedengeran kasar, tapi kamu bukan ayahmu, dan ayahmu nggak hidup di dunia yang keadaannya sekacau ini. Ayah kamu nggak akan ngerti sensasi dikejar-kejar zombie, yang ngerti itu kamu, jadi kamu harus berubah."
Senyum yang hampir selalu tersungging di bibir Renjun langsung luntur. "Kenapa mendadak kita ngomongin ini?"
"Karena kamu misteri. Tingkahmu kadang berlawanan. Kamu oke aja ngehajar zombie, bahkan berani maju paling depan, tapi tiap ketemu manusia keberanianmu hilang. Aku udah lihat gimana kamu di rumah pertama dan waktu kita ketemu Aru. Simpatimu salah arah, kamu mestinya lebih takut sama manusia."
Perdebatan mereka kian seru ketika Renjun menampakkan gelagat tersinggung. "Aku nggak takut. Berhadapan sama manusia dan zombie itu beda, udah aku singgung sebelumnya."
"Oh, maaf," ucap Mark dengan gelengan lemah. "Itu bukan istilah yang adil. Apa lebih baik aku ganti 'takut' jadi 'kasihan'?"
Ini pertama kalinya Mark memliki percakapan serius dengan Renjun, hanya berdua, dan ini terbukti lebih sulit dari dugaannya. Siapa yang menyangka bahwa Renjun ternyata tersusun dari sel-sel keras kepala yang sama seperti yang ia temukan pada diri Lee Haechan? Faktanya, meski serumah, Renjun rutin berkumpul dengan teman-teman seumurannya saja. Beberapa jam jatah me time-nya yang berharga ia habiskan bersama pensil dan buku sketsa. Dunia pribadi Renjun sederhana, namun ia tetaplah laki-laki yang pendiriannya sekokoh batu karang.
Kedua alis tebal Renjun nyaris bertautan. "Apa ini cara lain buat nyebut aku kekanakan?"
Mulut Mark yang sudah mengoceh sampai pegal kembali bergerak-gerak. "Jangan salah paham, aku nggak punya satu pun keluhan perihal sifatmu. Malah, kepribadianmu yang ceria ngasih angin segar di kelompok kita. Masalahnya, Renjun, aku mau kamu sadar kalau beberapa manusia, contohnya Aru, nggak pantes dapet belas kasihan. Lebih jauh lagi, aku butuh kamu keluar dari bayang-bayang ayahmu. Kamu bukan dia, kalian dan kehidupan kalian itu juga beda."
"Ayahku..."
Ekspresi garang Mark sedikit melembut. Dia lebih dari paham perasaan seorang anak yang mengagumi sosok pencari nafkah di keluarga merangkap teladan terbaiknya. "Aku tahu. Dia meninggal karena kebakaran kan? Si kembar yang cerita. Mereka bilang kamu masih berjuang buat berdamai sama kejadian itu. Pasti sulit nerima fakta tentang ayah kita yang nggak akan pernah pulang ke rumah selamanya."
"Emang sulit." Renjun mengakui, dalam bisikan yang teramat pelan hingga bunyi gemerisik samar dedaunan mampu menenggelamkannya. "Ayah bener-bener berdedikasi sama kerjaannya. Walaupun akhirnya meninggal, dia pergi dengan cara yang bikin aku bangga."
"Sekarang ayo kita balik pertanyaannya, kira-kira apa yang bisa bikin ayahmu bangga sama kamu?"
"Uh ... Prestasi?"
Senyum Mark tak dapat dibendung. "Kamu lupa apa yang diucapin Jaemin, ya? Selain prestasi, ada hal yang lebih penting, yang nggak lain semangat bertahan hidup yang kamu punya. Habisi mereka yang ngambil hakmu. Singkirin mereka yang berusaha ngehalangi jalanmu. Mulai saat ini, coba bersikap kejam. Nyawamu cuma satu, jangan sampek nyawa itu terenggut."
"Apa aku mampu?" Duel Renjun melawan dirinya sendiri, musuh terbesarnya, belum usai. Mark tak heran ia sulit menyeberang. Bagaimanapun, tak mudah bagi murid SMA biasa untuk bermetamorfosis jadi pembunuh handal.
