52. Kita Tidak Menyerah
Pemuda itu menutup matanya.
Dia tidak tahu apakah dia sedang melayang atau tenggelam. Duduk atau berdiri. Dia bisa berada dimana saja. Mungkin di suatu rumah musim panas di pedesaan terpencil. Mungkin ia berbaring di tengah jalan dan tinggal menunggu waktu dilindas truk yang melintas. Atau C, dia bengong dengan ekspresi bodoh di pinggir tebing yang curam. Ia tidak bisa mendengar, tidak bisa mengendus apa-apa.
Sungguh membingungkan. Sensasinya aneh sekaligus tidak, seakan di saat yang sama ini juga merupakan hal yang paling normal. Kepanikan yang ia rasakan tergelincir lepas, semakin berusaha diraih justru semakin memudar. Oleh karena itu dia tidak takut, terlebih penasaran, sebab kedua emosi itu berjarak sejauh bintang-bintang. Dia terbang, melambung ke angkasa menyambut kebebasan yang sesungguhnya.
"Haechan-ie?"
Suara itu lagi. Suara yang sama yang mencoba menjangkaunya tiada henti.
"Haechan!"
Sepasang mata pemuda itu bergerak membuka. Dia adalah Haechan. Haechan adalah dirinya. Kok bisa-bisanya dia lupa pada nama yang ia sandang seumur hidupnya?
Seseorang tertawa. Suaranya ramah, menentramkan. Dia langsung menyukainya. "Haechan, ngapain diem di situ? Dasar bocah bandel!"
Lee Haechan berputar. Suasananya gelap gulita. Ia buta terhadap sekelilingnya. Kabut melapisi segalanya, bukan main tebalnya. "Mama?"
Bukan sang ibu. Yang datang malah sekumpulan cahaya misterius. Bulatan-bulatan hijau, sedikit lebih besar dari kunang-kunang, berarakan ke arahnya tanpa sekali pun menyentuh tanah. Mereka bunga, dalam kemilau warna-warni yang terlalu mencolok bagi dunia ini, mengingkari hukum fisika yang dipelajarinya. Tanpa bantuan semilir angin, ada bunga ... Yang mengambang?
Haechan memicingkan mata, dan setelah lebih dekat, ia sadar pasukan cahaya itu ternyata kupu-kupu一simbol dari perubahan dan perjuangan. Setidaknya itu ucap salah satu pemeran drama tontonan ibunya. Hati Haechan jadi menghangat. Mereka tidak berbahaya. Mereka hanya serangga, dengan bentuk yang indah dan sedap dipandang.
Seekor kupu-kupu bertindak lebih berani dari teman-temannya, dia hinggap di jemari Haechan. Sapuan kaki-kakinya sehalus tawa pertama bayi yang berkumandang. Cahaya dari tubuhnya memberi efek magis pada wajah Haechan saat ia mengangkatnya sejajar mata. Seolah dalam gerak lambat, sayap kupu-kupu itu mengepak-ngepak. Ia butuh beberapa detik untuk menyatukan dan mengembangkannya. Sekali, dua一
Dan semuanya berubah.
"Haechan? Duduk sini, Nak."
Hadiah paling menakjubkan disodorkan Tuhan padanya. Bukan harta, bukan berlian. Bukan pula bulan yang bisa ia dekap. Kado berharga itu berupa sepasang mata cokelat bening ibunya, dan senyum sosok ayah yang ia rindukan. Entah bagaimana ia tiba di titik ini dan bertatapan dengan orang tuanya.
"Mark?" Pintu digedor-gedor brutal. "Mark Lee, buka pintunya!"
Ini adalah jenis ketukan yang di kondisi lain akan membuatnya berpikir ada evakuasi darurat. Kebakaran, peringatan gempa, banjir bandang. Lanjutkan saja, daftarnya masih panjang. Orang tidak bakal mengira di luar sana berdiri seorang gadis yang ingin bergantian menggunakan kamar mandi. Dari kuatnya intensitas pukulannya, sudah tersirat dia kehabisan stok kesabaran.