Di saat yang sama, Mark tahu ini bukan moment yang tepat untuk memanjakannya. Anak-anak harus tumbuh dewasa, dan merupakan kekeliruan menyuapi mereka terus-terusan. "Menurut kamu, ayahmu bakal lebih kecewa karena apa? Kamu yang bunuh orang, atau kamu yang mati konyol gara-gara keputusan yang nggak rasional?"
Sindiran Mark yang ini mengena telak. Renjun si matahari terbit, yang menyukai air lemon, menggambar Moomin, dan cuaca hangat, terdiam lama merenungkannya.
Mark belum selesai. "Lihat Jisung, lihat Ryujin. Apa kamu nunggu kehilangan dulu baru selanjutnya berubah? Bayangin kamu, Jeno dan Jaemin terjebak di ruangan sempit sama Aru, apa kamu rela mereka meninggal karena keraguan kamu yang nggak mau dilabeli sebagai pembunuh?"
"Jelas nggak." Renjun terburu-buru menyangkalnya, tanggapannya meningkat dari defensif menjadi agresif. "Mereka temen-temenku, dan arti mereka lebih besar dari itu."
"Kalau gitu buktiin." Mark menuntutnya, supaya bertindak secara jantan dan tidak sebatas berani melalui kata-kata. "Kali lain kita ketemu Aru atau orang-orang kayak Aru, aku kepingin kamu dengan tegas lawan mereka dan ngangkat senjata. Bisa?"
Renjun terpekur memandangi langit biru yang berada jauh di atasnya. Di suatu tempat, bintang-bintang fajar bersinar tanpa terlihat, sama halnya dengan kadar kebaikan dan keburukan setiap insan yang akan selalu jadi rahasia Tuhan. "Bangkit lebih kuat atau mati sebagai pecundang, itu persoalan peliknya, ya?"
"Mana yang kamu pilih?"
Renjun menyatakan pilihannya dengan berdiri dan menepuk-nepuk celana guna membersihkannya dari debu. "Aku milih lanjut berjuang dan nggak ngecewain ayah."
"Bagus." Mark menarik Renjun ke dalam pelukan ala laki-laki yang melibatkan menyatukan telapak tangan dan saling membenturkan pundak. "Apa kita baik-baik aja? Apa ada kata-kataku yang buat kamu marah? Kalau iya, kita bisa tonjok-tonjokan di sini sampai kamu puas."
"Lucu, tapi itu nggak perlu." Detik itu juga Renjun sudah nyengir secerah mentari. "Orang yang salah jelas harus ditegur. Aku justru mau bilang makasih."
"Oh?"
"Karena udah jujur. Terlalu banyak pujian bisa jadi racun. Kritik itu kadang perlu biar kita bisa maju."
"Sama-sama." Mark balas nyengir dan bersama, keduanya masuk ke kantor polisi menyusul rekan-rekan mereka. Setibanya di lobi, sayup-sayup suara pertengkaran si kembar telah terdengar.
"Periksa yang bener." Jeno berpesan.
Jaemin malah menirukan kalimatnya dengan suara seperti anak kecil. "Periksa yang bener."
Sebuah pulpen melayang, seukuran ibu jari Mark. Jaemin dengan lihai menghindar, dan pulpen itu ganti mendarat di kepala Ryujin yang melotot galak. "Heh, berhenti bercandanya, kembar!"
Semua orang yang ada di situ tersenyum. Semua, kecuali seorang pemuda berwajah murung bernama Park Jisung.
Lee Haechan menghembuskan napas lega ketika berhasil duduk dan berhenti menyengsarakan kakinya terlalu banyak. Sialan, sakit sekali. Sebelah kakinya yang dirantai terasa kaku, sedangkan yang lain bagai ditusuk-tusuk. Kalau Haechan mau mengeluh, bisa-bisa daftarnya memanjang melebihi buku Seni Memahami Wanita.