"Ryujin, mending tenang dulu一"
"Diem, Jeno. Biar aku yang ngurus ini."
Malang nian nasib Jeno. Dia kerap tidak beruntung dengan gadis-gadis一sisi koin yang berkebalikan dari Jaemin.
Sementara itu, kira-kira berapa lama dia di sini? Mark tidak terbiasa memakai jam tangan, atau menangis meski itu anehnya menganugerahinya kelegaan. Mark bergegas mencuci muka, dan menyambar handuk bersih dari rak. Di rumahnya tidak ada peraturan tertulis mengenai menangis, namun ia tumbuh besar di lingkungan dengan stereotip keliru yang menganggap laki-laki dengan mata yang gampang basah itu lemah.
"Mark, aku hitung sampai 3 kalau kamu nggak keluar一"
Mark menggeser selot pintu lantas membukanya. "Halo juga, Ryujin."
Dalam beberapa menit (ia berasumsi hitungannya menit) Ryujin sudah tampak lebih baik. Sorot matanya tidak sekosong tadi. Ada kilatan kekesalan di situ, dan Mark bersyukur sebab merasa kesal jauh lebih baik daripada dirundung pilu. "Aku kira kamu tenggelam di bathtub."
"Maaf bikin tebakanmu salah."
"Tampangmu berantakan." Kali ini Ryujin benar. Bilasan air dingin saja tak cukup menyulap penampilannya jadi lebih segar. Mark capek, dan ia tidak menutup-nutupinya. "Lain kali pas mau nangis, nyalain kerannya."
"Hujan buatan?" Si pemuda tersenyum miris. "Trims sarannya."
"Nggak masalah. Oh, hei, Mark?" Apa yang ada di otaknya selalu dengan lantang Ryujin ungkapan. Si matahari terbenam, gadis berambut merah ini, selangkah di depan Mark dalam mengerti bahwa kejujuran adalah bingkisan termewah yang dapat kita tawarkan pada sesama manusia. "Apa sekarang kamu nyerah?"
Ada kesan tidak nyata pada pemandangan itu.
Ibunya, duduk bersimpuh di atas hamparan selimut merah-putih. Ayahnya, mengeluarkan kotak-kotak plastik Tupperware dari bagasi mobil. Makanan-makanan favoritnya menyebar di selimut tersebut; kimbap tuna, telur gulung, salad buah versi keluarganya yang ditaburi kacang mete, sandwich daging, chicken nugget, kimchi, susu, kopi, es krim dalam cooler box. Ini piknik, seperti yang mereka lakukan ratusan kali, hanya saja suara hatinya memperingatkan adanya sesuatu yang salah.
"Haechan?"
Persetan. Ia tidak bisa merasa lebih peduli. Ibunya memanggil, jadi ia ikut duduk bak anak 6 tahun yang rajin. Ia terjepit di antara orang tuanya, mengingatkannya pada masa lalu ketika ia masih cukup mungil untuk dipangku.
"Nah, gimana kabarmu?" Ayah mencampakkan setelan manajer banknya. Siang ini ia mengenakan pakaian biasa seperti jika mereka hendak menonton pertandingan sepak bola bersama Winwin.
Haechan angkat bahu, heran. "Ngomong apaan, Yah? Aku jelas sehat-sehat aja."
Ibunya merebut giliran bertanya. "Dan Grace? Gimana keadaannya?"
Kadar keheranan Haechan bertambah. "Siapa Grace?"
Apa dia menyerah?
Pertanyaan Ryujin berputar-putar di benaknya, menciptakan angin puting beliung kecil. Mark berhenti mengusap-usap dagunya yang telah kering. Dia menghirup napas dari hidung, tidak semata-mata karena kebutuhan melainkan juga sebagai upaya menegarkan diri supaya tidak hancur berkeping-keping. Hari ini batas antara kewarasan dan kegilaan sangat tipis. Keduanya memperebutkannya dengan sengit, dan adalah kebohongan bila Mark berkata ia bisa meramalkan pihak mana yang akan memenangkan pertandingan ini.
Tidakkah menggelikan betapa cepat dia berubah? Dari anak yang digambarkan tetangganya selalu ceria, yang bahagia hanya dengan dibelikan ibunya semangka, menjadi seseorang yang mempertanyakan jati dirinya. Dulu, bahagia itu mudah. Belakangan, bumi tak berbeda dari neraka.
Sedikit lagi, hanya sedikit lagi, Mark pasti akan tumbang. Peristiwa yang melibatkan Aru merupakan puncaknya, mendorongnya ke batas kemampuannya. Aru menyadarkan Mark bahwa ia sekadar pemuda 18 tahun yang tahunya hanya memerintah, tidak mampu melindungi siapa-siapa.
Masih adakah gunanya mengangkat senjata?
Bagaimana caranya melawan monster yang merasuki kepalanya dan giat sekali mendesaknya untuk mengaku kalah?
"Semua ini nggak ada habisnya, Ryujin. Masalah datang bertubi-tubi. Aku takut kita nggak akan pernah sampek ke Jeju, nggak tanpa kehilangan lebih banyak orang. Situasinya udah di luar kendali. Aku pikir udah waktunya sejenak kita berhenti."
"Berhenti?" Ryujin mencemooh. Dia menutup pintu agar percakapan ini tidak bocor. "Ini bukan saatnya berhenti. Jangan konyol. 2 temen kamu kemungkinan jadi sandera dan kamu niat duduk-duduk santai?"
Mark gemetaran. Dengan hati-hati dilepasnya pakaiannya yang basah bersama semburan kata-kata bernada tajam. "Jadi aku harus apa?" Darah Mark menggelegak. Racun kemarahan mendidihkan sungai ketenangannya. "Aku harus apa, Ryujin? Sejauh ini nggak ada satu pun, aku ulangi, satu pun, keputusanku yang bawa dampak bagus. Udah selesai, oke? Kita udah nyasar ke jalan buntu."
"Nggak, belum." Tekad Ryujin tak pernah terpancar sekuat ini. Tekad itu memantul di matanya yang berapi-api, rahangnya yang mengeras, badannya yang siaga. Perginya sosok tercinta senantiasa memiliki daya untuk mengubah seseorang. "Ini belum berakhir. Kamu biarin si bajingan Aru ngacak-ngacak pikiranmu, ya? Aru udah ngambil banyak hal dari aku, kamu, jadi kenapa kamu ngasih dia piala kemenangan gitu aja?"
"Aku nggak ngasih Aru apa-apa. Dia emang pemenangnya."
"Berengsek, Mark." Ryujin mengumpat geram. Gadis itu menyebrangi ruang tak berpenghuni di antara mereka dan menusuk dada Mark dengan jarinya. "Buka matamu. Buka mata lebar-lebar dan bangun! Kita baru kenal beberapa jam, tapi kamu tahu? Aku percaya sama kamu."
Mark membuang onggokan kain yang sempat membalut tubuhnya ke lantai. "Berarti kamu dungu. Aku bukan orang yang tepat buat dikasih kepercayaan. Lihat sendiri gimana hasil kerjaku kan?"
"Yang aku lihat cuma remaja hebat yang waktu punggungnya diinjak malah khawatir ke orang lain. Kamu tengkurap di aspal, bisa mati kapan aja, tapi kamu lebih cemas soal keselamatan Jisung? Kalau itu bukan ciri-ciri pemimpin yang baik, aku nggak bisa bayangin apa lagi."
Bahu Mark mengedik acuh. "Itu perkara sepele."