Geraman yang lebih cocok keluar dari tenggorokan hewan meluncur dari bibirnya, lebih kepada menguatkan diri sendiri dibanding mengungkapkan kemarahan. Dengan kesal dilemparnya sehelai kain pel kotor menjauh, baunya yang tidak keruan semakin menambah penderitaannya. Ini memang bukan selokan, namun tak ada bedanya. "Duduk sini, Grace."
"Kakimu kenapa?" Ruangan itu sempit, berbentuk kubus. Berjarak hanya 2 jengkal darinya, duduk salah seorang gadis paling cantik yang pernah ditemui Haechan. Seberkas cahaya dari ventilasi udara yang letaknya di bawah langit-langit akhirnya membantu Haechan meneliti parasnya.
Gadis itu sepertinya sebaya dengan Haechan. Wajahnya adalah tipikal wajah yang akan memenangkan predikat "dingin", dan menuai komentar negatif dari orang-orang yang tidak mengenalnya. Rambutnya panjang bergelombang, segelap kayu eboni. Ciri khasnya adalah tahi lalat kecil yang melekat di dagunya yang putih.
"Luka tembak?" Teman laki-lakinya menerka.
Pemuda itu jangkung sekali一yang menggugah rasa kagum dan iri Haechan. Sebelum wabah zombie melanda, dia mungkin seorang atlet ski atau sepak bola. Bahunya lebar, dadanya bidang. Andai mengikuti audisi peran untuk sebuah drama, dia pasti diterima. Matanya bulat mirip rusa. Ditengok dari gerak-geriknya yang menyingkirkan rongsokan di sekitarnya, bisa jadi dia kidal.
Karina dan Sungchan. Tampaknya mereka mengalami hari yang tidak menyenangkan. Kulit di atas alis Sungchan sobek, sisa darah kering menggumpal di sana. Lain dengan Karina yang sebelah lengannya bengkak. Jelas, Aru bukanlah tuan rumah yang menyambut baik tamu-tamunya.
Grace merosot duduk di tempat yang disediakan, kehangatan tubuhnya mengalirkan rasa nyaman bagi Haechan, usai mengetahui dia aman meski tidak baik-baik saja. "Ya, itu karya Aru. Aku Grace, dia Haechan."
Karina mengangguk. "Pasti kamu ngelawan."
"Apa aku harus diem waktu ada yang berusaha bunuh aku?"
Reaksinya yang sinis mengejutkan Sungchan, sampai Sungchan mengerjap. "Nggak perlu ketus gitu. Posisi kita sama di sini."
Sulit bersikap ramah saat kamu tengah sangat kesakitan. Segala hal terasa mengusik kesabarannya, namun Haechan tetap mencoba dengan merendahkan suaranya agar tak dikira membentak. "Berapa lama kalian di sini?"
Karina mengernyit. "Susah buat tahu itu. Pokoknya kita udah lama nggak lihat matahari."
"Ya," timpal Sungchan. "Orang gila yang hobinya ketawa itu tiba-tiba dateng ke tempat kita. Dia ngajak kenalan dulu, setelah itu keliling ngerebut makanan dan senjata seakan lagi belanja." Sungchan tertawa parau. "Karena Aru satu temenku meninggal. Shotaro..."
"Jadi kenapa kalian masih hidup?" Grace tak bermaksud kasar, hanya saja kemampuan berkomunikasinya sama buruknya dengan Haechan.
"Sama kayak kalian, aku rasa一Aru butuh orang buat disuruh-suruh. Kamu tahu, bersih-bersih, rapihin barang, ngehibur temen-temennya. Intinya ya ... Jadi pembantu."
"Bukan aku." Jangan harap Haechan mau jadi pembantu untuk siapapun, terlebih Rim. Terutama Rim. Membayangkannya saja dia jijik. "Bukan aku dan Grace. Kita nggak akan nginep terlalu lama di tempat terkutuk ini."
Penghargaan berkelebat di mata Karina. Namun hanya sekejap, ibarat bintang jatuh yang melintas di cakrawala sebelum melebur dan lenyap. "Semangat yang bagus. Tapi apa kamu pikir aku dan Sungchan selama ini sekadar pasrah?" Sambil menggeleng, dia mengangkat sebagian kausnya, memamerkan perut rata yang di beberapa bagian ternoda oleh memar-memar berwarna kebiruan. Senyumnya miris. "Ini yang aku dapet karena berusaha kabur."