"Oh ya? Menurutku bukan. Denger, Mark, ayo kita balas Aru." Mark mulai terbahak, dan Ryujin jadi kian sebal. "Apanya yang lucu?"
Pinggang Mark bersandar di wastafel. "Itu mimpi yang terlalu tinggi."
"Salah, itu mimpi yang bukan mustahil terealisasi. Mana semangatmu, hah?"
Mark meraba-raba saku celananya, seolah di situlah ia meletakkan semangatnya yang tengah Ryujin cari-cari. "Hilang."
Ryujin terlihat sangat bernafsu meremukkannya. Keningnya berkerut, alisnya menukik turun. Andai dia memukul Mark atau melemparnya memakai benda berat yang dapat menimbulkan cedera parah, Mark tidak akan terkejut. "Dasar tolol. Dasar pesimistis tolol! Kamu serius mau nyerah di saat ada banyak orang yang ngandelin kamu? Gimana kira-kira reaksi si kembar, Renjun dan Jisung kalau tahu seberapa pengecutnya leader mereka?"
"Siapa yang pengecut?"
Mark dan Ryujin kompak berjengit ketika sebuah suara lembut menginterupsi. Rantai perseteruan mereka terputus dalam sedetik. Pintu mengayun terbuka, sejumput rambut pirang seorang pemuda muncul ibarat trik sulap kelinci dan topi. Pemuda itu berdeham gugup bercampur ragu, lalu nyengir.
"Maaf ganggu acara debat kalian. Mark-hyung, aku perlu ceritain sesuatu. Bisa kita ngobrol sebentar?"
"Tentang apa?"
Huang Renjun bungkam seribu bahasa. Profil wajahnya yang halus dan kulitnya yang mulus menjadikannya mirip manekin yang terpajang di toko-toko pakaian atau patung lilin di museum. "Aku dan Grace."
Haechan bersendawa. Suaranya persis terompet yang disetel tergesa-gesa. Dia kenyang. Separuh dari menu piknik mereka lenyap ke perutnya. Si tukang makan ini memang baru akan puas setelah melahap porsi 2 orang. Atau sejujurnya, 3. Dialah mesin penggiling di keluarganya, penyebab jarang ada makanan yang terbuang di rumah.
Ayah dan ibu hanya mengawasinya. Ibu, yang berambut ikal一seperti Haechan semasa muda一begitu sering membelai rambutnya melebihi mengunyah dan menelan. Poni Haechan yang mencapai pipi dipelintir dan ibu sengaja menariknya. "Udah berapa kali Mama nyuruh potong rambut?"
"Aduh." Haechan mengeluh, menyediakan jawaban yang sama setiap kali titah itu diumumkan. "Nanti kalau tukang cukur ngadain diskon, Bos Dapur."
"Kamu maunya diskon 100 persen sih!"
"Mau ayah yang potong?" Ayah menawarkan, senyum jahil tercetak di wajahnya.
Terakhir kali dia melakukan itu, saat usia Haechan 12 tahun, anaknya muncul di sekolah dengan topi bisbol di kepala berminggu-minggu lamanya. Haechan lekas menggeleng tegas. "Nggak usah, mending bayar mahal sekalian."
Ibunya tergelak. "Haechan-ie, kamu inget nggak waktu kamu sama Yomi dan Raon nonton film horor?"
"Oh, waktu mereka nutup mata pakek masker?"
"Kamu bilang ke mereka supaya mereka lebih berani. Rasa takut ada buat kita atasi, bukan bikin kita sembunyi. Kamu selalu ngajarin adik-adik kamu kalau nggak ada monster di bawah tempat tidur, yang ada cuma ketakutan kita ke kegelapan."
"Itu bener kan?" Haechan menegakkan tubuhnya dengan bangga. "Kenapa?"
"Nggak kenapa-napa. Kamu emang bener." Elusan ibunya beralih dari rambut ke pundak. Dia menatap Haechan dengan mata penuh cinta yang hanya bisa diperoleh dari seorang ibu. "Kamu harus pulang. Ada kegelapan lain yang harus kamu hadapi."
"Maksud Mama 'kita'?"
Ayahnya meralat. "Bukan kita, tapi kamu. Sendirian."
"Tapi一"
Yang dipotong ayahnya adalah racauannya. "Kamu punya masa depan, Nak. Perjalananmu masih panjang. Ayah yakin kamu bisa. Karena kamu, calon prajurit Lee Haechan, paling tahu caranya bangkit lagi sehabis jatuh."
"Ayah." Air mata menggenangi pelupuk mata Haechan. "Ma..."
Ibunya keburu mendaratkan kecupan di dahinya. "Janji jangan nyerah, ya?"
Usai mengatakan itu, suara jeritan tiba-tiba membahana di seantero taman. Jeritan ini rendah dan melengking一khas anak kecil. Disusul tangisan lirih yang menyayat hati. "Oppa? Haechan oppa!"
Itu suara Yomi. Tak mungkin Haechan salah mengenalinya. Dia segera berdiri. Kini, suara Raon pun terdengar samar-samar. "Hyung-ie, cepet!"
Suara ketiga berdenting bagai gema lonceng di kejauhan. "Sialan, Haechan, mau tidur berapa lama?"
Kabut di benak Haechan seketika menipis. Kabut itu menyusut drastis, diserap tanah, atau berpusar-pusar ke langit dan mendadak, ia bisa berpikir jernih. Tak salah lagi. Haechan berani mempertaruhkan sepatu bola terbaiknya kalau suara itu milik Grace. Si sexy brain! Gadisnya!
"Haechan?" Grace mengulang seruannya. "Duh, gerak dong, bego!"
Haechan menoleh pada orang tuanya, dan keduanya mengangguk. Maka ia berlari, mengejar mereka yang masih hidup.
"Yomi? Grace?" Ia berteriak, tidak peduli seandainya ada yang terganggu. "Raon, kalian di mana?"
Tanah di bawah kaki Haechan mulai berubah menjadi lumpur. Udara yang awalnya hangat berganti basah dan lembap. Dinding-dinding, hitam dan kasar, mewujud jadi terowongan yang menghimpitnya layaknya penjara. Ketika ia berbalik, terlambat. Jalan menuju orang tuanya sudah tertutup rapat. Ia terkurung.
"Yomi? Yomi, panggil Oppa lagi. Jangan takut!"
Cahaya putih menyilaukan muncul dari ujung terowongan. Cahaya itu membesar, seperti ban yang di pompa, melata ke arahnya mirip ular atau ... Sesuatu. Haechan mundur, tak ingin buru-buru mencari tahu. Dia ingin kabur namun tak sanggup. Tubuhnya serasa membeku. Dinding ini justru mendesaknya maju. Sekarang cahaya itu semakin dekat, tak terelakkan. Begitu menyentuh kakinya, ia tersandung ke depan dan一
Sejurus kemudian kembali ke kenyataan
Seseorang, dalam naungan bayang-bayang, menunduk memandanginya. Mula-mula tampak menyerupai gumpalan tak berwarna. Cahaya kedua tak cukup terang untuk membantu Haechan melihat. Orang itu jangkung, itu dia tahu, dan memegang sesuatu di sela-sela jarinya yang menyala kemerahan. Benda itu ia mainkan, lalu tawa buas menggelegar nyaring dari mulutnya.
"Gimana tidur 19 jammu? Nyenyak?"
Bagian yang pakek huruf italic artinya mimpi ya budiman dan budigirl 😉
Alasan gua milih Winwin tuh sederhana, karena Haechan pernah nyeritain kejadian tentang Winwin dan emaknya di suatu acara 👇 apakah ntar Winwin bakal nongol di sini? Hmmzzz saksikan hanya di jodoh wasiat pakde 😳
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top