Grace tidak suka melihatnya, atau mendengar jawabannya yang bersifat mematahkan semangat. "Apa? Jadi pilihannya cuma jadi pembantu Aru?"
"Nggak, ada 3 pilihan. Yang kedua meninggal一kalau Aru bosen sama kamu."
"Dan yang ke-3?"
Karina dan Sungchan menjawab serentak, "Kamar eksekusi."
"Kamar ... Eksekusi?" Di benak Haechan sontak terbayang kamar gas. Yang mustahil sebenarnya, mengingat tempat ini adalah arena bermain futsal, bukan tempat untuk mengeutanasia orang. Tidak mungkin Aru dapat merubah fungsinya sedemikian drastis.
"Apa kalian lihat ruangan berpintu putih di perjalanan ke sini?" Tanya Karina, dibayang-bayangi ketegangan. "Ruangan itu isinya monster, peliharaan Aru. Orang-orang yang bikin dia jengkel pasti bakal masuk ke sana. Pernah kejadian sebelumnya."
"Sama siapa?" Tanya Haechan, mewakili orang yang paling ingin mengetahuinya sekaligus yang paling takut bertanya. Mendengar adikmu meninggal adalah satu hal, mendengarnya dikonfirmasi oleh 2 orang berbeda akan membuatnya lebih meyakinkan. Penyangkalan Grace terancam sia-sia.
"Maaf, aku nggak tahu namanya. Kita nggak kenalan. Yang aku tahu dia cowok, masih muda, posturnya tinggi, kurus..."
Mata Grace mulai berkaca-kaca.
"... Dia bandel. Sejak dateng dia nggak berhenti ngerengek, dan itu bikin Aru jengkel. Aru bilang sesuatu tentang pelajaran buat orang-orang lemah waktu ngundang aku dan Sungchan nonton eksekusinya. Pintu putih itu di buka. Dia teriak-teriak. Ada suara monster yang pesta pora, dan akhirnya ... Diam."
"Semuanya berlangsung beberapa menit." Ringkas Sungchan menutup cerita Karina. "Bayangin penderitaan yang cowok itu alami. Semudah itu Aru mutusin apa seseorang pantes hidup atau mati."
"Apa dia matanya sipit?"
"Grace, udah."
Grace menggali makamnya sendiri dengan terus bicara tanpa mengindahkan peringatan Haechan yang ingin menyelamatkannya dari duka. "Apa cowok itu kelihatan pucet? Apa dia bawa inhaler alias obat aneh? Apa dia nyari kakaknya? Apa dia一"
Air mata jatuh berguguran di pipi Grace, menyentuh hidung, menuruni dagu, dan Haechan memeluknya sebelum sempat menetes ke pakaian. Haechan merasakannya; pahitnya kesedihan dan masamnya kegagalan. Dibawanya Grace ke dadanya, menawarkan tempat untuk bersandar. Dia tidak sendiri, dan Haechan menyampaikannya lewat tepukan berulang-ulang di bahunya. Lembut dan pelan, seperti segelas teh barley hangat pada hari berhujan, meski tepukan sebanyak apapun tidak akan sanggup menggantikan apa yang hilang darinya.
"Jisung..." Grace berpegangan pada Haechan seolah akan hanyut bila melepasnya. Memang benar Haechan-lah yang tertembak, yang terluka parah, tapi pada saat ini ia tak tahu siapa yang menguatkan siapa.
Haechan harap ia adalah tipe laki-laki seperti Jaemin, yang bisa spontan mengatakan hal-hal yang tepat pada gadis-gadis. Atau Jeno si kaku yang senyumnya menular. Tapi dia hanya Lee Haechan dan ia tak pandai berkata-kata. Satu-satunya kalimat yang tercetus di benaknya bahkan tidak layak disebut penghiburan. "Kalau si maknae meninggal, mungkin itu yang terbaik buat dia dan kita semua..."
Di balik layar pertemuan Haechan sama Sungchan 😳👉 :
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top